Situ Gintung di Festival Tari Bandung

Bandung - Ketika tubuh membaca alam dan memaknai kejadian sekitarnya, boleh jadi gerakannya menjadi kurang elok. Keindahan gerak seperti tenggelam oleh kenyataan hidup yang getir, keras, dan terkekang aturan manusia. Juga hukum alam ketika murka. Lihatlah Sadrah, karya koreografer Yenny Yuanita yang ikut menari bersama Wina sepanjang enam menit.

Tampil mengawali pentas Bandung Dance Festival yang digelar Jumat (22/5)- Sabtu (23/5) malam, di Gedung Kesenian Sunan Ambu Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung, kedua mahasiswa jurusan tari sekolah seni tersebut mengisahkan tragedi Situ Gintung, Tangerang.

Di buka dengan isak tangis, tubuh keduanya lalu jatuh bangun, limbung, terhempas maju, juga tertohok mundur. Suara laporan berita bobolnya tanggul terselip. Suasana mencekam itu dipungkasi derita trauma korban setelah bencana.

Tongtolang yang muncul berikutnya, berangkat dari narasi lagu. Bercerita masalah keseharian rumah tangga tentang kekerasan, selibat, dan pelacuran, tiga monolog ikut menguatkan arti tariaan ciptaan Atang Supriatna yang dimainkan para penari Sanggar Obor Sakti dari Bogor. Bak opera, penari bersama sekelompok musisi dan juru kawih yang duduk di bawah menghadap panggung, mengiringi pementasan 15 menit itu dengan nyanyian berbahasa Sunda secara langsung.

Tiba giliran Alfyanto yang memilih tampil solo. Pendiri Wa Ji Wa Bandung Dance Theatre itu mengusung garapannya sendiri yang berjudul Matriarchat. Memaksimalkan olah tubuh dan menguatkan pemakaian tongkat dan kain penutup sebagai simbol, penari berdarah Minang tersebut mengangkat kuatnya hukum adat berdasarkan garis ibu. Hingga tua, kekuasan para pemimpin suku menjadi ompong atas harta pusaka.

Puncak festival di hari pertama malam itu dan telah banyak ditunggu penonton yang memenuhi gedung pertunjukan, siapa lagi kalau bukan Eko Supriyanto. Lewat penampilan penari Solo Dance Studio, koreografer jebolan Institut Seni Indonesia Surakarta itu menyuguhkan Without Body. Memadukan tarian kontemporer dan balet sepanjang 30 menit, sajian itu memikat dengan cahaya minim.

Permainan lampu bawah dari pojok-pojok dan tengah panggung, mengesankan lenyapnya tubuh, tapi tidak gerakannya. Karya terbaru bekas penari latar Madonna pada 2001 itu berhasil menonjolkan puitisasi gerak dan mengenyahkan tubuh sebagai subyek sorotan dan pemaknaan.

Menurut pengamat tari dari STSI Bandung FX Widaryanto, seluruh penampil menjadikan tubuh sebagai pembawa pesan kejadian alam dan gerak manusia yang menggugah kesadaran penonton. “Tidak hanya untuk seni,” katanya.

Karya Eko Supriyanto, misalnya, mengingatkan orang atas gerakan tubuh yang sering tidak disadari seperti gerak tangan saat berjalan atau ketika berbicara dengan telepon seluler. Seperti ritual yang dilakukan orang-orang dulu, imbuhnya, gerakan itu ujung-ujungnya terhubung ke Tuhan.

Di hari kedua festival, Sabtu (23/5) malam, masih akan tampil Miss Cat Art Bandung, Studio Titik Dua Ciamis, Kampung Seni Manglayang, penari I Nyoman Sura, dan Agung Gunawan Dance Yogyakarta.

Sebelum pertunjukan, panitia menggelar workshop tari bersama Eko Supriyanto dan peragaan belasan busana. Seluruh mode pakaian perempuan dari bahan-bahan bekas dan daur ulang itu hasil rancangan mahasiswi tata busana jurusan seni rupa STSI Bandung. ANWAR SISWADI

Sumber:
http://www.tempointeraktif.com