Desa Majasari : Studi Historis tentang Transmigrasi Lokal di Kabupaten Majalengka


Oleh: Agus Santo

UPTD SMA Negeri 1 Ligung Majalengka

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang

Sebuah hal yang biasa, adanya penamaan suatu tempat (desa dan kabupaten) yang diambil dari masa yang sangat jauh sehingga sejarah hari jadi mereka menjadi sangat tua, beratus bahkan beribu tahun yang silam. Semakin tua usia suatu daerah maka dirasakan semakin “hebat”. Selain itu, sering pula asal mula penamaan suatu tempat dikaitkan dengan unsur mitos. Upaya di atas, kemungkinan besar sebagai upaya untuk membangun “prestise” atau kebanggaan di masyarakat pada asal mulanya sehingga generasi selanjutnya akan lebih menghormati dan mempercayai leluhurnya.

Proses penamaan tersebut sebenarnya, justru akan menyebabkan “pengaburan” terhadap kejadian sejarah yang sebenarnya. Hal ini mengakibatkan cerita sejarah itu sendiri justru menjadi kabur dan membingungkan.

Suatu hal yang berbeda dari proses di atas adalah sejarah berdirinya Desa Majasari Kecamatan Ligung Kabupaten Majalengka. Desa Majasari adalah daerah transmingran (lokal), karena berdirinya desa ini sebagai hasil dari migrasi masyarakat Majalengka Selatan yang berada di daerah pegunungan (Gunung Ciremai dan sekitarnya). Migrasi masyarakat tersebut akibat politik pemerintah penjajah Belanda. Proses migrasi ini memiliki beragam cerita yang panjang dan masih terekam dalam pikiran masyarakat Desa Majasari sekarang.

Pada saat ini, warga masyarakat Desa Majasari yang mengetahui proses migrasi dari daerah Majalengka Selatan sudah mulai tua dan sebagian dari mereka telah meninggal dunia. Apabila keadaan ini tidak segera mendapat perhatian dari pihak terkait maka sejarah terbentuknya desa ini akan hilang., seiring dengan meninggalnya para tetua di desa ini. Oleh karena itu, sejarah migrasi dan berdirinya Desa Majasari harus segera diteliti dan ditulis agar generasi selanjutnya tidak kehilangan akar sejarahnya.

Berdasarkan atas paparan di atas, maka penulis sebagai pelajar merasa tertarik untuk melestarikan sejarah migrasi ini dengan menulis tentang sejarah berdirinya Desa Majasari.

2. Permasalahan
Desa Majasari adalah salah satu desa di daerah Kabupaten Majalengka yang proses pembentukannya sebagai bagian dari kebijakan pemerintah penjajah Belanda di Kabupaten Majalengka dalam program transmigrasi lokal. Apa dan bagaimana proses perpindahan masyarakat Majalengka Selatan ke daerah Majalengka Utara sehingga berdiri Desa Majasari perlu adanya penelusuran sejarah yang seksama.

3. Tujuan
Penulisan sejarah Desa Majasari ini mempunyai tujuan, antara lain :
mendapatkan gambaran tentang proses berdirinya Desa Majasari, memberikan kejelasan sejarah proses migrasi masyarakat di Kabupaten Majalengka, khususnya migrasi ke daerah Desa Majasari, dan menumbuhkan sikap cinta tanah air serta menghormati jejak leluhur yang telah membangun daerah.

4. Metode Penulisan
Dalam penulisan ini dilakukan dengan menggunakan metode penulisan sejarah yang meliputi tahap heuristik, kritik, interpretasi, dan hstoriografi. Pada tahap heuristrik dilakukan terutama melalui studi pustaka dan wawancara. Pada tahap kritik, data yang terkumpul dikelompokkan menjadi data historis dan data cerita rakyat. Pada tahap interpretasi, data diolah dan dianalisis sesuai dengan tujuan penulisan. Pada tahap terakhir historiografi, dilakukan penulisan kisah sejarah migrasi masyarakat Majalengka Selatan hingga terbentuk Desa Majasari. Penulisan sejarah ini berpedoman pada hukum kausalita, kronologis, dan logis, serta menggunakan ejaan yang baik dan benar.

5. Sistematika
Agar lebih memudahkan dalam menulis dan memahami tulisan, maka penulis membagi tulisan ini menjadi tiga bagian.

Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang, permasalahan, tujuan, metode, dan sistematika penulisan.

Bab II Sejarah Berdirinya Desa Majasari

Bab III Penutup.

Untuk melengkapi karya tulis ini dilengkapi pula dengan daftar pustaka dan nara sumber sebagai sumber penulisan.

B. Sejarah Desa Majasari
1.
Profil Desa Majasari
Desa Majasari adalah sebuah desa yang termasuk wilayah administrasi Kecamatan Ligung Kabupaten Majalengka. Luas wilayah Desa Majasari seluas 690,832 hektar yang ditempati oleh masyarakat sebanyak 4.126 orang dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1.297 kepala keluarga. Seluruh masyarakat menganut agama Islam.

Pemerintahan Desa Majasari dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut Kuwu. Kuwu dipilih oleh masyarakat secara demokrasi dan memegang masa jabatan selama 10 tahun sesuai peraturan daerah kabupaten Majalengka. Dalam menjalankan pemerintahan desa, Kuwu dibantu oleh perangkat desa yang terdiri atas Sekretaris Desa (Juru Tulis atau Ulis), Kaur Pemerintahan (Raksabumi), Kaur Kesra (Lebe), Kaur Perekonomian (Ngalambang/Ambang), Kaur Umum (Kapala/Kulisi) dan 5 orang kepala dusun. Desa Majasari dibagi atas 5 dusun dengan 11 Rukun Warga dan 29 Rukun Tetangga. Dusun yang terdapat di Desa Majasari adalah Ekasari, Dwisari, Trisari, Catursari, dan Pancasari.

Secara geografis desa Majasari berada di sebelah selatan wilayah Kecamatan Ligung. Kondisi jalan yang menghubungkan desa ini dengan daerah lain dalam keadaan rusak dan tidak ada kendaraan umum yang melalui desa ini. Jarak tempuh ke pusat pemerintahan lain tidak terlalu jauh dan dapat dijangkau dengan kendaraan bermotor, baik roda dua (sepeda motor) maupun roda empat (mobil). Jarak ke pusat pemerintahan desa tetangga terdekat sekitar 5 kilometer. Jarak ke pusat pemerintahan kecamatan Ligung sekitar 5 kilometer dengan waktu tempuh ½ jam. Jarak ke pusat pemerintahan Kabupaten Majalengka sekitar 28 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 1 ½ jam. Jarak ke pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat sekitar 130 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 4 jam.

Keadaan alam Desa Majasari termasuk dalam daerah dataran rendah dengan kondisi tanah datar dan berada di ketinggian tanah 25 meter di atas permukaan air laut. Iklim di daerah ini termasuk iklim kering dengan suhu udara rata-rata harian sebesar 37 0 Celcius. Curah hujan sebasar 1.230 Mm/tahun dengan jumlah bulan basah sebanyak 4 bulan.

Pendidikan masyarakat mulai berkembang dengan baik, yang tampak dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat pendidikan menengah dan perguruan tinggi. Warga yang telah menamatkan pendidikan tinggi sebanyak 16 orang. Lembaga pendidikan yang terdapat di Desa Majasari hanya taman kanak-kanan sebanyak 2 buah dan pendidikan dasar sebanyak 3 buah.

2. Sejarah Berdirinya Desa Majasari
Menjelang berakhirnya penjajahan Belanda, Pemerintah Kabupaten Majalengka dipimpin oleh R.M.A.A Suriatanudibrata (1922 – 1944). Bupati R.M.A.A Suriatanudibrata melakukan pembangunan yang sangat berarti di Kabupaten Majalengka. Pembangunan yang dilaksanakan pada saat itu, antara lain pembuatan jalan Talaga – Cikijing dan Talaga – Bantarujeg, kantor pemerintah daerah, kolam pemandian Sangraja, rumah bola, dan pengeboran minyak bumi di Bongas.

Pada tahun 1927, pemerintah Hindia Belanda melakukan perubahan pembagian wilayah di Jawa dan Madura. Berdasarkan peraturan Belanda tersebut telah terjadi perubahan administrasi Kabupaten Majalengka, yaitu di lingkungan kewedanaan (distrik) Jatiwangi. Pada awalnya Kewedanaan Jatiwangi terdiri atas Kecamatan Jatiwangi, Dawuan, dan Jatitujuh mengalami perubahan menjadi Kecamatan Jatiwangi, Ligung, dan Jatitujuh.

Kebijakan Bupati R.M.A.A Suriatanudibrata dalam bidang kemasyarakatan adalah memindahkan masyarakat Majalengka Selatan ke daerah Majalengka Utara. Pada tahun 1932, Bupati Majalengka memerintahkan masyarakat dari desa di sekitar lereng Gunung Ciremai dan pegunungan di Majalengka Selatan agar pindah ke daerah Majalengka Utara, tepatnya ke daerah hutan jati yang berada di Kecamatan Ligung Kewedanaan Jatiwangi. Desa-desa yang diperintahkan untuk pindah tersebut, antara lain Desa Nunuk, Gunungrarang, Sukamenak, Cipicung, Anggrawati, dan Cengal.

Keputusan Bupati ini mendapat dukungan dari Pemerintah Hindia Belanda melalui Residen Cirebon. Faktor-faktor yang menyebabkan pemindahan tersebut karena Desa Nunuk dan sekitarnya dianggap oleh pemerintah Kabupaten Majalengka sebagai desa minus, kawasan desa-desa tersebut akan dijadikan hutan pinus, dan keberadaan pemerintahan desa tersebut akan dihapuskan dalam lingkungan pemerintahan Kabupaten Majalengka. Selain itu, daerah sekitar Gunung Ciremai mulai mengalami pengikisan hutan.

Masyarakat desa tidak dapat menolak keputusan Bupati dan Pemerintah Belanda sehingga harus segera pindah ke daerah yang telah ditetapkan pemerintah. Kuwu Desa Nunuk, Cipicung, Cieurih, Anggrawati, Cengal, Sukamenak, dan Gununglarang berkumpul di Ayun Bangbing, Desa Nunuk, melakukan musyawarah untuk persiapan melakukan pindahan ke daerah baru serta menerima petunjuk dari Bupati Majalengka.

Oleh karena itu, sejak tahun 1932 terjadi migrasi atau perpindahan masyarakat yang cukup besar dari Desa Nunuk, Gunungrarang Sukamenak, Cipicung, Anggrawati, Cengal, dan Hausgeulis. Seluruh masyarakat dengan dipimpin oleh kuwu masing-masing berangkat menuju daerah Utara. Mereka berjalan kaki dengan membawa barang-barang miliknya seadanya menempuh jalan turun naik selama 1 – 2 hari. Kuwu yang memimpin warganya pindah, di antaranya Kuwu Cipicung bernama Kartawijaya dan Kuwu Anggrawati bernama Atma.

Pada saat tiba di daerah tujuan, “masyarakat pindahan” mendapat pembagian tanah yang diatur oleh Wedana Jatiwangi yang bernama Bendara Ikin. Sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Bupati Majalengka, Bendara Ikin memimpin pembukaan hutan jati untuk perumahan dengan pembagian tanah sebagai berikut:

Setiap kepala keluarga mendapat sebuah rumah tinggal dengan tanah pekarangan seluas 125 bata/tumbak dan tanah garapan seluas 1 bahu, terdiri atas ½ bahu tanah sawah (tanah kelas 1) di daerah pesawahan yang diberi nama Gorogol dan ½ bahu tanah tegalan (tanah kelas 2) di daerah yang diberi nama Cikamun.

Masyarakat yang berasal dari Desa Nunuk mendapat perlakuan khusus, dengan diberi tambahan tanah sebagai pengganti tanah milik yang ditinggalkan di daerah asal.

Pembagian wilayah permukiman dibuat menjadi tujuh blok. Antara blok satu dengan lainnya dipisahkan dengan jalan. Satu blok memiliki luas 12 bahu terdiri atas 48 buah rumah dihuni oleh 48 keluarga berasal dari daerah yang sama. Seluruh rumah berada di pinggir jalan. Setiap blok menggunakan nama hari sebagai identitas blok, yaitu Blok Ahad, Senen, selasa, Rabu, Kemis, Jumat, dan Saptu.

Tempat tinggal baru yang ditempati masyarakat pindahan diberi nama Tegal Maja. Untuk melaksanakan pemerintahan sementara di daerah Tegal Maja ditetapkan dengan kesepakatan para kuwu yang ikut pindah. Kuwu Cipicung yang dianggap memiliki keberanian dan kekuatan ditetapkan sebagai pemimpin masyarakat baru. Kartawijaya adalah mantan Kuwu Cipicung yang diangkat sebagai Kuwu Tegal Maja memegang kekuasaan selama 3 tahun, yaitu tahun 1932 sampai tahun 1935.

Masyarakat Tegal Maja sebagian besar mengandalkan hidup dari pertanian sesuai dengan mata pencaharian di daerah asalnya. Hubungan sosial antarmasyarakat yang berasal dari desa berlangsung dengan baik. Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Perbedaan iklim dan kondisi alam telah menyebabkan sebagian kecil warga yang kembali ke daerah asal. Oleh karena itu, di daerah pegunungan Ciremai masih terdapat masyarakat yang bermukim.

Seiring dengan keberhasilan masyarakat dalam mengembangkan kehidupan di daerah Tegal Maja, maka pada tahun 1935 diadakan pemilihan kepala desa atau Kuwu. Pemilihan dilakukan secara demokrasi oleh rakyat dan dari rakyat. Kuwu yang terpilih adalah Soeminta. Selain itu, pada tahun 1935 terjadi perubahan nama desa. Tegal Maja dirubah menjadi Majasari. Desa Majasari secara resmi ditetapkan sebagai bagian dari Kecamatan Ligung. Pengakuan terhadap masyarakat Majasari semakin kuat dengan ditetapkannya kepemilikan tanah pemerintah Kabupaten Majalengka. Pada tahun 1938, pemerintah memberikan bukti kepemilikan tanah dalam bentuk letter C cap Singa.

Penggunaan nama Majasari sebagai nama desa dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Kata Majasari terdiri atas dua kata, yaitu Maja dan Sari. Maja artinya nama tempat asal mereka dan Sari artinya inti. Dengan demikian Majasari dapat diartikan sebagai peringatan bahwa mereka berasal dari Maja atau pada hakekatnya mereka sebagai intisari dari Maja. Jadi keterikatan dengan daerah asal tetap terjalin meski sudah berada di daerah lain.

Masyarakat pindahan dari Majalengka Selatan tersebut tidak hanya membentuk Desa Majasari, tetapi juga membentuk desa lain lainnya, yaitu desa Kodasari dan Kedung Kencana.

C. Penutup
Perpindahan masyarakat tidak hanya dilakukan dari pulau Jawa ke puau lain di Indonesia. Pada kenyataannya perpindahan masyarakat telah pula terjadi di lingkungan kabupaten Majalengka sejak zaman penjajahan Belanda. Adanya perpindahan ini sebagai upaya pemerataan pembangunan dan pembukaan daerah baru. Dengan adanya perpindahan masyarakat ini maka terbentuklah desa baru di Kecamatan Ligung, yaitu Desa Majasari, Kodasari, dan Kedung Kencana.

Penulisan sejarah perpindahan dan berdirinya Desa Majasari dapat dijadikan sebagai pengungkapan memori yang terlupakan dan semoga tidak dilupakan generasi yang akan datang.

Daftar Pustaka
Desa Majasari, Data Dasar Profil Desa Majasari Keamatan. Ligung Kabupaten. Majalengka, Majasari, 2008.

Pemda Kab. Dt. II Majalengka, Majalengka Selayang Pandang, 1983

Daftar Nara Sumber

1. Nama : Wiharta Wijaya
Usia : 82 Tahun
Pendidikan : SR
Pekerjaan : Veteran TKR
Alamat : Desa Majasari

2. Nama : T. Syarif Hidayat
Usia : 38 tahun
Pekerjaan : Kepala Desa
Pendidikan : SMA
Alamat : Desa Majasari

3. Nama : Tatang Suntana
Usia : 35 Tahun
Pekerjaan : Sekretaris Desa
Pendidikan : SMA
Alamat : Desa Majasari

Sumber : Makalah disampaikan pada Final Lomba “Penulisan dan Diskusi Kesejarahan” diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Bersamaan dengan Pekan Budaya Seni dan Film yang dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2009 di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Photo : http://amaliasolicha.files.wordpress.com