Bahasa Kita dalam Era Globalisasi

Oleh: Abdul Malik
Dekan FKIP Universitas Maritim Raja Ali Haji Kepulauan Riau

Hari ini, delapan puluh tahun yang lalu (28 Oktober 1928—28 Oktober 2008), para pemuda kita menggoreskan tinta emas dalam sejarah kita sebagai bangsa. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda mereka mengikrarkan sumpah yang sangat sakti: mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; bertanah air satu, tanah air Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Sumpah itu memang terbukti sakti. Dalam waktu kurang dari tujuh belas tahun sesudah peristiwa keramat itu, bangsa kita sudah dapat memproklamasikan kemerdekaan. Padahal, sebelum itu kita sudah berjuang tiga ratus tahun lebih untuk menghapuskan penjajahan dari bumi nusantara ini. Kenyataan itu menyiratkan amanat pada kita sampai bila-bila masa pun bahwa dalam suasana apa pun kita dan betapa berat pun ujian yang kita hadapi sebagai bangsa, persatuan dan kesatuan haruslah di atas segala-galanya.

Dengan peristiwa Sumpah Pemuda yang menggantikan nama Bahasa Melayu dialek baku Kepulauan Riau menjadi Bahasa Indonesia itu, berarti pula bahwa sudah delapan puluh tahun bahasa kita (baca: Bahasa Indonesia) menjadi induk kebudayaan Indonesia. Itulah sumbangan utama Kepulauan Riau yang amat penting kepada republik ini. Dengan sumbangan itu kita dapat mempersatukan bangsa yang kita cintai ini dan dengan bahasa persatuan itulah keberadaan kita sebagai bangsa Indonesia dapat dibedakan dari bangsa mana pun di dunia ini.

Capaian yang Menggembirakan

Bahasa persatuan kita sudah mengalami pelbagai kodifikasi. Sebagai hasil kodifikasi bahasa Indonesia, sudah banyak capaian yang menggembirakan kita selama ini. Dalam bidang ortografi, kita sudah memiliki ejaan baku. Bahkan, Ejaan bahasa Indonesia merupakan satu di antara yang terbaik di dunia (syaratnya satu bunyi dilambangkan dengan satu huruf). Kita pun sudah memiliki buku tata bahasa baku dan kamus istilah pelbagai bidang ilmu.

Kita juga sudah menghasilkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi pertama terbit kali pertama pada 1988, edisi kedua 1991, dan terus dicetak ulang sampai kini). Kamus ini merupakan yang terbesar dibandingkan kamus umum bahasa Indonesia yang terbit sebelumnya. Memang, semua hasil kodifikasi itu tak sunyi dari kritik, tetapi hal itu wajar saja karena kita selalu menginginkan yang relatif lebih baik sejalan dengan keperluan kita berkomunikasi dalam kehidupan yang lebih canggih dalam era globalisasi.

Dalam hal kodifikasi bahasa Indonesia itu, bidang yang masih menjadi perdebatan adalah lafal baku. Setakat ini belum diperoleh kesepakatan tentang lafal baku bahasa Indonesia karena masyarakat pemakainya cenderung dipengaruhi oleh lafal bahasa pertamanya dan/atau lafal bahasa daerahnya. Sebenarnya kita dapat segera mengatasi masalah pedoman lafal baku itu kalau kita kembali ke asal bahasa Indonesia itu sendiri. Adalah wajar kalau lafal penutur asli bahasa Melayu dialek baku Kepulauan Riau dijadikan pedoman lafal baku bahasa Indonesia. Jika tidak, sama halnya dengan menafikan kenyataan yang objektif bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu dialek baku Kepulauan Riau. Karena masyarakat Indonesia ini majemuk, kesan ke arah itu memang cenderung ada. Masalahnya, apakah kecenderungan itu menguntungkan bagi kita sebagai bangsa? Padahal, kenyataan itu ”sudah terang lagi bersuluh”.

Pengalaman yang Menggerunkan

Selain capaian yang menggembirakan yang sudah diperikan sekadarnya di atas tadi, dalam era reformasi dan, bahkan, globalisasi ini kita perlu melihat kelemahan-kelemahan, terutama dalam pemakaian bahasa nasional yang pernah kita alami sebelum ini. Di antara kelemahan utama pemakaian bahasa kita warisan masa Orde Baru itu diperikan berikut ini.

Kelemahan pertama, pada masa Orde Baru bangsa kita kreatif sekali membuat akronim (singkatan yang diperlakukan sebagai kata biasa). Beribu-ribu akronim sudah dibuat dan dipakai orang dalam berkomunikasi. Memang, akronim merupakan gejala yang umum dalam setiap bahasa di dunia ini. Akan tetapi, dalam pemakaian bahasa Indonesia, akronim sudah merambah ke semua sisi kehidupan. Setiap ada gagasan, pikiran, dan/atau konsep yang baru, bahkan juga lama; orang akan mengambil jalan pintas dengan menggunakan akronim. Muncullah lakalantas, curanmor, sembako, balitbang, diklat, depdikbud, dirjenbud, wapres, wagub, ekwasbang, balongub, cekal, Kepri, dan entah apa lagi.

Di antara akronim itu ada yang tak sesuai dengan hukum bunyi bahasa kita. Akibatnya, kita sulit menyebutkan akronim seperti depdikbud, dirjenbud, balitbang, ekwasbang, dan yang sejenis lainnya. Jiran kita di seberang menyindir bahwa bahasa kita sudah seperti bahasa Vietnam. Wah!
Gejala kedua adalah pemakaian bahasa yang eufemistis yakni penghalusan ungkapan.

Eufemisme diterapkan dengan menggunakan ungkapan lengkap dalam bentuk kata atau dengan kependekan. Inilah di antara ungkapan eufemistis itu: bantuan ”utang”, diamankan ”ditangkap”, permainan ketangkasan ”judi dengan alat elektronik”, di-PHK ”diberhentikan”, ditertibkan ”digusur”, WTS ”pelacur”, bahkan KKN ”kolusi, korupsi, dan nepotisme”, sekadar menyebut beberapa contoh.

Akronim dan eufimisme menyebabkan pemakai bahasa tak dapat menghayati ungkapan bahasa dengan perasaan dan pikiran yang wajar. Dengan disebutkan lakalantas kita tak dapat merasakan betapa tragisnya naas di jalan raya itu sehingga kita merasa seperti peristiwa itu biasa saja. Begitu pula, misalnya, dengan ungkapan curanmor kita tak dapat merasakan bahwa perilaku itu termasuk perbuatan biadab.

Ungkapan eufemistis bantuan membius pemakai bahasa sehingga mereka tak sempat memikirkan bagaimanakah penanggungan anak-cucu kelak untuk membayar utang yang kian bertambah itu.

Bahkan, makna ”pelacur” dinetralkan dengan kependekan WTS atau PSK seolah-olah pekerjaan itu disejajarkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Itulah sebabnya, agaknya, pelacuran merambah ke sekutah-kutah kampung dan kota, berbaur dengan kegiatan sehari-hari masyarakat dan tak kunjung dapat diselesaikan.

Secara bergurau saya pernah bertanya kepada beberapa mahasiswa, ”Tahukah Anda apakah sebabnya kita kekuarangan bahan keperluan pokok sekarang?” Dengan cerdas mahasiswa saya menjawab, ”karena pemasokan dan distribusinya tak beres!” Tak mau kalah, saya melanjutkan, ”Bukan itu puncanya. Dulu untuk menyebutkannya kita memerlukan empat kata dengan 27 bunyi, tetapi sekarang cukup satu kata dengan tujuh bunyi, sembako. Tentulah jadi berkurang?”