Oleh: Faustinus Handi
Memandang kabut dari kaca bus Alam Indah pada akhir September 2008, rasanya waktu imajiner saya berhenti. Subuh itu, di ketenangan danau buatan di lingkar patung Pong Tiku, pahlawan Toraja, serta dilatari Gereja Sion I peninggalan Belanda dan Gunung Buntu Burake (1.094 meter di atas permukaan laut/mdpl), saya memasuki Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja. Makale, yang mendapat julukan "kota dengan seribu menara gereja", di bukit itu belum beraktivitas. Jalan-jalan masih sunyi. Lampu-lampu jalan masih menyala.
Tapi, destinasi terakhir bukan Makale, melainkan Rantepao, berjarak 250 kilometer dari Makassar. Perjalanan 13 kilometer dari Makale menuju ibu kota pariwisata Tana Toraja itu seakan hanya menegaskan satu hal: ini bukan perjalanan biasa. Dengan bayang-bayang tradisi kematiannya yang unik, saya tembus batas ruang imajinasi masa kecil tentang Tana Toraja—yang paling teringat dan mencekam—tentang mayat yang bisa berjalan menuju kuburnya di gunung batu.
Apakah betul? Atau apakah perjalanan kali ini hanya menegaskan komentar seorang teman yang pernah ke sini, "... hanya melihat sisa-sisa orang hidup?" Turun di depan Hotel Indra Toraja, hari sudah terang.
Suatu tempat itu luar biasa atau tidak, boleh jadi sangat personal, hanya soal persepsi. Dengan mengubah sudut pandang, kita pasti menemukan bahwa suatu tempat selalu mempunyai daya tarik yang tersembunyi, walaupun sudah begitu terkenalnya. Di Tana Toraja, terus terang, ada dua pilihan: eksplorasi destinasi turisme yang telah tenar atau mencoba lebih dalam menemukan zeitgeist, roh zaman manusia yang terpancar dari interaksinya dengan alam lingkungannya.
Saya tahu, pilihan kedua itu muluk sekali, tapi itulah yang kadang menarik ketika melakukan perjalanan. Walau membekali diri dengan literatur mengenai Tana Toraja, tidak mungkin sebagai the outsider dengan seketika saya menemukan zeitgeist tersebut. Karena itu, perlu kompromi dengan diri sendiri: datang saja ke destinasi wisata, nikmati lama-lama, berinteraksi dengan orang lokal, serta memaksa diri mencatat banyak detail kecil, deskripsi dan nuansa.
Pertama yang saya lakukan adalah menginventarisasi kata-kata kunci tentang Tana Toraja, antara lain Kete’ Kesu, Batutumonga, tongkonan, tau tau, tedong. Maka dari itu, dengan sepeda motor sewaan, saya mulai keluyuran. Strategi kali ini adalah mengunjungi tempatnya: Kete’ Kesu.
Kete’ Kesu merupakan desa tradisional tertua nan unik di Kecamatan Sanggalagi dengan hanya 20 keluarga. Menurut brosur pariwisata yang saya baca, desa ini paling lengkap menyajikan segala sesuatu tentang tradisi merayakan kematian di Toraja.
Pelan-pelan saya daki Bukit Buntu Kesu, sebuah bukit berbatu di barat desa, dengan ketinggian 927 mdpl. Di Buntu Kesu, di dinding-batu terpapar banyak sekali tulang dan tengkorak manusia. Sebagian tergeletak begitu saja karena peti mati atau erong (peti mati yang diukir kepala binatang, misalnya ular naga dan babi), sebagai tempat penyimpanannya, sudah hancur dimakan usia. Wajar saja, menurut literatur, umur kubur batu di Kete’ Kesu ini sudah mencapai 700-an tahun. Sangat banyak, tersaji mulai kaki bukit sampai pertengahan bukit.
Hari memang sudah sore, tapi matahari masih cukup terang untuk tidak membuat saya merinding walaupun sendirian. Suasananya tidak semencekam di Londa, gua di Desa Sandan Uai, yang mempunyai banyak cabang dan jauh masuk ke perut bukit. Gua alam itu adalah tempat banyak tengkorak diletakkan begitu saja dalam ceruk-ceruk gua, dan untuk masuk ke dalamnya, saya mesti dipandu penduduk setempat yang membawa lampu minyak agar tidak tersesat.
Di pertengahan Bukit Buntu Kesu terdapat ceruk gua yang diteralis. Menurut kabar, isi ceruk gua tersebut pernah akan dicuri turis, karena itu, terpaksa diteralis. Di dalamnya terdapat beberapa tau-tau, patung-patung dari kayu nangka yang merupakan miniatur orang meninggal. Tau-tau itu duduk rapi berjejer. Tau-tau dibuat semirip mungkin dengan aslinya, juga diberi pakaian yang merupakan pakaian kesukaan si orang mati selama hidup. Menurut tradisi Toraja, hanya turunan bangsawan yang dapat dibuatkan tau-tau dirinya. Salah satunya adalah tau-tau Nek Rendah, yang diberi baju warna ungu. Di sebelah Nek Rendah, ada suaminya yang berjas lusuh, berkacamata, dan sedang memegang tongkat. Sorot mata mereka tajam melihat saya. Mereka adalah bangsawan Sarunggallo.
Saya teringat kedatangan saya hari sebelumnya di Desa Lemo. Suatu destinasi wisata yang sangat terkenal dengan deretan tau-tau di ketinggian dinding-batu. Dari kejauhan tampak anak-anak laki dan perempuan Desa Lemo duduk di pinggir bukit. Mereka sedang bermain-main. Satu di antaranya menyanyikan lagu-lagu berbahasa Toraja. Suaranya mengalun, seakan mengikuti angin mengitari lembah-lembah dan puncak-puncak bukit yang datarannya sawah—yang hijau terhampar.
Di Lemo, ada kira-kira 75 lubang batu, dengan 45 buah tau-tau. Saya penasaran dengan tau-tau di Lemo karena keunikan posisi tangannya yang menengadah, dengan telapak menghadap ke atas, seolah-olah sedang memohon pertolongan. Rupanya ini pertanda bahwa dalam alam mati pun, mereka masih selalu minta kepada keturunannya yang masih hidup agar mendoakan dan melakukan upacara bagi mereka. Inilah yang membedakan tau-tau di Desa Lemo dengan di Desa Kete’ Kesu.
Di Desa Kete’ Kesu, saya bertemu dengan Toni, penduduk asli yang berambut gondrong dan merupakan pemegang kunci tongkonan, rumah adat keluarga. Letak tongkonan tepat di tengah deretan tongkonan lain, dengan tanduk tedong (kerbau) yang paling banyak. Saya dibawa masuk ke tongkonan yang sekaligus museum pribadi itu, lalu berkenalan dengan suasana batin dan suasana masa lalu Toraja versi Toni.
Di pojok ruangan yang pengap dan penuh barang-barang tua, saya lihat tau-tau seorang ibu tua. Patung itu diberi baju dan kain tenun berwarna gelap. Yang unik adalah adanya batang rokok yang terselip di jari tangannya. Siapa dia?
Dengan bersemangat, Toni menjawab bahwa itulah tantenya, J.T. Sarunggallo, si perokok berat, yang kerap dipanggil Tante Takdung. Yang menarik, Tante Takdung adalah penjahit bendera Merah-Putih pertama yang dikibarkan di Tana Toraja pada zaman pergerakan kemerdekaan dulu. Penjaga museum keluarga itu menambahkan, hampir seluruh keluarga si tante adalah pejuang melawan Belanda. Omnya, yang saat itu menjabat Kepala Distrik Masamba, bahkan mati ditembak Belanda karena melindungi warga yang sedang diburu Belanda. Rupanya, selain Pong Tiku, yang telah menjadi pahlawan nasional, Tana Toraja punya pejuang-pejuang lokal yang tidak tercatat sejarah.
"Mengapa kami akrab dengan perayaan kematian?" Ucapan Toni itu awal dari penjelasan panjang-lebarnya bahwa kematian adalah sesuatu yang asing tapi akrab bagi masyarakat Tana Toraja. Asing, karena dunia orang mati adalah dunia yang tak terjangkau oleh manusia yang hidup, tapi akrab karena keseharian mereka terpusat pada segala aspek yang muaranya adalah perayaan kematian. Bahkan, kerbau, yang sehari-hari digunakan untuk membajak sawah (mayoritas penduduk Tana Toraja adalah petani), dimaknai sebagai kendaraan arwah si mati sehingga setiap upacara kematian pasti selalu disertai dengan pengorbanan kerbau.
Sama seperti masyarakat Toraja pada umumnya, masyarakat Toraja Selatan (Toraja Sa’dan) di seputaran Rantepao dan Makale yang mempercayai Aluk Todolo (berarti agama orang dulu), selama hidupnya merasa diberi tugas mempersiapkan perjalanan ke alam lain, yakni puya (alam Nirwana) tempat Puang Matua bersemayam. Mereka menganggap diri mereka berasal dari sana dan turun ke bumi menggunakan sebuah tangga bambu. Karena puya dianggap berada di tempat tinggi di atas bumi, bagi masyarakat Toraja, saat meninggal, alangkah baik jika mereka semakin mendekat puya, dengan dimakamkan di bukit-bukit yang tinggi.
Masih berkaitan tentang perlunya upacara kematian, Toni juga bercerita tentang siri’ mate, yakni tradisi malu, demi harga diri keluarga. Menurut kepercayaan Aluk Todolo, jenazah yang dimakamkan tanpa ada perayaan dan pengorbanan hewan (babi dan tedong) akan mempermalukan leluhur yang sudah berada di puya sekaligus keturunannya yang masih di bumi. Bahkan ada istilah bagi orang yang kematiannya tidak dirayakan, yakni tadibaa bongi, yang berarti orang yang jenazahnya dikubur malam-malam secara sembunyi-sembunyi. Suatu istilah yang menyatakan rasa pengecut, yang akan menurunkan derajat keluarga.
Bahkan, tutur Toni, kesempurnaan upacara mati di dunia akan mengkondisikan juga bagaimana status si mati: sebagai bombo (arwah gentayangan) atau tomembali puang (arwah yang telah kembali jadi dewa). Rupanya mitos adanya mayat hidup yang berjalan menuju makamnya itu muncul dari keberadaan bombo, yakni jenazah yang tidak disertai dengan upacara. "Apakah memang pernah ada kejadian itu?" tanya saya. Toni hanya tertawa. "Itu hanya bualan orang-orang," katanya.
Di Desa Kete’ Kesu, saya menikmati malam turun. Deretan tongkonan beratap perahu dari bambu yang diganti setiap 30 tahun, ditopang tulak somba yang berbentuk salib, ukiran pa’barre allo (lingkaran matahari lambang kehidupan), serta pemandangan menhir-menhir zaman purba (yang juga ada di Bori) dan danau buatan di antara sawah-sawah hijau serta Buntu Kapolang (1.333 mdpl) nun jauh di barat laut membuat suasana sunyi yang turun pelan-pelan di Kete’ Kesu terasa sangat syahdu.
Saya bayangkan, pada suatu waktu dulu—dan mungkin juga sampai nanti—di Kete’ Kesu pasti dilakukan upacara adat dengan meoli (teriakan khas), mabadong (nyanyian lirih mirip ratapan), dan arak-arakan ma’palla (arak jenazah) yang riuh. Di tanah ini, zeitgeist-nya barangkali adalah merayakan hidup dengan memuliakan kematian.
Sumber : http://tempointeraktif.com
Foto : http://3.bp.blogspot.com
Memandang kabut dari kaca bus Alam Indah pada akhir September 2008, rasanya waktu imajiner saya berhenti. Subuh itu, di ketenangan danau buatan di lingkar patung Pong Tiku, pahlawan Toraja, serta dilatari Gereja Sion I peninggalan Belanda dan Gunung Buntu Burake (1.094 meter di atas permukaan laut/mdpl), saya memasuki Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja. Makale, yang mendapat julukan "kota dengan seribu menara gereja", di bukit itu belum beraktivitas. Jalan-jalan masih sunyi. Lampu-lampu jalan masih menyala.
Tapi, destinasi terakhir bukan Makale, melainkan Rantepao, berjarak 250 kilometer dari Makassar. Perjalanan 13 kilometer dari Makale menuju ibu kota pariwisata Tana Toraja itu seakan hanya menegaskan satu hal: ini bukan perjalanan biasa. Dengan bayang-bayang tradisi kematiannya yang unik, saya tembus batas ruang imajinasi masa kecil tentang Tana Toraja—yang paling teringat dan mencekam—tentang mayat yang bisa berjalan menuju kuburnya di gunung batu.
Apakah betul? Atau apakah perjalanan kali ini hanya menegaskan komentar seorang teman yang pernah ke sini, "... hanya melihat sisa-sisa orang hidup?" Turun di depan Hotel Indra Toraja, hari sudah terang.
Suatu tempat itu luar biasa atau tidak, boleh jadi sangat personal, hanya soal persepsi. Dengan mengubah sudut pandang, kita pasti menemukan bahwa suatu tempat selalu mempunyai daya tarik yang tersembunyi, walaupun sudah begitu terkenalnya. Di Tana Toraja, terus terang, ada dua pilihan: eksplorasi destinasi turisme yang telah tenar atau mencoba lebih dalam menemukan zeitgeist, roh zaman manusia yang terpancar dari interaksinya dengan alam lingkungannya.
Saya tahu, pilihan kedua itu muluk sekali, tapi itulah yang kadang menarik ketika melakukan perjalanan. Walau membekali diri dengan literatur mengenai Tana Toraja, tidak mungkin sebagai the outsider dengan seketika saya menemukan zeitgeist tersebut. Karena itu, perlu kompromi dengan diri sendiri: datang saja ke destinasi wisata, nikmati lama-lama, berinteraksi dengan orang lokal, serta memaksa diri mencatat banyak detail kecil, deskripsi dan nuansa.
Pertama yang saya lakukan adalah menginventarisasi kata-kata kunci tentang Tana Toraja, antara lain Kete’ Kesu, Batutumonga, tongkonan, tau tau, tedong. Maka dari itu, dengan sepeda motor sewaan, saya mulai keluyuran. Strategi kali ini adalah mengunjungi tempatnya: Kete’ Kesu.
Kete’ Kesu merupakan desa tradisional tertua nan unik di Kecamatan Sanggalagi dengan hanya 20 keluarga. Menurut brosur pariwisata yang saya baca, desa ini paling lengkap menyajikan segala sesuatu tentang tradisi merayakan kematian di Toraja.
Pelan-pelan saya daki Bukit Buntu Kesu, sebuah bukit berbatu di barat desa, dengan ketinggian 927 mdpl. Di Buntu Kesu, di dinding-batu terpapar banyak sekali tulang dan tengkorak manusia. Sebagian tergeletak begitu saja karena peti mati atau erong (peti mati yang diukir kepala binatang, misalnya ular naga dan babi), sebagai tempat penyimpanannya, sudah hancur dimakan usia. Wajar saja, menurut literatur, umur kubur batu di Kete’ Kesu ini sudah mencapai 700-an tahun. Sangat banyak, tersaji mulai kaki bukit sampai pertengahan bukit.
Hari memang sudah sore, tapi matahari masih cukup terang untuk tidak membuat saya merinding walaupun sendirian. Suasananya tidak semencekam di Londa, gua di Desa Sandan Uai, yang mempunyai banyak cabang dan jauh masuk ke perut bukit. Gua alam itu adalah tempat banyak tengkorak diletakkan begitu saja dalam ceruk-ceruk gua, dan untuk masuk ke dalamnya, saya mesti dipandu penduduk setempat yang membawa lampu minyak agar tidak tersesat.
Di pertengahan Bukit Buntu Kesu terdapat ceruk gua yang diteralis. Menurut kabar, isi ceruk gua tersebut pernah akan dicuri turis, karena itu, terpaksa diteralis. Di dalamnya terdapat beberapa tau-tau, patung-patung dari kayu nangka yang merupakan miniatur orang meninggal. Tau-tau itu duduk rapi berjejer. Tau-tau dibuat semirip mungkin dengan aslinya, juga diberi pakaian yang merupakan pakaian kesukaan si orang mati selama hidup. Menurut tradisi Toraja, hanya turunan bangsawan yang dapat dibuatkan tau-tau dirinya. Salah satunya adalah tau-tau Nek Rendah, yang diberi baju warna ungu. Di sebelah Nek Rendah, ada suaminya yang berjas lusuh, berkacamata, dan sedang memegang tongkat. Sorot mata mereka tajam melihat saya. Mereka adalah bangsawan Sarunggallo.
Saya teringat kedatangan saya hari sebelumnya di Desa Lemo. Suatu destinasi wisata yang sangat terkenal dengan deretan tau-tau di ketinggian dinding-batu. Dari kejauhan tampak anak-anak laki dan perempuan Desa Lemo duduk di pinggir bukit. Mereka sedang bermain-main. Satu di antaranya menyanyikan lagu-lagu berbahasa Toraja. Suaranya mengalun, seakan mengikuti angin mengitari lembah-lembah dan puncak-puncak bukit yang datarannya sawah—yang hijau terhampar.
Di Lemo, ada kira-kira 75 lubang batu, dengan 45 buah tau-tau. Saya penasaran dengan tau-tau di Lemo karena keunikan posisi tangannya yang menengadah, dengan telapak menghadap ke atas, seolah-olah sedang memohon pertolongan. Rupanya ini pertanda bahwa dalam alam mati pun, mereka masih selalu minta kepada keturunannya yang masih hidup agar mendoakan dan melakukan upacara bagi mereka. Inilah yang membedakan tau-tau di Desa Lemo dengan di Desa Kete’ Kesu.
Di Desa Kete’ Kesu, saya bertemu dengan Toni, penduduk asli yang berambut gondrong dan merupakan pemegang kunci tongkonan, rumah adat keluarga. Letak tongkonan tepat di tengah deretan tongkonan lain, dengan tanduk tedong (kerbau) yang paling banyak. Saya dibawa masuk ke tongkonan yang sekaligus museum pribadi itu, lalu berkenalan dengan suasana batin dan suasana masa lalu Toraja versi Toni.
Di pojok ruangan yang pengap dan penuh barang-barang tua, saya lihat tau-tau seorang ibu tua. Patung itu diberi baju dan kain tenun berwarna gelap. Yang unik adalah adanya batang rokok yang terselip di jari tangannya. Siapa dia?
Dengan bersemangat, Toni menjawab bahwa itulah tantenya, J.T. Sarunggallo, si perokok berat, yang kerap dipanggil Tante Takdung. Yang menarik, Tante Takdung adalah penjahit bendera Merah-Putih pertama yang dikibarkan di Tana Toraja pada zaman pergerakan kemerdekaan dulu. Penjaga museum keluarga itu menambahkan, hampir seluruh keluarga si tante adalah pejuang melawan Belanda. Omnya, yang saat itu menjabat Kepala Distrik Masamba, bahkan mati ditembak Belanda karena melindungi warga yang sedang diburu Belanda. Rupanya, selain Pong Tiku, yang telah menjadi pahlawan nasional, Tana Toraja punya pejuang-pejuang lokal yang tidak tercatat sejarah.
"Mengapa kami akrab dengan perayaan kematian?" Ucapan Toni itu awal dari penjelasan panjang-lebarnya bahwa kematian adalah sesuatu yang asing tapi akrab bagi masyarakat Tana Toraja. Asing, karena dunia orang mati adalah dunia yang tak terjangkau oleh manusia yang hidup, tapi akrab karena keseharian mereka terpusat pada segala aspek yang muaranya adalah perayaan kematian. Bahkan, kerbau, yang sehari-hari digunakan untuk membajak sawah (mayoritas penduduk Tana Toraja adalah petani), dimaknai sebagai kendaraan arwah si mati sehingga setiap upacara kematian pasti selalu disertai dengan pengorbanan kerbau.
Sama seperti masyarakat Toraja pada umumnya, masyarakat Toraja Selatan (Toraja Sa’dan) di seputaran Rantepao dan Makale yang mempercayai Aluk Todolo (berarti agama orang dulu), selama hidupnya merasa diberi tugas mempersiapkan perjalanan ke alam lain, yakni puya (alam Nirwana) tempat Puang Matua bersemayam. Mereka menganggap diri mereka berasal dari sana dan turun ke bumi menggunakan sebuah tangga bambu. Karena puya dianggap berada di tempat tinggi di atas bumi, bagi masyarakat Toraja, saat meninggal, alangkah baik jika mereka semakin mendekat puya, dengan dimakamkan di bukit-bukit yang tinggi.
Masih berkaitan tentang perlunya upacara kematian, Toni juga bercerita tentang siri’ mate, yakni tradisi malu, demi harga diri keluarga. Menurut kepercayaan Aluk Todolo, jenazah yang dimakamkan tanpa ada perayaan dan pengorbanan hewan (babi dan tedong) akan mempermalukan leluhur yang sudah berada di puya sekaligus keturunannya yang masih di bumi. Bahkan ada istilah bagi orang yang kematiannya tidak dirayakan, yakni tadibaa bongi, yang berarti orang yang jenazahnya dikubur malam-malam secara sembunyi-sembunyi. Suatu istilah yang menyatakan rasa pengecut, yang akan menurunkan derajat keluarga.
Bahkan, tutur Toni, kesempurnaan upacara mati di dunia akan mengkondisikan juga bagaimana status si mati: sebagai bombo (arwah gentayangan) atau tomembali puang (arwah yang telah kembali jadi dewa). Rupanya mitos adanya mayat hidup yang berjalan menuju makamnya itu muncul dari keberadaan bombo, yakni jenazah yang tidak disertai dengan upacara. "Apakah memang pernah ada kejadian itu?" tanya saya. Toni hanya tertawa. "Itu hanya bualan orang-orang," katanya.
Di Desa Kete’ Kesu, saya menikmati malam turun. Deretan tongkonan beratap perahu dari bambu yang diganti setiap 30 tahun, ditopang tulak somba yang berbentuk salib, ukiran pa’barre allo (lingkaran matahari lambang kehidupan), serta pemandangan menhir-menhir zaman purba (yang juga ada di Bori) dan danau buatan di antara sawah-sawah hijau serta Buntu Kapolang (1.333 mdpl) nun jauh di barat laut membuat suasana sunyi yang turun pelan-pelan di Kete’ Kesu terasa sangat syahdu.
Saya bayangkan, pada suatu waktu dulu—dan mungkin juga sampai nanti—di Kete’ Kesu pasti dilakukan upacara adat dengan meoli (teriakan khas), mabadong (nyanyian lirih mirip ratapan), dan arak-arakan ma’palla (arak jenazah) yang riuh. Di tanah ini, zeitgeist-nya barangkali adalah merayakan hidup dengan memuliakan kematian.
Sumber : http://tempointeraktif.com
Foto : http://3.bp.blogspot.com