Tangerang dan Tionghoa: Sebuah Paradigma Baru terhadap Etnis Tionghoa

Oleh Andreas Nathius

A.
Pengantar
Saya adalah salah seorang dari keturunan etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia, di Tangerang. Banyak orang mengenal Tangerang hanyalah sebagai kota industri dan kota penuh polusi. Tapi banyak yang tidak tahu karena bahwa Tangerang adalah salah satu basis tempat tinggal warga-warga keturunan Tionghoa terbesar di Indonesia. Karena itu saya ingin mengangkat budaya lokal di daerah saya ini yaitu Tangerang dan menelusuri jejak budaya yang mereka tinggalkan sampai sekarang yang sudah dianggap sebagai aset kebudayaan Tangerang. Sebut saja cokek, gambang kromong, atau lomba perahu naga.

B. Kedatangan Orang tionghoa ke Tangerang
Mengenai kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang, memang masih belum diketahui secara pasti. Namun dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan) menyebutkan tentang kedatangan Tionghoa ke daerah Tangerang. Dalam kitab tersebut diceritakan tentang mendaratnya rombongan kapal yang dipimpin oleh Tjen Tjie Lung (Halung) di muara sungai Cisadane yang sekarang diberi nama Teluk Naga sekitar tahun 1407. Saat itu pusat pemerintahan ada di sekitar pusat pemerintahan sekarang. Tangerang kala itu diperintah oleh Sanghyang Anggalarang sebagai wakil dari Sanghyang Banyak Citra dari Kerajaan Parahyangan. Kapal tersebut mendarat karena terdampar dan mengalami kerusakan serta kehabisan perbekalan. Tujuan semula mereka adalah Jayakarta.

Rombongan Halung ini membawa tujuh kepala keluarga dan di antaranya terdapat sembilan orang gadis dan anak-anak kecil. Rombongan ini kemudian menghadap Sanghyang Anggalarang untuk memohon pertolongan. Karena kecantikan gadis-gadis dalam rombongan tersebut, membuat para pegawai Anggalarang jatuh cinta dan akhirnya kesembilan gadis itu dipersunting mereka. Sebagai gantinya, rombongan Halung diberi sebidang tanah di pantai utara Jawa di sebelah timur Sungai Cisadane, yang sekarang disebut Kampung Teluk Naga.

Gelombang kedua kedatangan bangsa Tionghoa di Tangerang diperkirakan tahun 1740. Saat itu terjadi pemberontakan oleh orang Tionghoa karena keputusan Gubernur Jenderal Valkenier untuk menangkapi orang-orang Tionghoa yang dicurigai. Pemberontakan berhasil dipadamkan oleh VOC dengan mengorbankan 10.000 jiwa etnis Tionghoa yang terbunuh oleh VOC. VOC mengirimkan sisa-sisa orang Tionghoa ke Tangerang untuk bertani. Di sekitar Tegal Pasir, Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak Sembilan. Bisa dikatakan cikal bakal Kota Tangerang berasal orang Tionghoa yang tinggal di tempat ini. Kemudian orang-orang Tionghoa di tempat ini membangun kelenteng Boen Tek Bio (Boen = Sastra, Tek = Kebajikan, Bio = tempat ibadah) pada tahun 1684, dan merupakan bangunan paling tua di Tangerang saat ini.

Dalam buku Ziarah Budaya Kota Tangerang yang ditulis oleh mantan Walikota Tangerang, Wahidin Halim, menyebutkan pada akhir tahun 1800 sejumlah orang Tionghoa dipindahkan ke kawasan Pasar Baru, Tangerang dan sejak itu mulai menyebar ke daerah lain seperti Mauk, Serpong, Cisoka, Legok, bahkan sampai Parung di daerah Bogor. Itulah sebabnya banyak orang Tionghoa yang tinggal di pedesaan pelosok Tangerang. Disebutkan pula bahwa Pasar Baru tempo dulu merupakan tempat transaksi orang-orang Tionghoa yang datang lewat sungai dengan penduduk lokal. Di sini juga dibangun Kelenteng Boen San Bio (Nimmala) yang berselisih lima tahun dengan Boen Tek Bio yaitu tahun 1869. Kedua kelenteng itulah saksi sejarah orang-orang Tionghoa yang sudah berdiam di Tangerang lebih dari 3 abad lalu.

C. Asal Usul Cina Benteng
Asal usul Cina Benteng tidak terlepas dari berdirinya Benteng Makasar. Benteng yang dibangunpada zaman kolonial Belanda itu sudah rata dengan tanah sekarang. Letaknya di tepi sungai Cisadane, diPusat Kota Tangerang. Pada saat itu, banyak orang Tionghoa yang kurang mampu, tinggal di luar Benteng Makasar dan terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam sejak tahun 1700-an. Dari sinilah muncul istilah Cina Benteng.

D. Gambang Kromong, Musik Akulturatif Tionghoa-Indonesia
Gambang kromong adalah salah satu aset kebudayaan Tangerang. Gambang Kromong terbentuk dari perpaduan yang harmonis antara kebudayaan Cina dan Indonesia. Sebagian alatnya seperti gambang, kromong, kecrek, gendang, kempul, dan gong adalah unsur pribumi, sedangkan sebagian lagi berupa alat musik gesek Cina yaitu kongahyan, tehyan, dan skong. Musik seperti ini mungkin tidak akan terbentuk jika tidak ada orang-orang Tionghoa yang rindu akan kampung halamannya, meminjam alat-alat musik pribumi dan dipadukan dengan musik tradisional Cina. Lagu-lagu yang dinyanyikan dalam orkes gambang kromong tersebut bukan hanya terjadi pengadaptasian, bahkan pengadopsian lagu-lagu Cina yang disebut Pobin, seperti: Pobin Mano Kongjilok, Bankinhwa, Posilitan, Caicusiu, dan sebagainya. Terbentuknya orkes gambang kromong juga tidak dapat dipisahkan dari peran Nie Hu Kong, seorang pemimpin golongan Cina. Ia memprakarsai penggabungan alat-alat musik gamelan dengan alat musik dari Tiongkok.

E. Cokek, Pemanis Gambang Kromong
Orkes gambang kromong tanpa cokek terasa hambar, minimal itulah yang dirasakan para penikmat musik gambang kromong. Sebagai pembuka dari tari cokek adalah wayang (biasanya Wayang Sin Pee). Penari cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti irama gambang kromong. Rentangan tangannya setinggi bahu mengikuti gerakan kaki. Kemudian mereka mengalungkan selendang pertama-tama kepada tamu yang dianggap penting terhormat. Bila yang diserahi selendang itu bersedia ikut menari, mulailah mereka “ngibing”, menari berpasangan Tiap pasang berhadapan pada jarak yang dekat tapi tidak bersentuhan. Pakaian penari cokek biasanya terdiri atas baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutera berwarna. Ada yang berwarna merah menyala, hijau, ungu, dan sebagainya, polos, dan menyolok. Di ujung sebelah bawah celana biasa diberi hiasan dengan kain berwarna yang senada dengan bajunya. Sebuah selendang panjang terikat pada pinggang dengan kedua ujungnya terurai ke bawah.

F. Petjun, Lomba Perahu Naga
Petjun atau perayaan Duan Wu Jie merupakan pesta musim panas yang dilakukan oleh etnis Tionghoa. Petjun biasa dirayakan pada hari kelima bulan lima (Go Gwee Cee Go). Seorang sarjana Komputer, Wenyudo, telah menyimpulkan bahwa pesta petjun ini adalah hari perayaan suku Kung Wu dan Yue (sekarang Jiang Su dan Zhe Jiang). Pesta tersebut diadakan untuk memberikan persembahan kepada desa, sebagai lambang suku mereka adalah naga. Namun dengan pudarnya kebudayaan mereka, lambang suku menjadi seragam modelnya. Semula lambang-lambang naga itu ditato pada badan mereka, tapi semua itu beralih pada pembuatan perahu naga. Dengan kata lain, naga tidak hanya digambarkan pada tubuh seseorang, tapi juga digambarkan pada sesuatu yang jelas kegunaannya.

Petjun pada zaman sekarang,maknanya teah tergantikan. Petjun sekarang dirayakan untuk mengenang Qu Yuan (340 SM – 278 SM), seorang budayawan Cina. Qu Yuan banyak membuat syair-syair yang menunjukkan kepeduliannya kepada negara dan masyarakat. Qu Yuan mengadakan persekutuan dengan negara bagian Chu ketika terjadi konfrontasi dengan negara bagian Qin. Tindakan yang diambil Qu Yuan ditentang oleh golongan masyarakat yang korupsi yang dipelopori oleh Jn Shang yang bersekongkol dengan Zheng Xiu. Jin dan Zheng memfitnah Qu Yuan, Sehingga raja memutuskan untuk mengasingkan Qu Yan. Qu Yuan merasa serba salah. Ia berduka dan sedih karena harus meninggalkan ibukota Ying dan rakyatnya. Tahun 278 SM, pasukan Qin merebut Ying yang mengakibatkan negara bagian Chu sangat lemah dan dapat dihancurkan kapan saja. Qu Yuan yang saat itu berusia 62 tahun, sangat sedih mendengar berita ini. Kemudian ia segera memeluk sebuah batu besar dan menengelamkan dirinya di Sungai Miluo dekat kota Yang. Dedikasinya terhadap negara membuat banyak orang menghormatinya. Ketika berita kematiannya menyebar, masyarakat sibuk mendatangi tempat kematian Qu Yuan. Berbaris-baris kapal di sungai berusaha untuk menemukan jenazahnya yang hanyut di dalam sungai. Namun jenazahnya tidak pernah diketemukan. Masyarakat Chu sangat berduka cita atas kematiannya. Dan setiap tahun mereka melemparkan tabung bambu yang diisi dengan nasi ke dalam sungai sebagai persembahan untuk Qu Yuan.

Hal ini merupakan awal daripada diadakannya Lomba Perahu Naga yang dalam riwayatnya digunakan untuk mencari jenazah Qu Yuan. Kebiasaan untuk menyantap Zongzi (sekarang disebut bakcang) pada hari Petjun juga berawla dari kebiasaan untuk memberikan persembahan pada Qu Yuan. Kini, Lomba Perahu Naga telah dijadikan salah satu aset kebudayaan Tangerang dengan mengadakannya setiap tahun sekali di Sungai Cisadane. Pesertanya bukan saja dari kalangan keturunan warga etnis Tionghoa, namun juga diikuti oleh warga pribumi.

G. Penutup
Mungkin ini hanya sebagian kecil dari seluk beluk sejarah dan budaya Kota Tangerang. Masih banyak hal lain yang perlu dikaji di Kota Tangerang ini. Saya berharap warga keturunan Tionghoa di Indonesia khususnya di Tangerang tidak dianggap lagi sebagai “orang luar” tapi kami ini adalah orang Indonesia asli yang lahir dan besar di sini. Saya berharap karya tulis ini menjadi suatu wacana baru untuk kita semua bahwa sesungguhnya tidak ada istilah warga keturunan atau pribumi, minoritas dengan mayoritas, yang ada hanyalah bangsa Indonesia yang satu. Satu tujuan, satu darah, satu tanah air. Saya juga ingin memohon maaf bila ada kata-kata yang salah ataupun menyinggung. Akhir kata saya hanya ingin mengatakan “jauhi pikiran rasis, sadarlah bahwa kita semua sama!”

Makalah disampaikan pada “Lomba dan Diskusi Penulisan Sejarah Lokal” yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung