Bekasi, seperti halnya daerah lain memiliki sejarah panjang. Berbagai pertempuran pernah terjadi di Bekasi. Maka tak heran, bila Bekasi (kini sebagian besar masuk wilayah kabupaten) mendapat julukan sebagai “Kota Patriot”. Banyak peristiwa bersejarah tergores di daerah yang berbatasan dengan ibukota Jakarta tersebut. Di antaranya, peristiwa “Warung Arneng”, pertempuran “Warung Jengkol” dan pertempuran di Cakung yang dikenal sebagai “Bekasi Lautan Api”.
Seorang penyair kondang Chairil Anwar pernah mencantumkan nama Bekasi dalam sebuah sajaknya bertajuk “Antara Kerawang dan Bekasi”. Sebuah monumen berupa tugu perjuangan, kini berdiri di pusat kota Bekasi dan di sana tertulis sajak Chairil Anwar. Monumen ini, oleh Pemerintah Kota Bekasi, dijadikan sebagai tempat bumi perkemahan pramuka dan sebagai daerah paru-paru kota Bekasi.
Selain tugu perjuangan itu, Bekasi masih menyisahkan dua bangunan bersejarah. Kedua bangunan tersebut sebagai sisa-sisa puluhan bangunan bersejarah. Bangunan bersejarah lainnya habis dibakar saat revolusi fisik.
Bangunan bersejarah itu, kini dikenal dengan sebutan Gedung Tinggi, dahulu dikenal dengan nama Gedung Juang dan Gedung Pakpak. Gedung Juang yang berada di Jalan Hasanuddin Tambun, oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi, dijadikan perkantoran. Demikian juga Gedung Pakpak di Jalan Ir H Juanda, Pemerintah Kota Bekasi juga memanfaatkan sebagai perkantoran.
Gedung Juang bersejarah bangunan kolonial Belanda ini, tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Tambun. Gedung ini merupakan salah satu gedung bersejarah yang turut menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Bekasi saat revolusi fisik. Ketika itu daerah Tambun dan Cibarusah menjadi pusat kekuatan pasukan republik Indonesia (RI).
Akibat serangan bertubi-tubi, pertahanan pasukan Belanda di Bekasi sering ditinggalkan. Mereka kemudian memusatkan diri ke daerah Klender Jakarta Timur. Maka, gedung ini sempat dijadikan sebagai pertahanan di front pertahanan Bekasi- Jakarta.
Dikuasai Tuan Tanah
Setelah pasukan Belanda meninggalkan Bekasi. Gedung Juang yang terdiri dari dua lantai ini, dimiliki dan dikuasai seorang tuan tanah keturunan Cina bernama Kouw Oen Huy. Tuan tanah yang berhasil menguasai ratusan hektare tanah di Kecamatan Tambun, bahkan memiliki perkebunan karet. Ia digelari ‘Kapitaen’.
Ia tidak hanya menguasai tanah di Tambun tapi juga daerah Tekuk Pucung yang jaraknya puluhan kilo meter dari Tambun, termasuk di daerah Cakung, juga menjadi milik tuan tanah ini.
Gedung Juang yang kini menjadi perkatoran milik Pemeritah Kabupaten Bekasi, dibangun dua tahap, tahun 1906 dan tahun 1925. Pada awalnya, di bagian halaman muka Gedung Juang ini, dijadikan taman buah yang diantaranya banyak ditanami pohon mangga yang pada saat itu belum pernah dikenal masyarakat Tambun dan Bekasi.
Tuan tanah Kouw Oen Huy, menguasai bangunan tua ini hingga 1942. Selanjutnya, tahun 1943, bangunan bersejarah tersebut berada di bawah pengawasan pemerintahan Jepang hingga tahun 1945. Tentara Jepang, juga menggunakan bangunan tua ini sebagai pusat kekuatannya dalam menjajah Indonesia.
Pada masa perjuangan kemerdekaan 1945, bangunan yang berlokasi di atas tanah sekitar 1000 meter ini, diambil alih oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) untuk dijadikan sebagai Kantor Kabupaten Jatinegara. Pada masa itu, Bekasi dijadikan sebagai daerah front pertahanan, maka gedung tersebut berfungsi juga sebagai Pusat Komando Perjuangan RI dalam menghadapai Tentara Sekutu yang baru selesai perang dunia ke dua.
Di gedung yang mempunyai monumental ini, perundingan dan pertukaran tawanan perang terjadi. Sebagai lokasi pelaksanaan pertukaran tawanan, dilakukan di dekat Kali Bekasi yang kini tidak jauh dari rumah pegadaian Bekasi. Banyak tentara Jepang meninggal dibantai dan dibuang di Kali Bekasi, membuat setiap tahun tentara Jepang selalu melakukan tabur bunga di kali yang membentang kota Bekasi ini.
Dalam pertukaran tawanan, pejuang-pejuang RI oleh Belanda dipulangkan ke Bekasi, dan tawanan Belanda oleh pejuang RI dipulangkan ke Jakarta lewat kereta api yang lintasannya persis berada di belakang Gedung Juang. Gedung yang tidak jauh dari Pasar Tambun Bekasi ini, juga pernah dijadikan sebagai Pusat Komando Perjuangan RI pada masa perjuangan fisik. Dan gedung ini selalu menjadi sasaran tembak pesawat udara dan meriam Belanda. Banyak keanehan pada gedung ini. Ketika meriam Belanda dijatuhkan di atas bangunan tersebut, ternyata meriam itu tidak meledak dan hanya merusak sebagian kecil bangunan.
Akhir 1947, ketika Belanda menghianati perundingan Linggarjati tanggal 21 Juli, Belanda mengadakan aksi pertama. Mengingat gedung ini merupakan markas basis pertahanan, maka tidak mengherankan bila di sekitar gedung ini sering terjadi pertempuran dan pembantaian yang bertubi-tubi. Bahkan gedung ini pernah di duduki Belanda/NICA hingga tahun 1949. Namun, gedung yang sangat mempunyai nilai sejarah dan merupakan kebangganaan mayarakat Bekasi ini, kembali berhasil direbut oleh pejuang Bekasi pada awal 1950.
Museum Perjuangan Bekasi
Pertempuran pun usai, dan negara Indonesia kembali bersatu. Maka, fungsi gedung ini mengalamai berbagai perkembangan. Selain bangunan bersejarah, bangunan tersebut sering digunakan sebagai pusat aktivitas.
Di antaranya, tahun 1950 setelah Tambun dikuasai lagi oleh Republik Indonesia, gedung ini diisi dan ditempati pertama sekali oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bekasi.
Juga pernah digunakan sebagai kantor Jawatan Pertanian dan jawatan-jawatan lainnya sampai akhir 1982. Bangunan yang berada di bagian timur Bekasi ini, juga sempat dijadikan sebagai tempat persidangan-persidangan DPRDS, DPRD-P, DPRD TK II Bekasi dan DPRD-GR hingga tahun 1960.
Tahun 1951, di gedung ini sempat diisi TNI Angkatan Darat Batalyon “Kian Santang”. Tahun 1962, kemudian gedung ini dibeli Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Ketika peristiwa Gerakan G 30S/PKI pecah, gedung ini juga sempat dijadikan sebagai penampungan Tahanan Politik (Tapol) PKI.
Mengingat letaknya yang strategis, oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi saat Bupati Bekasi dijabat Abdul Fatah, bangunan ini sempat dijadikan sebagai tempat perkuliahan bagi mahasiswa Akademi Pembangunan Desa (APD) yang merupakan cikal bakal pembangunan perguruan tinggi di Bekasi, dan kini dikenal dengan Universitas Islam 45 (Unisma).
Manfaat lain gedung ini, juga sempat digunakan sebagai Kantor BP-7 dan Kantor Legium Veteran. Tahun 1999, di gedung menjadi sekretraist Pemilu. Lalu menjadi kantor Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Sekretarit Kantor Pepabri dan Weredatama. Kini gedung yang menghadap timur ini, menjadi kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kantor Tenaga Kerja Pemertintah Kabupaten Bekasi.
Ketua DPRD Kabupaten Bekasi, Damanhuri Husein pernah menyarankan agar pemanfaatan Gedung Juang yang kini juga dikenal Gedung Tinggi sebaiknya bukan sebagai perkantoran pemerintahan. “Sebaiknya dan saya lebih setuju Gedung Juang itu dijadikan sebagai museum perjuangan Bekasi, karena mempunyai nilai sejarah yang cukup tinggi dan monumental. Kalau gedung ini dijadikan perkantoran nilai sejarah dan maknanya akan hilang,” usul warga Bekasi asli ini.
Untuk menjadikan museum, pemerintah setempat harus peduli dan melakukan perbaikan-perbaikan. Maka, gedung ini dapat dijadikan sebagai salah satu saksi bisu sejarah perjuangan RI khususnya Bekasi. Bangunan ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu tujuan obyek wisata bersejarah di Bekasi.
Bagi Damanhuri Husein, bangunan itu tidak cocok sebagai perkantoran apalagi di gedung itu, terutama di lantai dua sepanjang 24 jam selalu penuhi kotoran kelelawar (kampret). “Ya, namanya bangunan lama, banyak kampretnyalah. Maka sangat tidak tepat sebagai perkantoran, “ komentar Damanhuri yang penjuang 45 itu. (jon)
Sumber : http://www.arsitekturindis.com
Seorang penyair kondang Chairil Anwar pernah mencantumkan nama Bekasi dalam sebuah sajaknya bertajuk “Antara Kerawang dan Bekasi”. Sebuah monumen berupa tugu perjuangan, kini berdiri di pusat kota Bekasi dan di sana tertulis sajak Chairil Anwar. Monumen ini, oleh Pemerintah Kota Bekasi, dijadikan sebagai tempat bumi perkemahan pramuka dan sebagai daerah paru-paru kota Bekasi.
Selain tugu perjuangan itu, Bekasi masih menyisahkan dua bangunan bersejarah. Kedua bangunan tersebut sebagai sisa-sisa puluhan bangunan bersejarah. Bangunan bersejarah lainnya habis dibakar saat revolusi fisik.
Bangunan bersejarah itu, kini dikenal dengan sebutan Gedung Tinggi, dahulu dikenal dengan nama Gedung Juang dan Gedung Pakpak. Gedung Juang yang berada di Jalan Hasanuddin Tambun, oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi, dijadikan perkantoran. Demikian juga Gedung Pakpak di Jalan Ir H Juanda, Pemerintah Kota Bekasi juga memanfaatkan sebagai perkantoran.
Gedung Juang bersejarah bangunan kolonial Belanda ini, tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Tambun. Gedung ini merupakan salah satu gedung bersejarah yang turut menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Bekasi saat revolusi fisik. Ketika itu daerah Tambun dan Cibarusah menjadi pusat kekuatan pasukan republik Indonesia (RI).
Akibat serangan bertubi-tubi, pertahanan pasukan Belanda di Bekasi sering ditinggalkan. Mereka kemudian memusatkan diri ke daerah Klender Jakarta Timur. Maka, gedung ini sempat dijadikan sebagai pertahanan di front pertahanan Bekasi- Jakarta.
Dikuasai Tuan Tanah
Setelah pasukan Belanda meninggalkan Bekasi. Gedung Juang yang terdiri dari dua lantai ini, dimiliki dan dikuasai seorang tuan tanah keturunan Cina bernama Kouw Oen Huy. Tuan tanah yang berhasil menguasai ratusan hektare tanah di Kecamatan Tambun, bahkan memiliki perkebunan karet. Ia digelari ‘Kapitaen’.
Ia tidak hanya menguasai tanah di Tambun tapi juga daerah Tekuk Pucung yang jaraknya puluhan kilo meter dari Tambun, termasuk di daerah Cakung, juga menjadi milik tuan tanah ini.
Gedung Juang yang kini menjadi perkatoran milik Pemeritah Kabupaten Bekasi, dibangun dua tahap, tahun 1906 dan tahun 1925. Pada awalnya, di bagian halaman muka Gedung Juang ini, dijadikan taman buah yang diantaranya banyak ditanami pohon mangga yang pada saat itu belum pernah dikenal masyarakat Tambun dan Bekasi.
Tuan tanah Kouw Oen Huy, menguasai bangunan tua ini hingga 1942. Selanjutnya, tahun 1943, bangunan bersejarah tersebut berada di bawah pengawasan pemerintahan Jepang hingga tahun 1945. Tentara Jepang, juga menggunakan bangunan tua ini sebagai pusat kekuatannya dalam menjajah Indonesia.
Pada masa perjuangan kemerdekaan 1945, bangunan yang berlokasi di atas tanah sekitar 1000 meter ini, diambil alih oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) untuk dijadikan sebagai Kantor Kabupaten Jatinegara. Pada masa itu, Bekasi dijadikan sebagai daerah front pertahanan, maka gedung tersebut berfungsi juga sebagai Pusat Komando Perjuangan RI dalam menghadapai Tentara Sekutu yang baru selesai perang dunia ke dua.
Di gedung yang mempunyai monumental ini, perundingan dan pertukaran tawanan perang terjadi. Sebagai lokasi pelaksanaan pertukaran tawanan, dilakukan di dekat Kali Bekasi yang kini tidak jauh dari rumah pegadaian Bekasi. Banyak tentara Jepang meninggal dibantai dan dibuang di Kali Bekasi, membuat setiap tahun tentara Jepang selalu melakukan tabur bunga di kali yang membentang kota Bekasi ini.
Dalam pertukaran tawanan, pejuang-pejuang RI oleh Belanda dipulangkan ke Bekasi, dan tawanan Belanda oleh pejuang RI dipulangkan ke Jakarta lewat kereta api yang lintasannya persis berada di belakang Gedung Juang. Gedung yang tidak jauh dari Pasar Tambun Bekasi ini, juga pernah dijadikan sebagai Pusat Komando Perjuangan RI pada masa perjuangan fisik. Dan gedung ini selalu menjadi sasaran tembak pesawat udara dan meriam Belanda. Banyak keanehan pada gedung ini. Ketika meriam Belanda dijatuhkan di atas bangunan tersebut, ternyata meriam itu tidak meledak dan hanya merusak sebagian kecil bangunan.
Akhir 1947, ketika Belanda menghianati perundingan Linggarjati tanggal 21 Juli, Belanda mengadakan aksi pertama. Mengingat gedung ini merupakan markas basis pertahanan, maka tidak mengherankan bila di sekitar gedung ini sering terjadi pertempuran dan pembantaian yang bertubi-tubi. Bahkan gedung ini pernah di duduki Belanda/NICA hingga tahun 1949. Namun, gedung yang sangat mempunyai nilai sejarah dan merupakan kebangganaan mayarakat Bekasi ini, kembali berhasil direbut oleh pejuang Bekasi pada awal 1950.
Museum Perjuangan Bekasi
Pertempuran pun usai, dan negara Indonesia kembali bersatu. Maka, fungsi gedung ini mengalamai berbagai perkembangan. Selain bangunan bersejarah, bangunan tersebut sering digunakan sebagai pusat aktivitas.
Di antaranya, tahun 1950 setelah Tambun dikuasai lagi oleh Republik Indonesia, gedung ini diisi dan ditempati pertama sekali oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bekasi.
Juga pernah digunakan sebagai kantor Jawatan Pertanian dan jawatan-jawatan lainnya sampai akhir 1982. Bangunan yang berada di bagian timur Bekasi ini, juga sempat dijadikan sebagai tempat persidangan-persidangan DPRDS, DPRD-P, DPRD TK II Bekasi dan DPRD-GR hingga tahun 1960.
Tahun 1951, di gedung ini sempat diisi TNI Angkatan Darat Batalyon “Kian Santang”. Tahun 1962, kemudian gedung ini dibeli Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Ketika peristiwa Gerakan G 30S/PKI pecah, gedung ini juga sempat dijadikan sebagai penampungan Tahanan Politik (Tapol) PKI.
Mengingat letaknya yang strategis, oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi saat Bupati Bekasi dijabat Abdul Fatah, bangunan ini sempat dijadikan sebagai tempat perkuliahan bagi mahasiswa Akademi Pembangunan Desa (APD) yang merupakan cikal bakal pembangunan perguruan tinggi di Bekasi, dan kini dikenal dengan Universitas Islam 45 (Unisma).
Manfaat lain gedung ini, juga sempat digunakan sebagai Kantor BP-7 dan Kantor Legium Veteran. Tahun 1999, di gedung menjadi sekretraist Pemilu. Lalu menjadi kantor Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Sekretarit Kantor Pepabri dan Weredatama. Kini gedung yang menghadap timur ini, menjadi kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kantor Tenaga Kerja Pemertintah Kabupaten Bekasi.
Ketua DPRD Kabupaten Bekasi, Damanhuri Husein pernah menyarankan agar pemanfaatan Gedung Juang yang kini juga dikenal Gedung Tinggi sebaiknya bukan sebagai perkantoran pemerintahan. “Sebaiknya dan saya lebih setuju Gedung Juang itu dijadikan sebagai museum perjuangan Bekasi, karena mempunyai nilai sejarah yang cukup tinggi dan monumental. Kalau gedung ini dijadikan perkantoran nilai sejarah dan maknanya akan hilang,” usul warga Bekasi asli ini.
Untuk menjadikan museum, pemerintah setempat harus peduli dan melakukan perbaikan-perbaikan. Maka, gedung ini dapat dijadikan sebagai salah satu saksi bisu sejarah perjuangan RI khususnya Bekasi. Bangunan ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu tujuan obyek wisata bersejarah di Bekasi.
Bagi Damanhuri Husein, bangunan itu tidak cocok sebagai perkantoran apalagi di gedung itu, terutama di lantai dua sepanjang 24 jam selalu penuhi kotoran kelelawar (kampret). “Ya, namanya bangunan lama, banyak kampretnyalah. Maka sangat tidak tepat sebagai perkantoran, “ komentar Damanhuri yang penjuang 45 itu. (jon)
Sumber : http://www.arsitekturindis.com