Museum Pura Mangkunegaran


Sejarah berdirinya pura Mangkunegaran tidak dapat dipisahkan dari perjuangan R.M. Said atau dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa antara tahun 1740 - 1757. Sebagaimana diketahui, Pangeran Sambernyawa adalah adik dari Susuhunan Pakubuwono III yang melakukan perlawanan terhadap kompeni Belanda. Bahkan di masa perjuangannya ia tidak hanya menghadapi Belandal, melainkan juga ia bertempur melawan kakaknya sendiri Susuhunan Pakubuwono III dan juga Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi). Selama perjuangan yang berlangsung 16 tahun itu. Pangeran Sambernyawa dikenal sangat cerdik, memiliki daya tempur yang tinggi dan strategi yang sangat menyulitkan pihak musuh. Tercatat bahwa pada tahun 1756 ketika terjadi pertempuran di hutan Sitakepyak sebelah selatan kota Rembang, pasukan kompeni Belanda (VOC) yang dipimpin Kapten Van Der Pol dan Kapten Beiman sebanyak 2 Detachement dapat dihancurkan. Kendati ia berjuang dengan jumlahpasukan yang kecil serta peralatan perang sekedarnya, namun berkat kepandaiannya ia membuat Belanda terpaksa mengakui kekalahannya.

Ketika terjadi lagi pertempuran di Yogyakarta, tiga bulan sebeluma akhir tahun 1757, Pangeran Sambernyawa bersama pasukannya sempat memporakporandakan Benteng Kompeni Belanda. Peristiwa bobolnya pertahanan Belanda itu memakan Nicolas Hartingh, Residen Belanda untuk Yogyakarta cepat-cepat meminta kepada Susuhunan Pakubuwono III untuk membujuk Pangeran Sambernyawa dengan maksud agar sang Pangeran membantunya dalam menjalankan pemerintahan di Salakarta. Pertemuan antara kedua bersaudara adik dan kakak ini menghasilkan persetujuan di mana Pangeran Sambernyawa sependapat untuk menciptakan suatu awal kehidupan yang penuh kedamaian; suatu akhir perjalanan yang terhormat dalam cita-cita mempersatukan Mataram lagi. Pangeran Sambernyawa besarta pasukannya Mangkuyuda dan membangun istana baru. Seluruh keluarga kembali berkumpul di tempat kediaman baru di Salakarta.


Pada hari Sabtu legi tanggal 5 Jumadil awal, tahun Alip WIndu Kuntara, tahun Jawa 1638 atau 17 Maret 1757 Masehi, dilangsungkan pertemuan lagi yang dihadiri Susuhunan Pakubuwono III dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Patih Danurejo yang mewakili Sultan Hamengkubuwono I dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pangeran Sambernyawa yang kemudian bergelar KGPAA Mangkunegoro I. Pertemuan lanjutan itu menghasilkan perjanjian Salatiga yang isinya mngatakan antara lain, bahwa K.G.P.A.A Mangkunegoro I tak beda dengan raja-raja Jawa yang lain, hanya tidak diperkenankan duduk di atas singgasana, mendirikan Balai Winata, memiliki alun-alun beserta sepasang pohon beringin dan menghaisi nyawa. Kepadanya diserahkan juga wilayah yang dikuasainya yang tersebar mulai dari tanah Kaduang, Laroh, Matesih, Wiroko, Hariboyo, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan selatan dari jalan post Kartasuro- Solo, Kerajaan baru tersebut diberi nama Puro Mangkunegaran dengan K.G.P.A.A Mangkunegoro I sebagai Kepala Keluarga sekaligus Pengayom seluruh Kerabat.


Seiring dengan perjalanan waktu, Puro mangkunegaran telah berubah fungsi dari pusat pemerintahan Kerajaan menjadi pusat budaya. Kini, Pura Mangkunegaran merupakan salah satu obyek wisata yang menarik di Solo, Jawa Tengah dan adalah istana atau tempat tinggal pengageng pura (K.G.P.A.A Mangkunegoro), Istana mangkunegaran dibangun oleh Mangkunegoro II antara tahun 1804-1866. Arsitektur bangunannya seperti model rumah/bangunan tradisional Jawa. Bangunan istana Mangkunegaran sendiri sesungguhnya terdiri dari dua bagian atau ruang utama, yaitu:


Pendopo, pendopo pura Mangkunegaran bergaya arsitektur tradisional joglo dengan 4 buah soko guru (pilar utama) yang biasanya digunakan untuk pentas tari-tarian Jawa. Pada bagian barat pendapa disimpan perangkat gamelan yang diselubungi kain hijau. Gamelan tersebut merupakan hamelan pusaka bernama Kyai Kanyut Mesem yang berumur kira-kira 200 tahun. Selain Kyai Kanyut Mesem, di Pendopo terdapat juga gamelan "Upacara, Munggang, Cerobalen dan Kodok Ngorek", yang sering ditabuh pada upacara-upacara tertentu. Upacara-upacara itu adalah penobatan, perkawinan, khitanan, dan kedatangan tamu-tamu penting.


Dalem Agung, tempat ini biasanya digunakan untuk upacara-upacara tradisional. Bentuknya adalah limasan dengan 8 buah saka guru, tidak ditutup plafond, sebagai simbol matahari. Dalem Agung mengoleksi benda-benda purba yang terbuat dari perunggu benda purba yang terbuat dari perunggu dan emas. Di sini pula dipaparkan barang-barang ampilan upacara senjata kuno perlengkapan untuk tari-tarian Bedoyo, Srimpi dan Langendriyan. Luas bangunan Dalem Agung adalah 838,75 m2.dengan tinggi tiang utama 8,50 meter, besar tiang utama 0,50 meter x 0,50 meter, tinggi tiang penyangga 5 meter, besar tiang penyangga 0,25 meter x 0,25 meter dan tinggi tiang besi 3,20 Meter. Dalem Agung hanya dapat digunakan untuk upacara tradisional keluarga raja. Istana Mangkunegaran mulai dibuka untuk umum sebagai obyek wisata sejak tahun 1968. Bagi para wisatawan terutama wisatawan mancanegara yang ingin menginap di lingkungan istana, sejak tahun 1975 telah dibangun sebuah hotel persisi di bagian barat daya istana. Wisatawan yang menginap di kotel itu (Mangkunegaran Palace Hotel) dapat menyaksikan pentas kesenian di Pendapa yang berlangsung setiap malam.


Sumber : http://www.solo-kedu.com
Photo : http://2.bp.blogspot.com