Kebudayaan-kebudayaan yang merupakan peninggalan masa lampau dapat berwujud fisik dan nonfisik. Kebudayaan yang berbentuk fisik adalah candi, prasasti, dan naskah lama yang biasa ditemukan dalam bentuk warisan kebudayaan. Adapun kebudayaan yang berbentuk nonfisik adalah nilai-nilai budaya, seperti tata karma, adat istiadat, norma-norma kehidupan, dan lain-lain.
Naskah tulisan tangan adalah salah satu bentuk warisan kebudayaan Indonesia yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan klasik lainnya, seperti candi dan prasasti. Hal ini selain karena bentuk tampilan yang kurang menarik,juga disebabkan keberadaannya yang pada umumnya tersimpan di lemari-lemari penduduk dan museum, serta sulit mengetahui maknanya tanpa penelaahan dengan disiplin ilmu khususnya. Ilmu khusus yang dapat menelaah naskah tulisan tersebut yaitu ilmu filologi. Filologi dapat diartikan sebagai cinta pada ilmu dengan objek penelitiannya naskah. Tujuan filologi adalah untuk menemukan bentuk asal dan bentuk mula teks dan mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Naskah dapat diartikan sebagai semua bentuk tulisan tangan nenek moyang kita pada kertas, lontar, dan kulit kayu yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. Naskah kuno yang merupakan karya sastra klasik dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu prosa dan puisi (drama tidak dikenal dalam sastra Melayu klasik). Prosa sastra Melayu klasik lazim disebut hikayat karena pada umumnya judul prosa sastra Melayu klasik didahului dengan kata hikayat. Jenis karya sastra yang termasuk puisi adalah mantra, pantun,peribahasa, syair, gurindam, talibun, dan lain-lain (Djamaris 1990:12).
Adapun penelitian ini, peneliti akan mencoba meneliti naskah kuno yang ada di Cangkuang. Ada tiga keunikan ketika berkunjung ke Candi Cangkuang. Cangkuang sendiri adalah nama sebuah pohon yang ada di kampung Pulo. Secara kebetulan pula, nama Cangkuang menjadi nama sebuah desa yang ada di kecamatan Leles, kabupaten Garut. Apa keunikan tersebut? Bagi yang sering atau pernah berkunjung ke desa Cangkuang, paling tidak mereka akan menemui atau menjumpai warisan budaya berkat peninggalan para pendahulu kita. Diantaranya, candi Cangkuang, makam Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad dan rumah adat kampung Pulo.
Bagi seorang peneliti masalah kebudayaan, atau seorang Filolog, ketiga keunikan tadi serasa balum puas kalau belum berkunjung ke Musium yang berhadapan dengan makam Arif Muhammad. Di dalam museum itu terdapat beberapa naskah kuno berupa hasil karya yang disinyalir ditulis oleh Arif Muhammad. Naskah menurut Dipodjojo (1996:7) ialah segala hasil tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan cipta, rasa, dan karsa manusia yang hasilnya disebut hasil karya sastra, baik yang tergolong dalam arti umum maupun dalam arti khusus yang semuanya merupakan rekaman pengetahuan masa lampau bangsa pemilik naskah.
Naskah-naskah itu diantaranya; khutbah jumat yang terbuat dari kulit Kambing, kitab Fiqih, khutbah idul fitri terpanjang di Indonesia, serta Al-quran. Dan ketiganya terbuat dari kayu saih.
Arif Muhammad Sang Pembaharu
Disebuat pembaharu karena memang beliau telah melakukan perubahan-perubahan selama da’wahnya di daerah kampung Pulo dengan tidak menghilangkan corak khas adat sebelumnya (Hindu). Menurut beberapa literature, Arif Muhammad adalah seorang panglima perang dari kerajaan Mataram. Beliau diutus oleh sultan Agung untuk mengusir penjajah di Batavia. Sekitar tahun 1645, Arif Muhammad memutuskan untuk berangkat ke Batavia dengan misi mengusir penjajah. Tapi ternyata usaha itu tak membuahkan hasil. Arif Muhammad beserta rekan berhasil ditaklukkan musuh.
Dengan kekalahan itu, Arif merasa kecewa dan tertekan. Ia takut untuk pulang ke daerah asalnya karena menghindari ancaman dari sang Sultan. Jika sultan tahu bahwa Arif dan pasukannya kalah, maka Ia akan mengancam membunuhnya. Akhirnya, Arif Muhammad mengasingkan diri ke tanah Pasundan. Tepatnya Garut. Selain pengasingan, ada tujuan lain, yaitu menyebarkan ajaran islam di Tatar Sunda. Tambak Baya lah da’wah pertama kali dilakukan.
Setelah sekian tahun menyebarkan Islam di Tambak Baya, akhirnya Arif Muhammad memutuskan untuk pindah ke desa cangkuang. Da’wah di Tambak Baya diteruskan oleh sang adik.
Di desa cangkuang lah Arif Muhammad menetap. Tepatnya di kampung Pulo yang dibelah oleh sebuah situ. Awal kedatangan beliau di kampung Pulo, masyarakatnya masih banyak menganut animisme, dinamisme dan Hindu. Setelah beberapa tahun, akhirnya da’wah itu pun membawa hasil meski tidak semua ajaran yang lama dihilangkan.
Kampung Pulo: Simbol Penuh Makna
Untuk mendukung da’wah beliau, beliau bukan hanya meninggalkan ajaran spiritual bagi warganya, tapi Arif Muhammad juga meninggalkan beberapa warisan. Warisan itu; Enam rumah dan Satu mushala. Jadi ada tujuh bangunan di kampung Pulo. Enam rumah menandakan bahwa beliau mempunyai enam orang anak perempuan. Sedangkan Satu mushala menandakan anak laki-laki beliau. Rumah pun ukuran dan bentuknya sama, letaknya pun berderet dan saling berhadapan. Tiga rumah berderet sebelah selatan menghadap tiga rumah lainnya di sebelah utara. Selanjutnya di ujung barat terletak Mushala yang ikut membelah deretan rumah tersebut. Rumah-rumah itu pun memiliki ruang yang sama. Masing-masing memiliki serambi, satu kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar tamu, dapur, serta gudang.
Setiap rumah yang ada di kampung Pulo hanya dihuni oleh satu kepala keluarga. Bila ada anggota keluarga mereka yang menikah, maka dalam waktu yang relatif singkat yaitu dua minggu mereka harus segera meninggalkan kampung itu. Ada hal menarik lagi yang perlu diketahui, bahwa, jika ada kepala keluarga meninggalkan hak waris, maka hak itu jatuhnya kepada pihak perempuan. Ini terjadi karena ada sifat matrilineal yang mengikat adat kampung mereka.
Secara tak sengaja, ketika penelitian ini dilakukan, jumlah penduduk kampung Pulo ada dua puluh dua (22) orang. Sebelas (11) laki-laki, dan sebelas (11) perempuan. Sebagian penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Ada juga yang berprofesi sebagai penarik Getek (semacam perahu terbuat dari bambu). Tapi sekarang, setelah zaman berubah, dan setelah kampung Pulo resmi menjadi objek wisata, mata pencaharian mereka beragam. Ada yang berdagang di sekitar kampung itu, bahkan ada yang berprofesi sebagai PNS. Untuk sekarang pun masyarakat kampung pulo sudah lebih terbuka. Dan ternyata menurut informasi, bahwa pada pemilu legislatif 2009, masyarakat adat kampung Pulo berduyun-duyun ke TPS untuk mencontreng.
Ada lagi yang membuat penelitian ini semakin menarik. Ternyata di kampung Pulo ada peraturan atau pantangan yang unik yang tidak boleh dilanggar oleh penghuninya maupun para pengunjungnya. Jika mencoba melanggar, ada adat pamali (istilah melanggar pantangan). Peraturan atau pantangan itu diantaranya;
Pertama, Pada saat berziarah ke makam Mbah Dalem Arif Muhammad, khususnya, para peziarah diharuskan membawa peralatan. Peralatan itu; Bara api, kemenyan, minyak wangi, bunga-bungaan serta cerutu. Dan salah satu kegunaannya adalah untuk mendekatkan diri kepada roh leluhur.
Kedua, Dilarang berziarah pada hari Rabu. Bahkan waktu dulu, masyarakat kampung Pulo juga dilarang bekerja berat pada hari itu. Selain itu, Mbah Dalem Arif Muhammad tidak mau menerima tamu pada hari itu. Alasannya, karena pada hari itu dikhususkan untuk mengajarkan agama. Jika ada yang mencoba melanggar, menurut kepercayaan mereka, akan ada malapetaka.
Ketiga, Bentuk atap dari rumah-rumah adat yang ada di kampung pulo selamanya harus memanjang atau berbentuk jolopong.
Keempat, Dilarang menabuh gong besar. Ini terkait peristiwa masa silam, ketika Arif Muhammad akan melangsungkan hajatan besar berupa sunatan untuk anak laki-lakinya. Untuk memeriahkannya, ditabuhlah sebuah gong besar. Tapi secara tiba-tiba, ketika pesta itu berlangnsung, angin yang begitu amat dahsyat memporakporandakan sekitarnya. Karena tandu tempat pengantin sunat yang ditempati anak beliau ikut tersapu angin, maka anak Arif Muhammad akhirnya tewas. Sejak peristiwa itu, dengan kebijakan beliau, maka siapa saja yang menabuh gong besar akhirnya dilarang sampai sekarang.
Kelima, Dilarang memelihara hewan besar berkaki empat. Seperti sapi, kerbau, kambing, kuda, dan lainnya. Larangan ini berdasarkan pertimbangan untuk melestarikan alam sekitar dan menjaga dari kebersihan makam-makam yang ada di sekitarnya. Juga untuk menghindari agar kampung itu jauh dari kotoran ternak.
Keenam, Setiap tanggal 14 bulan Mulud, penduduk kampung Pulo menggelar ritual memandikan benda-benda pusaka. Seperti; keris, batu aji, serta peluru. Menurut keparcayaan masyarakat kampung Pulo, bahwa benda-benda itu membawa berkah.
Mbah Dalem Dan Karya Tulisnya
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa Arif Muhammad bukan hanya mewariskan ajaran spiritulnya tentang islam dan rumah khas kampung Pulo, tetapi beliau juga mewariskan beberapa karyanya berupa teks tertulis. Menurut Baried(1983:4) teks adalah sesuatu yang abstrak.
Teks filologi ada yang berupa teks lisan dan teks tulisan. Teks lisan yaitu suatu penyampaian cerita turun-temurun lalu ditulis dalam bentuk naskah. Naskah itu kemudian mengalami penyalinan-penyalinan dan selanjutnya dicetak. Teks tulisan dapat berupa tulisan tangan (yang disebut naskah) dan tulisan cetakan.
Beberapa karya tulis yang ditulis Arif Muhammad itu berupa khutbah jumat (terbuat dari kulit kambing), kitab fiqih, khutbah idul fitri (disinyalir terpanjang di Indonesia), serta Al-Quran.
Pada penelitian kali ini, peneliti mencoba meneliti teks tulisan yaitu Al-Quran. Teks Al-Quran yang ada di museum kampung Pulo yang ditulis oleh Arif Muhammad kira-kira ditulis sekitar abad ke-17 M. Al-Quran tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Ukurannya 24×33 cm, dan ukuran teksnya 16×33 cm.
Setelah diperhatikan ternyata Al-Quran itu terbuat dari kayu saih. Yang ditulis dengan menggunakan dua tinta, yaitu merah dan hitam. Tinta merah digunakan untuk menandai nama surat, sedangkan tinta hitam digunakan untuk teks Al-Quran. Menurut keterangan, bahwa tinta merah itu berasal dari serat buah manggis.
Al-Quran yang diteliti ini hanya memuat 22 surat dan terdiri dari 9 juz. Dimulai dengan surat An-Nahl dan diakhiri surat Shad. Memiliki 143 halaman terdiri dari 12 kuras. Sebenarnya bentuk Al-Quran ini sudah lapuk dan lusuh serta disetiap halamannya terdapat bolong-bolong akibat dimakan rayap dan usia. Judul dan jilidnya pun rusak dan tak terbaca.
Sampai penelitian ini berlangsung, perawatan seluruh naskah yang ada masih menggunakan cara-cara tradisional. Misalnya masih menggunakan silica gel, dibersihkan dengan kuas dan rempah-rempah yang digerus untuk mencegah munculnya jamur-jamur bandel.
Referensi :
Djamaris, Edwar. 1991. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Pusat Pengembangan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Lubis, Nabila. 2001. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Penerbit Yayasan Media Alo Indonesia.
Baried, Baroroh. 1983. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pengembangan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sumber : http://duniakatakata.wordpress.com
Photo : http://wijna.web.id