Pola Tata Ruang Situs Cangkuang, Leles, Garut: Kajian Keberlanjutan Budaya Masyarakat Sunda

Oleh:
Etty Saringendyanti, Dra., M.Hum.
Agusmanon Yuniadi, Drs.
Nyai Kartika, SS., M.Hum
Dibiayai oleh Dana DIPA Universitas Padjadjaran
Tahun Anggaran 2007
Berdasarkan SPK No. 261/J06.14/LP/PL/2007
Tanggal 3 April 2007
Lembaga Penelitian
Universitas Padjadjaran
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran

The Planology Situs Cangkuang Pattern, Leles, Garut:
A Cultural Continueing Study of Socialize Sunda

Abtraks
Pola Tata Ruang Situs Cangkuang, Leles, Garut: Kajian Keberlanjutan Budaya Msyarak t Sunda, membahas masalah tata ruang situs Cangkuang dari berbagai masa, termasuk di dalamnya masyarakat adat Kampung Pulo. Metode penelitian yang digunakan adalah metode arkeologi khususnya etnoarkeologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa situs Cangkuang merupakan situs yang menyimpan sejumlah tinggalan arkeologi dari berbagai masa dalam satu kesatuan ruang (multi component sites). Mulai dari masa prasejarah berupa alat-alat obsidian, gerabah, dan sarana pemujaan, masa Hindu Budha berupa candi Hindu Saiwa, dan masa Islam berupa makam.

Budaya materi itu, didukung pula oleh keberadaan masyarakat adat Kampung Pulo yang hingga kini masih melakukan tradisi hasil akulturasi budaya prasejarah, Hindu Budha, dan Islam yang tercermin pada konsep mengagungkan nenek moyang atau leluhur, tapa misalnya memegang teguh konsep tabu karena alasan adat (pamali), dan memelihara makam-makam suci (keramat). Kelangsungan tradisi itu juga terlihat pada upacara adat, dan pada konsep dasar rancangan arsitektur rumah yang mengacu pada keselarasan antara masusia dengan alam.

Abtract
The Planology Situs Cangkuang Pattern, Leles, Garut: A Cultural Continueing Study of SocializeSunda, is an archaeological research, especially etnhoarchaeology, concern the Situs Cangkuang planologic, inclusive the society of Kampung Pulo from some periode. The main goals of this research indicate that Situs Cangkuang is a multi component sites. Prehistory indicated by the obsidian equipment, pottery, and the ceremonial equipment, Hindu Budha periode by the Hindu Saiwa temple, and Islamic periode by a mausoleum.

Material cultures, and also supported by existence of Kampung Pulo as a traditional society which still kept the result of traditional culture as an acculturation of prehistory, Hindu Budha, and the Islam culture, which mirror by concept idolize ancestors, “tapa” such as holding firmness conception taboo because custom interdict (pamali), and look after shrine. Continuity of that traditions are also seen at custom ceremony, and at elementary concept of house architecture device which relate at compatibility between human and nature

Pendahuluan
Arkeologi sebagai sebuah disiplin ilmu humaniora memiliki cukup banyak masalah pelik di tingkat interpretasi. Namun demikian, hal tersebut umumnya menjadi pemicu dalam pengembangan dan kemajuan kajian arkeologi. Salah satu langkah perkembangan arkeologi misalnya adalah melakukan perlintasan teori dan metode dengan etnografi, yaitu melakukan analogi antara tradisi yang masih berlanjut pada masyarakat sekarang dengan benda-benda arkeologi yang sudah lepas dari masyarakat pendukungnya.. Perlintasan kajian ini disebut etnoarkeologi, akronim dari etnografi dan arkeologi. Penelitian Tata Ruang Situs Cangkuang ini pun dalam konstalasi demikian, dan dipilihnya Situs Cangkuang sebagai objek penelitian karena dua alasan, yaitu: (1) Dalam kajian situs, Situs Cangkuang tergolong multi component sites; (2) Tatanan Kehidupan masyarakat Kampung Pulo yang bersahaja dan masih tetap menjalankan norma tata ruang yang berakar pada unsur asli (local genius) Indonesia, khususnya Sunda kuna. Istilah terdekat dari fenomena ini adalah living monument.

Berpijak pada alasan itu, penelitian ini membahas masalah: (1) Pola tata ruang, baik tata ruang prasejarah, Hindu Budha, Islam, hingga sekarang sebagai proses keberlanjutan budaya Sunda di situs Cangkuang: (2) Cara Masyarakat Adat Kampung Pulo menjembatani lintas budaya dari masa ke masa, serta fungsi dan makna tinggalan arkeologi bagi mereka saat ini.

Adapun tujuan penelitian adalah untuk memahami tata ruang Situs Cangkuang, dan memahami kedudukan Masyarakat Adat Kampung Pulo dalam lintas batas budaya masa lalu dan masa kini, serta memahami fungsi dan makna tinggalan arkeologi bagi mereka sebagai pencarian analogi Situs Cangkuang pada masa lalu. Sedang manfaat yang diharapkan adalah agar penelitian ini menjadi referensi etnoarkeologi, disamping meluaskan horizon penelitian arkeologi, sehingga tidak terpaku pada karya arkeologi yang bersifat konvensional.

Penelitian Situs Cangkuang diketahui pertamakali dari tulisan Voderman dalam sebuah buku berjudul Batavia Guinneskoop (tt), yang ditemukan tahun 1893 di sebuah desa di wilayah kecamatan Pawitan, lebih kurang 20 km dari desa Cangkuang sekarang. Dalam tulisan itu disinggung tentang temuan sebuah arca (Hindu) di sekitar situ Cangkuang dan sebuah makam keramat yang sangat dihormati oleh penduduk setempat.

Tahun 1914 sebuah artikel dalam R.O.D. mengungkapkan adanya situs hunian (Prasejarah) di wilayah sekitar situ Cangkuang. Pernyataan ini didukung oleh Furer- Heimendorf (1939) yang melakukan penelitian di lembah-lembah sekitar gunung Haruman, Kaledong, Mandalawangi, dan gunung Guntur. Penelusuran kembali atas penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Uka Tjandrasasmita (1966-1976), menghasilkan pemugaran situs cangkuang secara keseluruhan.

Beberapa tulisan yang membahas tinggalan arkeologi dari masa prasejarah, antara lain “Peninggalan-peninggalan prasejarah di sekitar danau Cangkuang, Leles”, yang ditulis Nies Anggraeni dalam Kalpataru tahun 1976; Satyawati Suleiman dalam Monuments of Ancient Indonesia (1976); dan Etty Saringendyanti dalam tesisnya berjudul Pola Penempatan Situs Upacara: Kajian Lingkungan Fisik Kabuyutan di Jawa Barat pada Masa Hindu Budha, tahun 1996, dan ditulisnya pula dalam Bab II Sejarah Tatar Sunda Jilid I, karya bersama Nina H. Lubis (dkk.) tahun 2003 dan terbitan revisi tahun 2004.

Tulisan-tulisan non penelitian berupa artikel dan cukilan buku dapat ditemukan pada beberapa website. Namun demikian, tulisan yang langsung menunjukkan keterkaitan antara tinggalan arkeologi dengan masyarakat adat Kampung Pulo belum ditemukan, terlebih lagi dalam kaitannya dengan studi keberlanjutan budaya di situs itu.

Metode Penelitian
Penelitian Pola Tata Ruang Situs Cangkuang merupakan kajian arkeologi, khususnya etnoarkeologi. Dalam kaitan itu, Mundardjito menguraikan bahwa tingkah laku manusia masa lalu tidak dapat diamati lagi secara langsung, namun masih dapat diinterpretasikan berdasarkan atas persamaan bentuk artefak (tinggalan arkeologi) dengan benda sejenis yang digunakan oleh masyarakat yang masih hidup sebagai penerus budaya. Asumsi yang diberlakukan adalah jika dua kelompok gejala mempunyai kesamaan dalam hal tertentu (misalnya bentuk), maka keduanya akan memiliki kesamaan juga dalam beberapa hal lain (misalnya cara membuat atau memakai).

Untuk mencapai tujuan itu, dalam implementasi di lapangan, arkeologi menggunakan berbagai tahapan dimulai dari observasi, deskripsi dan eksplanasi. Observasi merupakan proses pencarian dan pengumpulan data, baik data tertulis maupun data lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian. Pengumpulan data tertulis dilakukan pada sejumlah sumber tertulis, baik primer maupun sekunder. Data lapangan berupa survei dan perekaman terhadap tinggalan arkeologi serta pendekatan terhadap Masyarakat Adat Kampung Pulo yang mendiami salah satu area Situs Cangkuang. Sumber-sumber yang dikumpulkan itu, diidentifikasi dan diolah melalui tahapan deskripsi.

Dalam kajian etnoarkeologi penelitian dilakukan melalui pola penalaran induktif yang menghasilkan gambaran adanya kemungkinan persamaan antara gejala budaya masa lalu dengan budaya masa kini. Tahapan terakhir yang dilakukan adalah eksplanasi atau penulisan tentang gambaran budaya yang saling terpadu, harmonis dan logis. Gambaran budaya tersebut berwujud rekonstruksi budaya Sunda kuna di situs Cangkuang dari masa ke masa.

Tata Ruang Situs
Situs Cangkuang terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Secara geografis Situs Cangkuang merupakan sebuah kawasan perbukitan kecil dengan ketinggian + 695 - 706 meter d.p.l. di lembah yang luas dan berhawa sejuk, terutama karena dikelilingi oleh sejumlah gunung, yaitu di utara membentang gunung Mandalawangi, Kaledong dan gunung Haruman, di sebelah timur gugusan gunung Batara Guru, di barat gunung Guntur, dan di sebelah selatan gunung Cikurai, dengan curah hujan rata-rata setiap tahun 2.044.5 mm.

Berikut ini diurai tinggalan arkeologi yang tersebar di 11 pasir dan di sekitar danau (situ) Cangkuang.

Artefak Prasejarah

Sisa-sisa tinggalan prasejarah tersebar di pulau-pulau kecil dan bukit-bukit kecil sekitar danau, baik yang secara administratif sekarang termasuk desa Cangkuang ataupun desa-desa lain sekitarnya, yang oleh penduduk setempat disebut pasir.

Artefak prasejarah ditemukan berupa alat-alat obsidian, gerabah, dan sarana pemujaan yang lain sebagai berikutberikut:

Situs Jenis Temuan

Obsdian, Gerabah, Kereweng, Manik-manik.

Sarana upacara lainnya
1. Pasir Guling
2.Pasir Lio batu asahan
3. Pasir Sempur pembuatan gerabah
4. Sadang Gentong pembuatan gerabah
5. Pasir Palalangon
6. Pasir Kondeh
7. Pasir Tanggal
8. Pasir Canggal
9. Pasir Muncang kapakneolit batu api
10. Pasir Laku
11. Pasir Tarisi beliung persegi

Alat-alat Obsidian
Alat-alat obsidian, berdasarkan analisis bentuk dan fungsi terbagi atas:

A. Serpih, terdiri dari bentuk Serut Ujung, Serut Cekung, Serut Samping, Serut Cekung Ganda, Serut Gigir, dan Lancipan

B. Bilah, terdiri dari bentuk Pisau, Serut Samping, dan Serut Ujung

C. Bilah Pendek, terdiri dari Pisau dan Serut Samping, secara anatomis bentuknya hampir sama dengan bilah tetapi ukurannya lebih pendek

Gerabah
Penelitian Anggraeni dan Rachmiana terhadap fragmen-fragmen gerabah menghasilkan keragaman bentuk, yaitu piring, periuk, cawan, pasu, tempayan, dan kendi.

Piring merupakan bentuk wadah yang pembuatannya masih dijumpai di Desa Sadang Gentong, sedangkan tempayan (gentong) selain dibuat di Sadang Gentong juga di Pasir Sempur. Gerabah yang diproduksi di Pasir Sempur berbentuk cobek (untuk menggiling cabai), cuwo (semacam mangkuk besar, digunakan untuk tempat air dan lainnya), dan sangrayan (semacam cobek tapi besar dipakai untuk menggoreng tanpa minyak)

Sarana Pemujaan
Sarana pemujaan yang ditemukan berupa bangunan megalitik berbentuk Stone enclosure, atu kursi (pelinggih), altar, menhir, dan teras berundak.

Artefak Hindu Budha
Artefak masa Hindu Budha yang ditemukan di Situs Cangkuang adalah Candi Cangkuang, yang saat ini menjadi sebuah obyek wisata, hasil rekonstruksi dari serentetan penelitian dan pemugaran, diduga berasal dari sekitar abad ke 8-9 Masehi. Candi Cangkuang berdiri pada sebuah lapik bujursangkar. Di sisi utara badan bangunan terdapat penampil pintu masuk, dan atap bangunan terdiri dari dua tingkatan dengan hiasan kemuncak di puncak atapnya. Bagian dalam bangunan terdapat ruangan dengan lantai yang pada bagian tengahnya terdapat lubang, dan di atas lubang tersebut ditempatkan sebuah arca Siwa Mahadewa dari batu andesit.

Arca tersebut ditemukan sekitar tahun 1800-an. Kedua tangan dari siku hingga sedikit di atas pergelangan putus Perut terlihat sangat ramping dan mengkilap licin. Dilihat dari tidak adanya alur patahan tangan pada bagian perut (pinggang) memberi kesan bahwa bagian atas (dada ke atas) dan bagian bawah (dada ke bawah) merupakan dua fragmen arca dewa yang disatukan.

Keseluruhan arca dewa ini duduk bersila di atas bantalan teratai (padmasana). Mengenakan jatamakuta (gelungan rambut), mempunyai sirascakra (lingkaran kedewaan yang terletak di belakang kepala), tangan kanan bersikap varamudra (sikap tangan memberi anugrah), dengan sikap duduk Paryankasan, dan di bagian depan kaki kiri terdapat kepala seekor sapi (nandi).

Makam
Makam kuno di situs Cangkuang tersebar di beberapa tempat. Makam terbesar dan paling sering dikunjungi oleh penziarah adalah makam yang tepat berada di sisi utara bangunan candi, berjarak sekitar 1 s/d 2 meter saja, sehingga menjadi satu kesatuan di halaman percandian. Penduduk setempat mempercayainya sebagai makam Arief Muhammad, seorang yang dikeramatkan sebagai penyebar agama Islam pertama di wilayah itu.

Saat ini makam ditampilkan berbentuk kijing bercungkup dengan lapik tunggal di atas lantai dari mozaik batu pipih, berorientasi barat – timur.

Makam lainnya adalah makam Eyang Sunan Pangadegan dan Eyang Ratu Sima, berada di sisi tenggara Pulau Panjang, pada sebuah puncak bukit yang berdiri di atas bangunan teras berundak tiga.

Makam lainnya yaitu Makam Prabu Santosa atau Prabu Santoa’an, serta makam Prabu Wiradibaya dan Prabu Wiradijaya yang masing-masing berada di pulau-pulau kecil lainnya. Makam Prabu Santosa secara fisik terlihat seperti makam penduduk desa umumnya, demikian juga makam Parabu Wiradibaya dan Prabu Wirawijaya. Agaknya perbedaan fisik dengan makam Eyang Sunan Pangadegan atau Eyang Ratu Sima misalnya karena letak yang terpisah dan tidak banyak dikunjungi penziarah.

Secara keseluruhan, pola tata ruang Situs Cangkuang adalah artefak prasejarah tersebar di luar kawasan situ Cangkuang, sedangkan bangunan candi, Desa Adat Kampung Pulo serta makam-makam suci, secara fisik saat ini terletak di bukit kecil di atas lahan berupa semenanjung yang menjorok ke tengah danau ke arah timur. Jika dilihat dari sisi utara-selatan, akan terlihat deretan tiga pulau kecil di tengah danau, dimana candi dan makam Embah Dalem Arief Muhamad, Eyang Sunan Pangadegan dan makam Eyang Ratu Sima berada di pulau terbesar (Pulau Panjang/Pulau Gede) dari tiga pulau kecil itu.

Keberlanjutan Budaya Sunda

Keberlanjutan budaya Sunda, dapat dilihat pada masyarakat yang masih menyimpan Tradisi Sunda sebagaimana yang terlihat pada Masyarakat Adat Kampung Pulo. Saat ini mereka menempati lahan seluas tidak lebih dari 2,5 ha. Dengan luas tergolong kecil itu Kampung Pulo merupakan kawasan yang “menyendiri”, jauh dari pemukiman lainnya. Hal ini mungkin karena lingkungan alam berupa pulau kecil di tengah situ dan juga karena sebagai masyarakat adat, mereka harus menjaga kelestarian adat dan tradisi yang mereka terima. Sesuai tradisi, sekarang ini mereka dipimpin oleh seorang pemangku adat bernama Koswara. Menurut Koswara (sehari-hari dipanggil Engkos) penduduk yang mendiami desa adat Kampung Pulo adalah keturunan langsung dari Embah Dalem Arief Muhammad.

kemungkinan pada masa pengislaman di Kampung Pulo oleh Arief Muhammad, ajaran Hindu tidak serta merta hilang, akan tetapi tetap berjalan sejajar (paralelisme) untuk tidak dinyatakan melebur satu sama lain (syncretisme). Hal tersebut dapat dilihat dengan dipilihnya pusat keagamaan (ceremonial centre) Hindu sebagai tempat tinggal Arief Muhammad, yaitu bukit tempat berdirinya Candi Cangkuang. Tempat ini pun kemudian menjadi pusat penyebaran agama Islam, baik sebelum dan sesudah Arief Muhammad meninggal yang kemudian dimakamkan di dekat Candi Cangkuang.

Agama Islam yang dianut mereka sebagaimana layaknya Islam pada umumnya.Sejumlah kepercayaan dan larangan yang ada dalam masyarakat lebih kepada ekspresi dari sistem kemasyarakatan yang telah mereka terima secara turun temurun. Pemangku adat lebih sering disebut kuncen-- merupakan tokoh sentral yang dipercayai sebagai pemegang otoritas sistem kemasyarakatan dan kepercayaan itu. Syarat utama pemangku adat adalah suami dari anak perempuan tertua yang masih hidup. Dan sebagai tokoh adat seyogyanya seorang pemangku adat harus memahami makna dan simbol adat dan tradisi yang berlaku, bijaksana, dan berwibawa.

Dalam pada itu, ketenangan, ketentraman, dan keselarasan dapat dicapai apabila anggota masyarakat berpegang teguh pada apa yang disampaikan pemangku adat dalam bentuk dongeng, cerita atau mitologi, terutama pada apa yang menjadi pantangan dan apa yang perlu ditaati, yaitu 5 ketentuan (lima pamali) berikut :

1. Terlarang untuk bekerja dan berziarah pada hari Rabu;
2. Terlarang untuk memelihara hewan peliharaan berkaki empat kecuali kucing;
3. Terlarang menambah dan mengurangi jumlah rumah;
4. Terlarang membuat atap rumah berbentuk prisma;
5. Terlarang memukul gong besar.

Sampai saat ini, upacara adat yang dilakukan secara periodik antara lain upacara yang berkaitan dengan lingkaran kehidupan (life cycle), yaitu: perkawinan; kehamilan misalnya upacara Nujuh Bulan; kelahiran bayi (Marhabaan); kematian misalnya tiluna, tujuhna, matangpuluh, natus, muluh, nyewu, nyeket, dan mendak; pertanian; mendirikan Arief Muhammad adalah salah seorang menantu Sultan Sumenep (Madura) yang sedang mengabdi sebagai panglima perang dan diperintahkan oleh Sultan Agung dari kerajaan Mataram Islam untuk membersihkan Kota Batavia dari pendudukkan tentara Belanda di masa kolonial J.P. Coen (Sudrajat, dalam: http\\www.pikiran-rakyat.com; Rif’ati, 2002: 204).

rumah misalnya mitembeyan, ngadegkeun, suhunan, dan syukuran ngalebetan; serta Ngaibakan Benda Pusaka.

Pola perkampungan masyarakat adat Kampung Pulo, juga harus sesuai adat yaitu 7 bangunan utama terdiri dari 6 rumah dan 1 mushola yang ditata membentuk huruf U. Jumlah tersebut secara tradisi tidak boleh berubah). Di belakang rumah, terdapat bangunan terpisah berupa kamar mandi (MCK) dan kandang ternak.

Sementara itu, salah satu rumah tinggal hasil pemugaran Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Lampung, yang disesuaikan dengan bentuk bangunan rumah asli dan bangunan rumah lain dalam pengamatan terakhir terlihat telah ada penambahan, namun secara prinsipil (menurut istri kuncen) tidak mengubah bentukmaupun pembagian ruang bangunan. Penambahan itu berupa dinding bilik sehingga mendapat sebuah ruangan tertutup yang bisa dijadikan ruang tamu atau kamar tidur. Mushola terdiri dari bangunan utama dan tempat berwudhu. Bangunan utama merupakan bangunan panggung (berkolong), dan tempat berwudhu berada di sebelah kanan bangunan utama dengan sumber air berasal dari sumur di sampingnya.

Kesimpulan
Situs Cangkuang merupakan situs yang menyimpan sejumlah tinggalan arkeologi dari berbagai masa dalam satu kesatuan ruang (multi component sites). Mulai dari masa prasejarah yang diwakili oleh alat-alat obsidian, gerabah, dan sarana pemujaan, masa Hindu Budha berupa candi Hindu Saiwa, yaitu candi cangkuang, dan masa Islam berupa makam Arief Muhammad, makam Eyang Sunan Pangadegan, makam Eyang Ratu Sima, dan makam-makam lain yang tersebar di beberapa pasir.

Keberlanjutan budaya Sunda, dapat dilihat pada masyarakat adat Kampung Pulo yang secara adat masih melakukan tradisi mengagungkan nenek moyang atau leluhur sebagaimana halnya tradisi prasejarah, masih menyimpan tradisi tapa sebagaimana halnya tradisi Hindu Budha, misalnya memegang teguh konsep tabu karena alasan adat pamali), dan masih menziarahi makam-makam suci (keramat) seperti makam Embah Dalem Arief Muhammad, Eyang Sunan Pangadegan, dan Eyang Ratu Sima.

Dalam upacara adat mereka masih melakukan upacara lingkaran kehidupan (life cycle), pertanian, mendirikan rumah, dan memandikan benda-benda pusaka, yang kesemuanya itu merupakan akulturasi dari budaya prasejarah (neolitik dan megalitik), Hindu Budha, dan Islam. Kelanjutan tradisi Sunda juga terlihat pada konsep dasar rancangan arsitektur rumah baik rumah tinggal maupun mushola sebagai sarana peribadatan yang mengacu pada keselarasan antara masusia dengan alam.

Demikian pula dengan masyarakat Pasir Sempur dan Sadang Gentong yang sampai kini masih memproduksi gerabah berupa piring, periuk, dan gentong, serta cobek, cuwo, dan sangrayan. Pembuatan gerabah ini masih terbilang sederhana sebagaimana gerabah yang diproduksi pada masa neolitik dan megalitik.

Saran

Beberapa saran yang diajukan adalah:

1. Saat ini, kondisi situs kurang terawat sehingga terkesan kumuh. Perlu adanya koordinasi antara staf yang bekerja di areal situs dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Garut dalam hal kebersihan situs, mengingat bahwa situs ini merupakan situs berlanjut (multi component sites), yang mempunyai keunikan tersendiri dibanding situs-situs lain di Jawa Barat.

2. Sebagai daerah wisata alam maupun budaya, situs Cangkuang dapat menjadi wisata unggulan daerah. Penyebaran informasi dapat dilakukan, baik melalui internet maupun buku kecil berisikan cerita situs, yang dikemas secara populer sehingga mudah dicerna oleh berbagai kalangan dari anak-anak sampai orang dewasa.

3. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Garut, perlu memperhatikan kesejahteraan pegawai yang bekerja di areal situs terutama para pegawai yang sudah lama mengabdi dan belum menjadi PNS. Apalagi bagi mereka yang hanya mengandalkan honor dari pekerjaan mereka sehari-hari di situs itu .

Ucapan Terimakasih
Laporan ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada Dr. Dadang Suganda, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Reiza D, Dienaputra, Drs., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Prof. Oekan S. Abdoellah, MA., Ph.D, selaku Ketua Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Garut, khususnya staf yang berada di Situs Cangkuang, yang telah membantu penulis melakukan penelitian di daerah tersebut, Masyarakat Adat Kampung Pulo, khususnya Ibu Dedeh, istri Bapak Koswara kuncen Masyarakat Adat Kampung Pulo yang telah memberi keterangan yang diperlukan dalam penelitian Masyarakat adat di daerah tersebut, dan Wan Irama St. Mudo, Drs., yang telah membantu penulis dalam merancang, menggambar, dan meluruskan salah cetak yang penulis lakukan.

Daftar Pustaka
Anggraeni, Nies. 1976. “Peninggalan-peninggalan Prasejarah di sekitar danau Cangkuang (Leles), dalam Kalpataru No 2. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Binford, Lewis R. 1972. An Archaeological Perspective. New York: Seminar Press..

Mundardjito. 1981. “Etnoarkeologi: Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi di Indonesia”, dalam Majalah Arkeologi Th IV, No.1. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Rachmiana, Siti. 2004. Analisis Bentuk dan Ragam Hias Gerabah Situs Leles, (Garut).

Skripsi Sarjana Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Depok: Fakultas FIB UI.

Rif’ati, Heni Fajria dan Toto Sucipto. 2002. Kampung Adat dan Rumah Adat di Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat.

Saringendyanti, Etty. 1996. Pola Penempatan Situs Upacara Masa Hindu Budha: Kajian Lingkungan Fisik Kabuyutan di Jawa Barat. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia (Tesis S2).

Sukendar, Haris (dkk). 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Suleiman, Satyawati. 1976. Monuments of Ancient Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi NAsional

Wibowo, Santoso. 2002. Alat-Alat Obsidian Leles: Suatu Kajian tentang Hubungan Peretusan dengan Pemakaian Alat. Skripsi Sarjana Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Depok: Fakultas FIB UI.

Internet
http:\\www.garut.go.id/pariwisata, diakses 15 Mei 2007.

http:\\www.wikipedia.org/Kampung_Pulo, diakses 15-5-2007.

AMGD, http:\\www.navigasi.net, diakses 15-5-2007.

Bambang Budi Utomo, Candi Cangkuang, dalam http:\\www.disbudpar.net, diakses 10 April 2007.

Loupias, Henry H. 1982 Arsitektur Tradisional. daerah Jawa barat, dalam http:\\www.pikiran_rakyat.com/, diakses pada 15-5-2007).

Undang Sudrajat, dalam http:\\www.pikiran-rakyat.com/, diakses pada 15 Mei-2007