Oleh : Djoko Suryo
Pendahuluan
Salah satu persoalan rumit yang dihadapi kota-kota di Indonesia pada masa kini adalah persoalan penduduk, tanah dan lahan permukiman dan usaha. Paling tidak pada sekitar 1900-an isu tentang peledakan penduduk, kemiskinan, lapangan pekerjaan dan perumahan serta gejala urbanisasi mulai mengemuka di Jawa, sebagaimana tercermin dalam isu tentang Mindere Welvaart (Kemerosotan Kemakmuran) yang muncul pada masa itu. Isu-isu itu mengundang tuntutan perbaikan kebijakan dari pihak pemerintah. Kebijakan Politik Etis dengan trilogi programnya, yaitu pendidikan, emigrasi dan irigasi, dan kebijakan Perbaikan Kampung ( Kampung Verbeteringen ), penanggulangan kesehatan, pendirian Lumbung Desa, Bank Perkreditan Rakyat, dan lainnya yang dilancarkan pada sekitar dua dekade pertama awal abad ke-20 merupakan solusi penting terhadap persoalan yang mengemuka pada masa itu. Semuanya itu melatari perjalanan perkembangan kota-kota di Indonesia. Sementara itu, perkembangan kota-kota kolonial atau kota-kota Indies pada 1900-1940-an meningkat, sejalan dengan meningkatnya perkembangan perekonomian pada sektor-sektor tertentu, misalnya pertambangan, perkebunan, perdagangan dan perindustrian. Perkembangan kota yang terjadi pada masa itu, memiliki ciri khas yaitu menjadi basis kelahiran kaum urban baru, yang terdiri dari kaum terpelajar, birokrat atau priyayi, kaum profesional, kaum pengusaha dan pedagang dari kalangan Bumi Putra atau Pribumi, di luar kelas menengah yang berasal dari kalangan orang asing Timur, yaitu Orang Cina. Mereka itu pada hakekatnya menjadi embrio kelahiran “orang Indonesia” pada awal abad ke-20. Di kalangan mereka itulah sesungguhnya kesadaran akan bangsa dan identitas baru muncul, yaitu indentitas “orang Indonesia”. Selain kota Jakarta (Batavia), kota Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya berkembang menjadi kota besar yang berperan sebagai pusat modernisasi. Hal yang sama juga berlaku untuk kota Semarang, Medan dan Makasar. Pesatnya proses modernisasi, industrialisasi, komersialisasi dan edukasi yang terpusat di kota-kota besar telah menjadi faktor pengerak perubahan dan penarik arus urbanisasi dan migrasi penduduk di daerah Indonesia. Kota menjanjikan bagi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan atau di daerah lain di Indonesia. Selain itu, kemajemukan penduduk yang telah menjadi ciri kota-kota colonial, pada masa sesudah Perang Dunia II menjadi semakin berkembang dan lebih-lebih pada masa Orde Baru. Pluralitas penduduk perkotaan di Indonesia, pada hakekatnya menjadi faktor pendorong bagi berlangsungnya proses integrasi dan Indonesianisasi di Indonesia. Proses ini berlangsung tidak hanya melalui kegiatan dalam segi-segi admininistari dan politik pemerintahan dan perekonomian, tetapi juga melalui proses interaksi sosial dan dialog budaya. Tulisan singkat ini bermaksud akan mengemukakan segi-segi yang berkatian dengan perkembangan penduduk dan perubahan profil kota Yogyakarta pada sekitar periode 1900-1990-an. Salah satu pertanyaan yang ingin dijawab ialah tentang bagaimanakah tata ruang kota menjadi semakin berubah sebagai akibat dari tekanan perkembangan penduduk. Secara singkat berikut ini akan dikemukakan segi-segi latar geografis, historis dari berdirinya kota, segi-segi perkembangan kependudukan dan etnisitas, dan perubahan profil kota Yogyakarta yang terjadi selama periode tersebut.
Latar Geografis Kota Yogyakarta
Letak wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110”24”19” sampai 110” 28”53” Bujur Timur dan 07”15’24” sampai 07” 49’ 26” Lintang Selatan. Di tengah wilayah kota tersebut mengalir tiga buah sungai dari arah utara ke selatan, yaitu Sungai Winongo yang terletak di bagian barat kota, Sungai Code terletak di bagian tengah dan Sungai Gadjah Wong terletak di bagian timur. Secara keseluruhan kota Yogyakarta berada di daerah dataran lereng gunung Merapi, dengan kemiringan yang relatif datar (antara 0-3 %) dan pada ketinggian 114 meter di atas permukaan air laut. Adapun wilayah kota yang luasnya 32,50 km2 di sebelah utara dibatasi oleh Kabupaten Sleman, di sebelah timur dibatasi oleh Kabupaten Sleman dan Bantul, di sebelah selatan oleh Kabupaten Bantul dan sebelah barat oleh Kabupaten Bantul dan Sleman (Pemerintah Kota Yogyakarta, 2002, hlm. 3). Batas-batas kota tersebut sesungguhnya mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan jaman dari masa kerajaan, kolonial, kemerdekaaan dan masa-masa mutakhir.
Kedudukan kota Yogyakarta sejak kemerdekaan hingga masa kini ialah menjadi Ibu Kota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin oleh Gubernur, dan masa kinmi dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono X. Selain itu kota Yogyakarta pada masa kini juga menjadi Ibu Kota Pemerintah Kota Yogyakarta yang dipimipin oleh seorang Wali Kota. Wilayah Pemerintah Kota Yogyakarta terbagi atas 14 wilayah Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW (Rukun Warga) dan 2.532 RT (Rukun Tangga) (Buku Saku Kotamadya Yogyakarta, 1998). Secara singkat dapat dikemukakan bahwa luas wilayah kota Yogyakarta mengalami proses perubahan dari semenjak pendirian kota hingga masa mutakhir. Luas dan kecepatan pemekaran fisik tersebut dapat dilihat dari tahun 1796 – 1996.
Latar Historis Pendirian Kota
Secara historis kota Yogyakarta berawal dari sebuah Kota Istana atau Kota Kraton bernama Ngayogyakarta Hadiningrat yang terletak di daerah agraris pedalam Jawa dibangun pada 1756 oleh Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangku Bumi ). Pendirian kota ini dilakukan setelah terjadi peristiwa Palihan Nagari atau Pembagian Dua Kerajaan (Surakarta-Yogyakarta) pada 1755 sebagai hasil Perjanjian Giyanti (Sunan Paku Buwono III dan Sultan Mangkubumi). Ada petunjuk bahwa pendirian kota Yogyakarta itu telah dirancang secara saksama oleh Pangeran Mangkubumi sebagai pendirinya, yang diduga berbakat arsitek. Hal ini dapat ditelusuri terutama dari segi proses pemilihan lokasi (hutan Beringan), tahap-tahap pendirian banguan kraton, konstruksi tata ruang, konsep tata-ruang, dan bangunan arsitektural istana yang penuh simbolisme pandangan dunia kebudayaan Jawa. Pendirian kota yang dirancang sebagai kota istana kerajaan atau Kuthanegara atau Negari itu benar-benar dilakukan melalui kerangka pemikiran konseptual tradisi Jawa, yaitu mendirikan pusat permukiman dengan konsep “Babad Alas” atau “Membuka Hutan”. Di atas lahan terbuka tersebut rupanya kemudian pendiri kota itu membangun istana sebagai kota pusat pemerintahan kerajaan dan sekaligus pusat permukiman warga kota kerajaan di sekitarnya. Pembukaan kota istana semacam itu pada hakekatnya mengikuti tradisi para pendahulunya, seperti yang dilakukan oleh Senapati ketika mendirikan Kota Gede menjadi pusat kota Kerajaan Mataram Islam pertama pada sekitar akhir abad ke 16.
Disebutkan bahwa selain membangun bangunan kraton beserta dua alun-alun di bagian utara dan selatan kraton, ia juga membangun temnok beteng yang mengitari istana, bangunan Taman sari dan sebuah Tugu yang didirikan di bagian utara kraton yang jaraknya kurang lebih 2.5 km dari pusat kraton. Selain itu juga dibangun sebuah bangunan panggung untuk berburu di desa Krapyak yang terletak di bagian selatan kraton ke arah Parangkusumo di Pesisir Laut Selatan. Di luar bangunan pusat kraton itu pada masa berikutnya berkembang menjadi pusat permukiman penduduk warga kraton yang sekaligus menjadi warga kota Yogyakarta pada masa awal.
Banyak para pemerhati dan peneliti, terutama Professor Otto Sumarwoto (Otto Sumarwoto, 2003), yang mengkaji penyusunan tata ruang kota Yogyakarta itu berpendapat bahwa sumbu lokasi bangunan yang menghubungkan Parangkusumo- Panggung Krapyak – Kraton – Tugu dan Gunung Merapi berada dalam satu garis lurus atau poros yang membujur dari Selatan ke Utara. Sementara pihak semula menyebut Poros Selatan-Utara itu sebagai “Poros Imaginer” dari n dunia kebudayaanya. simbolisme filosofi pandangan dunia kraton Yogyakarta. Akan tetapi Prof. Otto Sumarwoto tidak menyetujui istilah “Poros Imajiner” tersebut karena ia telah melakukan penelitian secara saksama sehingga dapat membuktikan secara ilmiah tentang adanya “Garis Lurus” Selatan-Utara tersebut. Oleh karena itu ia lebih menegaskan nama garis lurus itu sebagai “Poros Simbolik- Filosofis Selatan-Utara dari Kraton Yogyakarta. Arah Poros Selatan-Utara ini sekaligus menjadi awal arah pertumbuhan kota, yang kemudian disusul dengan arah Timur-Barat ketika jaringan transportasi berkembang sejak abad ke-19. Disebut sebagai “Tugu Golong-Gilig”, yang memiliki makna simbolis dari konsep manunggaling kawula-gusti, yaitu konsep perstuan antara rakyat dan raja dalam perjuangan melawan Belanda. Akan tetapi pada sekitar tahun 1867 tugu tersebut mengalami kerusakan akibat gempa bumi, sehingga pada tahun 1889 dibangun kembali oleh pemerintah kolonial dalam bentuk seperti yang ada pada masa sekarang ini. Dengan demikian simbol golong-gilig dianggap telah hilang, dan simbol tugu yang baru dianggap berbeda maknanya dengan yang semula (Otto Sumarwoto, 2003, 16). Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa, kota Yogyakarta merupakan salah satu kota tradisional yang dibangun melalui sebuah perencanaan dengan konsep beserta filosofi pembangunan kota berdasarkan pandangan dunia kebudayaan yang berlaku dalam masyarakatnya.
Sesuai dengan konsep kebudayaan tradisional Jawa, Kota Istana Yogyakarta itu ditempatkan sebagai ibu kota Negara kerajaan dan menjadi pusat pemerintahan dan politik bagi wilayah kerajaannya, dengan sebutan sebagai wilayah Negara Agung (Pusat Negara). Konsep dan struktur kerajaan semacam ini berlangsung sejak masa kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung hingga masa Kesultanan Yogyakarta. Dinamika perkembangan kota Yogyakarta pada masa kemudian berlangsung sesuai dengan perubahan-perubahan politik dari masa kolonial hingga masa Kemerdekaan. Demikian pula dinamika perkembangan penduduk kota Yogyakarta berlangsung sesuai dengan perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan politik yang berlangsun dari masa yang panjang tersebut.
Perkembangan Permukiman menuju Pluralitas Penduduk Kota Yogyakarta
Pada awal perkembangannya permukiman kota Yogyakarta cenderung memusat pada poros besar Selatan Utara, Permukiman berupa kampung tempat tinggal penduduk lambat laun tumbuh di sekitar poros yang melintasi istana dari ujung ke ujung dan alun-alun utara, jalan Malioboro dan kemudian hingga ke Tugu. Tempat-tempat permukiman itu lazim disebut sebagai kampung dan namanya diberikan sesuai dengan tugas dan pekerjaan dari penduduk yang menempatinya. Pada awal abad ke-20 pola permukiman penduduk dan struktur kota tampak semakin memusat dan padat.
Istana atau Kraton yang terletak di pusat kota dikelilingi oleh bangunan benteng dan wilayah yang ada di dalamnya dikenal sebagai daerah “Jero Benteng” atau “Jeron Benteng” atau “Dalam benteng”. Daerah di dalam benteng itu melingkupi Alun-alun Utara, Tratag, Pagelaran, Sitihinggil, Prabayaksa, Kraton Kilen, tempat tinggal raja, dan Alun-alun Kidul. Sebagian dari para bangsawan kerabat dekat raja juga tinggal di dalam Jero Benteng. Selain itu di dalam Jero Benteng juga terdapat sejumlah kampung tempat abdi dalem kraton yang bertugas sehari-hari melayani kraton. Sebagai contoh, Kampung Kemitbumen menjadi tempat tinggal abdi dalem kemit bumi yang bertugas sebagai pemersih kraton. Kampung Siliran, tempat tinggal abdi dalem Silir, yaitu mereka yang bertugas mengurusi lampu penerangan kraton. Kampung Gamelan, merupakan tempat abdi dalem yang mengurusi kuda kraton. Kampung Pesidenan, merupakan tempat tinggal abdi dalem pesinden atau wiraswara, yaitu mereka yang bertugas untuk menembangkan tembang-tembang Jawa dalam acara-acara dan upacara kraton. Kampung Patehan, merupakan tempat tinggal para abdi dalem yang bertugas menyediakan minuman di kraton. Kampun Nagan, menjadi tempat tinggal abdi dalem penabuh gamelan Jawa. Kampung Suranatan, merupakan tempat tinggal para abdi dalem yang bertugas dalam bidang keagamaan, yaitu sebagai ulama kraton. Adapun kampong tempat tinggal para bangsawan juga diberi nama menurut nama pangerannya mendiaminya, seperti Pakuningratan, Jayakusuman, Ngadikusuman, Panembahan, Mangkubumen, Suryadiningratan, dan sebagainya.
Kampung yang tumbuh di daerah luar benteng (Jaba Benteng) kebanyakan merupakan tempat tinggal hamba istana lainnya, termasuk kelompok-kelompok profesional, seperti petugas dalam bidang administrasi pemerintahan, prajurit, tukang, pengrajin, dan juga tempat kaum bangsawan lainnya lagi. Nama-nama kampong itu anatara lain sebagai berikut. Kampung Pajeksan, tempat kediaman para jaksa. Kampung Gandekan merupakan tempat kediaman para pesuruh. Kampung Dagen, merupakan tempat kediaman para petugas tukang kayu. Kampung Jlagran merupakan tempat tinggal para petugas tukang batu. Kampung Gowongan, menjadi tempat tinggal para petugas tukang ahli bangunan. Adapun Kampung Menduran, merupakan tempat tinggal orang-orang Madura. Sementara itu Kampung Wirabrajan, Patangpuluhan, Daengan, Jogokaryan, Prawirataman, Ketanggungan, Mantrijeron, Nyutran, serta Surakarsan dan Bugisan merupakan tempat tinggal para anggota prajurit kraton. Masih banyak lagi nama-nama kampong lainnya, yang juga merupakan tempat kediaman para petugas kraton, yang jumlahnya cukup banyak.
Perkembangan permukinam kota Yogyakarta sejak akhir abad ke-19 cenderung menjadi semakin plural sebagai akibat dari semakin banyaknya orang-rang asing yang tinggal di kota Yogyakarta. Selain orang Cina, orang-orang Belanda dan orang Barat lainnya juga banyak yang tinggal di kota ini. Mereka itu adalah para pejabat pemerintah Belanda, para pengusaha perkebunan, atau pengusaha lainnya. Selain orang-orang asing, orang-orang Indonesia dari suku-suku lainnya juga mulai datang untuk tinggal di tempat ini. Seperti halnya penduduk di kota-kota kolonial, warga kota Yogyakarta pada akhirnya juga dapat dibedakan atas tiga golongan penduduk, yaitu Golongan Orang Eropa, golongan Orang Asing Timur dan golongan Orang Bumi Putra.
Bidang-bidang birokrasi pemerintahan, keamanan, perkebunan, dan leveransir kebutuhan hidup. Mereka tinggal di sekitar permukiman masyarakat Eropa di Loji Besar, Loji Kecil, Kota Baru, dan Sagan. Kelompok etnik orang Arab dan Cina umumnya memiliki aktivitas di bidang perekonomian seperti pedagang, pemungut cukai pasar, rumah gadai, rumah persewaan candu, rumah gadai, serta menjadi perantara antara orang Barat dan orang Bumi Putra. Mereka umumnya tinggal di Kampung Pecinan, Sayidan, Kranggan, dan Loji kecil.
Pecahnya Perang Dunia II dan datangnya Pemerintahan Pendudukan Jepang pada 1942, telah membawa berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda dan Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang berlanjut dengan Revolusi Kemerdekaan 1945-1949. Perkembangan terakhir tersebut telah membawa kemunduran penduduk bangsa Eropa di Kota Yogyakarta. Banyak orang-orang Belanda kembali ke Negari Belanda dan tidak kembali lagi ke Yogyakarta, Sebaliknya, selama masa pendudukan Jepang 1942-1945 sejumlah orang Jepang datang dan diam di kota Yogyakarta. Sementara itu pada masa pecah perang kemerdekaan, banyak penduduk kota yang meninggalkan kota untuk mengamankan diri, sehingga dapat diduga penduduk kota Yogyakarta berkurang.
Akan tetapi, sebaliknya, selama tahun 1945-1849 Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia, dan banyak para pejabat pemerintahan dan tokoh-tokoh nasional dari Jakarta atau Jawa Barat hijrah ke Yogyakarta. Pada saat itu pula kota Yogyakarta menjadi kota perjuangan dan kota revolusi yang sangat penting bagi sejarah bangsa. Sejak itu jalan Malioboro muncul dan menjadi pusat kota yang legendaris, yang menyimpan memori kolektif masa perjuangan di kota Yogfyakarta. Malioboro menjadi ekologi simbolik baru bagi kota Yogyakarta, yaitu menjadi arena persebaran makna dan gagasan serta citra baru dari masa revolusi di lingkungan kota Yogyakarta.
Tidak boleh dilupakan pada saat yang sama Universitas Gadjah Mada juga didirikan pada 1949 sebagai Universitas Negari dan Universitas Nasional yang pertama di Indonesia. Sejak itu UGM berperan sebagi tempat belajar bagi para pemuda dari seluruh kepulauan Indonesia. Peran UGM menjadi sangat penting dalam pembangunan kesatuan bangsa, karena UGM kemudian berperan sebagai “melting-pot” bagi pemuda yang berasal dari segala golongan etnis dan penjuru tanah air yang belajar dan tinggal bersama di kota Yogyakarta. untuk menjadi satu kesatuan anak bangsa yang terpelajar dan cerdas. Memang tidak berlebihan untuk dikemukakan bahwa alumni UGM umumnya kemudian tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Umumnya pada masa-masa awal mereka menempati posisi pentingdi jajaran pemerintah daerahnya masing-masing. Setelah selesai belajar dari UGM di kota Yogyakarta memang kebanyakan mereka pulang ke daerah tempat asalnya dan bekerja di pemerintah daerah setempat serta menjadi penggerak pembangunan daerahnya masing-masing. Tidak mengherankan apabila sejak itu kota Yogyakarta menjadi kota tujuan belajar dari pemuda-pemuda dari seluruh tanah air, karena itu kota Yogyakarta mendapat predikat sebagai Kota Pelajar. Pada masa yang sama kota Yogfyakarta juga mendapat julukan sebagi Kota Sepeda, karena para pelajar dan mahasiswa umumnya naik sepeda pergi-pulang sekolah atau kuliah. Perlu dicatat pula sejak masa revolusi sampai tahun 1950-an dan 1960-an kota Yogyakarta juga menjadi pusat kelahiran seniman dan karya-karya seni yang terkemuka dari berbagai cabang seni, seperti seni lukis, seni sastra, teater, seni patung dan seni musik beserta sanggar-sanggarnya. Lebih-lebih seni pedalangan dan seni tari tradisional Jawa juga berkembang di kota ini, di samping seni-seni modern. Tidak mengherankan apabila pada periode itu juga kota Yogyakarta mendapat sebuitan sebagai Kota Budaya. Selanjutnya pada masa berikutnya ketika turism menjadi Kota Tujuan Wisata. Dengan demikian Yogyakarta berkembang menjadi kota yang penuh simbol. Salah satu yang menarik dari kecenderungan pada masa mutakhir kota Yogyakarta pada hakekatnya adalah posisinya yang semakin kuat menjadi Kota Nasional atau “Kota Indonesia”, tercermin dari komposisi penduduknya yang secara plural terdiri dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia.
Perkembangan Kota Yogyakarta, 1900 – 1990-an: Masalah Pemekaran Fisik Kota.
Salah satu persoalan penting dihadapi oleh kota Yogyakarta dalam perkembangan mutakhir adalah masalah pemekaran fisik kota. Kota makin menghadapi tantangan untuk meluaskan wilayah tata ruang kota sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan penduduk semakin mendesak. Meningkatnya perubahan demografis yang secara dinamis terus meningkat telah mendorong meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan, baik kepentingan permukiman dan perumahan maupun kepentingan fasilitas social-ekonomi Agus Suryanto dalam kajiannya tentang perubahan penggunaan lahan di Kota Yogyakarta pada tahun 1959-1996 telah membuktikan bahwa secara historis telah terjadi perubahan luas penggunaan lahan tiap masa sehingga terjadinya pemekaran wilayah fisik kota pada setiap periode, dan periode 1959-1996 merupakan periode percepatan pemekaran fisik yang paling tinggi dibanding dengan periode seblumnya (Agus Suryanto, 2002).
Hal itu dapat dilihat bahwa sejak 1756 hingga 1996 kota Yogyakarta secara berangsur-angsur mengalami pemekaran luas wilayah kota dari luas semula 359.55 Ha menjadi 6687.99 Ha. pada masa yang terakhir. Perbandingan kecepatan pemekaran pada setiap periode dapat disimak, terutama pada periode pertama 1756-1824 dan periode akhir 1987-1996. Pada periode pertama 1576-1824, yang berlangsung selama 68 tahun, telah terjadi penambahan luas fisik kota seluas 764.59 Ha. Hal ini berarti bahwa rata-rata kecepatan pemekaran lahan pada setiap tahunnya adalah 11.24 Ha. Sementara itu, pada periode 1987-1996, yang berlangsung dalam waktu 9 tahun, kota Yogyakarta telah memperoleh penambahan luas lahan sebesar 2025.78 Ha., yang berarti bahwa pada setiap tahunnya telah terjadi kecepatan pemekaran sebesar 225.09 Ha. Ini merupakan suatu kecepatan perluasan wilayah kota yang cukup besar bagi kota Yogyakarta.
Dua faktor penyebab perubahan penggunaan lahan tersebut di atas, menurut penelitian Agus Suryanto adalah faktor konsentrasi penduduk dan faktor kebutuhan ketersediaan fasilitas social ekonomi. Faktor konsentrasi penduduk adalah kepadatan penduduk dalam satuan Jiwa per Km2 pada masing-masing kecamatan. Sebagai contog pada tahun 1987 jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Gondokusuman (59.739 jiwa) dan paling sedikit di Kecamatan Pakualaman (15.439 jiwa). Pada tahun 1996 jumlah tertinggi di Kecamatan Gondokusuman (71.058 jiwa) dan paling sedikit di Kecamatan Pakualam (14.282 jiwa). Sementara itu kepadatan penduduk tertinggi antara lain terdapat di Kecamatan Gedongtengen (26.781 jiwa per Km2) dan Kecamatan Danurejan (26.689 jiwa per Km2), adapun kepadatan terrendah adalah terdapat di Kecamatan Umbulharjo (7.328 jiwa per Km2) dan Kecamatan Kotagede (8.329 jiwa per Km2).
Faktor penyebab kedua adalah faktor fasilitas social ekonomi yang mendorong perubahan penggunaan lahan pertanahan kota, antara lain mencakup segi-segi kebutuhan sebagai berikut.
(1) Penambahan lahan untuk permukiman dan perumahan.
(2) Perluasan dan penambahan panjang jalan untuk fasilitas sarana transportasi.
(3) Fasilitas perdagangan, yaitu jumlah pasar, pertokoan, Swalayan, Mall, dan sebagainya
(4) Fasilitas pendidikan, yaitu gedung persekolahan
(5) Fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, klinik dan tempat-tempat untuk pengobatan.
(6) Fasilitas peribadatan, yaitu mesjid, mushala dan gereja atau yang sejenis
(7) Fasilitas kelembagan yaitu perkantoran baik swasta maupun pemerintah.
(8) Fasilitas olah-raga
(9) Fasilitas hiburan, seperti gedung bioskop, gedung kesenian, dan gedung -gedung pertemuan ataupun perhelatan dan yang sejenis.
Selain itu pada aklhir-akhir ini Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga sedang merencanakan pencarian lahan untuk pelabuhan udara baru sebagai akibat dari tidak memadainya pelabuhan udara Adisucipto untuk menampung arus penerbangan yang makin padat pada akhir-akhir ini. Lebih-lebih pada waktu sekarang Yogyakarta telah membuka jalur penerbangan internasional. internasional, sehingga pembangunan pelabuhan internasional menjadi kebutuhan yang mendesak. Selain itu kota Yogyakarta yang menjadi kota tujuan wisata menuntut perluasan-perluasan fasilitas pengembangan wisata baik dalam kota maupun di daerah sekitarnya. Pengaruh globalisasi dalam sector perekonomian juga tampak mempengaruhi arus perubahan kota Yogyakarta.
Yang menjadi persoalan ialah bagaimana perluasan wilayah perkotaan itu dapat dilakukan, mengingata luas lahan kolta yang tersedia sangat terbatas, sementara perkembangan otonomi daerah akan membatasi ruang gerak pemekaran wilayah antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Dalam hal ini ialah persoalan hambatan batas wilayah antara Pemerintah Kota Yogyakarta dengan wilayah Pemerintah Kabupaten sekitarnya, yaitu Sleman, Bantul dan Gunung Kidul.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa secara hisoris kota Yogyakarta mengalami perubahan-perubahan yang dinamis dari sejak masa pendirian kota itu oleh Pangeran Mangkubumi pada 1756 hingga masa sekarang, baik perubahan demografis, social, ekonomi dan politik. Perubahan demografis dan social-ekonomi telah menjadi salah satu faktor penting dalam membawa dinamika perunbahan tata ruang kota Yogyaakarta dari masa ke masa.
Salah satu pengaruh terpenting dari perubahan-perubahan demografis dan social-ekonomi yang mempengaruhi kota Yogyakarta antara lain ialah terjadi persoalan pemekaran kota yang secara terus-menerus akan terjadi sebagai akibat dorongan dan kebutuhan penggunaaan lahan untuk kepentingan penduduk kota dalam bebrbagai dimensi kehidupan. Problema pertanahan kota menjadi sangat rumit sebagai akibat dari banyaknya keterbatasan dan kendala yang dihadapi kota Yongyakarta pada masa mendatrang.
Kecenderungan perubahan kota Yogyakarta yang menarik adalah kecenderungan perubahan kota dari Kota Tradisional menjadi Kota Nasional atau Kota Indonesia, menuju perkembangan ke arah Kota Internasional.
Daftar Pustaka
Abdurrrahman Surjomihardjo. Sejarah Perkembangan Kota Yogyakarta, 1880-1930. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000.
Agus Suryantoro. “Perubahan Penggunaan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 1959-1996 dengan menggunakan Foto Udara. Kajian Utama Perubahan Luas, Jenis, Prekuensi, dan Kecepatan Perubahan Penggunaan Lahan serta Faktor Pengaruhnya”. Disertasi Doktor dalam Ilmu Geografi Pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2002.
Chamamah Soeratno, Michael Vatikiotis, Djoko Suryo, C. Bakdi Soemanto, and GBPH H. Joyokusumo (eds.). Kraton Jogja: The History and Cultural Heritage. Jakarta: Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat and Indonesian Marketing Association (IMA), 2002.
Hal, Peter. Cities of Tomorrow, an Intellectual History of Urban Planning and Design in the Twentieth Century. Oxford: Blackwell Publishers, 1998.
Nas, P.J., “Jakarta, City Full of Symbols, An Essay in Symbolic Ecology ”, dalam Peter J.M. Nas (ed.), Urban Symbolism. Leiden: E.J. Brill, 1993, hlm. 13 -37.
Nur Aini Setiawati. “Dari Tanah Sultan menuju Tanah Rakyat, Pola Pemilikan, Penguasaan, dan Sengketa Tanah di Kota Yogyakarta setelah Reorganisasi Tanah 1917”. Tesis S2 Ilmu Sejarah di Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2000.
Otto Soemarwoto. “Towards Jogja, The Eco-City. The Regional Agenda 21 for Sustainable Tourism Development in the Special province of Yogyakarta”. Laporan Penelitian untuk Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, (Tanpa angka Tahun).
___________ (ed.). Menuju Jogja, Propinsi Ramah Lingkungan Hidup, Agenda 21 Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2003.
Pemerintah Kota Yogyakarta. Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor: 13 Tahun 2002 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Tahun 2002-2006.
Pemerintah Kota Yogyakarta. Buku Saku Kota Yogyakarta, 1995-1999.
Sumber : http://sejarah.fib.ugm.ac.id