Direktur Pusat Studi Melayu-Aceh
1. Aceh Bagian dari Dunia Melayu
Dunia Melayu adalah suatu konsep tentang manusia dan kebudayaannya, yaitu konsep yang menunjukkan perhubungan manusia dan budaya dari sejumlah bangsa di Nusantara yang memiliki kesamaan dari segi asal usul mereka, bahasa, agama, adat istiadat dan kesenian. Manusia yang dimaksud pada dasarnya berasal dari ras yang sama, yaitu Indo-Mongoloid, dan berasal dari daerah yang sama yaitu Campa. Mereka menggunakan bahasa yang besar persamaannya yaitu bahasa Melayu, mempunyai kepercayaan yang sama yaitu Islam, memiliki adat istiadat yang juga banyak persamaannya yaitu adat istiadat Melayu, dan memiliki kesenian dengan ciri-ciri yang bersamaan pula. Walaupun sejarah perkembangan politik, ekonomi, dan pemerintahan bangsa-bangsa di Nusantara itu berbeda satu dengan yang lain, namun dalam hal bahasa, agama, adat istiadat dan kesenian mereka, telah membuat manusia Melayu tergolong dalam satu rumpun, satu dunia yang memiliki ciri khas dan kepribadian sendiri, yaitu dunia Melayu. Dapat dikatakan bahwa orang Aceh dan orang Melayu adalah bersaudara, baik karena latar belakang asal usulnya bangsa yang sama, maupun karena persaudaraan dalam agama dan karena memiliki kesamaan dalam bahasa, adat istiadat dan seni budaya.
Banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut. Kedatangan bangsa dari Campa ke Aceh itu dibuktikan dengan adanya persamaan bahasa Aceh dengan bahasa Campa, yang menurut penelitian G.K. Niemann terdapat sekitar 150 istilah yang sama antara kedua bahasa tersebut (M. Said, 1961:15). Selain itu Snouk Hugronje menyebutkan adanya persamaan istilah dalam baasa Aceh dengan istilah dalam bahasa Mon Khmer di Kamboja.
Masyarakat dan budaya Melayu-Aceh tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan Islam. Awal masuknya Islam ke Nusantara dimulai di Aceh dan beberapa kerajaan Islam pernah terdapat di Aceh pada masa lampau, antara lain kerajaan Islam Perlak (840 M) dipandang kerajaan Islam pertama di Nusantara, serta kerajaan Islam Samudera Pasai (1042 M) dan kerajaan Islam Aceh Darussalam (1511 M) yang merupakan dua buah kerajaan Islam yang besar di Aceh pada masanya. Kerajaan Aceh Darussalam merupakan hasil peleburan sejumlah kerajaan Islam yang kecil-kecil yang ada pada masa pemerintahan raja yang pertama, yaitu Sultan Ali Mughayatsyah (1514-1530).
Dalam segi bahasa banyak contoh yang menunjukkan kaitan erat antara Aceh dengan Melayu. Bahasa dan kesusasteraan Melayu bukan saja sudah sejak lama berkembang di Aceh, tetapi juga peranannya cukup besar dalam pengembangan kebudayaan Melayu. Sebagai lingua franca bahasa Melayu sudah dipergunakan secara luas di Aceh pada abad ke-17. Malah bahasa Melayu juga dipergunakan secara luas sebagai bahasa ilmu pengetahuan, bahasa pengantar pengajaran, dan bahasa komunikasi antar wilayah kerajaan (A. Hasjmy, 1980:104). Teuku Ibrahim Alfian (2003:132 dan 148) mengatakan bahwa bahasa Melayu ang juga dikenal dengan nama bahasa Jawi berkembang dengan pesat terutama setelah penduduk-penduduk sekitar Selat Malaka memeluk agama Islam. Dikatakannya bahwa bahasa Jawi atau Melayu itu telah diproses oleh agama Islam dan telah diangkat menjadi bahasa ilmu pengetahuan dalam arti luas, termasuk di dalamnya ilmu agama, filsafat, hukum, dan sastera sehingga menjadi bahasa kebudayaan.
Dalam segi adat Aceh juga sangat kentara nilai Islam di dalamnya. Pada zaman Kerajaan Islam Aceh Darussalam, adat menjadi tenaga penggerak roda pemerintahan dan kehidupan sosial-budaya. Falsafah hidup rakyat Aceh pada masa itu tercermin dalam ungkapan yang berbunyi sbb:
Adat bak Poteu Meureuhom
Hukom bak Syiah Kuala
Kaman bak Putroe Phang
Reusam bak Laksamana
Terjemahannya:
Adat berada di tangan raja
Hukum (Islam) berada di tangan pada ulama
Hak membuat undang-undang berada di tangan Putri Pahang
Aturan kebiasaan masyarakat berada di tangan Laksamana
Antara hukum Islam dengan adat ibarat zat dan sifat (tidak terpisahkan).
Dari ungkapan tersebut terkandung makna bahwa dalam masyarakat Aceh masa lampau adat memainkan peranan yang amat penting. Kehidupan masyarakat diatur oleh adat dan hukum dan kedua-duanya berpunca pada ajaran agama Islam. Adat dengan hukum Islam tidak boleh bertentangan, sehingga adat istiadat yang tidak sesuai dengan hukum Islam dipandang sebagai bukan adat Aceh.
Dalam bidang kesenian tradisional Aceh nafas Islam juga sangat kentara, karena landasan yang dipakai untuk melakukan kegiatan seni-budaya adalah ajaran Islam. Dalam masyarakat Aceh masih berkembang sampai sekarang berbagai cabang kesenian, yaitu seni tari, seni ukir, seni musik, dan seni sastra. Kesenian-kesenian tersebut memiliki kesamaan dengan kesenian Melayu. Kesamaan identiti terutama terlihat pada nafas Islam yang terkandung di dalamnya. Di samping itu banyak bukti yang menunjukkan adanya peninggalan benda seni dari Aceh yang terdapat di Semenanjung Melayu, dan demikian pula sebaliknya. Batu-batu nisan berukir misalnya serta bermacam-macam bentuk perhiasan dan perlengkapan adat Aceh banyak terdapat di negeri Semenanjung itu.
Karena itu, selain dari segi bahasa, dilihat dari segi agama yang dianut oleh masyarakatnya, jelas bahwa kaitan antara Aceh dengan dunia Melayu teramat erat untuk dipisahkan. Dari berbagai tulisan dapat diketahui bahwa orang Melayu pada umumnya sebagaimana orang Aceh adalah beragama Islam.
2. Identitas Budaya Melayu-Aceh
Budaya Melayu-Aceh adalah budaya Melayu yang terdapat dalam masyarakat Aceh, yang memiliki identitas sbb:
a. Identitasnya yang utama Islami, artinya roh atau nafas dari budaya Melayu-Aceh ialah Islam. Roh atau nafas Islam itu terdapat dalam berbagai aspek kebudayaan, terutama dalam adat Aceh dan dalam kesenian Aceh tradisional. Sesuai dengan budaya Islam yang gelaiter, demokratis, mementingkan rasio dan mementingkan keseimbangan nilai-nilai (individual dan sosial; material dan spiritual; rasional, emosional dan spiritual), maka dalam budaya Melayu-Aceh terkandung ciri-ciri seperti religius, rasionalitas, demokratis, kebersamaan, dan keterbukaan. Ciri-ciri tersebut jelas terlihat dalam seni tari tradisional Aceh, yaitu:
- Bernafaskan Islam; terlihat misalnya dalam tema dan ungkapan-ungkapan yang dinyatakan oleh penari, dan juga dalam pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam menari. Ada tarian yang hanya dibawa oleh penari laki-laki dan oleh penari perempuan saja.
- Bersifat kerakyatan (demokratis); tumbuh daripada kehidupan rakyat sehari-hari seperti kehidupan bertani, menangkap ikan dan lain-lain, dan bukan dari kehidupan raja-raja atau keraton.
- Bersifat kolektif (mementingkan kebersamaan); tidak ada tari Aceh yang dibawakan oleh satu orang, semuanya oleh kelompok.
- Bersifat dinamik (keterbukaan); gerak tari pada umumnya menggunakan badan seluruhnya, cepat dan bersemangat.
- Musik menyatu dengan tari; yang dominan adalah musik vokal yang dinyatakan dalam bentuk pantaun atau syair yang menyatu dengan gerak tari.
b. Identitasnya yang kedua ialah Melayu karena Aceh adalah Melayu, dan karena itu pula maka budaya Aceh disebut juga budaya Melayu-Aceh
c. Identitas budaya Melayu-Aceh yang ketiga ialah Keacehan, karena ia memiliki kekhasan dan keragamannya sendiri, yaitu dalam hal watak karakter manusia Aceh, bahasa Aceh, adat Aceh, dan kesenian Aceh, yang semuanya itu sebagai hasil dari pengaruh lingkungan geografis dan sejarah yang panjang dari masyarakatnya.
Ketiga macam identitas budaya Melayu-Aceh itu menunjukkan bahwa antara Aceh, Melayu, dan Islam tidak dapat dipisahkan. Aceh adalah Melayu, Aceh dan Melayu adalah Islam. Bila dianalogikan budaya Melayu-Aceh dengan sebatang pohon, maka Islam adalah rohnya pohon itu, Melayu adalah akarnya, sedangkan batang, cabang, ranting, daun, bahkan bunga dan buahnya adalah keacehan. Apakah “pohon” budaya Melayu-Aceh itu akan kokoh batang dan rantingnya, apakah daun-daunnya akan hijau dan rimbun, serta apakah buahnya ranum dan bunganya berwarna warni, adalah tergantung kepada apakah dalam upaya menumbuhkan pohon itu rohnya tetap Islam, akarnya tetap Melayu, dan pohonnya tetap terdiri dari nilai-nilai keacehan.
3. Pluralisme Budaya Melayu-Aceh
Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang maejmuk, oleh karena orang Aceh sekarang adalah asil dari percampuran dengan pelbagai bangsa sebagai akibat dari proses sejarahnya yang panjang. Abad demi abad sejak pemindahan dari daratan benua Asia, nenek moyang orang Aceh banyak bercampur dengan pendatang, baik dengan penduduk dari daerah lain di Nusantara maupun dengan bangsa-bangsa lain.
Pengaruh Hindu ke Aceh telah lama ada sebelum datangnya Islam. Kedatangan Islam ke Aceh telah membuat pengaruh di Aceh yang memang tidak besar itu menjadi tanpa bekas sama sekali. Sebaliknya kedatangan Islam ke Aceh telah meninggalkan pengaruh yang sangat mendalam, dan turut membawa orang Arab, Persia dan Turki ke Aceh, sehingga karena itu menurut Teungku Kuta Karang, ulama Aceh yang hidup pada akhir abad ke-18, orang Aceh merupakan campuran antara orang Asli yang telah disebutkan di atas dengan orang Arab, Parsi dan Turki. Pendapat tersebut disokong oleh Mohd. Said (1961:23), ahli sejarah tentang Aceh dengan menunjukkan pengaruh kerajaan-kerajaan Romawi dan Phunisia yang besar pada masa lalu yang juga sampai ke Aceh.
Pengaruh kerajaan Aceh pada abad ke-16 hingga ke-18 yang menjangkau sampai ke Semenanjung Melayu dan daerah lain di Indonesia, telah menyebabkan terjalinnya kembali hubungan antara orang Aceh dengan masyarakat di Semenanjung Melayu semakin luas. Hubungan Aceh dengan Negeri Kedah misalnya telah berlangsung cukup lama dan telah terjadi percampuran penduduk yang cukup banyak pula. Setelah Kedah berada di bawah kekuasaan kerajaan Aceh pada tahun 1619, maka banyak orang Kedah yang datang ke Aceh dan sebaliknya sehingga di Aceh ada kampung Kedah dan di Kedah ada kampung Aceh. Tempat-tempat di Negeri Kedah seperti Yan, Sungai Limau, Merbuk, Sungai Petani, Sala, Kuala Kedah, Alor Setar, Jitra Anglang dan Pulau Langkawi, seperti dikatakan oleh Abdullah Hussain (1985:12) banyak terdapat orang Aceh. Kedatangan mereka beramai-ramai terutama ke Pulau Langkawi dan Yan terjadi ketika Belanda menguasai bandar-bandar dan pekan-pekan di Aceh. Kemudian diikuti dengan kedatangan anak-anak muda Aceh yang suka bertualang.
Sebenarnya dari dahulu orang Aceh mengaku dirinya keturunan Melayu yang telah banyak bercampur dengan bangsa-bangsa lain seperti India, Arab, Parsi dan Turki serta dengan suku-suku bangsa lain di Indonesia. Hal yang demikian tercermin dalam ungkapan tentang panggilan kepada orang di Aceh, yaitu:
Aceh Teungku, Melayu Abang
Cina Toke, Kaphe Tuan
Artinya
Teungku panggilan untuk orang Aceh
Abang panggilan untuk orang Melayu
Toke panggilan untuk orang Cina
Tuan panggilan untuk orang Belanda (Eropah)
Orang Cina yang sejak dahulu umumnya adalah saudagar (toke) bagi orang Aceh adalah orang asing, sama halnya dengan orang kulit putih (Eropah) terutama orang Belanda yang dianggap sebagai kafir. Panggilan untuk orang Melayu mengandung arti saudara, yaitu orang Melayu dianggap bersaudara dengan orang Aceh (bukan sebagai orang asing dengan orang asing).
Kesimpulannya, bahwa masyarakat Aceh pada hakekatnya adalah masyarakat yang plural atau majemuk. Karena itu kebudayaan Aceh juga bersifat majemuk, sebagaimana kenyataan bahwa di wilayah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sekarang ini terdapat 8 macam etnis yang satu sama lain berbeda dalam bahasa dan adat istiadat. Etnis yang dimaksud adalah sbb:
1. Etnis Aceh, yang dikenal dengan sebutan orang Aceh, yang tergolong terbanyak. Mereka berbahasa Aceh, dan pada umumnya tinggal di sepanjang pesisir Aceh, terutama sepanjang pesisir Utara, Timur dan Barat.
2. Etnis Gayo, yang tinggal di Kabupaten Aceh Tengah. Mereka memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Gay.
3. Etnis Alas (Gayo Luwes) yang tinggal di daerah Aceh Tenggara (berbatasan dengan Gayo). Bahasanya hampir sama dengan bahasa Gayo.
4. Etnis Tamiang, yang tinggal di Kabupaten Aceh Tamiang (dulu termasuk dalam Kabupaten Aceh Timur) yang berbatasan dengan Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Orang Tamiang berbahasa Melayu, hampir sama dengan Melayu Deli.
5. Etnis Aneuk Jamee, di daerah Aceh Selatan dan sebagian di Aceh Barat. Mereka berbahasa dengan dialek Aneuk Jamee, sama dengan bahasa Minangkabau.
6. Etnis Simeulu, tinggal di Pulau Simeulu, menggunakan bahasa Simeulu.
7. Etnis Kluet, tinggal di Aceh Selatan, terutama di daerah di Kecamatan Trumon. Mereka menggunakan bahasa Kluet.
8. Etnis Singkil, tinggal di Kabupaten Aceh Singil (dulu bagian dari Kabupaten Aceh Selatan). Mereka berbahasa dengan dialek Singkil.
Masyarakat dari semua etnis tersebut selain menggunakan bahasa sendiri, mereka pada umumnya juga menggunakan bahasa Aceh dan bahasa Indonesia (Melayu), sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan sebagai warga bangsa, dan bahasa Aceh menjadi bahasa persatuan sebagai orang Aceh. Demikian pluralisme masyarakat dan budaya tidak menjadi penghalang bagi persatuan.
4. Budaya Melayu-Aceh dalam Era Globalisasi
Berbicara mengenai identitas budaya Melayu dalam era globalisasi sekarang ini, adalah perlu pula dipikirkan mengenai bagaimana mempertahankan identitas budaya Melayu itu, termasuk budaya Melayu-Aceh. Budaya Melayu-Aceh adalah budaya tradisional, bukan budaya masyarakat Aceh dalam era globalisasi sekarang ini. Persoalannya ialah bagaimana mempertahankan nilai-nilai budaya tradisional dari pengaruh budaya asing yang memiliki potensi untuk menghilangkan identitas budaya Melayu-Aceh tradisional itu.
Adalah kenyataan bahwa sekarang ini banyak nilai-nilai tradisi yang sudah ditinggalkan, malah generasi muda Aceh sekarang umumnya tidak mengenalnya lagi. Penyebabnya karena, disatu pihak sangat gencar pengaruh budaya asing melalui multimedia, dan budaya itu semakin digemari oleh generasi muda. Dipihak lain memang masih sangat kurang upaya untuk memperkenalkan adat Aceh dan menanamkan nilai-nilai tradisi yang bersifat positif kepada generasi muda baik melalui pendidikan dalam keluarga maupun melalui sekolah dan contoh teladan dalam masyarakat. Misalnya nilai-nilai budi bahasa seperti sikap sopan santun yang dahulu sangat diamalkan, sekarang ini sudah kurang diperhatikan oleh generasi muda.
Bersikap menolak atau menutup diri dari pengaruh budaya asing dalam dunia global sekarang ini bukan saja tidak mungkin, tetapi juga merupakan suatu sikap yang dapat membuat masyarakat dan budaya Melayu (Melayu-Aceh) menjadi terisolir dan kerdil perkembangannya. Sama halnya kalau sikap itu sebaliknya, yaitu melupakan semua nilai tradisi dan lebur dalam pengaruh budaya asing yang pada umumnya tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami, karena dengan bersikap demikian bukan saja tradisi akan mati, tetapi orang Aceh akan tercabut dari akar budayanya dan hilang identitasnya sebagai orang Aceh, sebagai orang Melayu yang berbudaya Islami. Barangkali sikap yang lebih tepat ialah sikap membuka diri untuk terjadinya difusi budaya, terutama dengan budaya Barat, sambil melakukan upaya-upaya pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya tradisi. Dengan demikian diharapkan masyarakat Melayu dapat mencapai kemajuan dengan tetap terjaga identitas masyarakat dan budayanya. Hal demikian mungkin dilakukan karena budaya Islam bersifat dinamis. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa terjadinya difusi budaya asing dengan budaya Melayu tidak menyebabkan budaya Melayu tradisional yang Islami itu menjadi hilang, malah dapat meningkatkan kemajuan kebudayaan Melayu itu sendiri. Sehubungan dengan pengaruh budaya Barat terhadap budaya Melayu, Mahathir Mohamed (1991:3) mengatakan sebagai berikut:
“Walau dikalahkan oleh tamadun Barat, dan ada aspek-aspek tertentu dari tamadun Barat yang mengambil tempat sebagai sebahagian daripada tamadun Melayu, kita harus bersyukur karena tamadun Melayu tidak hilang kesemua ciri-cirinya. Tamadun Melayu tidak luput dan tidak mati. Ia masih hidup dan kadang-kadang sukar untuk mencari persamaan antara tamadun Melayu sekarang dengan tamadun Melayu yang dikatakan asli di zaman gemilang dahulu.”
Yang perlu diperhatikan ialah bahwa melestarikan budaya tradisi masa lampau itu bukan dengan tujuan untuk mengembalikan kegemilangan masa lampau, tetapi adalah untuk menjaga identitas masyarakat dan budaya Melayu. Karena yang lebih penting ialah memajukan masyarakat dan budaya Melayu. Sudah tentu bahwa nilai-nilai itu tradisi tidak semuanya baik, mungkin karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan mungkin juga karena setelah dikaji ulang ternyata nilai-nilai itu tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami. Jadi nilai-nilai budaya tradisi Melayu, termasuk Melayu_Aceh, banyak yang masih perlu dinilai kembali, dan upaya penilaian kembali budaya tradisi itu adalah dalam rangka menjaga identitas masyarakat dan budaya Melayu serta membawanya kepada kemajuan dan kegemilangan. Orientasi ke masa depan adalah sangat perlu dalam mewujudkan sebuah beradaban yang gemilang.
Daftar Pustaka
A. Hasjmy. 1977. Sumbangan Kesusasteraan Aceh dalam Pembinaan Kesusasteraan Indonesia. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Darwis A. Soelaiman. 1991. Aceh Dalam Konteks Dunia Melayu (dalam Mohd. Yusof Hasan, Dunia Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Ismail Hamid. 1991. Masyarakat dan Budaya Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hanapi Dollah. 1995. Kebudayaan Melayu di Ambang Abad Baru, (dalam Hanapi Dollah dan Lokman Mohd. Zen, Kebudayaan Melayu di Ambang Abad Baru: Satu Himpunan Makalah). Jabatan Persatuan Melayu, UKM.
Ismail Hussein. 1991. Malaysia dan Indonesia sebagai Wilayah Induk Dunia Melayu, (dalam Mohd. Yusof Hasan, Dunia Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mahathir Mohamed. 1995. Kegemilangan Tamadun Melayu: Warisan dan Cabaran Abad Ke 21 (dalam Hanapi Dollah dan Lokman Mohd. Zen, Kebudayaan Melayu di Ambang Abad Baru: Satu Himpunan Makalah). Jabatan Persatuan Melayu, UKM.
Mohd. Taib Osman. 1988. Bunga Rampai Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Muhammad Said. 1961. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Penerbit Pengarang Sendiri.
Snouck Hurgronje. 1985. Aceh di Mata Kolonialis (terjemahan dari The Achehnese). Jakarta: Yayasan Soko Guru.
Teuku Ibrahim Alfian. 2003. Proses Perkembangan Bahasa Jawi di Samudera Pasai Menjadi Bahasa Nasional Indonesia, dalam “Warisan Budaya Melayu-Aceh”. Banda Aceh: Pusat Studi Melayu-Aceh.