SAYA bosan dalam rumah,'' kata Nyonya T. Saya senang jalan setiap hari. Dari hobi jalan dan berdagang barang antik, akhirnya saya tertarik memperdagangkan yang lainnya. Toh, risikonya tidak ada. Suami saya sampai saat ini tidak tahu apa yang telah dan sedang saya lakukan di luar rumah. Sampai saat ini, saya masih tetap berbahagia dengan suami dan empat anak saya yang sedang meningkat remaja,'' Nyonya T meneruskan pembicaraannya.
''Saya ingin variasi dalam hidup ini,'' ia menambahkan. ''Suami saya penghasilannya cukup, malah lebih. Anak-anak bersekolah baik. Di rumah tidak ada lagi kesibukan saya. Jadi, saya iseng melakukannya, akhirnya ketagihan. Tapi, saya tidak setiap hari, lho! Paling-paling sekali dalam seminggu.''
Penggalan cerita ini dituturkan Yuyu A.N. Krisna dalam buku karya jurnalistiknya, Menyusuri Remang-remang Jakarta, yang meraih Hadiah Adinegoro pada 1979. Cerita itu --satu dari 20 topik tentang seks komersial dan pelacuran terselubung-- mengungkap kegiatan penyelewengan seks yang dilakukan ibu-ibu rumah tangga kalangan berduit. Para mahasiswi yang merangkap menjual badan, juga mengenai koordinator sekaligus penghubung artis-artis yang ''bisa dipakai'' dan menjadi simpanan pejabat atau pengusaha, tak lepas dari objek liputannya yang termuat dalam buku itu.
Cerita faktual yang disuguhkan Yuyu lebih dari 20 tahun silam itu masih terus berlangsung hingga kini. Sekurang-kurangnya, apa yang ada di balik gemerlap kehidupan kota metropolitan Jakarta kini dikuak lagi secara lugas oleh seorang wartawan muda, Moammar Emka, dalam buku Jakarta Undercover: Sex'n the City (lihat: Jakarta Bak Las Vegas).
Yuyu dan Moammar memang berhasil mengungkapkan ''dunia terselubung'' di Jakarta pada masanya masing-masing. Kalau Yuyu lebih banyak memusatkan perhatian pada batas-batas aktivitas penyimpangan seks perorangan, Moammar kemudian menyingkap tabir yang menyelubungi tempat-tempat hiburan di Jakarta --mulai nightclub, tempat karaoke, tempat hiburan untuk kalangan eksklusif. Dan, intinya sama: melibatkan para eksekutif, kaum berduit, dan yang tentu saja tak sembarang orang dapat menikmatinya.
Cerita dan petualangan seks yang terungkap dari karya-karya Yuyu dan Moammar intinya memang bukan hal baru. Pelacuran, perselingkuhan, dan pornografi kalangan atas di Nusantara secara faktual sudah ada jauh sebelum kedua penulis itu lahir. Lihat saja cerita raja-raja di zaman dulu yang, diam-diam ataupun terang-terangan, melakukan perselingkuhan. Kebanyakan mereka tak cukup hanya memiliki permaisuri. Tak cukup pula dengan selir. Perempuan dari kalangan rakyat jelata pun masih mereka lirik.
Manuskrip Kuno Punya Cerita
DALAM alam pikiran masyarakat Jawa saja, misalnya, sudah terjadi berabad-abad silam. Seperti diungkap pengamat sosial-budaya, M.T. Arifin. Jagat pelacuran di Jawa dimulai dari Solo, bersamaan dengan pindahnya Keraton Mataram Islam dari Kartasura ke Surakarta alias Solo. Dunia prostitusi ini, katanya, kemudian berkembang sejalan dengan kesenangan dan kebiasaan para bangsawan sendiri, yang kerap menanggap kelompok kesenian lengkap dengan penari (teledek) dan penyanyinya (pesinden). ''Usai pertunjukan, biasanya para bangsawan mengajak teledek atau pesinden tidur dengan imbalan tertentu,'' ujar Arifin.
Arifin tentu saja tidak mengada-ada soal perselingkuhan dan kegiatan seks terselubung kalangan bangsawan keraton itu. Beragam manuskrip kuno pun mengungkapkannya secara terang-terangan atau tersamar. Lihat saja dalam Serat Centhini, yang digubah Mangkunegara IV pada abad ke-19. Serat yang lebih dinilai sebagai karya sastra lama Jawa itu, antara lain, mengungkap adanya tempat pelacuran di dekat lokasi makam raja-raja Jawa di Imogiri.
Bukan itu saja. Menurut Benedict Anderson, pengamat masalah-masalah Jawa, seperti ditulis dalam bukunya, Professional Dreams: Reflections on Two Javanese Classics, Serat Centhini mengungkap dengan lugas dan berani perilaku seks kalangan ningrat. Hubungan seks antara seorang adipati dan orang biasa, misalnya, menjadi bagian kecil dari ''pinutur'' Serat Centhini. Demikian pula Serat Gatoloco yang melukiskan trend di kalangan petinggi kerajaan secara lebih simbolik, dan lebih sering diberi makna pendidikan seks. Dan, memang, kedua serat itu, plus Serat Dharmogandhul, merupakan semacam ensiklopedi erotis kelompok menengah-atas masyarakat Jawa.
Pandangan adanya kebiasaan dan trend seksualitas para ningrat itu diperkuat M.T. Arifin. Katanya, kebiasaan ngeseks para bangsawan dan pangeran keraton kian kentara saat mereka melakukan tirakatan, menyepi ke tempat sangat terpencil. Rakyat jelata bahkan dengan senang hati menyerahkan keperawanan anak perempuannya kepada si bangsawan atau pangeran. ''Tujuannya, agar sang anak kelak mendapat tetesan rembes ing madu, ikut masuk menjadi kalangan bangsawan,'' ujar Arifin.
Tatanan sosial masyarakat Jawa dahulu meletakkan keluarga gadis yang disebadani seorang pangeran menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Sebab, anak yang lahir dari hubungan seks itu kelak mendapat gelar kebangsawanan tertentu. Tetapi, motif seperti itu tentu saja tak lagi berlaku sekarang. Tekanan ekonomi kini lebih melatari motif hampir semua pekerja seks komersial.
Perilaku seks seperti dilakukan para pangeran itu pun berlangsung di tataran masyarakat bawah. Para penari dalam kesenian rakyat, seperti ronggeng atau tayuban, yang merangkap profesi sebagai penjual seks banyak diincar kalangan bawah saat mereka berduit, misalnya setelah panen. Malah, seperti dituturkan Arifin, sering dijumpai hubungan gelap buruh dengan majikan di pabrik-pabrik batik, yang pada dasarnya menjadi bibit-bibit praktek pelacuran.
Di dalam Serat Centhini juga diungkapkan, pada masa lalu sudah ada perempuan-perempuan yang berprofesi sebagai pelacur. Ada di antara para pelacur itu yang sanggup melayani beberapa lelaki dalam semalam. Termasuk cerita tentang teknik-teknik bercinta sang pelacur. ''Kisah itu ditulis tentu saja karena waktu itu pelacuran memang sudah ada,'' ujar Arifin.
Cerita Tanpa Tanda Tamat
CERITA seks seperti terungkap dalam berbagai serat, bersambung dengan cerita Yuyu, Moammar, ataupun kisah-kisah fiksi seputar itu yang pernah ada --seperti karya Motinggo Busye-- tak akan pernah berujung. Laporan-laporan jurnalistik tentang perselingkuhan, pelacuran, ataupun seks bebas terus saja mengalir.
Ada kisah pertemuan dan perkenalan para eksekutif ataupun karyawati berbagai perusahaan di Jakarta. Seperti sudah menjadi rahasia umum, banyak tempat di kawasan sekitar Menteng dan Kuningan menjadi tempat pertemuan para karyawan berdasi dan karyawati berblazer. Di waktu makan siang mereka berkenalan, dilanjutkan dengan janji kencan, dan ujung-ujungnya tempat tidur!
Cerita lain adalah tentang tempat-tempat rendezvous para perempuan lajang penganut seks bebas yang mencari pasangan sekadar bercinta. Ada pula kisah perempuan karier yang mencari ''variasi'' untuk menghilangkan kejenuhan hubungan seks dengan suami tercinta. Juga terjadi sebaliknya. Semua diramu dalam kemasan laporan jurnalistik di media yang menyediakan ruangan khusus untuk liputan sejenis itu.
Ada pula cerita lama, yang selalu baru karena modus dan prakteknya berbeda, yang berkembang di kota-kota pelajar seperti Yogyakarta dan Bandung. Di Yogyakarta, misalnya, sudah cukup lama berkembang tempat-tempat transaksi seks berkedok salon, dengan berbagai tawaran pelayanannya (baca: Tebaran Puas di Luar Tembok).
Soal pelacuran terselubung ini bukan saja monopoli perempuan atau laki-laki dewasa. Banyak pula remaja yang masuk dan terlibat dalam dunia itu. Di Bandung saja, misalnya, yang --seperti juga Solo dengan putri Solo-nya-- dikenal dengan kemolekan mojang Priangan-nya, sudah cukup lama beredar cerita perilaku seks bebas kalangan remaja.
Dari berbagai liputan yang dilakukan media massa, banyak remaja di kota itu melakukan transaksi seks atas dasar suka sama suka --bukan uang semata. Mereka rata-rata baru duduk di bangku sekolah menengah umum. Lokasi yang menjadi tempat mereka ''mangkal'', antara lain, Bandung Indah Plaza dan beberapa lokasi di Jalan Dago.
Malah, diam-diam, berbagai kota kecil pun tak luput dari penyakit sosial ini. Mengenakan pakaian ketat, parfum berbau menyengat, dan riasan wajah ''wah'', mereka biasa kongko-kongko di pertokoan ataupun pusat-pusat keramaian lainnya. Bahkan, ada juga remaja yang sampai nekat ''mejeng'' di terminal bus dan tepi-tepi jalan.
Sebuah kenyataan yang, walaupun pahit, harus diterima, memang. Hasil penelitian bertema pelacuran remaja di kota besar pun membuat orang gamang. Menurut penelitian itu, jumlah anak dan remaja yang terjebak di dunia prostitusi di Indonesia makin meningkat dalam empat tahun terakhir ini, terutama semenjak krisis moneter (krismon) melanda negeri ini pada 1997. Setiap tahun sejak terjadinya krismon, sekitar 150.000 anak di bawah usia 18 tahun menjadi pekerja seks. Sementara itu, menurut seorang ahli, setengah dari pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun, sedangkan 50.000 di antaranya belum mencapai usia 16 tahun.
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia pun, pada Oktober silam, melansir hasil risetnya di kalangan remaja. Satu di antara kesimpulan yang mereka tarik, terjadi pergeseran nilai terhadap seks di kalangan remaja kota besar. Di dalam seks, menurut para remaja itu, hanya ada kesenangan. Sebanyak 15% dari 2.448 respondennya menjawab, hubungan seksual rutin ataupun sesekali merupakan bumbu berpacaran. Padahal, dari banyak kasus yang diteliti, para remaja perempuan itu berkecenderungan besar menjadi pekerja seks komersial setelah dikhianati sang pacar.
Kalau sudah begitu, cerita seru tentang pelacuran, perselingkuhan, dan seks bebas benar-benar tak bakal pernah tamat. Skenario besarnya serupa. Motifnya pun sekitar alasan ekonomi atau sakit hati ditinggal pacar. Hanya para pemainnyalah yang terus berganti.
Sumber : http://www.gatra.com