Oleh: Agus Setiyanto
Benteng peninggalan Inggris yang mulai dibangun tahun 1714 dan selesai tahun 1719 (Marsden, 1966:452), kini telah berusia 289 tahun (hampir tiga abad). Secara fisik, kondisi benteng yang pernah direnovasi tahun 1979—1984 ini masih cukup kuat dan kokoh, bahkan mungkin tahan banting untuk beberapa generasi ke depan.
Yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana memanfaatkan warisan budaya yang beraset internasional ini, tidak sekedar sebagai sumber daya tarik wisata, tetapi juga menjadi sumber pengkajian ilmu pengetahuan tentang masa lampau, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan keberadaan Benteng Marlborough atau Fort Marlborough ini. Bahkan kontribusi yang kedua ini lebih penting dan strategis bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan kata lain, pengkajian dari berbagai cabang ilmu pengetahuan maupun teknologi dapat memanfaatkan eksistensi Benteng Marlborough sesuai dengan obyek kajiannya. Misal saja, bentuk, tata letak, serta komponen-komponen dari bangunan benteng ini dapat dijadikan sebagai comparative study bagi kajian ilmu tentang berbagai macam bentuk bangungan. Atau bisa juga, dipakai sebagai studi banding dalam kajian ilmu ekonomi dan manajemen–setidaknya dalam aspek kesejarahan (sejarah perkembangan ekonomi), maupun kajian ilmu politik. Sebab, bagaimanapun juga secara historis, Benteng Marlborough punya multifungsi, baik sebagai pusat pertahanan, pusat pemerintahan, maupun pusat kegiatan ekonomi, dan sekaligus sebagai pusat sosio-kultural, tempat berlangsungnya interaksi berbagai suku-suku/bangsa.
Oleh sebab itu, sebaiknya Fort Marlborough tidak saja dijadikan sebagai obyek wisata an-sich, tetapi juga obyek studi sejarah atau lebih tepatnya obyek studi wisata sejarah. Sebagai obyek kajian sejarah, Fort Marlborough berpotensi sebagai sentralnya berbagai bidang kajian sejarah, seperti sejarah politik, eknomi, sosial, maupun budaya. Bahkan cukup menarik dalam studi sejarah Kota Bengkulu, sebab berdirinya sebuah benteng merupakan salah satu ciri dari sebuah kota lama (Max Weber, dalam Sartono, 1977: 11-39).
Alternatif pemanfaat dan pelestarian Fort Marlborough sebagai obyek wisata sejarah tentu saja memerlukan sebuah “empowerment strategy” (strategi pemberdayaan) yang tidak sekedar berorientasi pada nilai excursie-zaken (bisnis wisata), tetapi juga wetenchappen-zaken (bisnis ilmu pengetahuan).
Secara teoretis, strategi pemberdayaan merupakan konsep-konsep dasar (basic concepts) yang berhubungan dengan sistem perencanaan (planning system), sistem pelaksanaan (action system), sistem penilaian (evaluation system), sistem perawatan dan pengawasan (monitoring and maintenance system), dan juga sistem ramal (prediction system).
Sebagai obyek studi wisata sejarah, Benteng Marlborough harus tampil beda dengan obyek-obyek wisata biasa lainnya. Konsekuensi logisnya, benteng ini mesti didukung oleh berbagai sumber sejarah, baik yang primer, sekunder, maupun tersier. Yang primer bisa berupa arsip (dokumen, catatan harian), ataupun yang artefak (epigrafik, numismatik, sfralgistik, sigilografik) yang berhubungan secara langsung dengan zamannya. Sedangkan sumber-sumber yang sekunder, meskipun tidak berhubungan secara langsung, tapi periodisasinya masih terjangkau. Sumber-sumber sekunder ini biasanya berupa tulisan-tulisan atau laporan-laporan yang sezaman. Sementara sumber tersiernya bisa berupa buku-buku, majalah, maupun literatur-literatur ilmiah (Garraghan, 1957:103-123).
Aplikasinya, perlu ruang khusus untuk penyimpanan barang-barang bersejarah (semacam museum), dan juga ruang perpustakaan khusus. Dengan kata lain, Benteng Marlborough berfungsi sebagai museum dan perpustakaan khusus. Karenanya, diperlukan kerjasama dengan beberapa instansi/lembaga terkait seperti pihak Museum Pusat maupun Wilayah, Perpustakaan Nasional/Daerah, Arsip Nasional/Daerah. Bahkan bisa jadi bernegosiasi dengan pihak perpustakaan luar negeri (Leiden maupun London).
Pengoperasionalisasian Fort Marlborough sebagai “museum dan perpustakaan istimewa” ini, diharapkan tidak hanya sekedar sebagai alternatif penyelamatan dan pelestarian, tetapi juga punya added value, misalnya sebagai sentral kajian sejarah budaya Bengkulu. Dan jika dijadikan sebagai tempat studi wisata sejarah dan budaya lokal, maka strategi pemberdayaannya perlu juga melibatkan peran serta dan proaktif kaum pendidik (guru/dosen) melalui penerapan ajaran yang bermuatan lokal di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi. Dan tidak menutup kemungkinan, bisa saja ada kunjungan wisata dari luar daerah yang memanfaatkannya sebagai obyek kajian wisata sejarah.
_________________________
Agus Setiyanto adalah Sejarawan dan Budayawan Bengkulu presidenksb@plasa.com
Foto : http://baltyra.com
Benteng peninggalan Inggris yang mulai dibangun tahun 1714 dan selesai tahun 1719 (Marsden, 1966:452), kini telah berusia 289 tahun (hampir tiga abad). Secara fisik, kondisi benteng yang pernah direnovasi tahun 1979—1984 ini masih cukup kuat dan kokoh, bahkan mungkin tahan banting untuk beberapa generasi ke depan.
Yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana memanfaatkan warisan budaya yang beraset internasional ini, tidak sekedar sebagai sumber daya tarik wisata, tetapi juga menjadi sumber pengkajian ilmu pengetahuan tentang masa lampau, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan keberadaan Benteng Marlborough atau Fort Marlborough ini. Bahkan kontribusi yang kedua ini lebih penting dan strategis bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan kata lain, pengkajian dari berbagai cabang ilmu pengetahuan maupun teknologi dapat memanfaatkan eksistensi Benteng Marlborough sesuai dengan obyek kajiannya. Misal saja, bentuk, tata letak, serta komponen-komponen dari bangunan benteng ini dapat dijadikan sebagai comparative study bagi kajian ilmu tentang berbagai macam bentuk bangungan. Atau bisa juga, dipakai sebagai studi banding dalam kajian ilmu ekonomi dan manajemen–setidaknya dalam aspek kesejarahan (sejarah perkembangan ekonomi), maupun kajian ilmu politik. Sebab, bagaimanapun juga secara historis, Benteng Marlborough punya multifungsi, baik sebagai pusat pertahanan, pusat pemerintahan, maupun pusat kegiatan ekonomi, dan sekaligus sebagai pusat sosio-kultural, tempat berlangsungnya interaksi berbagai suku-suku/bangsa.
Oleh sebab itu, sebaiknya Fort Marlborough tidak saja dijadikan sebagai obyek wisata an-sich, tetapi juga obyek studi sejarah atau lebih tepatnya obyek studi wisata sejarah. Sebagai obyek kajian sejarah, Fort Marlborough berpotensi sebagai sentralnya berbagai bidang kajian sejarah, seperti sejarah politik, eknomi, sosial, maupun budaya. Bahkan cukup menarik dalam studi sejarah Kota Bengkulu, sebab berdirinya sebuah benteng merupakan salah satu ciri dari sebuah kota lama (Max Weber, dalam Sartono, 1977: 11-39).
Alternatif pemanfaat dan pelestarian Fort Marlborough sebagai obyek wisata sejarah tentu saja memerlukan sebuah “empowerment strategy” (strategi pemberdayaan) yang tidak sekedar berorientasi pada nilai excursie-zaken (bisnis wisata), tetapi juga wetenchappen-zaken (bisnis ilmu pengetahuan).
Secara teoretis, strategi pemberdayaan merupakan konsep-konsep dasar (basic concepts) yang berhubungan dengan sistem perencanaan (planning system), sistem pelaksanaan (action system), sistem penilaian (evaluation system), sistem perawatan dan pengawasan (monitoring and maintenance system), dan juga sistem ramal (prediction system).
Sebagai obyek studi wisata sejarah, Benteng Marlborough harus tampil beda dengan obyek-obyek wisata biasa lainnya. Konsekuensi logisnya, benteng ini mesti didukung oleh berbagai sumber sejarah, baik yang primer, sekunder, maupun tersier. Yang primer bisa berupa arsip (dokumen, catatan harian), ataupun yang artefak (epigrafik, numismatik, sfralgistik, sigilografik) yang berhubungan secara langsung dengan zamannya. Sedangkan sumber-sumber yang sekunder, meskipun tidak berhubungan secara langsung, tapi periodisasinya masih terjangkau. Sumber-sumber sekunder ini biasanya berupa tulisan-tulisan atau laporan-laporan yang sezaman. Sementara sumber tersiernya bisa berupa buku-buku, majalah, maupun literatur-literatur ilmiah (Garraghan, 1957:103-123).
Aplikasinya, perlu ruang khusus untuk penyimpanan barang-barang bersejarah (semacam museum), dan juga ruang perpustakaan khusus. Dengan kata lain, Benteng Marlborough berfungsi sebagai museum dan perpustakaan khusus. Karenanya, diperlukan kerjasama dengan beberapa instansi/lembaga terkait seperti pihak Museum Pusat maupun Wilayah, Perpustakaan Nasional/Daerah, Arsip Nasional/Daerah. Bahkan bisa jadi bernegosiasi dengan pihak perpustakaan luar negeri (Leiden maupun London).
Pengoperasionalisasian Fort Marlborough sebagai “museum dan perpustakaan istimewa” ini, diharapkan tidak hanya sekedar sebagai alternatif penyelamatan dan pelestarian, tetapi juga punya added value, misalnya sebagai sentral kajian sejarah budaya Bengkulu. Dan jika dijadikan sebagai tempat studi wisata sejarah dan budaya lokal, maka strategi pemberdayaannya perlu juga melibatkan peran serta dan proaktif kaum pendidik (guru/dosen) melalui penerapan ajaran yang bermuatan lokal di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi. Dan tidak menutup kemungkinan, bisa saja ada kunjungan wisata dari luar daerah yang memanfaatkannya sebagai obyek kajian wisata sejarah.
_________________________
Agus Setiyanto adalah Sejarawan dan Budayawan Bengkulu presidenksb@plasa.com
Foto : http://baltyra.com