Konsepsi Patut dalam Melayu

Oleh Ellyzan Katan

Tamadun Melayu mengenal konsepsi tentang patut; posisi ideal suatu peristiwa, kelakuan, dan juga pemikiran. Patut di sini adalah ukuran yang bermain di tengah kehidupan masyarakat dimana di dalamnya mengandung ketentuan ketat antara yang sesuai dengan yang tidak sesuai. Sebagai contoh, pemikiran yang patut bagi seorang Melayu dapat dilihat ketika dia memikirkan suatu rencana kehidupan yang tidak menyinggung orang lain di lingkungan sekitar. Ini dinamakan pemikiran yang patut. Sebaliknya, jika dalam bentuk aksi, individu itu melanggar berbagai nilai dan norma yang telah lama tertanam dalam diri manusia di lingkungannya, itu jelas-jelas tidak patut. Intinya adalah yang tidak menimbulkan pergesekan, konflik di tengah masyarakat, maka dinamakan patut.

Di sini, jika dianalogikan dalam kehidupan sehari-hari, ukuran patut dan tidak patut akan dengan gampang untuk dilihat. Beberapa kasus kecurangan dalam pemilihan kepala daerah misalnya, yang pada ujung-ujungnya menimbulkan rasa tidak senang dari para peserta yang lainnya, juga dapat dikategorikan hal yang tidak patut. Itu adalah ketidak sesuaian antara “yang seharusnya” dengan “yang terjadi”. Dalam kasus kecurangan itu akan melibatkan banyak hujah; alasan yang melatarbelakangi lahirnya perbuatan yang tidak patut.

Namun dengan begitu pula, akan menunjukkan bahwa hingga saat ini, kategori patut dan tidak patut yang dikenal dalam Melayu, menjadi bias. Padahal diakui bahwa dengan mendudukkan kata patut dalam suatu pemikiran yang riil, menuntun kita untuk menghindari konflik. Bukan seperti sekarang, dari sebagian besar kasak kusuk kehidupan perpolitikan di tingkat lokal, justru mengarahkan opini yang ada pada jawaban yang sangat mengejutkan; kita telah lama meninggalkan konsepsi patut ini. Ini lantaran kata patut yang telah berjiwa dan berakar disejajarkan dengan semangat untuk meraih kekuasaan. Jadinya semua serba dangkal akan nilai kekeluargaan. Sementara kekuasaan pula, hanyalah jalan yang dapat melegalkan setiap pemikiran dan tingkah laku dari seorang pemimpin.

Sebelumnya, terlebih dahulu saya ingin menegaskan di sini bahwa bukan maksud saya untuk mematahkan logika berpikir dari setiap orang Melayu dalam memandang ketentuan negara. Padahal pada satu sisi, antara ketentuan yang dikeluarkan oleh negara dengan cara hidup puak Melayu ada kesamaan pandangan yang mesti disadari. Bukankah setiap peraturan perundangan-undangan yang ada diterima oleh setiap puak Melayu tanpa ada sedikit cela pun? Itu tandanya orang Melayu menyadari bahwa dengan adanya kepatuhan itu, segala yang mengarah pada hal-hal yang tidak patut dapat diminimalisir.

Lantas timbul pertanyaan. Termasukkah kasus korupsi di sini? Saya kira itu adalah pertanyaan yang sangat tepat untuk kita katakan sebagai pintu gerbang menuju suatu perubahan, bukan hanya perubahan hukum melainkan juga perubahan sosial.

Korupsi di sini, yang oleh undang-undang lebih ditekankan pada penyalah-gunaan wewenang untuk mengeruk keuntungan baik materi maupun non materi, menyentuh urat nadi kehidupan Melayu. Akibat korupsi kesengsaraan mulai merayap ke mana-mana. Penduduk negeri yang telah merdeka lebih dari setengah abad ini tak juga menemukan jalan lurus untuk meraih kesejahteraan. Padahal negara oleh Khan, mempunyai tugas sebagai penjaga malam. Itu artinya selain mampu memberikan rasa tenang juga harus mampu menyuguhkan kecukupan ekonomis. Namun jika sebaliknya negara tidak mampu untuk menerapkan ide dasar yang telah bersusah payah dilahirkan oleh Khan itu, saya khawatir teori benturan peradaban ala Huntington semakin menunjukkan gejala yang tegas.

Kita di sini, sebagai tamadun Melayu misalnya, masih mempunyai beberapa “alat”- kalau boleh saya berkata demikian- untuk mencari jalan keluar dari pergelutan masalah yang ada. Selain konsepsi patut, tentunya kita mengenal pula pantang larang.

Pantang larang di sini juga menyerupai dengan undang-undang yang dikeluarkan oleh negara. Hanya saja perbedaannya lebih pada tataran kehidupan secara luas. Pantang larang dikenal dalam kehidupan keluarga-keluarga Melayu, sementara peraturan perundang-undangan sebagai suatu produk hukum, mengatur kehidupan manusia untuk berinteraksi baik sesama manusia maupun dengan negara. Yang pasti pantang larang dalam Melayu adalah bentuk-bentuk nilai dan norma yang tak terbantahkan. Saya kira saatnyalah kita kembali mengangkat segala seluk beluk kekayaan kulutural yang masih ada secara tradisional ke tengah kehidupan modern saat ini, tentu saja dengan penyesuaian yang lebih dianggal ideal bagi perkembangan dan kebutuhan zaman

Memang dibutuhkan suatu pemahaman yang khusus untuk dapat mensejajarkan konsepsi patut dan pantang larang dalam Melayu dengan segala leguh legah kehidupan. Ini berarti juga puak Melayu memegang kuat-kuat teraju kultural agamis yang ada.

Jangan melakukan korupsi, itu tidak patut. Jangan berbuat kolusi, itu juga tidak patut. Alasannya masih ada pantang larang yang mesti diperhatikan sebab dengan begitu lahirlah tatanan kehidupan tamadun Melayu yang utuh bernuansa Melayu. Raja Ali Haji, dalam Gurindam Duabelas telah berkata; “Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan. Bukannya manusia yaitulah syaitan.”

Jauh-jauh hari, sang sastrawan besar Melayu itu telah menaburkan rambu-rambu dalam bermasyarakat, dan bernegara. Itu karena dalam kaca mata Melayu, antara patut dan tidak patut, tetap akan mengikut sertakan pantang larang di dalamnya. Sama ada sebagian dari kita masih menyangsikannya, itu urusan lain. Bukan mengapa, sekaranglah bagi kita untuk kembali mengingatkan diri tentang keberadaan nilai-nilai petuah Melayu menjadi wujud nyata untuk bertingkah laku.

Konsepsi patut perlu dikukuhkan lagi. Dengan bertingkah laku patut akan dapat memberikan ketenangan bukan hanya bagi diri pribadi, melainkan juga bagi lingkungan. Seseorang yang bertingkah patut dengan serta merta akan dapat memposisikan diri pada jalur kebaikan- tentu saja ia berada dalam lindungan Tuhan Yang Kuasa.

Nah, jika sudah sampai pada tahap ini, masyarakat tidak perlu khawatir akan terjadinya konflik, baik horizontal maupun vertikal. Semua telah dapat diredam sedemikian rupa. Jadinya kawasan Melayu, sebagaimana dulu pernah diangan-angankan oleh para raja-raja sebagai kawasan yang luas, yang didalamnya dapat memberikan ketenangan lahir dan batin, dapat diwujudkan. Kehidupan mengalir dengan sempurna sesuai kehendak dan harapan.

Saat itu tidak akan lagi dijumpai perselisihan sebab perselisihan telah dipadamkan dengan sendirinya oleh kesadaran akan berkelakuan yang patut. Begitu juga terhadap pertembungan antara kejahatan dan kebaikan, terkikis dengan sendirinya.
Ah, betapa saya kerap membayangkan tamadun Melayu akan menjunjung tinggi kata patut dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Betapa saya selalu menghayalkan puak Melayu menemukan jalannya untuk menumbuhkan kesadaran akan patut dan tidak patut serta keberadaan pantang larang. Mudah-mudahan dengan begitu semua petuah yang terkandung dalam Gurindam Duabelas dapat menjadi bukan hanya sekedar pajangan dilemari kebudayaan belaka, melainkan sebagai petunjuk. Bukankah setiap pekerjaan yang telah benar, tidak akan menimbulkan onar?

Ranai, 23 Oktober 2008

Sumber: http://www.batampos.co.id