Oleh : M Clara Wresti
Seberapa banyak warga Jakarta tahu tentang Souw Beng Kong? Tidak banyak tentunya. Begitu tidak dikenalnya, sehingga di atas makamnya, di sebuah gang sempit di Jalan Pangeran Jayakarta, pernah didirikan sebuah jamban.
Tidak banyak yang mengenal atau mendengar nama Souw Beng Kong (1580-1644). Dia adalah Kapiten I yang dipilih Gubernur Jenderal Belanda JP Coen untuk menjaga ketertiban saat Belanda hijrah dari Banten ke Batavia pada tahun 1619.
Dia yang menjadi pemimpin masyarakat Tionghoa di Batavia pada saat itu. Di bawah penjagaan Souw Beng Kong, pembangunan yang dilakukan Belanda di Batavia bisa berjalan dengan baik dan lancar. Nyaris tidak ada gangguan. Oleh karena itu, dia dianggap berhasil oleh Belanda. Saat meninggal, dia dimakamkan di sebuah tanah lapang seluas 20.000 meter persegi.
Hendarmin Susilo, Ketua Yayasan Souw Beng Kong, mengatakan, ketika tahun 1960—1970-an, saat dia berangkat sekolah dari Jalan Pangeran Jayakarta, dia masih bisa melihat makam ini dari kejauhan. ”Saya sering diledek teman-teman, itu tuh makam engkong kamu,” kenang Hendarmin.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, makam Souw Beng Kong makin lama makin tidak kelihatan. Di sekitar makam, yang tadinya sangat lapang, kini telah jadi permukiman padat. Bahkan, di atas makam Souw Beng Kong juga pernah berdiri sebuah rumah kos. Dan, saluran jamban mengalir di atas makam ini.
Rupanya merobohkan atau menghancurkan bangunan-bangunan tua dengan mengabaikan nilai sejarah tidak hanya terjadi di kalangan pejabat dan pengusaha. Masyarakat yang membutuhkan lahan juga melakukannya. ”Tadinya di sini ada empat makam. Namun, yang tersisa hanya satu. Sedangkan tiga lainnya hilang. Tidak bisa ditemukan jejaknya,” cerita Hendarmin.
Makam Souw Beng Kong pertama kali diingat De Haan, sejarawan Belanda, yang menulis buku Oud Batavia (1920). De Haan menulis, Souw Beng Kong adalah kapiten pertama Tionghoa yang dikubur di dekat Jalan Pangeran Jakarta dan Mangga Dua. Makamnya telantar dan sulit ditemukan karena penuh semak belukar.
Namun, oleh Mayor Tionghoa terakhir Khouw Kin An, makam Souw Beng Kong dicari dan dipugar. Dia memugar makam itu dengan menambahkan dua prasasti (bong pai) kiri kanan, menggunakan bahasa Belanda dan bahasa China. Prasasti itu menjelaskan riwayat Souw Beng Kong.
Setelah pemugaran itu, pelan-pelan makam itu kembali dilupakan orang. Baru pada tahun 2002, ketika Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), Universitas Tarumanegara, Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa Indonesia, Indonesia Tionghoa, dan Masyarakat Marga Souw peduli, pencarian makam itu dilakukan kembali.
Makam Souw Beng Kong sangat menarik karena selain dia Kapiten I, hingga kini belum ditemukan lagi makam kapiten atau mayor Tionghoa lainnya.
Kondisi makam yang nyaris hilang itu perlahan dipugar. Yayasan Souw Beng Kong yang didirikan untuk merawat makam ini kemudian membebaskan tanah di sekitar makam. Kini makam ini memiliki areal seluas 200 meter persegi. Namun, letaknya masih di tengah permukiman kumuh warga.
Makam ini hanya dibatasi dengan pagar kawat BRC yang nyaris menempel dengan rumah warga. Beberapa pakaian yang sedang dijemur terlihat dicantolkan di pagar ini. ”Sangat sulit membebaskan tanah di sekitar sini. Untuk membebaskan tanah seluas 25 meter persegi saja, kami harus mengeluarkan uang Rp 100 juta. Sangat mahal,” aku Hendarmin.
Wisata sejarah
Yayasan Souw Beng Kong tidak bermimpi menjadikan makam sejarah itu sebagai taman yang luas. Namun, yayasan itu menginginkan jalan masuk ke makam diperlebar, sehingga memudahkan orang yang ingin berkunjung atau bersembahyang ke makam ini.
Selama tahun 2008, telah dua kali yayasan ini menyelenggarakan sembahyang di makam ini, yakni pada hari sembahyang musim semi (April) dan hari sembahyang musim gugur (September). ”Jika tempatnya nyaman, pemerintah bisa mempromosikan tempat ini sebagai situs sejarah,” kata Hendarmin.
Dia mengatakan, sudah banyak orang Belanda yang datang ke makam ini untuk mengetahui Souw Beng Kong lebih jauh. ”Jika banyak turis datang, warga sekitar bisa mendapatkan manfaat ekonomi dengan adanya situs sejarah ini,” tambahnya.
Keberadaan makam Souw Beng Kong agaknya jangan hanya menjadi kerja keras yayasan ini saja. Mengutip mantan Kepala Humas DKI Jakarta Syariful Alam, ”Kalau Jawa Tengah dan Jawa Timur punya candi, Jawa Barat punya alam yang indah, Bali dengan kehidupan masyarakatnya. Jakarta punya apa?
Karenanya, mengapa situs-situs sejarah di Jakarta dibiarkan terbengkalai?
Sumber : www.kompas.com
Seberapa banyak warga Jakarta tahu tentang Souw Beng Kong? Tidak banyak tentunya. Begitu tidak dikenalnya, sehingga di atas makamnya, di sebuah gang sempit di Jalan Pangeran Jayakarta, pernah didirikan sebuah jamban.
Tidak banyak yang mengenal atau mendengar nama Souw Beng Kong (1580-1644). Dia adalah Kapiten I yang dipilih Gubernur Jenderal Belanda JP Coen untuk menjaga ketertiban saat Belanda hijrah dari Banten ke Batavia pada tahun 1619.
Dia yang menjadi pemimpin masyarakat Tionghoa di Batavia pada saat itu. Di bawah penjagaan Souw Beng Kong, pembangunan yang dilakukan Belanda di Batavia bisa berjalan dengan baik dan lancar. Nyaris tidak ada gangguan. Oleh karena itu, dia dianggap berhasil oleh Belanda. Saat meninggal, dia dimakamkan di sebuah tanah lapang seluas 20.000 meter persegi.
Hendarmin Susilo, Ketua Yayasan Souw Beng Kong, mengatakan, ketika tahun 1960—1970-an, saat dia berangkat sekolah dari Jalan Pangeran Jayakarta, dia masih bisa melihat makam ini dari kejauhan. ”Saya sering diledek teman-teman, itu tuh makam engkong kamu,” kenang Hendarmin.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, makam Souw Beng Kong makin lama makin tidak kelihatan. Di sekitar makam, yang tadinya sangat lapang, kini telah jadi permukiman padat. Bahkan, di atas makam Souw Beng Kong juga pernah berdiri sebuah rumah kos. Dan, saluran jamban mengalir di atas makam ini.
Rupanya merobohkan atau menghancurkan bangunan-bangunan tua dengan mengabaikan nilai sejarah tidak hanya terjadi di kalangan pejabat dan pengusaha. Masyarakat yang membutuhkan lahan juga melakukannya. ”Tadinya di sini ada empat makam. Namun, yang tersisa hanya satu. Sedangkan tiga lainnya hilang. Tidak bisa ditemukan jejaknya,” cerita Hendarmin.
Makam Souw Beng Kong pertama kali diingat De Haan, sejarawan Belanda, yang menulis buku Oud Batavia (1920). De Haan menulis, Souw Beng Kong adalah kapiten pertama Tionghoa yang dikubur di dekat Jalan Pangeran Jakarta dan Mangga Dua. Makamnya telantar dan sulit ditemukan karena penuh semak belukar.
Namun, oleh Mayor Tionghoa terakhir Khouw Kin An, makam Souw Beng Kong dicari dan dipugar. Dia memugar makam itu dengan menambahkan dua prasasti (bong pai) kiri kanan, menggunakan bahasa Belanda dan bahasa China. Prasasti itu menjelaskan riwayat Souw Beng Kong.
Setelah pemugaran itu, pelan-pelan makam itu kembali dilupakan orang. Baru pada tahun 2002, ketika Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), Universitas Tarumanegara, Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa Indonesia, Indonesia Tionghoa, dan Masyarakat Marga Souw peduli, pencarian makam itu dilakukan kembali.
Makam Souw Beng Kong sangat menarik karena selain dia Kapiten I, hingga kini belum ditemukan lagi makam kapiten atau mayor Tionghoa lainnya.
Kondisi makam yang nyaris hilang itu perlahan dipugar. Yayasan Souw Beng Kong yang didirikan untuk merawat makam ini kemudian membebaskan tanah di sekitar makam. Kini makam ini memiliki areal seluas 200 meter persegi. Namun, letaknya masih di tengah permukiman kumuh warga.
Makam ini hanya dibatasi dengan pagar kawat BRC yang nyaris menempel dengan rumah warga. Beberapa pakaian yang sedang dijemur terlihat dicantolkan di pagar ini. ”Sangat sulit membebaskan tanah di sekitar sini. Untuk membebaskan tanah seluas 25 meter persegi saja, kami harus mengeluarkan uang Rp 100 juta. Sangat mahal,” aku Hendarmin.
Wisata sejarah
Yayasan Souw Beng Kong tidak bermimpi menjadikan makam sejarah itu sebagai taman yang luas. Namun, yayasan itu menginginkan jalan masuk ke makam diperlebar, sehingga memudahkan orang yang ingin berkunjung atau bersembahyang ke makam ini.
Selama tahun 2008, telah dua kali yayasan ini menyelenggarakan sembahyang di makam ini, yakni pada hari sembahyang musim semi (April) dan hari sembahyang musim gugur (September). ”Jika tempatnya nyaman, pemerintah bisa mempromosikan tempat ini sebagai situs sejarah,” kata Hendarmin.
Dia mengatakan, sudah banyak orang Belanda yang datang ke makam ini untuk mengetahui Souw Beng Kong lebih jauh. ”Jika banyak turis datang, warga sekitar bisa mendapatkan manfaat ekonomi dengan adanya situs sejarah ini,” tambahnya.
Keberadaan makam Souw Beng Kong agaknya jangan hanya menjadi kerja keras yayasan ini saja. Mengutip mantan Kepala Humas DKI Jakarta Syariful Alam, ”Kalau Jawa Tengah dan Jawa Timur punya candi, Jawa Barat punya alam yang indah, Bali dengan kehidupan masyarakatnya. Jakarta punya apa?
Karenanya, mengapa situs-situs sejarah di Jakarta dibiarkan terbengkalai?
Sumber : www.kompas.com