Kemarau panjang pada tahun 1997 akibat iklim yang menyimpang, terjadi kekeringan dimana-mana. Panen gagal, produksi ikan tawar menyusut, ternak bergelimpangan dan manusia mengalami kelaparan. Demikian keringnya bumi Indonesia saat itu, untuk seteguk air saja susah mendapatkannya. Pelepah pisang dan talaspun diperas airnya. Pada masa itu, sebuah dusun di pantai selatan Kabupaten Garut, Jawa Barat basah buminya. Sedangkan dusun – dusun lainnya di seputar sana mengalami kekeringan. Sampai – sampai mereka mengambil air ke jurang. Dusun yang basah buminya itu adalah Kampung Dukuh, Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut. Menjadi menarik mengapa hanya di Kampung Dukuh terdapat air. Masyarakat lainnya tidak ngeh, apa pasalnya. Pasalnya adalah karena di Kampung Dukuh terdapat kawasan hutan yang amat terawat. Hutan milik kampung tersebut luasanya hanya 8 hektar, namun sangat dijaga. Oleh warga Kampung Dukuh hutan tersebut dikeramatkan. Yah, hutan keramat. Air adalah kebutuhan fital semua makhluk hidup. Tanpa makan seminggu pun makhluk hidup tetap hidup sejauh masih mendapatkan air. Tetapi, tanpa air dua hari saja makhluk bisa mati. Ada kesadaran pada masyarakat Kampung Dukuh --- yang hidup terisolir itu bahwa hutan adalah sesuatu yang penting bagi kehidupan mahkluk hidup di muka bumi. Karena itu mereka menjaga hutannya dengan cara – caranya sendiri. Soal hutan keramat, pasal mitos (dimitoskan) pada hutannya itu, ternyata memberikan manfaat terhadap keselamatan lingkungan. Memang dipantangkan disana memasuki hutan sembarang. Memotes ranting saja dilarang, apalagi menebangi pohon. Hutan yang dimitoskan atau hutan larangan juga ada pada masyarakat Badui dan Kesepuhan Selatan, Jawa Barat. Masyarakat Boti, Soe, Nusa Tenggara Timur. Juga pada masyarakat Petulu Gunung di Bali. Masyarakat itu benar menurut caranya. Terbukti lingkungan pemukiman mereka aman – aman saja dari prilaku alam yang berlebihan. Pada kemarau berlebihan, lingkungan mereka tak kering. Ketika hujan berlebihan, kampung mereka tak banjir atau longsor. Ada yang seharusnya menjadi bahan pelajaran bagi pakar – pakar ibukota. Ketika krisis ekonomi dan politik melanda, orang kampung itu tidak terpengaruh sama sekali. Abah Masbullah, kuncen Kampung Dukuh, misalnya, tak kurang jamuan makannya untuk tamu yang silih berganti datang ke kampungnya. Nune Beno, Tetua Boti, bahagia melihat warganya tidak mengalami kesulitan makan. Tak pernah kita mendengar orang Badui mengalami kelaparan dan terkena bencana. Dengan mengkeramatkan burung – burung yang bersarang rendah, Dusun Petulu Gunung, makin rimbun bahkan mendatangkan duit karena menjadi tujuan wisata. Oleh masyarakat adat, untuk menghindari gejolak sosial misalnya, mereka memulainya dengan menolak kehadiran listrik. Bagi masyarakat kebanyakan yang memitoskan listrik adalah segalanya, tak dipandang oleh masyarakat tradisionil. Baginya listrik akan mendatangkan mudarat dengan kehadiran televisi, radio, kulkas, kipas angin dan sebagainya. Bukankah televisi sudah kondang keajaibannya merubah perilaku manusia. Bisakah dijamin tidak akan terjadi kecemburuan bagi yang tidak memilikinya. Amat indah masyarakat Kampung Dukuh mengajarkan kepada kita, orang kota, supaya tidak terjebak dengan keinginan konsumtif. Di Kampung Dukuh tidak ada warung. Warung adanya di luar kampung. Itu pun masih terkena larangan, yaitu dilarang memperlihatkan dagangan. Maksudnya, orang yang lewat di depan warung, bisa membelinya karena melihat dagangannya. “Padahal dia tak butuh. Yang berkeinginan mata,” kata Masbullah. Apa yang membuat masyarakat adat / masyarakat tradisionil itu tidak terpengaruh oleh krisis sosial, politik dan ekonomi. Jawabannya adalah karena mereka menutup pintu untuk segala yang datang dari luar. Di dalam, mereka mampu menjaga harmoni kehidupan situsnya. Harmoni sesama manusia serta harmoni masyarakatnya dengan alam. Tehadap ekses yang akan muncul, mereka memiliki saringan yang dibungkus dengan pantangan. Kuno memang pandangan hidup seperti itu. Namun, arif. Masyarakat tradisionil itu mempunyai cara – caranya sendiri mengelola kehidupan mereka. Terbukti pula, bila daya tahan masyarakat-nya kuat. Kuat menghadapi pengaruh sosial modern dan kuat pula struktur ekonominya. Ketika teori modern tentang lingkungan, ekonomi, pertanian, sosial, politik dan teknologi dipertanyakan kesuksesannya, konsep – konsep kearifan tradisionil perlu dicoba diterapkan untuk mengelola negara yang maha besar ini. Ada tiga hal dasar yang perlu diadopsi dari kearifan tradisionil untuk mengelola negara dan bangsa ini. Pertama soal pengelolaan lingkungan hidup; Kedua soal swasembada pangan; Ketiga soal budi pekerti. Soal lingkungan hidup misalnya, mengapa Kampung Boti hijau ditengah kegersangan kampung – kampung lainnya di NTT, mengapa burung burung betah ‘bermukim’ di Dusun Petulu Gunung, mengapa Kampung Dukuh tak pernah kekeringan, bagaimana masyarakat Baduy utuh lingkungannnya. Tentang swasembada pangan. Orang Boti, Baduy, Kampung Dukuh, mampu menghidupi warganya sendiri dari hasil taninya (padi dan ternak) sendiri. Tentang budi pekerti. Masyarakat tradisionil itu enak – enak saja hidupnya. Tidak ada kejahatan hukum, kejahatan ekonomi, kejahatan politik dan kriminalitas di kampungnya. Kita malu sebagai bangsa. Dulu kita agung – agungkan diri ini sebagai bangsa timur yang tinggi adabnya. Ternyata kita begitu mudah untuk membakar, mengebom, membunuh, dan mencuri triliunan rupiah serta menipu rakyat. Dikenal sebagai kawasan yang subur dan kaya akan sumber alam, kok kini kita menjadi pengimport beras terbesar di dunia. Kita nanyikan bahwa kakek kita seorang pelaut, tapi kita tidak dikenal sebagai negara maritim. Kearifan tradisionil yang dimiliki oleh orang kampung, oleh masyarakat adat / masyarakat tradisionil, telah lulus ujian. Belajar kepada orang kampung, tidak membuat diri menjadi ‘kampungan’. Hidup banyak pilihan. Pilihan adalah hak. Orang Dayak, orang Badui, orang Sakai, orang Suku Mentawai, orang Trunyan, orang Boti, orang Kampung Naga, orang Kampung Dukuh telah memilih jalan hidupnya. Itulah pilihan mereka. Dan itu tidak buruk. Alam takambang menjadi guru (alam terkembang menjadi guru), kata pepatah Minangkabau. Belajarlah pada alam. Sebab, alam juga bisa memberikan pelajaran kepada manusia. Kearifan tradisionil bagai sumur tanpa dasar, dimana airnya tidak habis-habisnya ditimba. Untuk kepentingan lingkungan hidup, berkehidupan sesama, berguru kepada situs masyarakat adat, situs masyarakat tradisionil, tak kalah berguru kepada seorang Prof. Emil Salim. Entah ada perlunya bagi masyarakat adat untuk membahas agenda persidangan Konferensi Tingkat Tinggi mengenai Pembangunan Berkelajuntan di Nusa Dua, Bali. Serupa juga dengan KTT Bumi Rio, Brazil dimana masih saja diperdebatkan. (Rizal Bustami)
Sumber : http://rizalbustami.blogspot.com
Sumber : http://rizalbustami.blogspot.com