Kisah 6 Rumah di Kampung Pulo

Selain candi, makam keramat, dan perjalanan menggunakan rakit di atas danau, yang tak kalah menarik dari cagar budaya Situ Cangkuang adalah keberadaan kampung adat bernama Kampung Pulo. Di kampung yang dibangun oleh Embah Dalem Arif Muhammad pada abad ke-17 itu terdapat enam rumah dan satu musala. Bukan hanya bentuk, posisi rumah panggung yang berukuran sama itu pun cukup unik. Tiga rumah dibangun berderet di sebelah utara menghadap selatan, tiga lainnya di sebelah selatan menghadap utara sehingga tampak sebagai tiga pasang rumah yang saling berhadapan. Di depan rumah terdapat halaman yang cukup luas, sedangkan musala dibangun di ujung sebelah barat.

Saat ini, ada enam kepala keluarga yang mendiami keenam rumah tersebut, dengan kampungjumlah penghuni seluruhnya mencapai 30-an orang. Penempatan penghuni pun diatur sedemikian rupa. Misalnya Pak Iri Kuncen, yang sekarang menjabat kuncen Kampung Pulo, menempati rumah nomor satu, dengan posisi di barisan selatan paling timur, persis di samping kiri gerbang masuk. Dua rumah lain yang sederet dengan rumah Pak Iri Kuncen adalah rumah keluarga Pak Iri (bukan kuncen) dan Pak Umar. Rumah mereka berhadapan dengan rumah keluarga Ny. Ijah, Pak Uju, dan Pak Cucu S.

Keenam rumah itu memiliki ukuran dan pembagian ruangan yang sama, yakni terdiri atas serambi muka (tepas) dengan ukuran 5,67 x 2,50 meter, satu ruang tamu berukuran 3,47 x 5 meter, satu kamar tidur, dan satu kamar tamu dengan ukuran sama yakni 2,83 x 2,50 meter, dapur seluas 2,20 x 5 meter, dan gudang (goah) berukuran 1,20 x 1,60 meter. Dari enam rumah itu, hanya satu rumah yang masih beratap ijuk, sedangkan lima lainnya menggunakan atap genting meski tanpa kaca.

Konon, jumlah bangunan di Kampung Pulo tak pernah bertambah atau berkurang. Menurut Zaki Munawar dalam bukunya Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya, hal itu terkait aturan yang ditetapkan oleh Arif Muhammad. Ketika Arif Muhammad meninggal dunia, ia meninggalkan tujuh orang anak, masing-masing enam orang perempuan dan seorang laki-laki. Berdasarkan aturan yang ditetapkan kala itu, setiap anak perempuan harus tinggal dan menguasai rumah, sedangkan anak laki-laki dan sudah menikah, paling lambat dua minggu setelah menikah, ia harus pergi keluar dari Kampung Pulo.

Jika salah satu keluarga tidak memiliki anak perempuan, rumah itu diwariskan kepada saudara perempuannya yang telah menikah. “Tapi, bukan berarti setelah keluar dari Kampung Pulo anak laki-laki tidak boleh kembali ke sini. Biasanya setahun sekali, khususnya Lebaran, saudara-saudara saya yang di menetap di Bandung, Jakarta, bahkan Jawa, pulang dan berkumpul di sini,” kata Ny. Ijah.

Menurut Ny. Ijah, keluarganya memang berusaha mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur mereka. Meski demikian, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, selain bekerja sebagai petani atau berdagang, sebagian penghuni Kampung Pulo juga bekerja di luar daerah. Anak-anak juga bersekolah di luar Kampung Pulo. “Yang kita pertahankan hanyalah adat di sini, tetapi kalau untuk sekolah dan cari kerja, sebagian pergi keluar,” kata Ny. Ijah menambahkan.

Selain makam Embah Dalem Arif Muhammad, sejumlah makam di Kampung Pulo juga dikeramatkan, seperti makam Sunan Pangadegan, Wiradijaya, Wirabaya, Prabu Santosa, dan Mayagatrek. Mereka adalah orang-orang asal Cirebon yang membantu Embah Dalem Arif Muhammad saat menyebarkan agama Islam dan membangun Kampung Pulo. Makam-makam mereka yang lokasi berpencar-pencar itu pun sering dikunjungi para peziarah.

Sebagai lokasi wisata ziarah, Kampung Pulo bisa disebut milik dua agama, Islam dan Hindu. Tidaklah mengherankan jika para wisatawan yang datang ke sana, termasuk para peziarah, berasal dari penganut dua agama tersebut. Meski demikian, berziarah ke Kampung Pulo tidaklah sembarangan. Ada beberapa ketentuan adat yang masih dipertahankan hingga sekarang. Ketentuan itu berlaku bagi pengunjung atau peziarah.

Pertama, saat berziarah ke makam-makam yang ada di Kampung Pulo, khususnya makam Embah Dalem Arif Muhammad, harus membawa baraan api, kemenyan, minyak wangi, bunga-bungaan, dan cerutu. Menurut kepercayaan setempat, hal itu untuk mendekatkan diri kepada roh-roh leluhur karena benda-benda tersebut merupakan kegemaran mereka semasa hidup.

Kedua, dilarang berziarah pada hari Rabu. Bahkan di masa lalu, setiap hari Rabu, warga Kampung Pulo juga dilarang bekerja berat pada hari Rabu. Sementara itu, Embah Dalem Arif Muhammad tak mau menerima tamu pada hari Rabu karena pada hari itu digunakan untuk mengajarkan agama. Menurut kepercayaan setempat, jika larangan itu dilanggar, akan muncul malapetaka.

Ketiga, bentuk atap rumah selamanya harus memanjang atau dalam bahasa Sunda berbentuk jolopong. Keempat, tidak boleh menabuh gong besar. Dua larangan ini konon terkait sebuah peristiwa di masa lalu. Ketika Embah Dalem Arif Muhammad akan mengkhitan anak laki-laki, sebelumnya diadakan pesta yakni dengan menandu anak yang akan dikhitan dengan jampana atau tandu/rumah-rumahan beratap jure. Sebagai hiburannya, ditabuhlah gong besar. Ketika pesta itu berlangsung, tiba-tiba bertiup angin topan dengan kencangnya, menghantam tandu pengantin sunat hingga terbang dan terjatuh. Anak itu pun meninggal.

Keempat, dilarang memelihara ternak besar berkaki empat seperti kambing, sapi, kerbau, dan lain-lain. Larangan itu didasarkan atas pertimbangan untuk melestarikan tanaman di Kampung Pulo dan menghindari agar kampung itu tidak dikotori oleh kotoran ternak, mengingat di sana banyak makam keramat. Kelima, tiap tanggal 14 Mulud mereka menggelar upacara adat memandikan benda-benda pusaka seperti keris, batu aji, peluru dari batu. Benda-benda tersebut dipercaya membawa berkah.

Sebagai salah satu kawasan wisata, tentu saja, warga Kampung Pulo yang menempati enam rumah adat dalam sebuah komunitas terbatas itu sangat terbuka terhadap masuknya orang-orang dari luar kawasan itu. Sebagai tuan rumah, penghuni enam rumah itu tentu saja harus rela dan dengan tangan terbuka menerima siapa pun yang berkunjung ke sana.

Dari situlah terjadi proses dialog sosial secara terbuka, yang disadari atau tidak, menciptakan hubungan saling memberi. Di satu sisi, melalui dialog sosial tadi, pengunjung mendapatkan banyak informasi seputar kehidupan warga di Kampung Pulo. Di sisi lain, sebagai tuan rumah, warga Kampung Pulo menyerap berbagai nilai yang masuk ke lingkungan mereka. Pada gilirannya, seiring dengan waktu, akan memengaruhi keyakinan mereka dalam memaknai pesan-pesan moral dan ajaran bijak yang diwariskan oleh para leluhur mereka.

Akankah mereka tetap bertahan dengan adat istiadat lama? Atau sebaliknya, secara perlahan, mereka akan membuang nilai-nilai lama karena tak kuat menahan godaan nilai-nilai baru dari luar? Entah-lah. Yang pasti, keenam rumah adat itu kini masih berdiri kokoh di Kampung Pulo dan sangat pasti dari dalam kehidupan penghuninya bakal banyak kisah menarik untuk dikaji.(Sumber : PR)

Sumber : http://bandung.petawisata.com