Oleh: Ons Untoro
Di Yogya hadir beragam menu makanan yang menunjukkan identitas daerah. Mendengar satu jenis menu makanan tertentu yang menyertakan nama lokalitas, orang akan segera tahu, menu makanan itu berasal dari daerah tertentu. Sate madura, kata di belakang sate menunjuk daerah dari mana sate itu berasal. Coto makassar, soto kudus, masakan padang, masakan khas sunda, dan seterusnya.
Namun, lain dengan jenis menu makanan Yogya. Apa yang menunjukkan identitas daerah tidak ditemukan. Yang ditemukan malah identitas personal. Identitas daerah digantikan identitas personal. Atau kalaupun menunjukkan daerah, sifatnya lebih khusus dan lebih menunjuk nama kampung. Untuk menyebut beberapa jenis menu makanan yang menggantikan identitas daerah menjadi identitas personal, misalnya gudeg. Sulit ditemukan nama gudeg Yogya, yang mudah ditemukan adalah menunjuk nama orang, misalnya gudeg Juminten, gudeg Bu Tjitro, dan sejumlah nama lain yang menunjuk identitas personal pada jenis menu gudeg. Pada jenis menu yang lain, sebut misalnya, ayam goreng, ada ayam goreng Mbok Sabar, ayam goreng Ny Suharti, dan beberapa nama lain.
Pada identitas khusus untuk menggantikan nama daerah dengan menyebut nama kampung, misalnya bisa ditemukan, soto kadipiro, meski letak warungnya ada di Jalan Bantul, identitas kampung disertakan barangkali untuk menunjukkan bahwa soto yang ada di Jalan Bantul tersebut kualitas rasanya sama dengan "aslinya" yang ada di Kampung Kadipiro.
Barangkali, karena jenis menu makanan Yogya berada di daerahnya, sehingga merasa tidak perlu untuk menyebut nama daerahnya. Apalagi orang tahu bahwa gudeg makanan khas dari Yogya. Hanya ketika jenis menu makanan itu dibuka di daerah lain, identitas personal akan dihilangkan dan digantikan identitas di daerahnya. Oleh sebab itu, di tengah Kota Palangkaraya ada jenis menu makanan yang ditulis "gudeg yogya" hal yang mustahil ditemukan di Yogya. Persis seperti di Madura, betapa sulitnya menemukan soto madura ataupun sate madura.
Pergeseran dari nama daerah menjadi personal untuk jenis menu makanan Yogya sesungguhnya hanya menggantikan ikon. Karena nama yang disebut telah dikenal sebagai ikon Jawa, dalam konteks ini Yogya. Hampir tidak mungkin nama soto Pak Marto menunjuk ikon Sumatera atau Sulawesi. Nama itu memberikan identitas lokal. Demikian pula nama Juminten yang melekat pada jenis menu gudeg telah menunjuk lokalitas daerah.
Untuk mencoba mengenali bermacam identitas personal dan daerah dalam menu makanan di Yogya, orang bisa menelusuri berbagai macam tempat, baik yang ada di sudut kota maupun yang ada di tengah kota, pasti akan mudah menemukan dua jenis identitas, yakni identitas personal dan identitas daerah. Misalnya di Ngasem bisa ditemukan sate ayam madura. Beberapa ratus meter dari tempat itu bisa pula ditemukan sate ayam Pak Amat. Di Kadipiro ada soto kadipiro. Tak jauh dari situ bisa pula ditemukan soto madura atau soto sulung.
Beragam identitas bisa ditemukan dari menu makanan di Yogya. Menu yang dari luar Yogya menyertakan nama daerahnya. Jenis menu yang dari Yogya menunjuk personalitas orang atau nama kampung. Identitas daerah dalam menu makanan tidak hanya datang dari luar Jawa. Masih di ranah Jawa, untuk lebih menegaskan kalau bukan Yogya disebut nama daerahnya, misalnya bakmi semarang atau tengkleng solo. Semarang dan Solo adalah dua wilayah yang tidak jauh dari Yogya. Meski berbeda provinsi, kedua daerah tersebut adalah Jawa.
Pluralitas Selera
Pluralitas di Yogya tidak hanya ditemukan pada etnik. Rupanya bisa pula dilihat dari selera rasa. Identitas etnik dan rasa seperti saling bersua dan berinteraksi di Yogya dan masing-masing tidak merasa saling terancam. Artinya, identitas menu makanan dari satu daerah tidak merasa terancam atas kehadiran identitas menu dari daerah lain. Masing-masing seperti saling meneguhkan identitasnya. Dalam kata lain, identitas tampak kelihatan justru dalam keberagaman.
Identitas gudeg tidak terancam atas kehadiran menu dari Makassar, Manado, Padang, dan beberapa daerah lain. Sehingga sulit ditemukan, untuk mencoba mengakomodasi selera, rasa gudeg dibuat tidak manis. Justru gudeg tetap memegang identitasnya manis dan kelengkapan dari manis ada gurih dan pedas serta ada sayuran, biasanya daun ketela.
Jenis menu makanan dinikmati oleh beragam etnik dan tidak hanya dikhususkan oleh etnis di mana jenis menu makanan itu berasal. Orang Jawa tidak menolak coto makassar dan juga senang menikmati jenis masakan padang. Orang non-Jawa juga tidak sedikit yang suka jenis menu gudeg ataupun jenis ayam goreng Mbok Sabar, Nyonya Suharti, dan sejenisnya. Meski di Yogya mudah ditemukan jenis menu ayam yang mengglobal, tetapi tidak mengurangi selera lokal.
Identitas lokal dalam keberagaman kultur di Yogya tampaknya bisa dilihat dari satu sisi, yaitu makanan. Sebagaimana beragam makanan dari bermacam daerah bisa ditemukan di sudut-sudut kampung di Yogya. Bermacam etnis di Yogya juga menyebar di sudut-sudut kampung. Seperti selera, rupanya identitas bisa saling bertukar untuk tidak meniadakan, melainkan lebih untuk saling mengenal. Ada orang Medan yang suka menikmati soto menu dari Yogya yang identitasnya sudah digantikan menjadi personal. Ada juga orang Yogya yang gemar menikmati coto makassar dan jenis menu lain dari Sulawesi.
Interaksi kultural tampaknya bisa terus berlangsung di Yogya dan setiap hari dilakukan oleh masing-masing etnik. Lidah adalah salah satu media yang ampuh untuk melakukan interaksi tersebut. Pola interaksi sangat informal dan masing-masing identitas saling tidak menolak.
Identitas Yogya tidak dihadirkan sebagaimana identitas daerah lain yang diwujudkan, tetapi telah diganti dengan identitas personal. Namun, personalitas identitas pada menu makanan Yogya tidak harus dimengerti sebagai privatisasi. Barangkali lebih tepat dilihat dalam konteks kultur Jawa: bahwa kapan orang Jawa memiliki gawe biasanya menghadirkan orang lain untuk mewakili.
Orang Jawa yang punya gawe tersebut menyerahkan segala tetek bengek kepada orang yang telah ditunjuk dan biasanya berupa tim. Artinya, tidak hanya satu orang. Pendeknya, personalitas identitas menu makanan Yogya adalah representasi dari kultur masyarakat Jawa yang tinggal dan menetap di Yogya.
Sumber : kulinerkita.multiply.com
Foto : http://www.startspot
Di Yogya hadir beragam menu makanan yang menunjukkan identitas daerah. Mendengar satu jenis menu makanan tertentu yang menyertakan nama lokalitas, orang akan segera tahu, menu makanan itu berasal dari daerah tertentu. Sate madura, kata di belakang sate menunjuk daerah dari mana sate itu berasal. Coto makassar, soto kudus, masakan padang, masakan khas sunda, dan seterusnya.
Namun, lain dengan jenis menu makanan Yogya. Apa yang menunjukkan identitas daerah tidak ditemukan. Yang ditemukan malah identitas personal. Identitas daerah digantikan identitas personal. Atau kalaupun menunjukkan daerah, sifatnya lebih khusus dan lebih menunjuk nama kampung. Untuk menyebut beberapa jenis menu makanan yang menggantikan identitas daerah menjadi identitas personal, misalnya gudeg. Sulit ditemukan nama gudeg Yogya, yang mudah ditemukan adalah menunjuk nama orang, misalnya gudeg Juminten, gudeg Bu Tjitro, dan sejumlah nama lain yang menunjuk identitas personal pada jenis menu gudeg. Pada jenis menu yang lain, sebut misalnya, ayam goreng, ada ayam goreng Mbok Sabar, ayam goreng Ny Suharti, dan beberapa nama lain.
Pada identitas khusus untuk menggantikan nama daerah dengan menyebut nama kampung, misalnya bisa ditemukan, soto kadipiro, meski letak warungnya ada di Jalan Bantul, identitas kampung disertakan barangkali untuk menunjukkan bahwa soto yang ada di Jalan Bantul tersebut kualitas rasanya sama dengan "aslinya" yang ada di Kampung Kadipiro.
Barangkali, karena jenis menu makanan Yogya berada di daerahnya, sehingga merasa tidak perlu untuk menyebut nama daerahnya. Apalagi orang tahu bahwa gudeg makanan khas dari Yogya. Hanya ketika jenis menu makanan itu dibuka di daerah lain, identitas personal akan dihilangkan dan digantikan identitas di daerahnya. Oleh sebab itu, di tengah Kota Palangkaraya ada jenis menu makanan yang ditulis "gudeg yogya" hal yang mustahil ditemukan di Yogya. Persis seperti di Madura, betapa sulitnya menemukan soto madura ataupun sate madura.
Pergeseran dari nama daerah menjadi personal untuk jenis menu makanan Yogya sesungguhnya hanya menggantikan ikon. Karena nama yang disebut telah dikenal sebagai ikon Jawa, dalam konteks ini Yogya. Hampir tidak mungkin nama soto Pak Marto menunjuk ikon Sumatera atau Sulawesi. Nama itu memberikan identitas lokal. Demikian pula nama Juminten yang melekat pada jenis menu gudeg telah menunjuk lokalitas daerah.
Untuk mencoba mengenali bermacam identitas personal dan daerah dalam menu makanan di Yogya, orang bisa menelusuri berbagai macam tempat, baik yang ada di sudut kota maupun yang ada di tengah kota, pasti akan mudah menemukan dua jenis identitas, yakni identitas personal dan identitas daerah. Misalnya di Ngasem bisa ditemukan sate ayam madura. Beberapa ratus meter dari tempat itu bisa pula ditemukan sate ayam Pak Amat. Di Kadipiro ada soto kadipiro. Tak jauh dari situ bisa pula ditemukan soto madura atau soto sulung.
Beragam identitas bisa ditemukan dari menu makanan di Yogya. Menu yang dari luar Yogya menyertakan nama daerahnya. Jenis menu yang dari Yogya menunjuk personalitas orang atau nama kampung. Identitas daerah dalam menu makanan tidak hanya datang dari luar Jawa. Masih di ranah Jawa, untuk lebih menegaskan kalau bukan Yogya disebut nama daerahnya, misalnya bakmi semarang atau tengkleng solo. Semarang dan Solo adalah dua wilayah yang tidak jauh dari Yogya. Meski berbeda provinsi, kedua daerah tersebut adalah Jawa.
Pluralitas Selera
Pluralitas di Yogya tidak hanya ditemukan pada etnik. Rupanya bisa pula dilihat dari selera rasa. Identitas etnik dan rasa seperti saling bersua dan berinteraksi di Yogya dan masing-masing tidak merasa saling terancam. Artinya, identitas menu makanan dari satu daerah tidak merasa terancam atas kehadiran identitas menu dari daerah lain. Masing-masing seperti saling meneguhkan identitasnya. Dalam kata lain, identitas tampak kelihatan justru dalam keberagaman.
Identitas gudeg tidak terancam atas kehadiran menu dari Makassar, Manado, Padang, dan beberapa daerah lain. Sehingga sulit ditemukan, untuk mencoba mengakomodasi selera, rasa gudeg dibuat tidak manis. Justru gudeg tetap memegang identitasnya manis dan kelengkapan dari manis ada gurih dan pedas serta ada sayuran, biasanya daun ketela.
Jenis menu makanan dinikmati oleh beragam etnik dan tidak hanya dikhususkan oleh etnis di mana jenis menu makanan itu berasal. Orang Jawa tidak menolak coto makassar dan juga senang menikmati jenis masakan padang. Orang non-Jawa juga tidak sedikit yang suka jenis menu gudeg ataupun jenis ayam goreng Mbok Sabar, Nyonya Suharti, dan sejenisnya. Meski di Yogya mudah ditemukan jenis menu ayam yang mengglobal, tetapi tidak mengurangi selera lokal.
Identitas lokal dalam keberagaman kultur di Yogya tampaknya bisa dilihat dari satu sisi, yaitu makanan. Sebagaimana beragam makanan dari bermacam daerah bisa ditemukan di sudut-sudut kampung di Yogya. Bermacam etnis di Yogya juga menyebar di sudut-sudut kampung. Seperti selera, rupanya identitas bisa saling bertukar untuk tidak meniadakan, melainkan lebih untuk saling mengenal. Ada orang Medan yang suka menikmati soto menu dari Yogya yang identitasnya sudah digantikan menjadi personal. Ada juga orang Yogya yang gemar menikmati coto makassar dan jenis menu lain dari Sulawesi.
Interaksi kultural tampaknya bisa terus berlangsung di Yogya dan setiap hari dilakukan oleh masing-masing etnik. Lidah adalah salah satu media yang ampuh untuk melakukan interaksi tersebut. Pola interaksi sangat informal dan masing-masing identitas saling tidak menolak.
Identitas Yogya tidak dihadirkan sebagaimana identitas daerah lain yang diwujudkan, tetapi telah diganti dengan identitas personal. Namun, personalitas identitas pada menu makanan Yogya tidak harus dimengerti sebagai privatisasi. Barangkali lebih tepat dilihat dalam konteks kultur Jawa: bahwa kapan orang Jawa memiliki gawe biasanya menghadirkan orang lain untuk mewakili.
Orang Jawa yang punya gawe tersebut menyerahkan segala tetek bengek kepada orang yang telah ditunjuk dan biasanya berupa tim. Artinya, tidak hanya satu orang. Pendeknya, personalitas identitas menu makanan Yogya adalah representasi dari kultur masyarakat Jawa yang tinggal dan menetap di Yogya.
Sumber : kulinerkita.multiply.com
Foto : http://www.startspot