Andai Saja Leiden-Riau Interkoneksi

Oleh JARIR AMRUN

Setakat ini, masing-masing peneliti dan juga pemilik naskah klasik Riau, selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka terkotak tugas dan kepentingannya. Mungkinkah mereka dijalin dalam bentuk jaringan yang interkoneksi satu sama lain?

Ada yang Berburu Naskah Melayu
Kendati tidak ditemukan penjual naskah klasik di Pekanbaru, tetapi jangan kira Riau daratan tidak memiliki naskah-naskah klasik. ‘’Naskah klasik di Riau daratan seperti di Siak, Indragiri, Kampar, Pelalawan dan wilayah lainnya cukup banyak, tapi naskah-naskah itu tersimpang di rumah dan pesantren,’’ ujar Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Drs Husni Thamrin MSi, Jumat (24/7/2009).

Keinginan menyelamatkan naskah-naskah klasik ini mendapat respon dari Balitbang Departemen Agama, Prof Dr Atho Muzhar MA turun ke Riau melihat bahwa naskah-naskah klasik Melayu di Riau banyak yang hilang dan sudah sepatutnya upaya penyelematan ini menjadi agenda nasional. ‘’Riau dikenal sebagai gudangnya naskah klasik, khususnya naskah Melayu. Tapi kenyataannya sekarang seluruh naskah klasik itu sudah terbang entah ke mana, banyak yang hilang. Untuk itu, harus dilakukan upaya penyelematan dan kita tetapkan Riau sebagai salah satu pusat kajian naskah klasik di Indonesia,’’ ujar Atho Muzhar pada Pelatihan Kajian Naskah Klasik untuk kalangan dosen se-Indonesia, beberapa waktu lalu di Hotel Pangeran, Pekanbaru.

Saat ini Husni mengusulkan seminar internasional naskah klasik se-Asia Tenggara. ‘’Alhamdulillah Depag pusat sudah menyetujui untuk tahun 2010 nanti,’’ tukasnya. Upaya yang dilakukan Husni saat ini sebagaimana program Balitbang Depag yakni melakukan digitalisasi. Yakni memfoto naskah yang dimiliki warga, kemudian pemiliknya akan diberi kompensasi uang Rp500 ribu. Selain naskah itu tetapi dimiliki warga, tetapi naskah itu juga dapat dikaji olah para peneliti dan menjadi aset nasional. Untuk itu, saat ini Husni sedang melakukan upaya mengamankan naskah-naskah klasik yang tersimpan di sejumlah kerajaan, rumah penduduk, pondok pesantren atau tempat lainnya yang tidak dijamin keamanan naskah-naskah tersebut.

‘’Jika tidak mau dibeli, naskah tersebut difoto dan setiap naskah dibayar Rp500 ribu. Ini program Depag pusat, tim yang melakukan penelusuran naskah pun sudah dilatih dan juru fotonya juga didatangkan dari Universitas Indonesia,‘’ ujarnya tersenyum bangga dengan program penyelatan naskah Melayu ini. Cara untuk mendapatkan naskah klasik ini pun tak mudah, sebab naskah ini biasanya warisan dari orang tua, nenek mereka. Mereka menilai naskah ini merupakan warisan yang sakral dan dirahasiakan, tidak semua orang boleh membukanya. Misalnya naskah di kerajaan Siak Sri Indrapura yang dinilai sakral, sehingga hingga kini tidak boleh dibuka.
Nah, untuk mendapatkan naskah ini diperlukan pendekatan-pendekatan, sehingga pemiliknya rela menunjukkan naskahnya. Padahal jika naskah itu tidak dimengerti oleh si pemiliknya, mereka sendiri rugi, sebab bisa-bisa naskah itu informasi berharga bagi ilmu pengetahuan dan juga keluarga yang memiliki naskah tersebut. Untuk itulah Depag bagian Lektur Keagamaan menawarkan pada masyarakat Riau yang memiliki naskah klasik yang belum terinventarisir di museum atau lembaga arsip negara, bersedia membayar naskah tersebut dengan harga per naskah Rp500 ribu, hanya memfotonya, bukan membelinya.

Perjalanan Husni ke sejumlah kabupaten tidak seluruhnya membuahkan hasil, kadang perjalanan jauh ke tempat-tempat yang dianggap tersimpan naskah klasik, ternyata hasilnya nihil. Namun, semua informasi tentang keberadaan naskah itu tetap menjadi perhatiannya. Misalnya baru-baru ini Husni mendapat informasi bahwa ada warga memiliki naskah ‘’khutbah tabung’’— naskah khutbah yang disimpang di tabung bambu— Husni pun segera memburunya, difoto, dibayar dan kembali pulang. Tak hanya naskah klasik, naskah yang berusia 30-50 tahun pun masih diterima Husni Thamrin. Alasannya, tulisan tangan yang sudah 50 tahun juga dianggap naskah klasik. Sementara perpustakaan menilai tulisan tangan yang berusia 30 tahun pun dianggap naskah.

Husni tidak takut mengeluarkan uangnya untuk mendapatkan naskah itu, untuk mendapatkan kertas jimat dari Suku Sakai harus membelikan sejumlah keperluan pemiliknya sampai dua bulan. Dalam gambaran Husni, panjang kertas jimat itu sampai berlembar-lembar, tapi nyata cuma setengah lembar. ‘’Membujuknya sampai dua bulan lebih, tapi setelah diberi saya terkejut, ternyata hanya beberapa kata dalam setengah lembar kertas,’’ jelasnya.

Penelitian tentang pemetaan naskah-naskah klasik di Riau pun belum selesai dikerjakan Husni, terlalu banyak agenda penelitian yang harus dilakukan, namun semuanya cenderung kajian tentang Melayu dan Islam. Kendati naskah-naskah klasik itu banyak di Provinsi Kepulauan Riau, namun di Provinsi Riau diperkirakan masih banyak juga naskah-naskah klasik itu. Sebab, di wilayah ini tercatat banyak kerajaan seperti Kerajaan Cerenti, Rokan Empat Koto, Gassib, Gunung Sahilan, Indragiri, Kandis-Kuantan, Kepenuhan, Koto Kampar, Kunto Darussalam, Pelalawan, Rambah, Rokan, Segati, Siak dan Tambusai. ‘’Nah biasanya naskah-naskah itu tersimpan warga yang bermukin dekat kerajaan itu atau keluarga mereka. Kalau tidak ada halangan, minggu depan kami ke Istana Gunung Sahilan,’’ ujarnya.

Ada yang Mengkaji Naskah
Drs Ade Dharmawi MAg, berbeda dengan Husni Thamrin. Sosok yang budayawan juga dosen UIN Suska ini lebih memilih jalur persahabatan dalam memperoleh buku klasik itu. ‘’Kalau teman punya, saya pinjam untuk dikopi. Makanya semakin banyak berteman, kita semakin banyak mendapatkan naskah-naskah itu,’’ paparnya budayawan yang mendapat gelar Seniman Pemangku Negeri (SPN) dari Dewan Kesenian Riau (DKR) ini.

Pak Ade, demikian panggilan sehari-hari, memang dikenal banyak kawan. Selain beliau seorang dosen, dia juga budayawan, pemain teater, penabuh gendang, pembaca puisi, penulis artikel di majalah budaya seperi Sagang, bahkan pembaca saritilawah saat acara pengajian. Mungkin cuma gali sumur saja yang tidak dilakukannya. Padahal, Pak Ade saat ini menjabat sebagai PD II Fakultas Peternakan dan Pertanian UIN Suska. ‘’Saya heran budayawan kok didudukkan sebagai PD II Fakultas Peternakan dan Pertanian,’’ tukasnya sambil tersenyum lebar.

Ia tidak hanya mengumpulkan naskah-naskah klasik, naskah Arab Jawi (huruf Arab Melayu) yang baru terbit pun dikumpulkannya, sebab ia sedang mengkaji perubahan Arab Jawi masa lampau dengan Arab Jawi yang berkembang saat ini. Ade dikenal sebagai pengkritik huruf Arab Jawi yang digunakan perkantoran dan sejumlah jalan di Kota Pekanbaru. ‘’Lihat plang nama Bandara Sultan Syarif Kasim, salah total, saya malu dengan orang luar yang datang ke Riau. Riau gudangnya penulis, ternyata salah menuliskan nama bandara,’’ ujarnya tertawa terkekeh. Usaha memahami kembali naskah-naskah Melayu klasik sudah mulai membuahkan hasil, 2008 lalu Pak Ade mendapat penghargaan Anugerah Sagang katagori buku pilihan. Yakni buku Siak Sri Indrapura Dar Al-Salam Al-Qiyam. Buku tersebut berbentuk syair yang ditulis dalam dua bahasa yakni latin dan Arab Jawi setebal 200-an halaman.

Anugerah itu sisi lain keuntungan yang diperolehnya dari upaya mendalami naskah-naskah klasik di Riau, Ade saat ini sedang menyiapkan sejumlah buku yang dinilainya lebih sangat penting bagi masyarakat Riau. Banyak naskah klasik Riau yang pindah ke luar negeri membuat Ade semakin giat mencari naskah yang tersisa.

Ada yang Jadi Peneliti di Leiden
Suryadi, dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesik, Faculteit Geesteswetenschappen, Universiteit Leiden, Belanda, pernah memaparkan data sejumlah data naskah Melayu Riau yang masih tersimpan di Belanda dalam artikelnya di sejumlah media di Riau. Dijelaskannya, salah satu dari banyak bundel yang berisi puluhan pucuk surat dari Kepri yang tersimpan di Universiteitsbibliotheek (UB) Leiden —sebuah perpustakaan terpenting di Belanda yang menyimpan ribuan naskah Nusantara dan ratusan jutaan buku tua dari Indonesia dan dunia Melayu pada umumnya— adalah naskah-naskah surat-surat yang berasal dari raja-raja Riau kepada pejabat kolonial atau sebaliknya, maupun surat-surat pribadi. Surat-surat itu ditulis antara tahun 1796-1834. Jumlah keseluruhan surat dalam bundel ini mencapai lebih dari 500 pucuk.

Menurut Suryadi, naskah-naskah Nusantara —termasuk dari Kepri— yang tersimpan di UB Leiden ditandai dengan simbol Cod.Or —singkatan dari Code Orientalis. Misalnya surat-surat dari Kepri, yakni Cod.Or.3036-III, No18: Surat dari Sultan Indra Bungsu (Wakil Sultan Muhammad Syah) di Lingga kepada Syahbandar di Batavia (18 Zulkaidah 1215 H atau 31/3/1800). Selanjutnya, Cod.Or.3036-IV, No6: Surat dari Sultan Syarif Abdul Rahman/Lingga kepada GJ di Batavia (1 Ramadan 1211 H atau 27/2/1797). No 20, Surat dari Mayor Willem Farquhar (Malaka) kepada Yang Dipertuan Muda di Riau (14 Zulkaidah 1233 H atau 15/9/1817). No 22, Surat dari Sjarif Ahmad ibn Umar di Negeri Lingga kepada Residen Kapten Alout di Riau (13 Muharram 1234 H atau 18/11/1818). No 25, Surat dari Mayor Willem Farquhar di Singapura kepada Sultan Lingga (15 Jumadilawal 1234 H atau 10/3/1819). No 27, Surat dari Datuk Bendahara di Lingga kepada Tuanku Yang Maha Mulya Kapten Elout (21 Zulhijjah 1235 H atau 25/9/1820). No 28, Surat dari Yang Dipertuan Muda Riau dan Johor kepada Kapten Elout (23 Muharram 1237 H atau 20/10/1821). No 30, Surat dari Tengku Sayid di Riau kepada Mayor Cornelis Elout di Batavia (26 Jumadilawal 1241 H atau 6/1/1826).

Kemudian Suryadi menjelaskan, masih dalam file IV, No 32, Surat dari Sultan Abdul Rahman di Lingga kepada Residen Elout (8 Jumadilawal 1243 H atau 27/11/1827). No 33, Surat dari Tuan Muda di Riau kepada Mayor (Elout) di Batipuh (2 Zulkaidah 1243 H atau 16/5/1828). No 34, Surat dari Sultan Abdul Tahmah Syah di Lingga kepada Residen Mayor Elout (24 Zulkaidah 1243 H atau 8/6/1828). No 35, Surat dari Tengku Sayid kepada Letnan Kolonel Elout, Residen Riau (Jumadilakhir 1244 H atau antara 9/12/1828 sampai 7/1/1829). No 36, Surat dari Yang Dipertuan Muda Riau kepada Kolonel Elout (15 Rajab 1244 H atau 21 Januari 1829). No 37, Surat dari Yang Dipertuan Muda Riau kepada Tuan Walbheem (27 Syawal 1244 H atau 3 Mei 1829). No 38, Surat dari Yang Dipertuan Muda Riau kepada Letnan Kolonel Elout (27 Syawal 1244/3 Mei 1829). No 40, Surat dari Yang Dipertuan Muda Besar al-Sultan Abdul Rahman Syah dari Lingga kepada Residen Riau, Letnan Kolonel Elout (25 Rabiulakhir 1245 H atau 25 September 1829).

Selanjutnya, 3036-IV, No 41 Surat dari Daeng Bisnu di Trengganu kepada Yang Dipertuan Muda di Riau (14 Jumadilawal 1245 H atau 12 November 1829). No 42, Surat dari Yang Dipertuan Muda di Pulau Karimun kepada Residen Riau, Letnan Kolonel Elout (19 Jumadilawal 1245 H /17 November 1829). No 43, Surat dari Raja Abdul Rahman di Pulau Karimun kepada Raja Johor (Pulau Karimun 7 Jumadilakhir 1245 H atau 4 Desember 1829). No 44, Surat dari Yang Dipertuan Besar al-Sultan Mahmud Syah dari Lingga kepada Residen Walbheem (Negeri Lingga, 24 Rabiulakhir 1249 H atau 10 September 1833). No 45, Surat dari Tuangku Muda Riau kepada Tuangku Elout di Riau (Negeri Pasiman 19 Musim 1833). No 46, Surat dari Tuanku Muda Riau kepada ‘Tuan Kumendur’ di Padang (Negeri Pasiman, 19 Musim 1833). No 48, Surat dari Yang Dipertuan Muda Riau kepada Residen Walbheem di Riau (Negeri Lingga, 27 Syawal 1261 H atau 29 Oktober 1845). No 50, Surat dari Sultan Muhammad Sulaiman kepada Baron van Hvevell (12 Agustus 1846). No 58, Surat Laporan dari orang di Pulau Penyengat (tanpa tarikh).

Bundel lain yang mengandung surat-surat dari Kepri adalah Cod.Or.2241, yang berisi 552 pucuk surat, dibagi dalam 4 fail dan bundel Cod.Or.2242, lima fail, yang juga berisi lebih dari 500 pucuk surat. Umumnya surat-surat yang menyangkut Kepri, Siak dan kerajaan lainnya. Jarang para dosen atau mahasiswa yang sedang belajar di Belanda mau membagi penjelasan seperti Suryadi. Bahkan Suryadi memaparkannya dalam sebuah artikel di koran. Data yang dipaparkan Suryadi sangat penting bagi warga Riau. Mereka tidak tahu naskah apa saja yang berada di Belanda, Inggris, Prancis, Malaysia, Singapura dan sejumlah negara lainnya yang menyimpan naskah-naskah klasik dari Riau.

Suryadi tak hanya rajin menulis di koran besar di Jakarta, tapi dia juga rajin menulis di koran daerah seperti rubrik opini di Riau Pos, yakni mengupas hal-hal yang terkait dengan Riau.

Tersekat Profesi
Husni Thamrin, Ade Darmawi, Suryadi hanyalah satu dari ratusan ilmuan yang sibuk meneliti naskah klasik Riau. Masih banyak ilmuwan besar seperti Hasan Junus, UU Hamidy, Hamzah Junus, Al-Azhar, Prof Dr Suwardi MS, dan masih banyak lagi sejumlah dosen yang sedang meneliti tentang naskah klasik untuk mengambil gelar doktor seperti Eliya Roza (sedang studi doktor sejarah di UKM), Dr Helmiyati dan lainnya. Para pemilik naskah di Riau pun masih tersebar di mana-mana, ada yang disimpan di rumah, pesantren dan tempat lain. Demikian juga pihak pengelola Museum Sang Nila Utama, mereka sibuk dengan upaya penyelematan naskah yang ada.

Melihat sekat-sekat kerja masing-masing profesi ini, sudah sepatutnya ditinjau kembali. Masalahnya, mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Padahal jika saja antara puluhan ilmuan, pemilik naskah, dan pengelola naskah saling sinergi —mulai yang di Riau sampai yang di Leden— pasti akan ada pekerjaan besar yang akan mereka lahirkan. Minimal akan terbangun sebuah museum naskah yang lengkap. Selama ini terkesan, mereka yang meneliti, memiliki dan memperoleh data tentang naskah-naskah Melayu baik yang ada di Riau dan di Belanda atau negara lain, mereka hanya mempelajari untuk dirinya, yakni untuk menyelesaikan disertasi atau tesis semata. Sementara rakyat awam, tetap buta dengan kazanah kejayaan dan kekayaan negerinya.

Belajar dari Jaringan Intelektual Melayu
Belajar dari kejayaan masa lalu Melayu, yakni tidak terlepas dari jaringan ulama di masanya, maka sudah sepatutnya pola ini dikembangkan kembali. Jaringan memiliki sejumlah keunggulan, di antaranya penyebaran ilmu semakin meluas, dan akan memunculkan sejumlah ilmuwan-ilmuwan baru yang lebih mumpuni. Kejayaan Melayu di paruh abad 19 sampai awal abad 20, yakni dimulai dari Raja Haji fi Sabillah, Raja Ahmad (pencipta Syair Perang Johor), Raja Ali Haji (Gurindam Dua Belas, Tuhfat Al-Nafis, Butsanul Katibin, Tsamarat Muhimmah dll), Raja Salehah (Syair Abdul Muluk), Raja Ali (Hikayat Negeri Johor), Raja Abdullah (Syair Madi) Raja M Taher (Syair Pintu Hantu), Raja Haji Daud (Asal Ilmu Tabib), Raja Syafi'ah (Syair Kembang Mangindaro), Raja Hasan (Syair Burung), Raja Kalsum (Syair Saudagar Bodoh), Raja Ahmad Tabib (Syair Nasihat Pengajaran), Khalid Hitam (Syair Perjalanan Sultan Lingga ke Johor), Raja Ali Kelana (Pohon Perhimpunan, Rencana Madah, Perhimpunan Pelakat, Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas), Raja HM Said (Gubahan Permata Mutiara) dan masih banyak ulama lainnya, dimana mereka masih terjalin dalam ikatan keluarga atau jaringan yang kuat.

Dr Helmiyati MAg dalam penelitiannnya tentang Genealogi Intelektual Melayu (Tradisi dan Pemikiran) sampai ke Leiden, Belanda, ia menyimpulkan bahwa jaringan ulama Melayu abad 19 itu sangat kuat. Ini salah satu cara untuk menghasilkan ilmuan yang lebih baik di masa itu. Para ulama waktu itu menjalin jaringan sangat mudah, kendati sebenarnya mereka masih dalam satu lingkup keluarga besar. ”Mereka hidup dalam jaringan intelektual Melayu saat itu, sehingga bisa menghasilkan khazanah Melayu yang besar,” papar Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau ini.***