Pendahuluan
Masyarakat majemuk seperti
Penekanan dalam masyarakat majemuk, seperti
Potensi-potensi konflik tersebut memang sebuah permasalahan yang ada bersamaan dengan keberadaan coraknya yang secara sukubangsa majemuk. Sumber dari permasalahan ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling berhak atas sumber-sumber daya yang ada di dalam wilayah-wilayah kedaulatan dan kekuasaan sistem nasional atau pemerintah pusat.
Pertanyaan mengenai siapa yang paling berhak atas sumber-sumber daya tersebut adalah karena sumber-sumber daya tersebut ada di dalam wilayah-wilayah hak ulayat masing-masing masyarakat sukubangsa, dan bahwa Indonesia sebagai sebuah masyarakat dan bangsa secara de jure dan de facto baru ada setelah proklamasi 17 Agustus 1945 atau lebih muda dibandingkan ndengan keberadaan masyarakat-masyarakat sukubangsa dan wilayah-wilayah hak ulayat mereka. Sehingga pemerintahan nasional berada dalam posisi yang dipertanyakan mengenai keabsahannya dalam turut meng-haki, atau bahkan mengambil alih dan memonopoli, sumber-sumber daya yang ada dalam hak ulayat masyarakat-masyarakat sukubangsa. Karena itu hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa menjadi permasalahan yang kritikal dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dan dalam kehidupan bermasyarakat pada tingkat nasional dan lokal berkenaan dengan konflik kepentingan antara pemerintah nasional dan masyarakat-masyarakat sukubangsa atas sumber-sumber daya tersebut.
Dampaknya adalah bahwa kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa sebagai sebuah kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar, yang muncul dalam interaksi sosial, menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas diantara sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan perebutan sumber-sumber daya yang secara adat menjadi hak mereka. Dampak lebih lanjut dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan dalam kehidupan sosial adalah ditegaskannya batas-batas kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa setempat berkenaan dengan hak tersebut, yaitu siapa yang tergolong asli pribumi setempat, siapa yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang, dan siapa yang asing. Penggolongan kesukubangsaan ini mempunyai buntut perlakuan sosial, politik, dan ekonomi oleh masyarakat sukubangsa setempat terhadap berbagai golongan tersebut diatas berupa tindakan-tindakan diskriminasi dari yang paling ringan (digolongkan sebagai pribumi tetapi tidak asli setempat dan karena itu mempunyai posisi minoritas) sampai dengan yang terberat (orang Cina, yang digolongkan sebagai asing).
Dampak lainnya dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan untuk perebutan sumber-sumber daya adalah bahwa ideologi kesukubangsaan ini, secara sadar atau tidak sadar, juga melandasi corak kegiatan dari sistem nasional. Ide bahwa orang Cina itu secara kesukubangsaan adalah asing lebih dominan dibandingkan dengan ide dan kenyataan bahwa orang Cina itu adalah warganegara
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa diskriminasi secara legal atau hukum dan sosial terhadap orang Cina di Indonesia adalah produk dari interaksi antara dominannya ideologi kesukubangsaan orang Indonesia pribumi pada tingkat nasional dengan kesukubangsaan Cina sebagai asing, dalam konteks-konteks persaingan dan perebutan sumberdaya. Uraian dalam tulisan ini akan mencakup pembahasan mengenai hakekat masyarakat majemuk dan dominannya ideologi kesukubangsaan, kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial yang muncul dan digunakan dalam interaksi, masalah pribumi asli sebagai lawan dari tidak asli dan asing dan berbagai dampak diskriminatifnya
Kesukubangsaan dalam Masyarakat Majemuk
Gejala sosial yang tidak terlihat secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari tetapi yang mendasar dan mendalam di dalam kehidupan anggota sukubangsa-sukubangsa di Indonesia adalah jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan. Dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan orang
Kalau kita mendefinisikan sukubangsa sebagai sebuah kategori atau golongan sosial askriptif (Barth 1969), maka sukubangsa adalah sebuah pengorganisasian sosial mengenai jatidiri yang askriptif dimana anggota sukubangsa mengaku sebagai anggota sesuatu sukubangsa karena dilahirkan oleh orang tua dari sukubangsa tertentu atau dilahirkan di dan berasal dari sesuatu daerah tertentu. Berbeda dari berbagai jatidiri lainnya yang diperoleh seseorang sebagai status-status yang diperoleh dalam berbagai struktur sosial yang sewaktu-waktu dapat dibuang atau diganti, maka jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan tidak dapat dibuang atau diganti. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan ini tetap melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan dapat disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi, tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan.
Dalam setiap interaksi, jatidiri akan nampak karena adanya atribut-atribut yang digunakan oleh pelaku dalam mengekspresikan jatidirinya sesuai dengan hubungan status atau posisi masing-masing (Suparlan 1999a). Dalam hubungan antar-sukubangsa atribut dari jatidiri sukubangsa adalah ciri-ciri fisik atau rasial, gerakan-gerakan tubuh atau muka, dan ungkapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai budaya serta keyakinan keagamaan. Seseorang yang dilahirkan dalam keluarga sesuatu sukubangsa maka sejak dilahirkannya mau tidak mau akan terpaksa harus hidup dengan berpedoman pada kebudayaan sukubangsanya sebagaimana yang digunakan oleh orangtuanya dan keluarganya dalam merawat dan mendidiknya sehingga menjadi manusia sesuai dengan konsepsi kebudayaannya tersebut.
Sadar atau tidak sadar seseorang tersebut hidup berpedomankan pada kebudayaan sukubangsanya, yang dalam proses-proses pembelajarannya dari masa anak-anak sehingga dewasa dia tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus hidup menurut kebudayaan sukubangsanya yang dipunyai oleh orang tuanya tersebut. Dia harus tahu, memahami, dan meyakini, serta menggunakan kebudayaan tersebut sebagai pedoman bagi kehidupannya dalam menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya, dan untuk dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di dalamnya bagi kelangsungan hidupnya. Dalam perspektif ini, dimana seseorang itu mempunyai kebudayaan sukubangsanya seperti 'dipaksa' mulai sejak kelahirannya, maka kebudayaan sukubangsa juga bercorak askriptif.seperti kesukubangsaannya. Karena itu kebudayaan sukubangsa, bagi anggota-anggota sukubangsa yang bersangkutan, adalah sebuah pedoman bagi kehidupan yang primordial atau yang pertama dipelajari dan diyakini kebenarannya serta yang utama di dalam kehidupan mereka, atau sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka.
Termasuk dalam kategori pembelajaran kebudayaan sukubangsa yang diberikan oleh orang tua, keluarga, dan komuniti sukubangsanya yang juga bercorak 'dipaksakan' adalah pelajaran agama dari oang tua, keluarga, dan komuniti sukubangsa tersebut. Agama sebagai teks suci yang berisikan petunjuk-petunjuk Tuhan yang wajib diikuti, yang sebaiknya dihindarai, dan yang wajib dihindari atau dilarang untuk dilakukan menjadi operasional dalam kehidupan manusia melalui dan ada dalam kebudayaan manusia dan pranata-pranata sosial masyarakatnya. Dengan kata lain, petunjuk-petunjuk Tuhan tersebut diinterpretasi dan dipahami dengan menggunakan acuan kebudayaannya, untuk dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan yang tidak bertentangan dengan kebudayaan yang sudah ada, atau sebaliknya yaitu sebagian atau sebagian besar nilai-nilai budaya yang sudah ada itu disesuaikan dengan nilai-nilai keagamaan yang diyakini kebenarannya. Agama sebagai teks suci yang berisikan nilai-nilai sakral biasanya menggantikan sebagian atau seluruh nilai-nilai budaya yang menjadi inti dan yang mengintegrasikan keutuhan dari sesuatu kebudayaan sukubangsa. Dalam keadaan demikian nilai-nilai budaya yang ada dalam sesuatu masyarakat sukubangsa menjadi diperkuat posisi dan daya paksanya untuk terwujudnya keteraturan kehidupan yang adil dan beradab di dalam kegiatan sehari-hari karena dimuati oleh berbagai sanksi sakral yang ada dalam agama yang diyakini. Bagi setiap anggota sukubangsa, nilai-nilai budaya yang sakral atau nilai-nilai keagamaan yang ada dalam keyakinan keagaman mereka adalah sesuatu yang primordial. Coraknya sama dengan corak primordial dari kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsa.
Dalam masyarakat
Corak yang penuh dengan stereotip dan prsasangka terhadap yang minoritas dan non-pribumi juga nampak dalam berbagai kebijaksanaan pemerintahan nasional. Gejala ini dapat dipahami dengan memperhatikan bahwa para pejabat atau penguasa dalam sistem nasional berasal dari berbagai sukubangsa yang dominan di Indonesia yang telah secara sadar atau tidak sadar mengaktifkan kesukubangsaan mereka masing-masing dalam berbagai kebijaksanaan dan keputusan-keputusan sosial, ekonomi, dan politik untuk kepentingan-kepentingan mereka pada tingkat nasional maupun lokal. Sehingga seringkali ideologi sukubangsa dari si pejabat atau penguasa tersebut terwujud dalam berbagai kebijaksanaan sosial, ekonomi, dan politik yang dibuatnya, baik secara sadar maupun secara intiuitif yang primordial untuk memperoleh dukungan sosial, ekonomi, dan politik dari masyarakat sukubangsanya atau kelompok agamanya.
Dengan kata lain, sesungguhnya masyarakat
Kesukubangsaan Sebagai Kekuatan Sosial
Tidak dapat disangkal bahwa kesukubangsaan dapat dilihat sebagai kekuatan sosial untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial diantara sesama anggota sukubangsa, dan kohesi sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan sebagai solidaritas sosial yang mempunyai kekuatan sosial yang memaksakan diberlakukannya sesuatu kenbijaksanaan politik atau ekonomi, memenangkan sesuatu persaingan untuk memperebutkan sumber daya, atau untuk menghancurkan sesuatu kelompok sukubangsa lain yang menjadi lawan. Kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial tidak dapat ditawar atau diremehkan (non negotiable) pada saat kesukubangsaan tersebut terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial.
Dari satu segi, kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial mirip dengan keyakinan keagamaan. Karena keyakinan keagamaan pada waktu terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial juga tidak dapat ditawar atau diremehkan. Kedua-duanya mempunyai potensi merusak yang sama besarnya di dalam konflik antar-sukubangsa atau antar-keyakinan keagamaan. Tetapi dari segi lain, kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan tidaklah sama. Karena kesukubangsaan mempunyai efektivitas kekuatan sosial dalam batas-batas sesama anggota sukubangsa, sedangkan keyakinan keagamaan mempunyai jangkauan solidaritas sosial hanya dalam salah satu segmen masyarakat sukubangsa, dalam sesuatu masyarakat sukubangsa, atau di luar batas-batas sesuatu masyarakat sukubangsa. Karena itu, di satu sisi, keyakinan keagamaan dapat memperkuat atau memperlemah kekuatan sosial dari kesukubangsaan, sedangkan di sisi lain kesukubangsaan dapat tunduk dan berada di bawah bayang-bayang kekuatan keyakinan keagamaan.
Sebagai kekuatan sosial, kesukubangsaan beroperasi dalam batas-batas wilayah sukubangsa tempat anggota-anggota sukubangsa itu hidup. Sedangkan keyakinan keagamaan sebagai kekuatan sosial beroperasi dalam batas-batas wilayah para penganut agama yang bersangkutan, yaitu dalam sebagian dari wilayah kehidupan sukubangsa, atau keseluruhan wilayah kehidupan sukubangsa, atau dalam sebuah wilayah yang mencakup dua atau lebih wilayah kehidupan sukubangsa yang berbeda. Karena itu kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat saling memperkuat atau memperlemah jatidiri dan potensi kekuatan masing-masing, dalam hubungan antar-sukubangsa ataupun dalam hubungan antar keyakinan keagamaan.
Bruner (1974) pada waktu membahas teorinya mengenai 'hipotesa kebudayaan dominan' sebenarnya berbicara mengenai kesukubangsaan sebagai sebuah kekuatan sosial politik (lihat Suparlan 1999). Salah satu kekuatan kesukubangsaan yang dapat dilihat dan diamati sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dari sebuah masyarakat sukubangsa adalah kemampuannya untuk menentukan macam mata pencaharian yang dapat dikerjakan oleh pendatang dari sukubangsa lain. Bila pelanggaran dilakukan maka konflik antar sukubangsa dapat terwujud, seperti dalam kasus Kalimantan Barat dan
Di masa lampau hanya di kota-kota besar terdapat kehidupan masyarakat yang kesukubangsaannya beranekaragam. Tetapi pada masa sekarang hampir seluruh wilayah
Komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat yang mayoritas dan dominan menekankan penggunaaan prinsip "dimana bumi dipijak langit dijunjung" sebagai acuan yang harus dijadikan pedoman oleh para pendatang. Secara langsung atau tidak langsung komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat mendiskriminasi para pendatang dalam hak dan kewajiban berkenaan dengan upaya eksploitasi dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada setempat serta pendistribusiannya. Dalam keadaan dimana prinsip tersebut tidak lagi ditaati oleh para pendatang anggota masyarakat setempat dapat memberi peringatan atau melaporkannya kepada polisi setempat. Tetapi dalam keadaan dimana pelanggaran yang dilakukan oleh pendatang telah melampaui kelaziman hubungan 'tamu' dengan 'tuan rumah' nya, anggota-anggota komuniti dan masyarakat setempat mengaktifkan dan menggunakan kesukubangsaan untuk mengorganisasi diri mereka sebagai satuan-satuan perang, seperti yang telah terjadi di Kalimantan Barat, Ambon, dan Kalimantan Tengah.
Orang Cina yang telah datang ke Indonesia selama berabad-abad dan terus berdatangan hingga sekarang ke berbagai tempat di Indonesia menempati posisi sebagai tamu dalam prinsip "dimana bumi dipijak dan langit dijunjung" yang ditekankan oleh komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat. Karena itu di masa lampau hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat sukubangsa setempat dengan orang Cina. Hubungan kawin-mawin antara orang-orang Cina dengan perempuan pribumi setempat telah memungkinkann berubahnya status 'tamu' menjadi kerabat dari anggota-anggota masyarakat sukubangsa setempat. Perubahan status ini telah memungkinkan berubahnya status 'tamu' menjadi orang sendiri yang dalam batas-batas tertentu telah memungkinkan keturunan mereka itu juga mempunyai hak-hak atas tanah dari kelompok kerabat setempat.
Diantara orang-orang Cina yang hidup di
Pribumi dan Non-Pribumi Posisi Orang Cina
Konsep asli yang dibedakan dari non-asli dan pribumi lawan dari non-pribumi merupakan konsep-konsep penting dari kesukubangsaan yang ada dalam kehidupan masyarakat-masyarakat sukubangsa di
Di masa lampau, para pendatang di sebuah masyarakat sukubangsa pada umumnya cenderung hidup dan menetap di daerah perkotaan. Karena di daerah perkotaan itulah mereka dapat menyesuaikan kehidupan mereka secara lebih baik dengan cara hidup sebagai tenaga buruh atau pedagang, seperti yang dilakukan oleh orang Cina dan Arab dalam sejarah migrasi mereka di kepulauan Nusantara, yang tidak perlu harus berurusan dengan hak-hak ulayat atau adat berkenaan dengan pengolahan dan pemilikan atas tanah atau hutan yang menjadi hak prerogatif dari masyarakat sukubangsa setempat. Diantara orang Cina di
Di zaman pemerintahan Hindia Belanda orang Cina, bersama dengan orang Arab, secara hukum digolongkan sebagai Orang Timur Asing dengan implikasi bahwa hukum yang diberlakukan kepada mereka bukan hukum Belanda atau hukum adat dari Pribumi. Dampaknya adalah bahwa mereka itu tidak tergolong sebagai Belanda dan tidak tergolong pula sebagai pribumi. Mereka adalah Orang Asing dari Timur. Mereka mempunyai hak untuk mengajukan diri menjadi warganegara Belanda, sehingga hukum yang diberlakukan kepada mereka adalah sama dengan yang diberlakukan terhadap orang-orang Belanda yang ada di
Di Kalimantan Barat, terutama di
Orang-orang Cina di Indonesia menikmati masa-masa yang relatif tenang sampai dengan tahun 1960, yaitu sampai dengan ketika pemerintah Indonesia memutuskan untuk membedakan antara yang warga negara Indonesia dan warganegara asing, dan antara yang ingin tetap tinggal di Indonesia dan yang ingin kembali ke negeri leluhurnya RRC. Secara sosial tidak jelas adanya diskriminasi terhadap Cina sebagai golongan, walaupun secara individual hal itu bisa terjadi.
Pada waktu terjadinya peristiwa G 30S/PKI dimana orang-orang Cina dituduh terlibat didalam kup tersebut, karena keterlibatan organisasi Baperki dengan PKI, maka banyak orang Cina yang ditangkap oleh militer, sebagian lainnya dibunuh oleh massa, dan sebagian lainnya hilang atau melarikan diri ke luar Indonesia. Sebagian dari orang-orang Cina di Kalimantan Barat adalah pendukung presiden Sukarno, yang dituduh sebagtai G 30S/PKI. Mereka melakukan perlawanan terhadap upaya penangkapan atas diri mereka oleh militer, dan membentuk pasukan-pasukan perlawanan di daerah perbatasan Kalimantan Barat. Pada tahun 1968 perlawanan mereka dapat ditumpas oleh militer dengan menggunakan pasukan Dayak yang mengaktifkan tradisi 'mangkok merah yang telah dilarang di zaman penjajahan Belanda. Saya mencatat dari seorang informan orang Dayak mengenai digunakannya kembali kekuatan kamang tariu yang menggunakan mangkok merah untuk solidaritas sosial diantara orang Dayak untuk menghancurkan dan mengalahkan musuh (Suparlan 2000a).
Dalam zaman Orde Baru ini pemerintah memberlakukan berbagai peraturan sebagai cara untuk mengontrol orang-orang Cina di Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah diskriminasi secara hukum terhadap orang Cina karena mereka itu dianggap asing dan kesetiaan mereka terhadap negara dan bangsa
Kalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, sebetulnya terdapat kontradiksi antara kebijaksanaan diskriminasi dan yang dilakukaan oleh presiden Suharto dan pajabat-pejabat sipil ABRI terhadap orang Cina (lihat: Nuranto 1999, Wibowo 1999). . Karena presiden Suharto dan penguasa Orde Baru telah menggunakan orang-orang Cina sebagai bankir dan pelaksana perusahaan-perusahaan mereka. Dalam posisi tersebut orang-orang Cina telah memperoleh berbagai keistimewaan dan fasilitas yang telah menyebabkan mereka ini secara mencolok menjadi konglomerat bersamaan dengan posisi informal yang mereka punyai dalam pemerintahan Orde Baru. Mereka itu adalah individu-individu dan bukannya kategori atau golongan. Tetapi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, yang mereka lihat bukanlah kemunculan individu-individu konglomerat Cina pada tingkat pusat atau nasional dan pada tingkat lokal atau pemerintahan di daerah-daerah dalam struktur Orde Baru, tetapi kemunculan orang Cina sebagai sebuah golongan askriptif menjadi konglomerat sebagai hasil kong kali kong dengan para pejabat Orde Baaru. Sehingga yang disimpulkan oleh masyarakat
Kambing hitam memang ciri-ciri kategorikal, bukan ciri-ciri individual atau perorangan. Sehingga semua orang yang bercirikan Cina, dengan segala atribut ke- Cinaanya digolongkan sebagai kambing hitam yang konglomerat dan jahat. Karena itu mereka ini harus dihancurkan supaya kehidupan ekonomi
Sebagai sebuah sukubangsa, orang Cina dilihat sebagai mempunyai ciri-ciri fisik tubuh yang berbeda dari sukubangsa-sukubangsa pribumi, terkecuali di Minahasa atau di beberapa tempat di
Sebaliknya, orang Cina juga menciptakan batas-batas sukubangsa yang dilakukannya diantara mereka yang berasal dari golongan sukubangsa atau asal daerah yang berbeda di Cina, dan yang berbeda secara strata sosial karena perbedaan kemampuan ekonomi. Dan, menciptakan serta memantapkan batas-batas sukubangsa dengan masyarakat sukubangsa setempat dimana mereka itu hidup. Jarak sosial dan budaya dengan masyarakat sukubangsa setempat ini lebih dipertegas pada waktu keyakinan keagamaan mereka yang memperbolehkan memakan daging babi dipertentangkan dengan keyakinan Islam dari masyarakat sukubangsa setempat. Walaupun terjadi batas-batas sukubangsa antara orang Cina dengan orang dari sukubangsa setempat, terkecuali yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama, tetapi hubungan simbiotik secara indvidual dan kelompok antara orang Cina dengan anggota-anggota masyarakat setempat telah terjadi selama adanya orang Cina di masyarakat setempat. Yaitu hubungan simbiotik dalam kehidupan ekonomi atau pasar, sesuai dengan tesis Furnivall (1948). Hubungan simbiotik seperti ini sebenarnya rapuh karena tidak didukung oleh adanya hubungan-hubungan sosial dan budaya yang dimantapkan melalui pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat setempat.
Kerapuhan ini, diperkuat oleh pandangan kesukubangsaan dari pemerintah yang melihat orang Cina sebagai satuan sukubangsa pendatang atau orang asing walaupun mereka itu telah menjadi warganegara
Posisi orang Cina yang digolongkan sebagai asing dan didiskriminasi seperti tersebut diatas, pada masyarakat-masyarakat lokal sebenarnya tidak separah diskriminasi yang dilakukan secara hukum oleh pemerintah Karena, melalui hubungan simbiotik seperti tersebut diatas, kategori Cina dikenal dan disahkan keberadaannya di dalam dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal yang bersangkutan. Selama bergenerasi dikenal nama orang Cina atau Cine dalam kehidupan orang Jakarta, orang Cino dalam kehidupan orang Melayu Riau, orang Cine menurut orang Melayu Kalimantan Barat, wong Cino menurut kata orang Jawa. Bahkan pada orang Jawa sebutan piyantun Cinten (priyayi Cina), dalam bahasa Jawa halus atau bahasa penghormatan, juga diberlakukan bagi orang Cina yang berpenampilan sebagai terpelajar atau priyayi, seperti dokter dsb.
Apa yang menarik untuk diperhatikan adalah gejala kemunculan konsep Tionghoa yang sekarang diaktifkan untuk digunakan oleh orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh Cina, terutama di
Sebagai catatan penutup patut dicatat bahwa oranmg-orang Cina di Indonesia, yang warga negara Indonesia, ingin diperlakukan sebagai orang Indonesia baik secara hukum maupun secara sosial dan budaya sama dengan perlakuan yang diterima oleh setiap orang Indonesia dari sukubangsa manapun, tanpa ada diskriminasi walaupun mereka ini keturunan asing yang bukan pribumi Indcnesia.
Tetapi di lain pihak, mereka ini tidak mau disederajatkan secara sosial dan budaya dengan sukubangsa-sukubangsa yang hidup di
Masyarakat
Secara hipotetis mengingat corak masyarakat Indonesia yang menekankan kesukubangsaan dan afiniti mungkin dua isyu dapat didiskusikan, yaitu: apakah orang Cina di Indonesia harus diperlakukan sebagai sebuah sukubangsa, atau orang Cina di Indonesia dilihat sebagai bagian dari sukubangsa-sukubangsa setempat dimana mereka itu telah dan sedang hidup di dalam masyarakatnya.
Daftar Kepustakaan
Bruner, Edward M., 1974, "The Expression of Ethnicity in
Furnivall, J.S., 1944,
Nuranto, N., 1999, "Kebijakan Terhadap Bisnis Etnis Cina Di Masa Orde Baru." Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Hal. 50-74
Suparlan, Parsudi, 1979, "Ethnic Groups of Indonesia", The Indonesian Quarterly, Vol. 7, No.2, hal. 55-75.
_______ , 1995, Orang
_______ , 1999a, "Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa". Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Hal. 149-173.
_______ , 1999b, "Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan". Jurnal Antropologi
_______ , 2000a, "Kerusuhan Sambas". Jurnal Polisi Indonesia, No.2, hal. 71-85.
_______ , 2000b, "Ethnic and Religious Conflicts in
Conference. Hal. 97-128. Kucing, Sarawak:
_______ , 2001a, "Kerusuhan Ambon". Jurnal Polisi
_______ , 2001,
_______ , 2002, Orang Cina Amerika. Makalah untuk Seminar Orang
Cina di Amerika. Kajian Wilayah Amerika, U.I., 6 Juni 2002.
Taher, Tarmizi, 1997, Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa
Thung Ju Lan, 1999a, "Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di Indonesia". Dalam, I. Wibowo (ed.), Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Hal. 3-23.
_____ , 1999b, "Masalah Cina: Konflik Etnis yang Tak Kunjung Padam".
Jurnal Antropologi
Wibowo,