Nama Tjilik Riwut, pahlawan nasional asal Dayak, kiranya bukanlah nama asing di Kalimantan Tengah, walau pun belum tentu semua mengetahui apa-siapa dia. Namanya diucapkan banyak bibir, karena nama bandara dan jalan-jalan yang menggunakan namanya. Dugaan begini muncul ketika saya masih mengajar sebagai guru kecil di sebuah universitas di Palangka Raya hampir sepuluh tahun silam. Sebelum memulai pelajaran pertama, saya menanyakan para pendengar saya satu-persatu, nama, asal etnik, asal sungai dan kampung kelahiran mereka. Sambil mengajukan pertanyaan-pertanyaan demikian, saya mintakan mereka menjelaskan serba sedikit sejarah kampung dan keluarga mereka. Dalam soal sejarah kampung, rata-rata para pendengar saya yang berusia di bawah 30 tahun, menjawab dengan dua kata “tidak tahu”
“Tidak tahu” , dalam proses ajar-mengajar, kemudian saya pahami sebagai suatu tingkat kesadaran dan pengetahuan sejarah di propvinsi ini, walau pun sampel (sample)-nya masih sangat terbatas, yaitu para pendengar saya selama beberapa tahun akademi. Secara nasional, agaknya kesadaran dan pengetahuan sejarah memang masih merupakan permasalahan, apalagi dengan adanya pemutarbalikan sejarah yang dilakukan oleh Orde Baru Soeharto selama tiga dasawarsa lebih, sehingga sementara sejarawan menyerukan perlu adanya yang disebut “pelurusan sejarah” (tanpa memasuki tepat tidaknya istilah “pelurusan sejarah” ini).
Kalau kita tidak mengindahkan masalah kesadaran dan pengetahuan sejarah, bisa terjadi akan lahir suatu angkatan yang di Perancis disebut sebagai “angkatan tanpa sejarah”, angkatan yang tidak mengenal apa-siapa dirinya, angkatan hilang akar. Angkatan begini, akan berujung pada keterasingan dari negeri dan bangsa sendiri, gampang menjadi angkatan epigon. Lalu, mereka tidak mempunyai daya tahan, daya lawan, daya saring terhadap berbagai serbuan hal-hal dari luar. Yang saya makudkan dengan sejarah, tentu saja mencakup sejarah berbagai bidang pada berbagai kurun waktu, bukan hanya sejarah politik tetapi sejarah dalam artian menyeluruh, seperti sejarah politik, sejarah ekonomi, budaya, sejarah pemikiran, sejarah tekhnologi, dan lain-lain. Sehingga ketika kita berbicara tentang kesadaran dan pengetahuan sejarah, sekaligus di dalamnya, kita berbicara tentang kesadaran dan pengetahuan kebudayaan. Oleh arti pentingnya sejarah bagi manusia hari ini agar “menjadi manusia hari ini”, maka sementara pemikir Barat mengatakan “sejarah adalah juga hari ini”. Apakah benar bahwa kita sudah “menjadi manusia hari ini” karena kita di kurun masa hari ini? Apakah kita sudah menjadi Dayak karena di nadi-nadi kita mengalir dari Dayak? Sudah menjadi orang Kalimantan Tengah karena tinggal dan hidup di Kalimantan Tengah?
Tjilik Riwut dan istri serta dua orang puterinya. Nila Riwut, biasa dipanggil Mina Nila, salah seorang penulis Kalteng paling produktif dewasa ini, termasuk menulis masalah sejarah Kalteng, cq. Tjilik Riwut, duduk di pangkuan sang ayah: Tjilik Riwut. (Dari: Dokumentasi Nila Riwut)
Bagaimana menangani masalah minimnya kesadaran dan pengetahuan sejarah?
Faktor yang berperan besar dalam soal ini adalah sekolah (mulai dari tingkat Sekolah Dasar, SLTP dan SLTA), di samping pers, penerbitan, lembaga-lembaga swasta, keluarga dan para penulis, terutama sejarawan. Tidak kurang pentingnya adalah cara ajar-mengajar yang menarik dan mendasar. Bukan hanya menderetkan dan menuturkan tanggal-tanggal dan tahun-tahun peristiwa, tetapi sejarah pemikiran dan latar peristiwa seperti latar belakang politik lokal, nasional dan internasional. Sedangkan yang dimaksudkan dengan latar sejarah pemikiran sejarah, dijelaskan latar filsafat yang mendorong terjadinya peristiwa itu. Misalnya Perang Kemerdekaan Agustus 1945, berlangsungnya Konfrensi Meja Bundar Desember 1949, Tragedi September 1965, Pemberontakan Kahar Muzakkar, Pemberontakan Gerakan Mandau Talawang Panca Sila untuk mendirikan Kalimantan Tengah 1957, dan lain-lain… Latar filsafat peristiwa akan membuat anak didik dan pendengar atau pembaca menjadi jelas mengapa peristiwa itu terjadi, berlangsung dalam kondisi dan konteks yang bagaimana. Barangkali dengan metode ajar-mengajar begini, para pendengar akan terbuka kesadaran sejarah dan pemikiran mereka, sehingga membantu mereka untuk membabangun suatu wawasan sejarah, dan wacana kemansiaannya. Sudahkah, adakah cara ajar mengajar sejarah begini dikerjakan di sekolah-sekolah?
Dalam proses ajar-mengajar, unsur buku sejarah pegangan standar mempunyai peran yang tidak kecil pula. Buku pegangan bisa dipelajari sendiri, sedangkan kuliah, pengajaran di ruang kelas, bersifat pengantar dalam membaca atau belajar sendiri. Buku yang sejarah bagaimana akan mempunyai pengaruh langsung terhadap pembentukan wacana sejarah pembacanya. Sejarah yang diputar-balikkan akan melahirkan wacana sejarah yang terputar-balik pula.
Dari segi obyektivitas ini, agaknya sejarah
Sarana lain untuk pembelajaran sejarah adalah museum. Sejauh ini, untuk belajar sejarah Dayak, Museum Dayak di Kuching,
Kesadaran akan arti penting museum sebagai sarana pendidikan sejarah saya saksikan di Republik Rakyat Tiongkok, di Viêt
Di samping museum, hal lain untuk mencatat dan mensosialisasikan sejarah kolektif ini, adalah didirikannya prasasti-prasasti. Langkah ini dilakukan misalnya oleh pemerintah Perancis ketika Partai-partai kiri memerintah. Di mana-mana, hampir di semua bangunan penting, pojok-pojok jalan, di stasiun-stasiun kereta api bawah tanah (metro), ditancapkan prasasti-prasasti yang mengikhtisarkan sejarah bangunan dan tempat itu.
Kuburan publik, apalagi jika di situ turut dimakamkan penulis, politisi, dan pejuang-pejuang anti fasis serta yang berjasa untuk Perancis (jika mengambil contoh Perancis), makam publik itu dirawat dengan baik oleh sebuah tim pengurus makam yang khusus. Makam publik begini pun menjadi salah satu obyek wisata penting di samping menjadi sumber sejarah. Dengan perbandingan begini, saya merasa sedih setelah melihat betapa banyak sapundu usia ratusan tahun di pambak-pambak yang dijadikan sebagai cagar budaya, digergaji dan dijual. Cagar budaya tidak terurus, menjelma menjadi tempat bercocoktanam sayur-mayur seakan-akan Kalimantan Tengah kekuarangan tanah untuk bercocok-tanam. Situasi demikian apakah bukan cerminan dari tingkat kesadaran budaya dan kesadaran sejarah kita, cerminan dari apakah kita bisa menghargai diri sendiri atau tidak?
Saban pergi bolak-balik Kasongan-Palangka Raya, saya selalu singgah di Bukit Batu sekedar untuk memberi hormat pada leluhur dan Tjilik Riwut yang saya kenal sejak kecil. Berbagai rencana Pemerintah Daerah (Pemda) telah dibuat lengkap dengan rencana gambar untuk kawasan Bukit Batu, tempat pertapaan gubernur pertama dan salah seorang pembangun provinsi Kalimantan Tengah. Kawasan itu diharapkan sebagai salah satu oyek wisata juga. Tapi kenyataannya sampai sekarang, kawasan tersebut masih saja seperti sepuluhan tahun silam tak terurus. Rencana tinggal rencana. Jika tidak ada usaha pencegahan dari Tiyel Djelau, teman seperjuangan Tjilik Riwut, Bukit Batu sudah lama hancur. Batu-batunya diambil untuk fondamen bangunan. Batu fonademen bangunan memang langka di Kalimantan Tengah. Karena mencegah penghncuran kawasan Bukit Batu ini, Tiyel Djelau oleh pemerintah Kotawaringin Timur melalui Sekdanya di Sampit, pada masa Orde Baru sempat dituduh sebagai « anti pembangunan » (Lihat : Dokumentasi Tiyel Djelau). Uang sudah mengalahkan pahlawan dan menghalau roh para leluhur.
Yang lebih memprihatinkan adalah keadaan rumah gubernur yang oleh Pemda dihibahkan kepada Tjilik Riwut dan keluarga sebagai penghargaan atas jasa-jasa Tjilik Riwut terhadap Kalimantan Tengah. Rumah ini sekarang berada dalam keadaan menunggu kehancuran jika tidak segera dirawat. Dari rumah inilah dahulu pada tahun 1957sampai Tjilik Riwut tidak lagi menjadi gubernur, mengelola Kalimantan Tengah. Saya memandang rumah ini sebagai rumah bersejarah yang perlu dirawat dan tidak dibiarkan hancur. Alangkah baiknya rumah bersejarah ini dipugar tanpa merobah bentuknya sedikit pun. Bahkan Salundik Gohong, mantan walikota Palangka Raya, dalam pembicaraan santai ketika kami berjumpa hingga larut malam, mengusulkan bagaimana rumah itu setelah dipugar dijadikan Museum Tjilik Riwut. Jurnal ini saya tulis untuk menggarisbawahi usul mantan Walikota Palangka Raya yang merakyat dan sadar akan arti sejarah rumah tersebut. Melalui Museum Tjilik Riwut demikian, angkatan demi angkatan berikutnya, juga para wisatawan akan mengenal sosok Tjilik Riwut. Semua yang berkenaan dengan diri Tjilik Riwut disimpan di museum ini. Jika tidak mungkin disimpan di museum, seperti makamnya di Taman Pahlawan Sanaman Lampang atau yang terdapat di Kasongan dan tempat-tempat lainnya, foto-oto tempat itu dan atau miniaturnya dimasukkan sebagai isi Museum. Saya tidak melihat kerugian apa pun jika Pemerintah Daerah tingkat provinsi mengambil prakarsa begini. Yang ada justru hanya keuntungannya saja.
Berbicara tentang Museum Tjilik Riwut, sekaligus saya ingin menarik perhatian semua pihak, terutama pengelola kekuasaan di Kalimantan Tengah, terhadap nasib para pejuang, baik yang turut dalam Gerakan Mandau Talawang Panca Sila, mau pun dalam perjuangan menghalau penjajahan Belanda dari Bumi Tambun Bungai. Dalam rangka peringatan ulangtahun ke-52 Kalimantan Tengah yang lalu, TVRI Kalimantan Tengah dengan berani menayangkan keadaan para pejuang tersebut yang dilupakan. “
Di zaman ini, masihkah kita memerlukan pahlawan? Sering memang terjadi bahwa pahlawan dibunuh berkali-kali. Apakah Kalimantan Tengah termasuk yang turut membunuh para pahlawannya sendiri?
Wacana, kesadaran, sikap, pendidikan, pendokumentasian dan pengetahuan sejarah obyektif, demikian juga wacana, kesadaran, sikap dan pengetahuan budaya, agaknya masih perlu dibangun di Kalimantan Tengah jika kita tidak ingin menjadi asing terhadap diri kita sendiri, menghomarti harkat dan martabat diri sendiri sebagai orang yang berdiri di kampung halaman, memandang tanahair merangkul bumi. ***(JJ. Kusni)
Sumber : http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com