Abstrak
Latar Belakang
Untuk memupuk apresiasi terhadap warisan budaya kolonial, beberapa kali mahasiswa Program Studi Belanda dan juga para dosen tamu dari Belgia dan Belanda mengadakan studitour ke Depok. Tour de Depok dibagi dalam dua jenis yaitu Tour historis di Depok Lama dan Tour magis di daerah Depok Beji dan sekitarnya. Tour historis dimaksudkan sebuah tour berbekal pengetahuan sejarah Depok yang sumbernya dapat ditelusuri di arsip atau perpustakaan, misalnya yang tersimpan di Arsip Nasional Indonesia maupun di Den Haag, Perpustakaan Nasional Jakarta dan lain-lain. Tour yang berikut disebut tour magis karena yang dilihat adalah koleksi senjata yang tidak dapat ditelusuri asal-usulnya dalam sumber pustaka. Senjata-senjata tersebut dikeramatkan dan kini tersimpan di bawah pohon beringin besar, yang tidak jauh dari situ ada pemandian si Pitung yang menurut pekuncen pada setiap malam tanggal satu bulan Muharam (Suro) banyak didatangi peziarah dari berbagai tempat untuk mandi dan bermalam di situ untuk melakukan penyuwunan ’permohonan pribadi’ pada Yang Maha Kuasa.
Jika orang Jawa suka sekali permainan singkatan atau jarwa dosok demikian pula masyarakat Depok senang mengotak-atik nama Depok dengan berbagai interpretasi, misalnya:
DEPOK kepanjangan dari De Eerste Protestante Onderdaan Kerk ’ Gereja Abdi Protestan Pertama’; DEPOK =Deze Eenheid Predikt Ons Kristus ‘ Persekutuan ini mengabarkan Kristus kita’, ada lagi DEPOK = De Eerste Protestante van Kristenen’, dan pada tahun 1977 DEPOK = Daerah Elit Pemukiman Orang Kota’.
Ada kebiasaan dari orang asing baik Portugis maupun Belanda menuliskan nama daerah tertentu sesuai dengan bahasa mereka. Nama-nama ini statusnya sama dengan kosa kata pinjaman dari bahasa lain (loan word) dan kemudian sedikit-banyaknya disesuaikan dengan kaidah bahasa sendiri (Kridalaksana 1993: 100), misalnya kata Banten è Bantam, Gresik è Grissee, Chirebon è Cheribon, Pecenongan è Pecengongnang. Untuk kata ’depok’ tidak mengalami proses yang demikian karena sifatnya secara fonologis tidak asing bagi bangsa Belanda. Dalam bahasa Belanda terdpat kata kapstok, wandelstok, bok, onderrok, dan sebagainya yang berakhiran -ok. Jadi dari awal sebelum masa kolonial, nama daerah ini adalah Depok. Kata depok dalam bahasa Sunda bermakna ’duduk’, sedangkan depok dapat bermakna ’tempat berguru’, ’tempat menuntut ilmu’. Dalam pewayangan setelah adegan goro-goro biasanya diikuti adegan di padepokan di mana seorang kesatria diikuti para punakawan sedang menghadap seorang begawan untuk mohon petunjuk bagaimana mengatasi keruwetan negara. Perpindahan Universitas Indonesia ke Depok adalah sebuah pilihan yang tepat, karena di tempat ini sejak dahulu adalah tempat mengajarkan ilmu pengetahuan.
Pada Masa kolonial Depok ini adalah tempat menuntut ilmu bagi calon-calon pendeta karena pada mulanya hanya Depok sebagai pusat seminarium dari berbagai zending di Hindia-Belanda. Murid-murid seminari datang dari Nias, Tapanuli, Sunda, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sangir/Talaud, Halmahera, bahkan dari Papua.
Pada masa pra-kolonial Depok adalah pusat perguruan dari prajurit-prajurit Banten dalam rangka perlawanan terhadap Kerajaan Pajajaran yang pada tahun 1522 Raja Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugis, yang sangat ditentang oleh kerajaan-kerajaan pesisir yang pada waktu itu telah memeluk agama Islam (Heuken 1999: 55-61).
Depok Masa Prakolonial
Pada masa prakolonial wilayah Depok ini termasuk wilayah Cirebon berbatasan dengan wilayah kesultanan Banten. Diperkirakan pada masa perlawanan antara kesultanan Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji di bawah pengaruh VOC, wilayah Depok ini menjadi pusat menyusun kekuatan prajurit-prajurit Banten dalam perlawananya terhadap Kompeni. Setelah Sultan Ageng Tirtayasa ditawan Belanda di Batavia (14 Maret 1683), Depok kemungkinan besar pernah dijadikan markas atau tempat persinggahan sisa-sisa prajurit Banten yang tidak mau menyerah yang dipimpin Syeh Yusuf. Baru setelah Syech Yusuf tertangkap (14 Desember 1683) dan diasingkan di Afrika Selatan, keadaan di Depok pun tenang (Michrob, Hawany dan Mudjahid Chudari 1993: 157-158). Mengenai kebenaran asumsi ini, perlu dilakukan penelitian sumber-sumber sejarah secara lebih mendalam.
Depok Masa Kolonial
Sejak tahun 1683 keadaan di Jawa Barat khususnya wilayah Banten dan Batavia sudah tenang. Tahun itu adalah tahun puncak kejayaan VOC karena dengan jatuhnya Banten di bawah pengaruh VOC berakhir sudah masa perlawanan kerajaan-kerajaan besar di Asia Tenggara. Untuk menjamin ketenangan tersebut didirikan benteng Speelwijk di Banten (1685) untuk membungkam Banten dari percaturan dunia internasional. Sejak saat itu VOC mulai bertindak sebagai pengatur pemerintahan di Nusantara. dan sejak saat itu pula orang Belanda mulai berani berusaha jauh di luar tembok Batavia. Di beberapa tempat sudah mulai dibangun villa-villa (landhuizen) antara lain Pondok Gede, Cimanggis, Tanjung Oost dan Pancoran Mas Depok. Banyak orang Cina Banten menjadi pemilik tanah partikelir yang luas. Antara lain Tio Thiong Kho yang menjual sebagian tanahnya kepada Cornelis Chastelein seorang pejabat Kompeni di Batavia.
Cornelis Chastelein Pendiri Komunitas Kristen Depok
Cornelis Chastelein (lahir pada tanggal 10 Agustus 1657) adalah putera bungsu Anthonny Chastelein dari 6 saudara perempuan dan dua saudara laki-laki. Ibunya yang puteri walikota Dordrecht bernama Maria Cruydenier. Antonny Chastelein tinggal di kota La Rochelle, Prancis. Ia adalah seorang Hugenot yang sangat puritan. Hugenot adalah sebutan untuk pengikut ajaran Kristen Protestan Calvin di Prancis. Pada masa Raja Louis XIV orang-orang Hugenot banyak diburu, ditangkapi, disiksa dan dibunuh. Puncaknya adalah peristiwa malam Bartholomeus, pada saat seorang pemimpin Hugenot menikah dengan seorang wanita bangsawan yang Katolik, banyak orang Hugenot datang dari berbagai daerah berbondong-bondong untuk menyaksikan pesta pernikahan dua aliran yang berbeda yang sangat bersejarah tersebut, tetapi atas izin Du Medici puluhan ribu orang Hugenot pada malam itu, pada saat mereka sedang tidur, dibantai oleh orang Katolik. akibatnya puluhan ribu orang Hugenot menjadi korban. Anthony Chastelein bertekad melarikan diri ke Dordrecht Belanda, kemudian ia menikah dengan Maria Cruydenier putri Walikota Dordrecht, yang juga pengurus Kamar dagang WIC (West Indisch Compagnie). Anthony bersama istrinya kemudian pindah ke Amsterdam untuk bekerja pada kamar dagang VOC di sana. Bukti bahwa Chastelein adalah orang Prancis nampak dari lambang heraldiknya yang sama dengan lambang heraldik Johan de Mauregnaults (1541-1587) yang membantu Willem I dan sebagai kapiten komando regiment Walonia pada saat pendudukan kota Harlem oleh Spanyol dalam Perang 80 Tahun. (lihat lambang heraldik C. Chastelein berikut ini):
Pada tanggal 24 Januari 1674 Cornelis Chastelein berlayar ke Batavia menumpang kapal ’t Huis te Cleff dan sampai di Batavia pada tanggal 16 Agustus 1674, setelah menempuh perjalanan yang melelahkan selama 233 hari. Di Batavia ia bekerja pada VOC yang berkantor pusat di Kasteel Batavia sebagai tenaga akuntansi. Ia adalah pekerja yang sangat rajin dan penuh dedikasi. Hubungannya sangat baik dengan Gubernur Jenderal Camphuys yang terkenal supel dan penuh toleransi. Bekerjanya kurang nyaman setelah Gubernur Jenderal Camphuys digantikan oleh Van Outhoorn. Ia juga kurang begitu cocok dengan Van Outhoorn. Pada tahun 1682 ia menjabat sebagai usahawan toko besar di Batavia dan pada tahun 1691 ia daingkat menjadi Saudagar junior (onderkoopman) di Kastil Batavia. Ketidakcocokannya dengan Van Outhoorn mencapai puncaknya saat Johan van Hoorn menantu Van Outhoorn diangkat menjadi atasan langsung Cornelis Chastelein. Pada tahun 1691 ia mengajukan permohonan berhenti dengan hormat dengan alasan sakit. (Resolutie van den Gouverneur-generaal en Raden van 22 September 1691) (De Bannier 1914 :1).
Pada tahun 1704 ia diangkat sebagai anggota luar biasa (extra ordinair) Dewan Kastil Batavia dan bertindak sebagai Saudagar Kepala (Opperkoopman), dan pada tahun 1696 ia membeli tanah Mampang (kini di sebelah selatan Depok di kecamatan Grogol berbatasan dengan kecamatan Krukut) dan Depok. Pada bulan November 1708 dia diangkat menjadi anggota biasa Dewan Hindia Belanda. Tahun 1709 sebagai komisaris politik dewan gereja dan pengawas tanggul dan pengairan (heemraden) Batavia dan Anggota Dewan Kehakiman Batavia. Pada tahun 1710 ia diangkat sebagai Presiden Pengurus Anak Yatim Piatu suatu jabatan yang sangat terhormat dan memberikan banyak kesempatan untuk memperkaya diri.
Ia menikah dengan Catharina van Quaelberg (kemungkinan keponakan sendiri karena ayahnya menikah dengan seorang bernama Henriette Chastelein). Dalam perkawinan ini mereka hanya dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Anthony Chastelein. Di samping itu ia juga menikah dengan warga pribumi (Bali) dan memperoleh seorang anak perempuan bernama Maria Chatelein.
Chastelein meninggal pada tanggal 28 Juni 1714 pada jam 4 sore. Sebelum meninggal Cornelis Chastelein telah membuat surat wasiat untuk anak-anak dan para budaknya. Isi dari surat wasiat tersebut merupakan cita-cita Chastelein untuk membentuk suatu komunitas Kristen dengan sistem pemerintahan dalam pemerintahan atau semacam otonomi daerah dewasa ini.
Tanah Chastelein Tanah Partikelir
Pada anggal 18 Mei 1691 Cornelis Chastelein membeli sebidang tanah, yaitu wilayah Depok, Mampang dan Karang Anyar seharga 700 ringgit (rijkdaalders) dari seorang tuan tanah Cina Tio Tiong Ko. Tanah ini dibeli dengan hak eigendom. Dalam Burgerrecht art. 570 :
.`.`. Eigendom is het recht om van een zaak het vrij genot te hebben, en daarover op de volstrekste wijze te beschikken, mits men er geen gebruik van maken, strijdende tegen de wetten op de openbare verordeningen, daargesteld door zodanige macht, die dartoe de bevoegdheid heeft , en mits men aan de rechten van anderen geen hinder toebrengt, als behoudens de onteigening en algemene nutte tegen behoorlijke schadeloosstelling, ingevolge de wettelijke bepalingen.
‘hak eigendom adalah hak untuk dengan leluasa menikmati kegunaan suatu benda (tanah) itu dengan kekuasaan yang sepenuhnya, satu dan lain asal tidak bertentangan dengan masing-masing undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang ditetapkan oleh badan-badan penguasa yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak orang lain’.
Tanah partikelir adalah tanah yang memiliki sifat dan corak yang istimewa. Di mana tanah ini memiliki hak yang bersifat kenegaraan, yang disebut “landheerlijke rechten” atau hak-hak pertuanan. Hak pertuanan misalnya: hak mengangkat dan menghentikan kepala kampung, hak menuntut kerja paksa, hak mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun hasil bumi dari penduduk, hak untuk mendirikan pasar, hak memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan, hak untuk mengharuskan penduduk memotong rumput, dan macam-macam hak lagi atas tuan tanah pada tanah partikelirnya. Dengan adanya hak-hak pertuanan itu, maka tanah-tanah partikelir tersebut seakan-akan merupakan negara dalam negara. Oleh karena itu Chastelein sebagai seoraang tuan tanah dapat dengan leluasa seperti seorang ’raja kecil’ mengurus tanahnya serta semua yang diam di atas tanah tersebut.
Cornelis Chastelein sebagai seorang saudagar mempunyai satu tujuan yaitu ingin memanfaatkan tanah tersebut demi kepentingan perdagangan. Sebagai seorang saudagar ia tahu tanaman-tanaman apa yang dapat laku di pasaran dan ini pasti banyak menghasilkan uang. Di samping itu sebagai seorang pemeluk agama Kristen Protestan yang sangat puritan, ia ingin meneruskan cita-cita ayah dan kakeknya yaitu membentuk sebuah komunitas Kristen yang sealiran. Oleh karena itu dalam wasiatnya ia susun sedemikian rupa sehingga akan terbentuk suatu komunitas Kristen yang ia cita-citakan. Bahwa ia membebaskan budak 60 tahun lebih dulu dari pengesahan undang-undang anti perbudakan di Amerika, ia bukanlah seorang pionir, karena pemerintah Kompeni pun membebaskan budak-budaknya dengan syarat mereka harus masuk agama Kristen Protestan saat Kompeni mengalahkan Malaka pada tahun 1641. Para tawanan yang berstatus budak tersebut selanjutnya disebut kaum mardijker ’orang merdeka’. Mereka bermukim di sekitar Gereja Sion atau Portugeesche Buitenkerk dan sisanya kini masih bermukim di daerah Tugu Jakarta Utara.
Tanah Garapan
Semasa Cornelis Chastelein masih hidup, para budak itu harus bekerja di sawah dan membantu di rumahnya untuk menyelesaikan berbagai macam pekerjaan. Kekayaan Cornelis Chastelein begitu berlimpah karena kerja keras para budaknya. Pada saat ia membeli tanah, di atas tanah tersebut sudah ada penduduknya yang merdeka. Mereka ini disebut orang Depok asal. Mereka statusnya sebagai penggarap maro pada Chastelein. Untuk lebih meningkatkan hasil bumi didatangkan orang-orang dari Sulawesi, Timor dan Bali. Mereka adalah budak-budak yang dibeli di Batavia. Pada saat Chastelein masih hidup semua budak itu hidupnya tergantung dari tuannya. Pada siang hari mereka bekerja dan pada malam hari mereka diajari agama terutama menghafal sepuluh perintah Allah.
Untuk memudahkan pengaturannya, maka budak-budak tersebut dibagi menjadi 12 marga yaitu:
Jonathans, Leander, Loens, Bakas, Soedira, Samuel, Jacob, Laurens, Joseph, Tholense, Iskah, Zadokh (Kedua belas nama itu kini tertulis di duabelas pintu gereja Immanuel di jln. Pemuda Depok). (Sekarang keluarga Zadokh sudah tidak ada lagi).
Testamen Cornelis Chastelein
Sebelum meninggal dunia seperti kebiasaan orang Belanda, ia meninggalkan surat wasiat agar para ahli warisnya tidak saling berebut warisan yang berakibat pecahnya suatu keluarga. Ia mewariskan hartanya kepada Maria Chastelein dan Antony Chastelein dan di samping itu ia memerdekakan budak Kristen sebanyak 150 orang dan budak-budak lain yang beragama Islam. Di antara mereka adalah orang tua dari budak-budak yang sudah memeluk agama Kristen. Dalam testamennya berbunyi demikian:
Verder soo verclare te emanciperen en in volkomen vrijdom te stellen alle mijne Christenslaven en slavinnen benevens haare kinderen en kindskinderen, hetwelcke ook plaats zal moeten hebben, omtrent alle degene die geduurende mijn leven nog Christen en kinderen die na dato deser gebooren worden, bestaande de gemelte Christenen jegenwoordig soo oud als jong, benevens de kinderen en kinds kinderen wel in de honderd en vijftig menschen daar onder vele jonge mannen en vrouwen die in korten tijd nog merckelijk sullen kunnen vermenigvuldigen.
Nog soo schenke ik de vrijdom aan Jan van baly alias batoepahan synde Mohamedaan, aan Samat van Baly, Hanny van Baly, Willem van Macasser en Florian van Benglie, gelijk mede vrijdom schenke aan bapa ramia en sijn wijff Ma Ramia, Lucas en sijn wijff
Clara, Tanckas, Ma Djagat, Ma Lantas, Hagar en Soma, alle van Baly ende bejaarde off meest eigene; afgeleefde lieden van mijne Christen lijfeigene . . .
Chatselein dan seni
Perhatian Chatelein terhadap kesenian sangat besar, ini diungkapkan bahwa dia juga mempunyai dua jenis gamelan Bali. Gamelan yang bagus hanya dipakai pada saat upacara penting sedangkan gamelan biasa khusus untuk latihan sehari-hari. warisan itu menurutnya harus dipelihara dan kalau ada yang rusak harus segera diperbaiki secara gotong royong. Chastelein melarang pertunjukan ronggeng di daerah Depok karena pertunjukan ini selalu mengundang keonaran dan kerusuhan.
Chastelein dan hukum
Kepada pewarisnya Chastelein menganjurkan bahwa segala permasalahan di antara mereka harus diselesaikan secara kekeluargaan dan sedapat mungkin dapat diselesaikan di Depok di bawah para jarong (pemimpin kampung). Kalau masalah itu sampai ke tingkat pengadilan tinggi di Batavia, maka akan berlarut-larut dan menghabiskan biaya, waktu dan tenaga. Ia juga menganjurkan untuk pelanggar hukum terbera, kepadanya dijatuhi hukum pembuangan di pulau Edam atau pulau Onrust beberapa waktu sampai orang tersebut kapok dan tobat.
Chastelein dan keseimbangan lingkungan
Di samping eksploitasi tanah Depok untuk pertanian, Chastelein menyadari bahwa perlu adanya daerah resapan air. Oleh karena itu harus ada hutan lindung. Hutan itu harus dijaga dan dilestarikan oleh penghuninya. Ia menerapkan peraturan yang sangat keras terhadap orang yang menebang kayu atau bambu di hutan tersebut. Hutan itu kini tinggal sedikit karena sudah diserobot para pendatang untuk dijadikan tempat tinggal, dan kayunya sudah banyak dicuri orang. Dahulu para pencuri akan dihukum sangat berat. Kelihatannya hutan itu kini sudah tidak mampu lagi untuk menyangga kebutuhan air di Depok.
Penduduk Depok Masa Kolonial
Depok asal
Penduduk Depok asal adalah penduduk Depok yang telah mendiami tanah garapan pada saat Chastelein membeli tanah tersebut. Oleh Chastelein mereka boleh menggarap tanah tersebut dengan sistem maro yaitu setelah dipotong pajak dan penderep maka separoh dari hasil panenan diserahkan kepada pemiliknya yang sah yaitu Cornelis Chastelein. (Pada saat Cahstelein sudah meninggal dunia, pemilik yang sah adalah orang depok asli). Penduduk asal ini adalah oran Betawi dan beragama Islam.
Depok Asli
Yang dimaksud dengan penduduk Depok asli di sini adalah mantan budak yang telah dimerdekakan (gelijkgsteld) oleh Cornelis Chastelein. Mereka ini telah diberi tanah garapan. Yang membedakan antara warga Depok asal dan asli adalah bahwa warga Depok asal dikenai pajak 1/5 dari ahsil panenan, sedangkan warga Depok asli hanya 1/10 dari hasil panenan. Dengan adanya pembedaan ini jelas bahwa kedudukan warga Depok asli lebih tinggi dari pada warga Depok asal. Hubungan mereka menyerupai hubungan patron-client (Marjali dalam Majalah Antropologi 1977 : 60). Orang Depok asal menganggap wajar dan mengakui bahwa mereka bekerja di atas tanah orang Depok asli. Sebaliknya orang Depok asli wajib melindungi dan memperhatikan kesejahtaraan orang Depok asal. Pada saat hari raya Natal, Tahun Baru atau peringatan kematian Cornelis Chastelein, banyak orang Depok asal yang datang berkunjung ke rumah orang Depok asli. Sebaliknya pada saat hari raya Iedul Fitri banyak orang Depok asli yang berkunjung ke rumah orang Depok asal.
Warga Depok Kulon
Dengan dibukanya sekolah di Depok, banyak warga Depok yang mengenyam pendidikan sampai ke tingkat pendidikan tinggi. Mereka ini banyak yang menduduki jabatan pada perusahaan-perusahaan atau kantor-kantor pemerintahan. Terutama setelah dibukanya jalan kereta api Buitenzorg-Batavia pada akhir abad ke-19, banyak warga Depok asli yang vrijgesteld dan mereka lebih berbudaya Belanda, baik cara berpakaian, makan, kehidupoan sehari-hari juga mereka berbicara fasih dalam bahasa Belanda baik di luar maupun dalam rumah. Selain pola hidup juga gaya bangunan rumahnya yang terdiri dari bangunan permanen gedung dengan gaya khas Indis. Mereka ini banyak membangun di sekitar stasiun di Depok. Mereka biasa disebut kaum elit Depok Kulon. Karena kesibukannya orang Depok Kulon hanya sedikit kontak dengan orang Depok asli.
Warga Depok Wetan
Warga Depok Wetan adalah juga orang Depok asli tetapi mereka lebih memusatkan perhatian pada pekerjaan menggarap sawah dan ladang. Mereka ini tidak banyak memanfaatkan fasilitas sekolah tinggi di Depok karena biayanya yang mahal. Mereka ini lebih banyak bergaul dengan orang Depok asal. Dalam gaya hidup mereka juga banyak meniru budaya Belanda, karena antara warga Depok Wetan dan Depok Kulon tetap saling berhubungan dan bertemu dalam kegiatan-kegiatan keagamaan baik kebaktian rutin setiap Minggu maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Menurut catatan kebanyakan dari mereka juga kurang mampu, bahkan smapai tahun 1870 banyak di antara mereka yang hidup bersama tanpa menikah di catatan sipil karena mereka tidak sanggup membayar ’boete’ (makna sebenarnya adalah ’denda’, di sini yang dimaksud adalah uang administrasi perkawinan) sebanyak 3 ringgit 24 ½ ketip (De Bannier 1914: 4).
Warga Cina
Dalam testamennya, Cornelis Chastelein melarang orang Cina tinggal di Depok karena kebiasaan mereka yang tidak baik. Orang Cina suka meminjamkan uang dengan bunga yang tingi, suka main judi dan membuat onar. Hal itu akan membuat Depok tidak tenteram. Tetapi demi memenuhi kebutuhan sehari-hari orang Cina diperbolehkan berdagang di siang hari dan pada waktu malam mereka harus keluar dari Depok. Orang-orang Cina kemudian tingal di pondok-pondok yang sekarang disebut daerah Pondok Cina di dekat jalan Margonda. Kini tempat itu sudah menjadi pusat perbelanjaan Margo City.
Warga Pendatang
Karena Depok daerahnya tenang dan hawanya sejuk, serta suasananya yang nyaman dan aman, banyak pensiunan Belanda yang senang tinggal di Depok. Di samping orang Eropa dan Indo-Eropa, banyak juga orang Ambon, Manado, bahkan Papua yang tinggal dan menetap di Depok. Mereka merasa kerasan di Depok karena di samping alasan tersebut di atas juga karena agama mereka sama. Warga Depok asli banyak meniru adat istiadat kaum pendatang ini.
Pendidikan
Pendidikan Formal
Pada akhir abad ke-18 VOC mengalami kemunduran disusul dengan keruntuhan karena berbagai alasan dan terutama adanya Revolusi prancis pada tahun 1795 yang dampaknya terasa ke seluruh dunia. Belanda pada tahun 1796 jatuh ke tangan Prancis menjadi Republik Bataf. Hindia-Belanda yang diserahkan kepada Belanda dengan sendirinya jatuh ke tangan pemerintah Bataf. Akibat Revolusi tersebut muncul pemikiran baru yang disebut pencerahan atau Aufklärung yang memiliki ciri-ciri seperti: percaya pada nalar, percaya ke arah peri kemanusiaan, dan menjunjung akal sehat. Revolusi itu mendengung-dengungkan persamaan hak, persaudaraan dan kebebasan. Dengan adanya pemikiran ini terjadilah perubahan dalam bidang pendidikan agama. Ada pemisahan antara pemerintah dan agama. Setiap anak dididik sedemikian rupa sehingga mereka dapat memilih sendiri agama yang akan mereka anut. Aliran ini juga menjadi pelopor dari sistem pendidikan baru, yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh negara, yang kemudian menjelma menjadi sekolah-sekolah negeri. Pendidikan di Hindia-belanda lebih menekankan agar anak didik kelak dapat dapat mencari penghidupan atau pekerjaan demi kepentingan kolonial, dan tidak untuk hidup sesuai dengan lingkungannya. Sistem sekolah disusun berdasarkan perbedaan pelapisan sosial dalam masyarakat Indonesia, khususnya yang ada di pulau Jawa. Pada umumnya pendidikan diukur dan diarahkan untuk membentuk suatu golongan elite sosial agar dapat dipakai sebagai alat bagi keperluan mempertahankan supremasi politik dan ekonomi di Hindia-Belanda (Balitbang Depdikbud 1979: 47).
Untuk pertama kali di Depok didirikan Depoksche School berdasarkan Besluit van den Gouverneur-Generaal van Vaderlandsch-Indië no. 25, 24 Januari 1873. Sekolah ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa pendatang (Belanda), Indo-Belanda, Warga Depok asli yang sudah dinaturalisasikan (gelijkgesteld), dan orang Kristen Protestan lainnya. Karena kebutuhan sekolah ini kemudian berkembang menjadi Eropesche Lagere School (ELS). Uang sekolah sebesar 1% dari gaji orang tua murid. Di sekolah ini tidak diajarkan agama. Pelajaran agama diberikan di sekolah Minggu atau zondagsschool di depan gereja Immanuel (Eben Heiser). Sebagai pengantar adalah bahasa Belanda dengan kurikulum sama dengan di Belanda. Untuk memenuhi kebutuhan pengajar di Depok didirikan Speciaal Depoksche School semacam kweekschool ‘sekolah guru’. Kepala sekolah ini adalah orang Belanda dan pengajarnya orang-orang Depok asli. Sekolah ini pada awal abad 20 berubah menjadi HIS (Hollandsch Inlandsche School) diperuntukkan bagi orang Depok asli, orang Cina sekitar Depok, para bangsawan pendatang dan penduduk yang mampu.
Warga Depok asal memperoleh pendidikan Islam yang disebut ngaji. Pendidikan dilakukan di mesjid-mesjid dan di langgar-langgar, biasanya dilakukan pada malam hari karena pada siang hari anak-anak harus membantu orang tua bekerja di sawah. Pelajaran yang diberikan adalah tentang ibadah, budi pekerti (akhlak), shalat dan membaca dan menulis huruf Melayu-Arab (pegon). Baru pada awal abad ke-20 di desa-desa didirikan Volksschool ’sekolah rakyat’.
Atas inisiatif J.A. Schuurman, pada tahun 1869 di Depok didirikan sekolah Seminari. Murid-muridnya berasal dari pelbagai daerah di Hindia-Belanda. Karena peraturan dalam seminari amat ketat, para murid seminari jarang bergaul dengan warga Depok asli. Seminari ini ditutup pada tahun 1926 karena beberapa seminari telah didirikan pemerintah di pelbagai tempat lain, misalnya di Ambon. Salah satu tamatan seminari ini bernama Petrus Kafiar seorang putra Irian sebagai penginjil pribumi pertama di Irian Jaya (Sejarah Jemaat Depok 1989: 22).
Depok sebagai Negara dalam Negara
Dalam perkembangannya Depok sepeninggal Chastelein tetap mendapat perhatian dari Hindia-Belanda, baik pada masa VOC maupun pada masa sesudahnya. Berdasarkan kekuatan sebagai tanah partikelir Chastelein membentuk seolah-olah Depok merupakan sebuah ”negara kecil” dalam wilayah VOC, di mana polisi harus dipertahankan dan ditingkatkan kinerjanya dalam memberikan rasa aman dan tenteram bagi penduduknya. Ia bahkan mengusulkan Depok dipimpin oleh seorang opsir (vaandrig) atau pangkat setingkat letnan yang diangkat dan dibiayai oleh warga Depok, pemerintah pusat tidak usah mengeluarkan sepeserpun untuk itu (Bannier 1914: 3, 11).
. . . Jarong van Baly, ende die na dato deselve sal komen te succedeeren (om haar een wynig aansien te geven) te honoreren met qualiteyt van vaandrig off luytent, vermits hetselve maar titulair is en de E.Comp. niet een stuyver te kosten komt (Chatselein 14 Maret 1714).
VOC yang berorientassi pada perdagangan, terutama rempah-rempah dan hasil bumi lainnya, menganggap Depok sebagai daerah penyangga dan dapat memasok kebutuhan sehari-hari penduduk Batavia. VOC merasa tidak terganggu mengenai sistem pemerintahan wilayah Depok dan oleh karenanya otonomi Depok tidak pernah dicegah atau dilarang (Bannier 1914 : 3).
Dengan diberlakukannya Undang-undang (Agrarische Wet) pada tahun 1870, maka ada perubahan status tanah di Depok. Depok menjadi daerah otonomi berada di bawah karesidenan Bogor (Buitenzorg) dengan peraturan yang dikeluarkan pada tahun 1871 (Het Reglement van het Land Depok). Reglemen ini terdiri dari 5 bagian yaitu Pengurus pemerintahan (Bestuur) terdiri dari 7 pasal, Komisaris (Commissarissen) terdiri dari 1 pasal, Rapat (Sidang) (Vergaderingen) terdiri dari 3 pasal, Gelar camat (Marinjo) terdiri dari 3 pasal dan Lain-lain ketetapan (Gemengde Bepalingen) terdiri dari 9 pasal. Isi reglemen ini kelihatan sangat simpel dan rinci dan demokratis untuk sebuah daerah otonomi. Di dalamnya tertulis hak dan kewajiban warga, membangun atau menyewakan kebun, tanah atau rumah, penggunaan uang kas yang antara lain untuk urusan pendidikan, personil pemerintah Depok, urusan kematian, tunjangan tahunan untuk penduduk yang berusia 60 tahun dan sebagainya.
Intinya dari reglemen ini ialah bahwa Depok sebagai daerah otonomi dipimpin oleh seorang Presiden (President) yang dibantu oleh seorang sekretaris daerah (Secretaris) dan seorang bendahara (Thesaurier) dan dua orang kemetir (gecommiteerden) atau komisi. Mereka dipilih langsung oleh seluruh warga yang sudah dewasa (meerderjarigen). Masa jabatan untuk Presiden selama 3 tahun dan bisa diperpanjang, untuk sekretaris, bendahara dan anggota komisi dipilih untuk masa jabatan dua tahun dan dapat diperpanjang.
Uang kas disimpan dalam lemari pemerintah dengan tiga buah kunci yang berbeda yang dipegang oleh presiden, sekretaris dan bendahara. Pembukaan kas harus dilakukan bersama-sama oleh ketiga orang pejabat tinggi tersebut. Dengan sistem ini kemungkinan untuk penyalahgunaan uang kas oleh salah seorang pejabat sangat kecil.
Depok di awal abad ke-21
Seandainya Cornelis Chastelein masih hidup, dan ia menengok daerahnya setelah hampir 300 tahun, ia akan amat sangat tercengang. bahwa ada beberapa bangunan yang masih dilestarikan tapi ada juga yang sudah dimusnahkan demi kepentingan ekonomi. Gereja Immanuel sebagai simbol pemersatu seluruh warga Depok tempo doeloe di Jalan Pemuda masih berdiri megah, bahkan makin cantik.. Tanda peringatan yang salah satu kosakatanya “ peroesah’ tidak dimengerti oleh para ahli bahasa di FIB Universitas Indonesia, tapi dapat dipahami oleh warga Depok, masih melekat di koridor Gereja Immanuel. Jika 300 tahun yang lalu hanya ada gereja Immanuel, kini di Depok terdapat 55 buah gereja. Demikian juga gedung kantor pemerintahan yang kini sudah beralih fungsi menjadi sebuah rumah sakit masih tegak berdiri. Pohon besar di halaman kantor LCC masih berdiri dan berdaun rimbun sebagai saksi bisu perkembangan kota Depok.
Rumah pondok Cina sekarang sudah berubah menjadi mal raksasa Centro Depok dengan Café Olala, Barra diCafé dan Starbuck. Di bekas onderneming karet milik keluarga Lauw kini berdiri Universitas Indonesia yang megah yang antara fakultas-fakultasnya yang berseberangan dihubungkan oleh Jembatan Teksas yang berlambang lingga dan yoni modern, sungguh suatu perpaduan yang harmonis mewarnai kota Depok.
Simpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa Depok merupakan contoh pionir suatu daerah otonomi yang mandiri yang mampu mengurus daerahnya sendiri melalui sumberdaya sendiri tanpa mengabaikan keseimbangan ekologi. Untuk mencapai hal tersebut kewibawaan pemerintah daerah dengan aparat pemerintahnya dalam hal ini polisi perlu ditegakkan. Depok sejak dulu adalah contoh daerah multi kultural, multi lingual dan multi etnik. Keperbedaan agama di Depok sejak masa kolonial tetap dijunjung tinggi ini nampak dalam hubungan yang erat antara warga Depok asal yang mayoritas beragama Kristen dan Depok asli yang beragama Islam, maupun dengan warga Cina yang beragama Budha. Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut mudah-mudahan sejarah Depok masa lalu dapat menjadi pelajaran bagi para pimpinan penentu kebijaksanaan pemerintah Depok di masa kini dan yang akan datang, sehingga tercipta suatu masyarakat yang aman, tenteram, damai sentausa seperti yang idam-idamkan oleh setiap warga Depok. Sekian.
Daftar Pustaka
Balsitbang DEPDIKBUD (1979). Pendidikan di Indonesia 1900-1942.Jakarta.
Brugman I.J. (1938). Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlands-Indië. Groningen:
J.B. Wolters.
----------- (1999) Buku HUT Jemaat Depok ke 285 28 Juni 1999.
De Vries, J.M (1976). “De Depokkers, Geschiedenis, Sociaal Structuur en Taalgebruik
van een Geïsoleerde Gemeenschap” dalam BKI nr. 132.edisi ketiga.
Heuken S.J., Adolf (1999). Sumber-sumber asli sejarah Jakarta Jilid I Dokumen-dokumen sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke-16. Jakarta: Cipta Loka Caraka.
J.D.V. (1914). ”Cornelis Chastelein (1657-1714) dalam De Bannier, Christlijke
Weekblad oor Nederlandsch- Indië. Depok = Jubelium = Nummer”. Weltevreden:
6-e jaargang nr. 26, vrijdag 26 Juni 1914.
Jonathans, R.M. (1998). ”Sejarah Singkat masyarakat Kristen Depok” disajikan dalam
rangka memperingati hari lang tahun jemaat Masehi Depok yang ke 284 di Depok
pada tanggal 28 juni 1998.
Kridalaksana, Harimurti (1993). Kamus Linguistik . jakarta: PT. gramedia Pustaka
Utama, LCC t.t. “Latar Belakang Komunitas Kristen Depok dan Berdirinya
Rumah Sakit Harapan Depok”.
Marzali, Amri (1975). Krisis Identitas pada orang Depok asli. Jakarta: UI-Press.
Michrob, Halwany dan A. Mudjahid Chudori 2003. Catatan Masa Lalu Banten. Serang:
Saudara. ed. ke-3.
Nirmalawati, Prima Duria (1990). Pengaruh Pendidikan Barat Pada Orang Depok Asli.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Skripsi. Belum dipublikasikan.
Subekti, Prof. SH (1985). Pokok-pokok Hukum Perdata .Jakarta: Intermasa, cetakan ke-3.
Wijk Jr, P.Van (t.t). Nederlandsch Zendingstijdschrift. Amsterdam:Commité voor Nederlandsch Zendingsconferenties, 9-e jaargang.
Penelitian Kebudayaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia di FIB UI pada tanggal 5-8 September 2007
Sumber : http://www.fib.ui.ac.id