Pakuan Pajajaran

Setelah Dewa Niskala (Ningratkancana) maupun Susuktunggal (Haliwungan) turun takhta pada tahun yang sama, 1482, kekuasaan lalu dipegang oleh Sri Baduga Maharaja yang kembali mempersatukan Galuh-Sunda. Sebagai cucu Niskala Wastukancana, Sri Baduga memang berhak atas kedua wilayah ini, yang kemudian dipersatukan dalam nama “Pajajaran”. Sri Baduga memutuskan Pakuan sebagai ibukota dan untuk kesekian kalinya menjadi pusat pemerintahan kembali.

Nama “Pajajaran” sebelum abad ke-15 tak pernah tertulis dalam sumber sejarah mana pun. Sumber-sumber seperti Pararaton dan Nagarakretagama menyebutnya sebagai Kerajaan “Sunda” yang merupakan negara merdeka di Jawa bagian barat. Begitu pula Prasasti Cibadak dan Kawali “masih” menyebut Kerajaan Sunda. Baru pada abad ke-16 dan seterusnya nama Pajajaran tertulis dalam beberapa prasasti dan naskah-naskah seperti Carita Parahyangan yang disusun tahun 1580. Nama Pajajaran makin terabadikan melalui pantun-pantun Sunda serta babad-babad yang ditulis beberapa abad kemudian di mana eksistensi politik Pajajaran tinggal nama.

Pencantuman nama Pajajaran dapat kita lacak pada Prasasti Kebantenan dan Batutulis, di mana selalu diawali oleh nama “Pakuan”. Berikut bunyi Prasasti Kebantenan yang terbuat dari tembaga dan terletak di Bekasi, yang ditulis atas titah Sri Baduga sendiri dalam rangka mengenang kakek dan ayahnya, Niskala Wastukancana dan Ningratkancana (Dewa Niskala).

Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastukancana. Turun kepada Rahyang Ningratkancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran, harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan ada yang menghapuskan atau mengganggunya. Bila ada yang bersikeras menginjak daerah Sunda Sembawa, aku perintahkan agar dibunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta.

Dengan demikian, pembuatan Prasasti Kebantenan ini merupakan petanda bahwa kerajaan yang memerintah di wilayah Jawa Barat adalah Pajajaran dengan Sri Baduga (Susuhunan) sebagai “raja pertama”. Jadi, bila benar, Pajajaran bukanlah kerajaan yang benar-benar baru, melainkan kelanjutan dari Kerajaan Sunda. Nama boleh ganti, namun ibukota tetap di Pakuan.

Pada Prasasti Batutulis pun (dibuat pada 1455 Saka atau 1533 M dan memakai bahasa Sunda Kuno), nama “Pajajaran” tertulis berbarengan dengan nama “Pakuan”. Prasasti yang terletak di Kelurahan Batutulis, Kec. Bogor Selatan ini dibuat oleh Surawisesa sekitar 12 tahun setelah ayahnya, Prabu Ratu Purana (Sri Baduga), wafat (purane). Dan hutan Samida yang disebutkan oleh prasasti ini, diperkirakan merupakan wilayah yang kini menjadi Kebun Raya Bogor. Prasati ini berbunyi:

Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun. Diwastu diya wingaran Prebu Guru Dewataprana, diwastu diya wingaran Sri Baduga Maharaja Ratu Hajj di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pun ya nu nyusuk na Pakwan. Diva anak Rahyang Dewa Niskala Sa(ng) sida mokta dim Guna Tiga, i(n)cu Rahyang Niskala-niskala Wastu Ka(n) cana Sa(ng) Sida mokta ka Nusalarang. Ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan Samida, nyiyan Sa(ng) Hyang Talaga Rena Mahawijaya, ya siya, o o i saka, Panca Pandawa Emban Bumi.

Terjemahan bebasnya:
Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu Purana (almarhum). Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan. Dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastukancana yang dipusarakan ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat punden undakan untuk hutan Samida, membuat Sanghiyang (Telaga) Rena Mahawijaya (yang dibuat) dalam (tahun) Saka Panca Pandawa Emban Bumi.

Menurut Carita Waruga Guru, nama Pakuan Pajajaran berasal dari nama pohon “paku jajar”. Seorang sejarawan Belanda, Holle, setuju bahwa Pakuan Pajajaran berarti “pohon paku yang berjajar”. Ahli sejarah lain, Rouffaer, memberikan tafsiran yang bersifat lebih simbolis, bahwa Pakuan Pajajaran berarti: “kota atau pusat-kota, yaitu kota tempat kedudukan sumbu (dunia, paku ning jagat, yaitu maharaja)”. Perihal nama Pajajaran, rupanya harus dipilih setua-tuanya tahun 1433 Masehi, yang secara simbolis dikatakan sebagai “tempat yang diletakkan sejajar”, sebagai imbangan terhadap Kerajaan Majapahit.

Sementara itu, Poerbatjaraka mengartikan Pakuan Pajajaran sebagai “istana yang berjajar”. Dan berdasarkan laporan Tome Pires yang dirinya pernah diperkenankan masuk istana Pakuan, ada sebuah paseban (halaman) di area istana yang memiliki beberapa bangunan yang letaknya berjajar/berjejer dengan rapi. Dalam hal ini, Rouffaer melihat nama Pajajaran berdasarkan unsur geografis-ekonomis. Ia melihat fungsi Sungai Cisadane di sebelah barat istana dan Sungai Ciliwung (Cihaliwung) di sebelah timur istana, sebagai jalur lalulintas antara ibukota Kerajaan dengan pesisir utara di Sunda Kalapa. Juga, dilihatnya pula fungsi Sungai Cipakancilan yang terletak di tengah antara Cisadane-Ciliwung sebagai aliran air tempat keperluan sehari-hari penduduk Pakuan. Ketiga sungai tersebut—Cisadane, Cipakancilan, Ciliwung—terletak sejajar, berhulu di selatan dan berhilir (bermuara) di utara ke Laut Jawa. Karena berposisi sejajar itulah, maka Pajajaran bisa diartikan “tempat aliran sejajar”. Malah ten Dam yakin bahwa Pakuan bukanlah nama diri, melainkan nama yang berarti dayeuh; ibukotanyalah yang bernama Pajajaran.

Masalah lain pun muncul dengan adanya keterangan dari Prasasti Kebantenan bahwa selain Pakuan, di Sunda pun terdapat dua ibukota lainnya, yakni Jayagiri dan Sunda Sembawa. Apa pula hubungannya dengan ibukota-ibukota Sunda-Galuh lainnya seperti Saunggalah, Galuh, atau Kawali. Apakah Jayagiri dan Sunda Sembawa merupakan ibukota raja daerah (raja mandala) yang memang banyak terdapat di Tanah Priangan, di mana semuanya mengakui kedaulatan Sunda-Galuh-Pajajaran? Di samping itu, banyak raja Sunda mau pun Galuh yang memakai gelar/nama Sunda Sembawa seperti Rakeyan Sunda Sembawa sebagai nama lain Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala Jayasatru (964-973).

Belum lagi nama daerah/kerajaan asal Tarusbawa pendiri Kerajaan Sunda, yaitu Kerajaan Sunda Sembawa. Begitu pula nama Jayagiri yang banyak dipergunakan sebagai nama raja, misalnya, Rakeyan Jayagiri untuk Prabu Wanayasa (916-942) atau Rakeyan Jayagiri sebagai nama lain Prabu Wulung Gadung (973-989).
Dalam Kropak 406 kita jumpai kalimat-kalimat berikut.

Di sanalah bekas keraton, oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Selesailah sudah, kemudian diberkati (diwastu) oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan, ditemuilah Bagawat Sunda Mayayajati oleh Bujangga Sedamanah, terus dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.

Dari kropak di atas diketahui bahwa nama keraton Pajajaran adalah Sri Kedatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Mari kita lihat kutipan dari Kropak 406 tentang perpindahan Prabu Guru Dharmasiksa ke Pakuan dari Saunggalah. Tiba di Pakuan lalu bertakhta di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Selesailah semuanya isi bekas Sri Parapasela Parahiyangan oleh Rakeyan Dharmasiksa. Kemudian diperluas hingga selesai.

Kesimpulan yang dapat diambil bahwa keraton di Pakuan berjumlah lima, yakni Bima, Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati. Suradipati tentulah keraton utama tempat singgasana raja. Memang, jumlah keraton pada masa kerajaan idealnya berjumlah lima (panca prasada = lima keraton). Nama-nama istana tersebut, bukan mustahil, memiliki fungsi berbeda-beda dalam sistem pemerintahan Pajajaran.

Carita Parahyangan menerangkan secara gamblang:

Sang Susuktunggal inyana nu nyieun(n)a pala(ng)ka sriman sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran, nu mikadatwan Sri Bima (P)unta (Na)rayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghya(ng) Sri Ratudewata. Kawekasan Sang Susuktunggal, pawwatanna lemah suksi, lemah hadi, kapremana raja utama. Lawasniya ratu saratus tahun.

Kalimat “pakwan Sanghyang Sri Ratudewata” mengandung arti pakuan atau keraton tempat tinggal Sri Ratudewata (nama lain Sri Baduga). Jadi, menurut Danasasmita, Pakuan Pajajaran lebih tepat diartikan sebagai “istana yang berjajar” yang kemudian berubah menjadi nama diri yang populer, Pakuan Pajajaran. Dengan demikian, Pakuan Pajajaran merupakan nama kolektif panca prasada; dan pendapat ten Dam yang menyebutkan Pakuan berarti “dayeuh” jelas tak tepat, sebab baik Saunggalah, Galuh, dan Kawali tak disebut pakuan meski semuanya merupakan pusat pemerintahan.

Itulah mengapa sumber-sumber dari Majapahit dan Portugis tak menyebut Pakuan Pajajaran melainkan Kerajaan Sunda, karena nama Pakuan Pajajaran tak lain hanya nama keraton, bukan nama kerajaan. Begitu pula berita Portugis (Pires) menyebut ibukota Sunda sebagai “dayo” (dayeuh), bukan Pakuan. Pastinya utusan Portugis ini mendengar nama tersebut dari rakyat pribumi yang memang selalu menyebutkan ibukotanya sebagai dayeuh bukan nama formal-protokoler (Pakuan) yang hanya terdapat dalam piagam resmi/prasasti.

Sri Baduga dan Karya-karya Besarnya
Prasasti Batutulis menjelaskan bahwa Jayadewata dinobatkan dua kali. Pertama, dia dinobatkan dengan nama Prabu Guru Dewataprana ketika menjadi raja di Kawali oleh ayahnya, Ningratkancana. Kedua, dia dinobatkan kembali dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata ketika menerima takhta Pakuan dari Susuktunggal, mertua dan uwaknya sekaligus. Prabu Guru merupakan gelar pertama Sri Baduga saat penobatannya sebagai mangkubumi Kawali. Menurut Prasasti Kebantenan II dan III, sebagai Susuhunan Pajajaran ia bergelar prabu; sementara menurut Prasasti Batutulis, sebagai penguasa Pakuan ia bergelar ratu aji. Akan tetapi, Tome Pires yang pada 1513 pernah singgah di Kota Pakuan, sama sekali tak menyebut nama Pajajaran melainkan Kerajaan Sunda.

Dalam Carita Parahyangan disebutkan, Susuktunggal membuat palangka (tempat duduk) alias singgasana untuk penobatan menantunya sebagai raja di Pakuan. Sebagai tuan rumah di Pakuan, Susuktunggal mempersembahkan Pakuan sebagai “lemah suksi, lemah hadi” (negeri suci, negeri teratur) kepada Sri Baduga. Dengan menjadi penguasa Sunda-Galuh, Sri Baduga dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Sri Baduga dalam Carita Parahyangan identik dengan tokoh Jayadewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir, di Tanah Sunda kembali terjadi iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat.

Sri Baduga inilah kemudian lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun yang ditulis tahun 1440 Saka (1518 M) ketika Sri Baduga masih hidup. Digelari Siliwangi karena Sri Baduga mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Niskala Wastukancana yang disebut Prabu Wangi. Baik buyutnya (Lingga Bhuwana yang gugur di Bubat) maupun kakeknya (Niskala Wastukancana) sama-sama bergelar maharaja seperti Sri Baduga, yang memunyai keagungan dan kekuasaan yang sama besar seperti kedua leluhurnya itu.

Mengapa pula ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar “prabu”, bukan “maharaja”, bukan pula “Siliwangi”? Ini disebabkan karena Dewa Niskala hanya berkuasa di Kawali-Galuh dan Susuktunggal hanya di Pakuan, sedangkan Sri Baduga maupun Wastukancana sama-sama berkuasa atas Pakuan dan Galuh. Dengan demikian, Sri Baduga dianggap sebagai “silih” (pengganti) Prabu Wangi Wastukancana (Prabu Wangisutah). Ada pula yang berpendapat, Prabu Wangi merupakan gelar Prabu Lingga Bhuwana. Oleh para pujangga babad dan pustaka, silih dalam pengertian kekuasaan diartikan sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak, sehingga Prabu Siliwangi dianggap putra Wastukancana, padahal cucunya. Juga, karena menurut tradisi, rakyat kecil ditabukan menyebut gelar raja, maka juru pantun memopulerkannya dengan sebutan Siliwangi.

Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi. Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Konon, ketika mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani. Bahkan ia satu-satunya yang berhasil mengalahkan Ratu Japura, Amuk Murugul, waktu bersaing memperebutkan Subanglarang, putri Ki Gede Tapa. Subanglarang yang beragama Islam kemudian diperistri oleh Sri Baduga. Sebelum menikah dengan Sri Baduga, Subanglarang belajar agama Islam di Pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia merupakan murid Syekh Hasanudin yang menganut Mazhab Hanafi. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416, ketika pemerintahan Wastukancana masih berlangsung. Subanglarang belajar di situ selama dua tahun. Pasangan Sri Baduga-Subanglarang memiliki tiga orang anak, yakni Walangsungsang (Cakrabuana), Lara Santang, dan Raja Sangara (Kian Santang). Lara Santang sendiri kelak melahirkan Syarif Hidayatullah, pendiri kerajaan Islam di Cirebon. Sri Baduga juga memperistri Ngabetkasih (Ambetkasih) putri Ki Gedeng Sindangkasih. Dan yang menjadi permaisuri Sri Baduga adalah Kentring Manik Mayangsunda, keponakannya sendiri, putri Susuktunggal. Pernikahannya dengan Kentring Manik membuahkan putra bernama Surawisesa.

Prasasti Batutulis menerangkan, pada masa Sri Baduga dilakukan langkah penting guna memperkokoh pertahanan istana/kerajaan, yakni dibuatnya parit-parit di sekeliling tembok istana Pakuan (ya nu nyusuk na Pakwan). Pembuatan parit-parit yang cukup dalam ini dimaksudkan untuk berjaga-jaga bila suatu waktu kerajaan diserang pihak Demak atau Banten atau Cirebon yang telah Islam. Sebenarnya, parit di sekeliling Pakuan ini telah dirintis oleh Rakeyan Banga, leluhur Sri Baduga raja Sunda ke-4, dan bahkan telah diperluas (dibeukah) oleh Prabu Dharmasiksa pada abad ke-12. Yang dilakukan Sri Baduga tak lain memperkokoh dan mungkin juga memperluas/memperpanjang lagi parit-parit di Pakuan. Selain di Pakuan, di ibukota Sunda-Galuh yang lain, yakni Kawali, pun pernah dibuat parit (marigi) oleh Prabu Niskala Wastukancana pada abad ke-14.

Selain memperkokoh ibukota, menurut Batutulis, Sri Baduga membuat “karya besar” lainnya, yaitu “nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan Samida, nyiyan Sanghyang Talaga Rena Mahawijaya.” Jadi, Sri Baduga pernah membuat gunung-gunungan (gunung kecil atau bukit buatan) dan sebuah telaga yang diduga keduanya berlokasi di Rancamaya. Poerbatjaraka menduga bahwa gugunungan itu merupakan tempat kayu samida untuk keperluan upacara pembakaran mayat (oleh Nagarakretabhumi disebut “wanagiri”).

Sementara itu, Danasasmita menganggap bahwa gugunungan tersebut kini adalah Bukit Badigul, yang hingga kini oleh penduduk Rancamaya dianggap bukit “keramat” karena di puncaknya terdapat sebuah “makam keramat”. Ada pun Sanghyang Talaga Rena Mahawijaya oleh Nagarakretabhumi disebut Situ Ageung Sena Mahawijaya. Pantun-pantun di Bogor menyebutkan adanya Telaga Rena Wijaya yang terletak di Rancamaya juga. Tak pelak lagi, bahwa kedua karya agung Sri Baduga terletak di Rancamaya, tempat di mana Sri Baduga dipusarakan setelah wafat.

Ada cerita mitos yang terkenal di kalangan rakyat Sunda bahwa Prabu Siliwangi ini ngahyang, dan bahkan berubah jadi seekor maung (macan).

Sri Baduga menjalankan roda pemerintahan selama 39 tahun (1482-1521). Sri Baduga dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran. Disebut pula, setelah wafat ia bergelar anumerta Sang Lumah ing Rancamaya (Sang Mokteng Rancamaya) karena dipusarakan di Rancamaya, yang besar kemungkinan adalah Desa Rancamaya yang terletak di sebelah barat Ciawi, Bogor (kini telah menjadi tempat komplek perumahan mewah). Desa ini kira-kira 7 km dari Bogor dan merupakan pemukiman tua. Dalam ekspedisi orang-orang VOC, yakni Ram dan Coops tahun 1701, dusun ini hanya memiliki 5 buah rumah. Bahkan dalam sebuah pantun disebutkan, “Cihaliwung nunjang ngidul, Cisadane bahe ngaler, di tengah Cirancamaya.”

Kehidupan Sosial dan Ekonomi Pajajaran Masa Sri Baduga
Kebijakan Sri Baduga dalam masalah sosial-ekonomi bisa ditemukan pada Prasasti Kebantenan yang di antaranya berbunyi (artinya):

Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan dasa, calagra, kapas timbang, dan pare dongdang. Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.

Penduduk kedua dayeuh Jayagiri dan Sunda Sembawa dibebaskan dari empat macam pajak, yaitu dasa (pajak tenaga per seorangan), calagra (pajak tenaga kolektif), kapas timbang (kapas 10 pikul), dan pare dondang (padi 1 gotongan). Dalam Kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, upeti, dan panggeureus reuma. Di samping itu, Sri Baduga juga menetapkan batas-batas kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan”, yakni sebagai desa perdikan atau desa yang dibebaspajakkan.

Dalam Kropak 406 disebutkan, orang-orang dari Kandang Wesi (sekitar Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka” sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas 10 carangka berarti kapas 10 pikul untuk 1 timbangan. Kapas termasuk upeti, dan tidak dikenakan kepada rakyat secara per seorangan, melainkan kepada penguasa setempat.

Pare dondang disebut “panggeres reuma”. Panggeres adalah hasil yang berlebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan petaninya untuk membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul berbentuk persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukkan pikulan, yang selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut dondang (berayun). Dondang juga dapat dipakai khusus untuk membawa barang antaran pada acara selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, pare dongdang atau penggeres reuma merupakan barang antaran.

Pajak yang sesungguhnya adalah pajak tenaga dalam bentuk dasa dan calagra. Tugas-tugas dalam rangka pajak-tenaga yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja di antaranya: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau serang ageung (ladang milik kerajaan yang hasilnya dipersembahkan untuk upacara-upacara resmi). Hasil pertanian di Tatar Sunda yang di pasaran adalah lada, kapas, padi, merica, dan asam (tammarin). Dalam Kropak 630 disebutkan “wwang tani bakti di wado” (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara.

Pembebasan pajak dasa, calagra, kapas timbang, dan pare dongdang; desa perdikan; dan bea ketika masuk muara-pelabuhan, memperlihatkan kebijaksanaan yang sangat demokratis dari Sri Baduga. Meski yang dibebaspajakkan hanya dua dayeuh, tetap saja tak mengurangi kewibawaan raja ini. Ia tidak melihat rakyat Sunda sebagai penanggung jawab pajak yang utama melainkan sebagai kesatuan yang harus disejahterakan, bukan menyejahterakan negara. Rakyatlah “yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.” Sangat wajar bila kehidupan pada masa Sri Baduga selalu digambarkan oleh pantun-pantun Sunda sebagai kehidupan yang ideal bagi negera-agraris. Sebagai raja, ia telah membebaskan rakyat dari kewajiban membayar upeti (pajak) yang diberlakukan oleh raja-raja Sunda sebelumnya.

Dari penggambaran di atas, jelas bahwa masyarakat Sunda-Pajajaran merupakan masyarakat peladang, bukan masyarakat pesawah seperti halnya di Jawa Tengah dan Timur. Walau masyarakat Pakuan atau Sunda pada umumnya bekerja sebagai peladang, akan tetapi budaya bersawah telah dikenal oleh sebagian masyarakat Pakuan. Namun, lahan persawahan mereka berdekatan dengan gerbang Pakuan. Para petani menggarap sawah mereka untuk keperluan orang-orang di kota Pakuan semacam bangsawan, kawula istana, dan keluarga raja. Hasil sawah dan juga ladang lalu diperjualbelikan di pasar yang terletak di alun-alun depan gerbang Pakuan.

Pires mencatat, bahwa sebagai kerajaan pedalaman, Kerajaan Sunda-Pajajaran banyak memiliki pelabuhan (bandar) bertaraf internasional. Pelabuhan-pelabuhan tersebut bila dirunut dari barat ke timur adalah: Banten, Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa, dan Cimanuk. Pelabuhan-pelabuhan ini merupakan muara dari sungai-sungai berukuran besar yang mengalir ke pedalaman Sunda. Dengan menggunakan perahu kecil (jung) dan lankaras, komoditas pertanian di Pajajaran dibawa melalui Sungai Ciliwung dan anak-anak sungai lainnya untuk diperjualbelikan/dipertukarkan kepada khalayak yang membutuhkan. Menurut Pires, “kota” Banten terletak di tepi sungai, yang dipimpin oleh seorang syahbandar yang berkuasa atas nama raja Sunda. Yang dimaksud Pires, Kota Banten ini berada di sekitar Banten Lama sekarang yang pusatnya terletak di Banten Girang (3 km selatan Kota Serang).

Selain jung dan lankaras yang diberitakan jumlahnya tak banyak oleh penulis Portugis, Pajajaran juga memiliki pasukan gajah yang terlatih dan ribuan kuda yang sengaja dikembangbiakkan untuk keperluan militer. Menurut Pires, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah kapal jung seberat 150 ton untuk kepentingan perdagangan antarperairan. Bayangkan, saat itu perdagangan kuda pariaman bisa mencapai 4.000 ekor per tahun. Diberitakan pula kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka dan bahkan sampai ke Kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1.000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun. Malah, hasil asem (tammarin) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1.000 kapal.

Agama Baru di Tanah Sunda
Pada masa Sri Baduga, menurut Carita Parahyangan, sebagian masyarakat Sunda-Pajajaran disebut serakah atau loba karena tidak puas dengan agama yang telah dianut nenek moyang, lalu memeluk agama baru. Dari naskah tersebut dapat diketahui bahwa pada saat itu banyak warga Pajajaran yang telah beralih ke agama baru (Islam) dengan meninggalkan agama lama (Hindu, Buddha, dan ajaran leluhur). Carita Parahyangan melukiskan:

Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat, dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah (loba) akan ajaran agama.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu putra Bunisora, yakni Bratalegawa, telah masuk Islam karena menikah dengan seorang Muslimah di Gujarat. Ketika kembali ke Galuh, Bratalegawa mengunjungi Ratu Banawati, adik bungsunya yang telah menjadi istri salah seorang bangsawan Galuh. Ajakan Bratalegawa agar adiknya itu masuk Islam ditolak. Lalu, ia pergi ke Cirebon Girang tempat kakaknya berkuasa, Giridewata, dan mengajaknya agar masuk Islam. Namun, sang kakak menolaknya juga. Namun, meski ajakan-ajakan tersebut tak berhasil, bukan berarti persaudaraan mereka retak. Dengan demikian, cikal-bakal kedatangan Islam ke Tanah Priangan telah ada sejak Prabu Niskala Wastukancana masih memerintah (abad ke-14), kira-kira seabad sebelum zaman Sri Baduga.

Bratalegawa ternyata merupakan pemeluk Islam yang pertama di Galuh. Oleh karena itu, ia pun memiliki gelar Haji Purwa Galuh alias atau Haji Purwa saja (purwa berarti pertama). Dari pernikahannya dengan Farhana, ia dianugrahi seorang anak lelaki bernama Ahmad yang setelah dewasa dikenal sebagai Maulana Safiuddin. Setelah beranjak remaja, keluarga Haji Purwa (Bratalegawa) kembali ke Gujarat, tempat asal istrinya. Di negeri India ini, Ahmad berjodoh dengan Rogayah, anak salah seorang sahabat Haji Purwa bernama Abdullah. Pasangan Ahmad-Rogayah ini melahirkan seorang anak gadis bernama Hadijah. Hadijah ini lalu dikawinkan dengan seorang saudagar tua dari Handramaut. Setelah suaminya meninggal dan tak memberinya keturunan, Hadijah lalu pergi ke Galuh mengikuti orangtuanya yang telah dahulu pulang ke Galuh.

Di Galuh, keluarga Haji Purwa menetap di daerah Pasambangan. Hadijah kemudian diperistri oleh Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama pengelola pesantren (pesantrian) di daerah Amparan jati, Cirebon. Sebagai janda dari saudagar tua, Hadijah tentunya memiliki harta berlimpah; dan karenanya ia banyak membantu perluasan pesanren milik Syekh Datuk Kahfi, suami barunya.

Sebenarnya, sebelum Datuk Kahfi membangun pesantren di Cirebon, di daerah Puradalem di Karawang telah berdiri pesantren yang didirikan oleh Syekh Hasanuddin yang berasal dari Campa, selatan Cina. Syekh Hasanuddin tiba di Karawang setelah ikut pelayaran seorang laksamana terkenal dari Cina, yaitu Laksamana Cheng-ho alias Sam-po Taykam yang seorang Muslim juga. Juru tulis (sekretaris) Cheng-ho, yakni Ma-huan yang juga Muslim, mencatat kronik perjalanannya termasuk ketika singgah di Pulau Jawa. Pelayaran dalam rangka perdamaian ini membawa perahu besar sebanyak 63 buah, prajurit sebanyak 27.000.

Ketika pelayaran menuju Majapahit (yang oleh Cheng-ho dianggap kerajaan terpenting di Jawa), armada Cheng-ho singgah di Pura, Karawang; Hasanuddin yang ikut berlayar di dalamnya, menetap di situ, tidak ikut ke Majapahit, dengan tujuan mengenalkan Islam kepada penduduk pribumi. Hasanuddin adalah pengikut mahzab Hanafi. Anaknya berjumlah dua orang, lelaki dan perempuan. Yang lelaki bernama Syekh Bentong alias Tan Go-wat, yang kemudian menetap di Gresik sebagai ulama sekaligus pedagang. Sementara itu, anak perempuannya bernama Siu Ban-ci yang kemudian diperistri oleh Raja Majapahit, Prabu Kertabhumi. Perkawinan mereka membuahkan seorang anak lelaki bernama Raden Praba alias Jin-bun, yang kelak dikenal sebagai Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak di Jawa Tengah.

Penyebaran Islam yang dilakukan Haji Purwa (Bratalegawa) sejauh ini tak mengalami rintangan. Keleluasaan dalam mengenalkan “agama baru” ini disebabkan karena ia merupakan sepupu Wastukancana sekaligus iparnya, penguasa Galuh. Hasanuddin sendiri kemudian juga memperistri Ratna Sondari anak Ki Gedeng Karawang.

Dari Ratna Sondari, lahirlah anak lelaki, Syekh Ahmad, yang menjadi penghulu di Karawang. Syekh Ahmad ini memiliki seorang anak gadis bernama Nyi Mas Kedaton. Nyi Mas Kedaton ini lalu memunyai anak lelaki bernama Musanuddin yang kemudian menjabat menjadi lebe di Cirebon dan menjadi pemimpin tajug Sang Ciptarasa pada masa pemerintahan Susuhunan (Sunan) Gunung Jati. Dalam kronik Pires, seorang pelaut Portugis yang sempat singgah di Sunda Kelapa (salah satu pelabuhan Sunda tahun 1513) disebutkan adanya tokoh Lebe Usa. Bisa jadi, Lebe Usa ini adalah Musanuddin yang memang berprofesi sebagai lebe.

Pesantren di Karawang kemudian lebih dikenal dengan nama Pondok Kuro, sedangkan Syekh Hasanuddin lebih dikenal sebagai Syekh Kuro. Di antara cantrik atau murid Syekh Kuro ini terdapat Nyi Subanglarang, anak Ki Gedeng Tapa, juru labuhan Muara Jati. Di kemudian hari, Subanglarang menikah dengan Sri Baduga. Pernikahan mereka yang berbeda agama membuahkan 3 orang anak: yang sulung lelaki bernama Cakrabuana, yang kedua perempuan bernama Lara Santang, dan yang ketiga lelaki bernama Kian Santang. Ketiganya memeluk agama ibu mereka, Islam, dan sang ayah tak keberatan dengan agama yang dianut ketiga anak-anaknya.

Lara Santang kemudian menikah dengan Maulana Sultan Mahmud, seorang bangsawan Arab (Mesir), yang melahirkan dua anak lelaki bernama Syarif Hidayat (Hidayatullah) dan Syarif Nurullah. Pustaka Nagara Kretabhumi menceritakan bahwa pada tanggal 12 bagian terang, bulan Caitra, tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya dibawa setiap tahun ke Pakuan. Ia dijadikan raja yang merdeka oleh uwaknya, Pangeran Cakrabuana, di Cirebon Girang, wilayah yang termasuk kekuasaan Sunda-Pajajaran. Syarif Hidayat setelah diberi kekuasaan di Cirebon kemudian bergelar Susuhunan Jati.

Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bima. Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat telah ditempatkan di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran. Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya lebih besar. Akhirnya Jagabaya menyerah dan masuk Islam.

Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Namun, pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) Keraton, Ki Purwa Galih. Cirebon merupakan daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya, Ki Gedeng Danusela atau Danuwarsih, dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya, Ki Gedeng Tapa (ayah Subanglarang, mertua Sri Baduga).

Cakrabuana sendiri sebelum menjadi susuhunan, dinobatkan oleh Sri Baduga sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Ia menikah dengan Nyi Endang Geulis, anak Ki Gedeng Danuwarsih yang beragama Buddha. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran Sri Baduga.

Karena permusuhan tidak berlanjut ke peperangan, masing-masing pihak dapat mengembangkan negerinya. Oleh Carita Parahyangan, masa Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan. Pires mencatat bahwa, “Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur.”

Akan tetapi, situasi di Pakuan-Pajaran kemudian tegang kembali ketika hubungan Demak-Cirebon makin erat dengan diadakannya perkawinan keluarga antarakedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu:

  1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi);
  2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor (Pati Unus) tahun 1511; dan sebagai Senapati Sarjawala (panglima angkatan laut) Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara ditugaskan di Cirebon.
  3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun;
  4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).

Persekutuan Cirebon-Demak sangat mencemaskan pikiran Sri Baduga di Pakuan. Mungkin pula, kepindahan ibukota dari Kawali ke Pakuan atas pertimbangan bahwa Kawali yang dekat dengan Cirebon (yang telah dikuasai Demak sejak 1475) merupakan target Demak berikutnya untuk menguasai Jawa Barat. Mengingat wilayah Pasundan belum tumbuh menjadi potensi politik Islam yang nyata, Sri Baduga lebih memusatkan perhatiannya terhadap Selat Sunda sambil mendekati pihak Portugis di Malaka. Untuk itu, tahun 1512 dan 1521, ia mengirimkan misi datang dan persahabatan kepada Panglima Portugis, Alfonso d’Albuquerque, di Malaka, yang ketika itu baru saja merebut Samudra Pasai.

Dengan dikuasainya Selat Sunda oleh Pajajaran dan Selat Malaka oleh Portugis, maka bagi Demak sangatlah sukar untuk dapat menguasai perairan di Nusantara. Bagi pihak Demak, jelas upaya Pajajaran ini meresahkan mereka.

Pangeran Cakrabuana dan Syarif Hidayat tetap menghormati Sri Baduga sebagai ayah dan kakek. Maka itu, permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang menjurus kepada kudeta. Sri Baduga hanya kurang senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon sendiri. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang istrinya, Subanglarang, dan ketiga anaknya adalah pemeluk Islam.

Para Penyebar Islam di Sunda dan Jawa Sebelum Wali Sanga
Dikisahkan, Syekh Sayid Hibatullah dan Syekh Sayid Burhanuddin Ibrahim merupakan keturunan Nabi Muhammad dari generasi ke-13. Setelah dewasa, Hibatullah pergi merantau ke Pulau Swarnabhumi yang mayoritas penduduknya memeluk Buddha. Dari Swarnabhumi, Hibatullah meneruskan perjalanan ke Jawadwipa (Tanah Jawa) namun kemudian kembali lagi ke Swarnabhumi untuk seterusnya bermukim di pulau ini.

Syekh Sayid Hibatullah memiliki dua orang anak, yaitu Syekh Sayid Maimun dan Syekh Muhammad Saleh. Sayid Maimun memiliki seorang anak perempuan bernama Fatimah yang kemudian diperistri oleh seorang pedagang kaya asal Arab yang telah lama bermukim di Jawa bagian timur. Dari pernikahannya ini, Fatimah dikaruniai beberapa orang anak yang menetap di pelbagai tempat seperti Jawadwipa, Swarnadwipa, Gujarat, dan di antaranya bernama Syekh Sayid Abdurrahman yang kemudian di selatan Jazirah Arab. Syekh Abdurrahman ini memiliki beberapa orang anak, di antaranya Sarah yang dinikahi Sayid Abdul Malik. Pasangan suami-istri ini memiliki sejumlah anak yang menetap di Jawadwipa.

Sementara itu, Fatimah, putri dari Sayid Maimun, wafat pada 1082 dan dimakamkan di Jawadwipa. Dengan demikian, makam Fatimah binti Maimun yang terletak di Leran, Gresik, Jawa Timur yang padung makamnya bertuliskan tahun 1082 juga, pastilah mengacu pada Fatimah anak Syekh Sayid Maimun ini. Jadi jelas, benih-benih Islam telah sejak Kerajaan Kediri dan Janggal masih ada, jauh sebelum Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya. Bahkan, mengingat bahwa kakek Fatimah, yakni Syekh Hibatullah, telah bermukim di Jawa, maka persemaian Islam telah ada sejak masa Raja Airlangga (1019-1042). Kepastian ini diperkuat oleh fakta bahwa tatkala Airlangga memerintah di Jawa Timur, di Paseh yang menjadi sultan adalah Muhammad Saleh (1014-1040), paman Fatimah binti Maimun.

Ada pun Syehk Muhammad Saleh sebelum menjadi penguasa Paseh, pada awalnya pergi ke Parsi, namun kemudian memilih tinggal di Paseh (Pasai), sebuah kerajaan Islam yang baru berdiri di Swarnabhumi sebelah utara (sekitar Aceh). Muhammad Saleh kemudian kawin dengan Rokayah, putri Sultan Pasai, Syekh Sayid Burhanuddin Ibrahim yang memiliki gelar Sultan Malik Ibrahim Makdum. Syekh Burhanuddin Ibrahim atau Sultan Malik Ibrahim Makdum ini aslinya berasal dari Gujarat, India, dan merupakan anak Syekh Sayid Makdum Sidik dari istrinya yang lain yang berasal dari Parsi. Dengan begitu, ada pertalian darah antara bangsawan Paseh dengan Jawa Timur. Ada keturunan Sayid Makdum yang menjadi raja di Paseh, yakni Sultan Malik.

Di Swarnabhumi atau Sumatra, para penyebar Islam tiba pada abad ke-9 (tahun 846) ketika Sriwijaya berada di puncak kejayaannya. Berdasarkan tulisan seorang pedagang Arab yang pada tahun 851, diketahui bahwa di “Sribuza” (Sriwijaya) yang menjadi rajanya adalah "Zabag". Oleh karena itu, tak ada kerajaan bercorak Islam di pulau ini hingga lahirnya Kerajaan Paseh (Samudra Pasai) seabad kemudian. Jadi, sebelum Paseh memproklamasikan sebagai negara Islam, para pendatang Muslim ini hanya membangun permukiman dan hubungan sosial-ekonomi. Baru pada 989, Syekh Burhanuddin Ibrahim yang bermigrasi ke wilayah Aceh menjadi raja pertama di Paseh. Ia hanya berkuasa selama 25 tahun (989-1014). Ia kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama Syekh Muhammad Saleh, yang memerintah selama 26 tahun (1014-1040). Setelah itu, sultan-sultan Paseh pun silih berganti.

Dan persebaran Islam secara besar-besaran terjadi pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Penyebaran ini ditunjang oleh kekuatan politik-militer, yakni oleh Kerajaan Demak dan Cirebon-Banten, dengan sokongan penuh dari Wali Sanga. Lagi pula, baik Panembahan Maulana Hasanuddin dan Maulana Yusuf dari Banten yang berhasil menjebol gerbang dan istana Pakuan tahun 1579 juga merupakan keturunan Sri Baduga dari Subanglarang, maka proses Islamisasi ini berjalan cukup lancar. Sebagai keturunan Siliwangi, tak begitu sukar bagi rakyat Pakuan dan Sunda untuk mengikuti ajaran Islam yang dianut Hasanuddin dan Yusuf. Mereka seolah-oleh memiliki alasan/legitimasi untuk memeluk “agama baru” ini tanpa perlu merasa bersalah.

Raja-raja Sunda - Pakuan Pajajaran

  1. Sri Baduga Maharaja atau Ratu Purana Prabu Guru Dewatasrana atau Prabu Siliwangi atau Sang Mokteng Rancamaya (1482-1521), Pakuan-Galuh.
  2. Prabu Surawisesa Jayaprakosa atau Ratu Sanghyang (oleh Pires disebut Ratu Samian) (1521-1535 M), Pakuan.
  3. Prabu Ratu Dewata Bhuwana Wisesa (1535-1543), Pakuan.
  4. Prabu Ratu Saksi atau Prabu Mangabatan atau Ratu Saksi Mokteng Pengpelengan (1543-1551), Pakuan.
  5. Prabu Ratu Carita atau Sang Nilakendra atau Sang Mokteng Majaya (1551-1567 M), Pakuan dan pengasingan.
  6. Prabu Suryakancana atau Prabu Ratu Ragamulya atau Prabu Nusiya Mulya (1567-1579 M), Pulasari (Pandeglang).

Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda pada masa Tarusbawa diberitakan dalam Carita Parahyangan. Disebutkan, wilayah Sunda dimulai dari Sungai Citarum ke arah barat. Sementara, dari Citarum ke arah timur termasuk kekuasaan Galuh. Ada kemungkinan, wilayah Kerajaan Sunda meliputi bekas wilayah Tarumanagara.

Wilayah kekuasaan pada masa pemerintahan Sanjaya dapat dipastikan meliputi wilayah gabungan Kerajaan Sunda dan Galuh. Bahkan diperkirakan, pada masa Sanjaya, wilayah itu melebihi wilayah Jawa Barat. Berdasarkan naskah tersebut, Sanjaya kerap pergi berperang ke daerah-daerah lain untuk memperluas kekuasaannya. Daerah atau kerajaan di luar wilayah Priangan yang diberitakan tunduk dan mengakui Sanjaya di antaranya: Mananggul, Kahuripan, Balitar, Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Kebenaran Carita Parahyangan ini tak dapat dikatatan sepenuhnya benar, melainkan untuk mengagung-agungkan Sanjaya.

Wilayah Pajajaran sejak masa Sanjaya hingga berakhirnya kerajaan ini pada 1579, rupanya tak mengalami perubahan berarti. Berdasarkan kisah Bujangga Manik yang menyusuri Pulau Jawa pada abad ke-16 dapat diketahui bahwa batas wilayah Kerajaan Sunda di sisi timur adalah Sungai Cipamali (kini Kali Pemali). Batas wilayah Kerajaan Sunda di sisi barat kiranya adalah Selat Sunda, sedangkan batas sisi utara adalah pantai utara Jawa Barat hingga Brebes. Di pantai utara, seperti yang diceritakan Pires, berjejer enam buah pelabuhan milik Kerajaan Sunda, yaitu Banten (Bantam), Pontang, Cigede, Tamgara (Tanggerang), Kalapa (Jakarta), dan Cimanuk. Batas di sisi selatan adalah Laut Selatan (Samudra Hindia).

Struktur wilayah Kerajaan Sunda terdiri atas kerajaan pusat (Pakuan Pajajaran) dan kerajaan-kerajaan daerah yang tersebar di wilayah Jawa Barat. Kerajaan-kerajaan bawahan itu di antaranya:

  1. Cirebon Larang;
  2. Cirebon Girang;
  3. Sindangbarang;
  4. Sukapura;
  5. Kidanglumotan;
  6. Galuh;
  7. Astuna Larang;
  8. Tajeknasing;
  9. Sumedang Larang;
  10. Ujang-mubara;
  11. Ajong Kidul;
  12. Kamuning Gading;
  13. Pancakaki;
  14. Tanjung Senguru;
  15. Jakarta-Nusakapal;
  16. Banten Girang;
  17. Pulasari;
  18. Hujung Kulon.

Ada pun Pires yang pernah masuk kota Pakuan menulis bahwa, “Sementara orang menegaskan bahwa Kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.”

Persekutuan Sunda-Pajajaran dengan Portugis
Sri Baduga kemudian digantikan oleh putranya, Prabu Surawisesa Jayaprakosa. Ibu Surawisesa adalah Kentring Manik Mayang. Jadi, ia merupakan saudara tiri lain ibu dengan Cakrabuan, Lara Santang, dan Kian Santang.

Sebelum menjadi raja, Surawisesa oleh ayahnnya, Sri Baduga pada tahun 1512, diperintahkan untuk menghubungi Alfonso d’Albuquerque, Panglima Portugis di Malaka, guna mencari bantuan militer guna menghadapi kekuatan Demak-Cirebon. Ia ditunjuk sebagai penguasa (tohaan) di daerah Sanghyang yang meliputi Pelabuhan Sunda Kapala. Sri Baduga mengharapkan agar Surawisesa menjadi “raja pedagang” bukan “raja pedalaman” seperti dirinya.

Surawisesa kemudian ditunjuk sebagai pemimpin misi Pajajaran ke Malaka. Oleh Pires, ia ditulis sebagai “Ratu Samiam” (Ratu Sanghyang) karena merupakan penguasa wilayah Sanghyang, belum menjadi raja Pajajaran. Menurut Nagarakretabhumi, Surawisesa disebut sebagai “Guru Gantangan”. (Ada sebuah naskah berjudul Babad Pakuan yang tiga per empatnya berisi lakon tokoh Guru Gantangan, yang disusun tahun 1816-1817, pada masa Bupati Sumedang Pangeran Kornel, menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk tembang macapat Jawa).

Surawisesa dinobatkan menjadi raja Pajajaran pada 1521 (bertepatan dengan penobatan Sultan Trenggana menjadi raja Demak), yang mana dihadiri oleh orang-orang Portugis yang tiba di Pakuan sebagai kunjungan balasan. Pimpinan Portugis sendiri adalah Hendrik Bule alias Hendrik de Leme (ipar Alfonso d’Albuquerque). Di Pakuan ini, pada 21 Agustus 1522, Surawisesa untuk kedua kalinya membuat perjanjian kerjasama dengan Portugis, melalui naskah yang dibuat dua rangkap—masing-masing memegang satu naskah. Melalui perjanjian ini, Portugis diizinkan mendirikan benteng dan gudang dagang di pelabuhan Sunda Kalapa. Sebagai balasannya, Portugis harus membantu Pajajaran dalam menghadapi Cirebon-Demak.

Kerjasama “bilateral” Pajajaran-Portugis ini jelas merupakan ancaman serius bagi Demak. Dalam pandangan Demak, Pajajaran seolah-olah sengaja hendak melepaskan Banten dan Sunda Kalapa ke tangan Portugis; dan ini harus dicegah. Pajajaran pun dituding bersekutu dengan Pasai di Aceh dan Malaka; yang ditafsirkan akan menyerahkan dua wilayah ini kepada Portugis.

Cerita Parahyangan menceritakan bahwa selama Surawisesa berkuasa, Kerajaan melakukan peperangan selama 15 kali dan semuanya tak terkalahkan. Sayang, naskah ini tak menceritakan, pihak manakah yang memulai peperangan, apakah pihak Pajajaran atau pihak musuh. Lagi pula, dalam kenyataannya, selama Surawisesa memerintah Pajajaran banyak kehilangan wilayah kekuasaannya.

Dua pelabuhan milik Pajajaran berturut-turut jatuh ke pihak Demak-Cirebon-Banten (tahun 1526 pelabuhan Banten, tahun 1527 Sunda Kalapa). Pada tahun berikutnya, 1528, peperangan bergeser ke arah timur, di Rajagaluh, Majalengka. Dua tahun kemudian, 1530, terjadi peperangan di Talaga, daerah di mana salah seorang istri Surawisesa berasal. (Dalam Sajarah Talaga, Surawisesa dikenal dengan tokoh Pucuk Umun, dan istrinya tersebut ahli waris takhta Talaga). Sementara Cirebon melanjutkan serangannya dari Talaga menuju jantung Galuh dan Galunggung; maka sejak Panembahan Hasanuddin menjadi sultan Banten tahun 1552, serangan ke Pakuan pun dilancarkan sendiri oleh pihak Banten karena alasan jarak yang lebih dekat.

Sementara itu, Surawisesa merasa tak mampu menjaga amanah ayahnya dalam mempertahankan negara. Dengan begitu, ia pun membuat Prasasti Batutulis untuk mengenang jasa dan kebesaran ayahnya seakan merupakan “pernyataan kekecewaannya” atas ketidakmampuannya menjaga Pajajaran. Pada 1535, Surawisesa meninggal dunia.

Yang memegang kekuasaan Pajajaran selanjutnya adalah Ratu Dewata yang bergelar Prabu Dewata Bhuwana Wisesa (1535-1543). Ratu Dewata berbeda dengan ayahnya; ia diberitakan lebih sering manurajasuniya yang hanya memfokuskan diri pada ketuhanan dan abai terhadap realitas yang ada. Ia cenderung alim, lemah lembut, dan berorientasi kepada hal-hal religius sehingga kurang memperhatikan kondisi politik yang berkembang. Masa Ratu Dewata ini disebut “zaman susah” (samangkana ta precinta). Dan peperangan melawan Banten terus berlangsung, sementara sang Raja sibuk dengan kehidupan “sufistiknya”.

Bhuwana Wisesa lalu digantikan oleh Prabu Ratu Saksi (Prabu Mangabatan) yang memerintah dari 1543-1551, yang setelah wafat dikenal sebagai Ratu Saksi Mokteng Pengpelengan. Pada masa Ratu Saksi ini, menurut Carita Parahyangan, tak diberitakan adanya peperangan. Hal ini terjadi karena sebagian tentara Islam dari Banten dan Cirebon diminta pihak Demak untuk membantu menyerang Pasuruan tahun 1546, di mana mengakibatkan tewasnya Sultan Trenggana. Karena sebagian tentara dikonsentrasikan ke wilayah timur, maka penyerangan terhadap Pajajaran tak dilakukan oleh pasukan koalisi Banten-Cirebon-Demak pada masa Ratu Saksi. Karakter Ratu Saksi sendiri berbeda dengan ayahnya. Ia cenderung bersikap keras bahkan kejam. Pada masa kepemimpinannya, digambarkan “wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelekan” (petani kelaparan dan saling serakah memperebutkan makanan, tidak produktif dan enggan menanam sehingga menderita).

Peperangan antarketurunan Sri Baduga: Hancurnya Pajajaran oleh Banten
Ratu Saksi lalu digantikan oleh Prabu Nilakendra yang memerintah dari 1551-1567. Sama seperti Sri Jayabhupati, Nilakendra penganut Tantrayana, mazhab yang dianut oleh sebagian umat Buddha maupun Hindu. Tantrayana ini terbagi lagi dalam dua aliran: kanan dan kiri. Pengikut aliran kiri menganggap, penciptaan alam semesta beserta isinya dilakukan oleh Unsur Asal (dalam Buddhisme disebut Buddha, dalam Hinduisme disebut Siwa-Bhairawa) melalui hubungan intim dengan istrinya. Maka dari itu, hubungan kelamin dianggap “suci” dan dapat membawa manusia mencapai “pembebasan jiwa”.

Praktik cabul dari pengikut Tantrayana kiri yang berkedok agama ini makin bertambah kisruh dengan adanya penggunaan minuman keras dalam ritual mereka. Penggunakan minuman keras ini dimaksudkan untuk mempercepat “kedekatan” kepada Unsur Asal. Karena pengikut aliran ini juga mengutamakan santapan lezat dan mewah, maka jelas pengikut aliran ini orang-orang yang derajat sosialnya tinggi. Jelas, praktik Tantrayana ini merupakan dekadensi moral, meski berkedok keagamaan. Hal ini ditambah dengan banyaknya kalangan istana Pakuan yang mengikuti ajaran ini. Keadaan ini secara tidak langsung mengakibatkan banyak rakyat Pajajaran yang melirik “agama baru”, Islam, sebagai pegangan hidup yang baru.

Oleh Carita Parahyangan diceritakan bahwa Tohaan di Majaya ini pernah membuat taman yang dibalay (diperkeras dengan batu) dan balai bobot (semacam monumen) 17 jajar (baris) yang diapit oleh pintu larangan.

Pada masa Nilakendra ini, Carita Parahyangan menceritakan, terjadi pertempuran di "burwan ageung" (alun-alun) di depan gerbang Pakuan melawan pasukan Banten pimpinan Panembahan Maulana Hasanuddin. Hasanuddin yang juga cicit Sri Baduga dari Subanglarang (ia anaknya Syarif Hidayat) dan di lain pihak juga masih berhubungan darah dengan penguasa Cirebon, merasa berhak juga atas takhta Pajajaran; maka dari itu yang tak segan-segan menggempur Nilakendra.

Disebutkan, Tohaan di Majaya, yakni Nilakendra, tak berhasil mempertahankan ibukota dan kemudian meninggalkan keraton. Dalam perang ini gugur dua senapati Sunda, Tohaan Ratu Sanghyang (jangan samakan dengan Ratu Sanghyang Surawisesa) dan Tohaan Sarendet. Meski sang Raja mengungsi, namun pasukan Banten belum berhasil menguasai Pakuan sepenuhnya. Nilakendra sendiri wafat pada 1567 di pengungsian, dan setelah meninggal bergelar Sang Mokteng Majaya karena dikebumikan di Majaya. Sebenarnya, sejak Nilakendra meninggalkan Pakuan, eksistensi politik Pajajaran pun lenyap sudah.

Yang kemudian melanjutkan roda pemerintahan adalah anak Nilakendra, bernama Ratu Ragamulya. Setelah dinobatkan menjadi raja, Ragamulya bergelar Prabu Suryakancana yang berkuasa selama 12 tahun (1567-1579). Suryakancana dinobatkan menjadi raja Pajajaran tidak di ibukota Pakuan, melainkan di Pulasari, Pandeglang. Pada 1501 Saka (1579 M), Pakuan diserbu pasukan Islam dari Banten pimpinan Panembahan Maulana Yusuf (yang menggantikan Hasanuddin sejak 1570). Pada serbuan inilah, Pakuan baru dapat sepenuhnya dikuasai oleh Banten.

Ternyata ketika tentara Banten berhasil membobol gerbang atau kuta Pakuan, di istana dan Kuta Pakuan sendiri sudah tak ada penghuninya, terhitung semenjak 12 tahun yang lalu, sejak Nilakendra mengungsi keluar kota akibat kalah perang melawan Hasanuddin. Para penduduk Pakuan sebagian besar telah mengungsi atau kembali ke kampung asalnya. Dalam Sajarah Banten disebutkan bahwa keberhasilan pasukan Banten mendobrak pertahanan/parit Pakuan adalah akibat adanya “pengkhianatan” orang-dalam Pakuan. Dari sini terbukti kekokohan parit buatan Sri Baduga, karena selama dua raja Pajajaran yang terakhir (Nilakendra dan Suryakancana) tak ada di Pakuan, pasukan Banten baru bisa mencebol gerbang setelah 12 tahun mencobanya. Tanggul-tanggul sempit dan dinding-dinding parit yang terjal membuat sukar pasukan Banten untuk mendobrak gerbang Pakuan.

Tak diketahui dengan jelas, kapan Suryakancana meninggal dunia. Ia hanya diketahui gelar anumertanya dengan nama Ratu Ragamulya (Nagarakretabhumi) atau Prabu Nusiya Mulya (Carita Parahyangan), tanpa diketahui mokteng di mana. Baik penulis Carita Parahyangan mau pun Nagarakretabhumi tak mengetahui identitas jelasnya.

Sementara itu, pihak Banten yang merasa berhak atas wilayah Sunda mengklaim sebagai “penerus” Pajajaran, segara saja membawa palangka (singgasana) Sriman Sriwacana ke Surosowan, ibukota Kesultanan Banten. Sriman Sriwacana, tempat duduk untuk penobatan takhta ini, berupa batu berukuran 200 x 160 x 20 cm, yang oleh sebagian orang Banten disebut “Watu Gilang” yang berarti "batu mengkilat". Pemboyongan Watu Gilang ke Banten ini menurut tradisi politik saat itu bertujuan agar di Pakuan tidak ada kemungkinan untuk dilakukan lagi dinobatkan raja baru. Dengan begitu, Maulana Yusuf berhak mengklaim sebagai penerus Pajajaran. Palangka Sriman Sriwacana ini kini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten.

Akhirnya, kerajaan yang telah berdiri selama sembilan abad, sejak abad ke-7 di mana Tarusbawa mendirikan Pakuan, kerajaan Sunda pun hilang dari percaturan politik di Nusantara. Ketika Pajajaran ini runtuh pada 1579, Kitab Waruga Jagat memberitakan, saat itulah wilayah Sumedang Larang menyatakan sebagai negara “penerus Pajajaran” dengan Prabu Geusan Ulun sebagai raja pertamanya. Besar kemungkinan juga, banyak penghuni Pakuan yang pindah berduyun-duyun ke Sumedang; dan sebagian lagi bermigrasi ke wilayah Banten mengikuti kepemimpinan sultan Banten. Diperkirakan, banyak sejumlah pengikut dan punggawa Pajajaran yang pergi dan menetap di daerah Lebak. Mereka ini menerapkan tata cara kehidupan lama yang cukup ketat, dan kini dikenal sebagai orang Badui.

Kepustakaan