Batu Pelantikan Raja (Batu Pallantikang)
Batu petantikan raja (hatu pallantikang) terletak di sebelah tenggara kompleks makam Tamalate. Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di sumpah di atas batu ini (Wolhof dan Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang sesungguhnya merupakan batu alami tanpa pem¬bentukan, terdiri dari satu batu andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu andesit merupakan pusat pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. Pe-mujaan penduduk terhadap ditandai dengan banyaknya sajian di atas batu ini. Mereka meyakini bahwa batu tersebut adalah batu dewa dari kayangan yang bertuah
Batu petantikan raja (hatu pallantikang) terletak di sebelah tenggara kompleks makam Tamalate. Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di sumpah di atas batu ini (Wolhof dan Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang sesungguhnya merupakan batu alami tanpa pem¬bentukan, terdiri dari satu batu andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu andesit merupakan pusat pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. Pe-mujaan penduduk terhadap ditandai dengan banyaknya sajian di atas batu ini. Mereka meyakini bahwa batu tersebut adalah batu dewa dari kayangan yang bertuah.
Sumur Pendeta (Bungung Bissu)
Bangunan sumur ini terletak di sebelah timer Batu Tumanurung. Dahulu sumur ini hanya digunakan para pendeta (bissu-bissu). Sumur ini berukuran 4 x 4 meter Konstruksinya dan bahan batu bata, dengan teknik susun tanpa spesi.
Kompleks Makam Katangka
Kompleks ini terletak di sebelah utara bukit Tamalate, merupakan area pemakaman raja-raja Gowa dari masa yang lebih kemudian, dan raja-raja yang dimakamkan di kompleks makam Tamalate dan Bonto Biraeng. Pada kompleks ini terdapat bangunan makam kubah dan jirat biasa.
Jirat dan nisannya dominan terhuat dari ukiran kayu. Jirat kayu diukir, dengan pahatan hiasan untaian flora, meng¬gunakan warna menyolok, merah dan terutama kuning keemasan. Pada bagian kepala dan kaki jirat terdapat semacam gunungan yang dilengkapi dengan kaligrafi ayat-ayat suci Al-Qur'an dan identitas yang dimakamkan. Ragam hias beberapa kubah -memperlihatkan adanya pengaruh anasir Barat, terutama terlihat pada pintu masuk.
Kubah makam di kompleks ini berukuran lebih besar dari pada makam lain. Di dalam kubah terdapat sejumlah makam, mungkin dari satu keluarga terdekat. Makam¬-makam di dalam kubah diatur berjajar dua. Lantai kubah lebih tinggi 60-75 cm dari permukaan tanah atau dasar pintu masuk. Konstruksi demikian menyebabkan jirat dan nisan di dalam bangunan kubah tampak seperti di atas panggung. Di antara kubah-kubah terdapat Mesjid Katangka.
Mesjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan Mahmud (1818); [b] Kadi Ibrahim (1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948); dan [d] Andi Baso, Pabbicarabutta GoWa (1962) sangat sulit meng¬identifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Yang masih menarik adalah ukuran tebal tembok kurang lebih 90 cm, hiasan sulur-suluran dan bentuk mimbar yang terbuat dari kayu menyerupai singgasana dengan sandaran tangan. Hiasan makhuk di samarkan agar tidak tampak realistik. Pada ruang tengah terdapat empat tiang soko guru yang mendukung konstruksi bertingkat di atasnya. Mimbar dipasang permanen dan diplaster. Pada pintu masuk dan mihrab terdapat tulisan Arab dalam babasa Makassar yang menyebutkan pemugaran yang dilakukan Karaeng Katangka pada tahun 1300 Hijriah.
Makam Syekh Yusuf
Kompleks makam ini terletak pada dataran rendah Lakiung di sebelah barat Mésjid Katangka. Di dalam kompleks ini terdapat 4 buah cungkup dan sejumlah makam biasa. Makam Syekh Yusuf terdapat di dalam cungkup terbesar, berbentuk bujur sangkar Pintu masuk terletak di sisi Selatan. Puncak cungkup berhias keramik. Makam ini merupakan makam kedua. Ketika wafat di pengasingan, Kaap, tanggal 23 Mei 1699, beliau di¬makamkan untuk pertama kalinya di Faure, Afrika Selatan. Raja Gowa meminta kepada pemerintah Belanda agar jasad Syekh Yusuf dipulangkan dan dimakamkan di Gowa. Lima tahun sesudah wafat (1704) baru per¬mintaan tersebut dikabulkan. Jasadnya dibawa pulang bersama keluarga dengan kapal de Spiegel yang berlayar langsung dan Kaap ke Gowa. Pada tanggal 6 April 1705, tulang kerangka Syekh Yusuf dimakamkan dengan upacara adat pemakaman bangsawan di Lakiung. Di atas makamnya dibangun kubah yang disebut kobbanga oleh orang Makassar.
Makam Syekh Yusuf mempunyai dua nisan tipe Makassar, terbuat dari batu alam yang permukaannya sangat mengkilap. Hal ini dapat terjadi karena para peziarah selalu menyiramnya dengan minyak kelapa atau semacamnya. Sampai sekarang peziarah masih sangat ramai mengunjungi tokoh ulama (panrita)dan intelektual (tulnangngasseng) yang banyak berperan dalam perkembangan dan kejayaan kerajaan Gowa-Tallo abad pertengahan.
Dalam lontarak "Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa7, Syekh Yusuf dianggap Nabi Kaidir (Abu Hamid, 1994: 85). la tokoh yang memiliki keistimewaan, seperti berjalan tanpa berpijak di tanah. Dalam usia belia ia sudah tamat mempelajari kitab fiqih dan tauhid. Guru tarekat Naqsabandiayah, Syattariyah, Ba'alaniiyah, dan Qa¬driyah. Wawasan sufistiknya tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fanzuri yang me-ngembangkan ajaran Wujudiyah dan Syekh Nuruddin ar-Raniri.
Benteng Tallo
Benteng Tallo terletak di muara sungai Tallo. Benteng dibangun dengan menggunakan bahan batu bata, batu padas/batu pasir, dan batu kurang. Luas benteng diper¬kirakan 2 kilometer Bardasarkan temuan fondasi dan susunan benteng yang masih tersisa, tebal dinding benteng diperkirakan mencapai 260 cm.
Akibat perjanjian Bongaya (1667) benteng dihancurkan. Sekarang, sisa-sisa benteng dan bekas aktivitas berserakan. Beberapa bekas fondasi, sudut benteng (bas¬tion) dan batu merah yang tersisa sering dimanfaatkan penduduk untuk berbagai keperluan darurat, sehingga tidak tampak lagi bentuk aslinya. Fondasi itu mengelilingi pemukiman dan makam raja-raja Tallo.
Makam Raja-raja Tallo di Ujung Tanah
Makam raja-raja. Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad XVII sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Madya Ujungpandang. Lokasi makam terletak di pinggir barat muara sungai Tallo atau pada sudut timur laut dalam wilayah benteng Tallo. Ber¬dasarkan basil penggalian (excavation) yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976¬-1982) ditemukan gejala bahwa komplek makam ber¬struktur tumpang-tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi bangunan, dan kadang-kadang ditemukan fondasi di atas bangunan makam.
Kompleks makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempat¬kan di dalam bangunan kubah, jirat semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung: Jirat semu dibuat dan balok¬balok ham pasir. Bangunan kubah yang berasal dari kuran waktu yang lebih kemudian dibuat dari batu bata. Penempatan balok batu pasir itu semula tanpa memper¬gunakan perekat. Perekat digunakan Proyek Pemugaran. Bentuk bangunan jirat dan kubah pada kompleks ini kurang lebih serupa dengan bangunan jirat dan kubah dari kompleks makam Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka.
Pada kompleks ini bentuk makam dominan berciri abad XII Masehi. Ada tiga tipe makam di kompleks ini.
Pertama, tipe susun timbun. Makam-makam di kompleks Tallo sebagian dibangun dengan teknik susun timbun. Balok-balok batu (padas). persegi disustin ddri bawah ke atas. Bangunan makam mirip konstruksi candi yang terdiri atas tiga bagian:- kaki, tubuh, dan atap. Di bagman atap ditancapkan dua buah nisan. Umumnya,- bangunan makam seperti ini di dalam rongga makam yang berbentuk setengah lingkaran memanjang, masih ter¬dapat nisan (Hadimoljono, 1977). Tipe makam ini misalnya Makam Sultan Mudseffuar.
Selain itu,- tipe susun timbun juga ada yang dibuat tidak berongga. Bentuknya hanya seperti kotak besar. Di atas kotak besar dipasang empat papan batu berukir dan ditancapkan dua buah nisan. Makam dengan teknik susun timbun juga ada yang dibuat dari batu merah.
Kedua, tipe bangunan kayu. Makam dirancang menurut konstruksi hangunan kayu. Empat buah papan batu yang lebar dipasang untuk membentuk sebuah kotak batu persegi empat panjang. Pada dinding utara dan selatan, - di bagian atas makam dibuat runcingan tepat di bagian tengahnya. Keempat papan batu ditopang empat lapisan yang membentuk kaki makam. Di tengahnya ditancap-kan situ atau dua buah nisan. (Hadimoljono, 1977).
Ketiga, Tipe sederhana. -Untuk tipe ini, konstruksi di¬bentuk dengan dua lapis batu yang dibuat secara berundak. Kemudian.di bagian atas makam ditancapkan satu dua buah nisan.
Keempat, Makam kuhah. Tipe ini mirip piramid. Bahan bangunannya terbuat dari batu bata dengan perekat (specie) di dalamnya terdapat satu atau dua buah makam. Di Kompleks Tallo ada tiga buah makam kubah. Satu di antaranya sudah runtuh.
Hiasan dipahatkan pada batu makam dan batu nisan berbentuk tumbuh-tumbuhan (bunga teratai dan sulur), hiasan geometris, dan kaligrafi-huruf Arab, seperti Al¬lah, Laa Ilaha Illahlah.
Benteng Panakukang
Benteng ini terletak pada tebing selatan sebuah anak sungai yang bermuara pada sungai Beru. Bagian sisa benteng terdapat pada sisi utara dan barat benteng, berupa Sebaran memanjang pecahan batu bata. Fungsi Benteng Panakukang adalah kubu pertahanan Gowa yang terdepan. Dahuluu, susunan tembok benteng meng¬hubungkan benteng Panakukang dengan Benteng Somba Opu.
Benteng Somba Opu
Benteng Somba Opu terletak di muara Sungai Jene' berang. Secara administratif terletak di Maccini Sombala, Kampung Sanrobone, Desa Bontoala, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa. Denah benteng berbentuk persegi empat. Ukuran panjang salah satu sisi ± 2 km. Sisa bangunan yang masih baik dan dapat memperlihatkan denah asli benteng terdapat pada bagian sisi barat. Rekonstruksi sisi barat benteng dapat diketahui bahwa benteng dibangun dari bahan batu bata dengan ukuran yang bervariasi serta sedikit batu pasir, terutama pada bagian pintu sebelah dalam. Tinggi tembok 7-8 meter, dengan ketebalan dinding rata-rata 12 kaki atau 300 cm. Ada empat bastion, tetapi yang tersisa dan direkonstruksi oleh SPSP Ujungpandang hanya I buah bastion.
Menurut sejarahnya, Benteng Somba Opu merupakan benteng induk yang berfungsi sebagai pusat pertahanan utama dan pusat pemerintahan kerajaan Gowa-Tallo. Dibangun atas perintah Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi Tumaparisi Kallonna. Selain benteng Somba Opu Raja Gowa IX juga merintis pembangunan benteng pengawal di antaranya Benteng `Penyua' atau sekarang lebih populer dengan Benteng Ujungpandang.
Benteng Ujungpandang
Benteng Ujungpandang terletak di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Ujungpandang, Kota Madya Ujungpandang. L.uas keseluhruhan areanya 21.252 meter persegi dan terdiri atas 15 bangunan.
Menurut sejarahnya, benteng ini juga dirintis oleh Raja Gowa IX Semula benteng berisi bangunan rumah Makassar dengan tiang-tiang kayu yang tinggi. Pem¬bangunan benteng diselesaikan pada tahun 1545 oleh raja Gowa X, / Manriogau Daeng Banto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng, sebagai benteng pertahanan pendamping kerajaan Gowa.
Benteng yang pada mulanya dibuat dari tanah liat ini mempunyai model tak ubahnya benteng-benteng Eropa abad ke-26 dan ke-17. Bentuk dasar benteng segi empat dan berarsitektur Portugis. Tonjolan-tonjolan tambahan pada model dasar segi empat melahirkan bentuk benteng yang menyerupai penyu. Bentuk penyu berhubungan dengan simbolisme kekuatan etnis Makassar, jaya di laut dan di darat, seperti halnya seekor penyu. Justru itu, naskah Lontarak menyebut benteng Penyua' (benteng penyu).
Area benteng ini seluas 2,5 hektar berdinding tertinggi 7 meter dan terendah 5 meter dengan ketebalan 2 meter, kemudian mengalami penyempurnaan, Di tahun 1635 Masehi, pada masa pemerintah Ian Sultan Alauddin, raja Gowa keempat belas, dinding benteng yang terbuat dari tanah liat diberi lapisan batu berbentuk segi empat dengan variasi ukuran berbeda.
Fungsi benteng Ujungpandang pada saat itu adalah benteng pengawal benteng induk, Somba Opu. Ketika kerajaan Gowa dikalahkan kompeni, melalui perjanjian Bongaya tahun 1667, benteng Ujungpandang beralih milik. Selanjutnya, benteng tersebut diubah namanya menjadi Fort Rotterdam yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan kompeni. Cornelis Janszoon Speelman (1666) sangat berperan dalam pengubahan nama ini. Belanda kemudian juga melaku¬kan perubahan struktur bangunan dan gaya Makassar menjadi bangunan yang berciri Eropa, gaya Gotik abad XVII.
Pada masa pendudukan Jepang (1942), benteng ini tidak lagi digunakan sesuai dengan fungsinya. Akibat kema¬juan teknologi, terutama di bidang komunikasi udara, benteng Ujungpandang dipandang kurang efektif untuk dijadikan benteng pertahanan Kemudian Jepang meng¬gunakannya sebagai pusat penelitian ilmiah bidang Bahasa dan pertanian.
Setelah kemerdekaan Indonesia benteng Ujungpandang menjadi tempat penampungan Belanda dan pengikutnya. Pada saat terjadi agresi militer kedua, benteng Ujungpandang difungsikan kembali menjadi benteng pertahanan dalam pertempuran tujuh hari antara pasukan KNIL dan TNI. Keadaan ini berlangsung hingga ditandatanganinya perjanjian penyerahan kembali kedaulatan RI tanggat 27 Desember 1949. Seusai perang benteng .ini berfungsi sebagai perumahan sipil dan militer.
Setelah pengosongan dan pemindahan 1500 jiwa pada tahun 1970, benteng Ujungpandang dipugar dan diperbaiki. Akhirnya, pada tanggal 21 April 1977, benteng Ujungpandang menjadi monumen sejarah yang dilindungi dan dijadikan Pusat Kebudayaan Sulawesi Selatan berdasarkan Surat KeputuSan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 14/A/1/1974.
Kini, benteng Ujungpandang dimanfaatkan sebagai kompleks perkantoran Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala, Balai Arkeologi, Dewan Kesenian Makassar, dan Museum Lagaligo yang disiapkan menampung berbagai koleksi yang dapat menunjang serta memberi informasi tentang benda cagar budaya kerajaan Gowa-¬Tallo khususnya, dan Sulawesi Selatan pada umumnya.
Penutup
Di area situs bekas kerajaan Gowa-Tallo terdapat enam jenis monumen peradaban penting yaitu, istana, mesjid, benteng, sumur, batu pelantikan, dan makam. Hampir semua berasal dari masa Islam, kecuali batu pallantikan. Hal ini bisa menjelaskan kepada kita perkernbangan kebudayaan etnis Makassar terutama dari periode masuknya Islam yang bisa memperkuat bukti-bukti tertulis yang sampai kepada kita.
Dari sisa peradaban tersebut,70% merupakan bangunan makam. Makam adalah rumah peristirahatan terakhir - manusia. Raja bagi masyarakat Makassar tidaklah di¬anggap mati, is hanya berpindah alam. Pandangan demikian menyebapkan raja yang telah wafat ditambah gelar "matinroe", artinya tidur . Justru itu di Makassar khususnya makam raja dibuat istimewa dan indah, seperti istana. Sampai sekarang makam dari tokoh-tokoh Gowa¬-Tallo masih menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjugi sepanjang tahun.
Sumber :
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia 1999/2000
Batu petantikan raja (hatu pallantikang) terletak di sebelah tenggara kompleks makam Tamalate. Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di sumpah di atas batu ini (Wolhof dan Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang sesungguhnya merupakan batu alami tanpa pem¬bentukan, terdiri dari satu batu andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu andesit merupakan pusat pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. Pe-mujaan penduduk terhadap ditandai dengan banyaknya sajian di atas batu ini. Mereka meyakini bahwa batu tersebut adalah batu dewa dari kayangan yang bertuah.
Sumur Pendeta (Bungung Bissu)
Bangunan sumur ini terletak di sebelah timer Batu Tumanurung. Dahulu sumur ini hanya digunakan para pendeta (bissu-bissu). Sumur ini berukuran 4 x 4 meter Konstruksinya dan bahan batu bata, dengan teknik susun tanpa spesi.
Kompleks Makam Katangka
Kompleks ini terletak di sebelah utara bukit Tamalate, merupakan area pemakaman raja-raja Gowa dari masa yang lebih kemudian, dan raja-raja yang dimakamkan di kompleks makam Tamalate dan Bonto Biraeng. Pada kompleks ini terdapat bangunan makam kubah dan jirat biasa.
Jirat dan nisannya dominan terhuat dari ukiran kayu. Jirat kayu diukir, dengan pahatan hiasan untaian flora, meng¬gunakan warna menyolok, merah dan terutama kuning keemasan. Pada bagian kepala dan kaki jirat terdapat semacam gunungan yang dilengkapi dengan kaligrafi ayat-ayat suci Al-Qur'an dan identitas yang dimakamkan. Ragam hias beberapa kubah -memperlihatkan adanya pengaruh anasir Barat, terutama terlihat pada pintu masuk.
Kubah makam di kompleks ini berukuran lebih besar dari pada makam lain. Di dalam kubah terdapat sejumlah makam, mungkin dari satu keluarga terdekat. Makam¬-makam di dalam kubah diatur berjajar dua. Lantai kubah lebih tinggi 60-75 cm dari permukaan tanah atau dasar pintu masuk. Konstruksi demikian menyebabkan jirat dan nisan di dalam bangunan kubah tampak seperti di atas panggung. Di antara kubah-kubah terdapat Mesjid Katangka.
Mesjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan Mahmud (1818); [b] Kadi Ibrahim (1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948); dan [d] Andi Baso, Pabbicarabutta GoWa (1962) sangat sulit meng¬identifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Yang masih menarik adalah ukuran tebal tembok kurang lebih 90 cm, hiasan sulur-suluran dan bentuk mimbar yang terbuat dari kayu menyerupai singgasana dengan sandaran tangan. Hiasan makhuk di samarkan agar tidak tampak realistik. Pada ruang tengah terdapat empat tiang soko guru yang mendukung konstruksi bertingkat di atasnya. Mimbar dipasang permanen dan diplaster. Pada pintu masuk dan mihrab terdapat tulisan Arab dalam babasa Makassar yang menyebutkan pemugaran yang dilakukan Karaeng Katangka pada tahun 1300 Hijriah.
Makam Syekh Yusuf
Kompleks makam ini terletak pada dataran rendah Lakiung di sebelah barat Mésjid Katangka. Di dalam kompleks ini terdapat 4 buah cungkup dan sejumlah makam biasa. Makam Syekh Yusuf terdapat di dalam cungkup terbesar, berbentuk bujur sangkar Pintu masuk terletak di sisi Selatan. Puncak cungkup berhias keramik. Makam ini merupakan makam kedua. Ketika wafat di pengasingan, Kaap, tanggal 23 Mei 1699, beliau di¬makamkan untuk pertama kalinya di Faure, Afrika Selatan. Raja Gowa meminta kepada pemerintah Belanda agar jasad Syekh Yusuf dipulangkan dan dimakamkan di Gowa. Lima tahun sesudah wafat (1704) baru per¬mintaan tersebut dikabulkan. Jasadnya dibawa pulang bersama keluarga dengan kapal de Spiegel yang berlayar langsung dan Kaap ke Gowa. Pada tanggal 6 April 1705, tulang kerangka Syekh Yusuf dimakamkan dengan upacara adat pemakaman bangsawan di Lakiung. Di atas makamnya dibangun kubah yang disebut kobbanga oleh orang Makassar.
Makam Syekh Yusuf mempunyai dua nisan tipe Makassar, terbuat dari batu alam yang permukaannya sangat mengkilap. Hal ini dapat terjadi karena para peziarah selalu menyiramnya dengan minyak kelapa atau semacamnya. Sampai sekarang peziarah masih sangat ramai mengunjungi tokoh ulama (panrita)dan intelektual (tulnangngasseng) yang banyak berperan dalam perkembangan dan kejayaan kerajaan Gowa-Tallo abad pertengahan.
Dalam lontarak "Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa7, Syekh Yusuf dianggap Nabi Kaidir (Abu Hamid, 1994: 85). la tokoh yang memiliki keistimewaan, seperti berjalan tanpa berpijak di tanah. Dalam usia belia ia sudah tamat mempelajari kitab fiqih dan tauhid. Guru tarekat Naqsabandiayah, Syattariyah, Ba'alaniiyah, dan Qa¬driyah. Wawasan sufistiknya tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fanzuri yang me-ngembangkan ajaran Wujudiyah dan Syekh Nuruddin ar-Raniri.
Benteng Tallo
Benteng Tallo terletak di muara sungai Tallo. Benteng dibangun dengan menggunakan bahan batu bata, batu padas/batu pasir, dan batu kurang. Luas benteng diper¬kirakan 2 kilometer Bardasarkan temuan fondasi dan susunan benteng yang masih tersisa, tebal dinding benteng diperkirakan mencapai 260 cm.
Akibat perjanjian Bongaya (1667) benteng dihancurkan. Sekarang, sisa-sisa benteng dan bekas aktivitas berserakan. Beberapa bekas fondasi, sudut benteng (bas¬tion) dan batu merah yang tersisa sering dimanfaatkan penduduk untuk berbagai keperluan darurat, sehingga tidak tampak lagi bentuk aslinya. Fondasi itu mengelilingi pemukiman dan makam raja-raja Tallo.
Makam Raja-raja Tallo di Ujung Tanah
Makam raja-raja. Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad XVII sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Madya Ujungpandang. Lokasi makam terletak di pinggir barat muara sungai Tallo atau pada sudut timur laut dalam wilayah benteng Tallo. Ber¬dasarkan basil penggalian (excavation) yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976¬-1982) ditemukan gejala bahwa komplek makam ber¬struktur tumpang-tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi bangunan, dan kadang-kadang ditemukan fondasi di atas bangunan makam.
Kompleks makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempat¬kan di dalam bangunan kubah, jirat semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung: Jirat semu dibuat dan balok¬balok ham pasir. Bangunan kubah yang berasal dari kuran waktu yang lebih kemudian dibuat dari batu bata. Penempatan balok batu pasir itu semula tanpa memper¬gunakan perekat. Perekat digunakan Proyek Pemugaran. Bentuk bangunan jirat dan kubah pada kompleks ini kurang lebih serupa dengan bangunan jirat dan kubah dari kompleks makam Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka.
Pada kompleks ini bentuk makam dominan berciri abad XII Masehi. Ada tiga tipe makam di kompleks ini.
Pertama, tipe susun timbun. Makam-makam di kompleks Tallo sebagian dibangun dengan teknik susun timbun. Balok-balok batu (padas). persegi disustin ddri bawah ke atas. Bangunan makam mirip konstruksi candi yang terdiri atas tiga bagian:- kaki, tubuh, dan atap. Di bagman atap ditancapkan dua buah nisan. Umumnya,- bangunan makam seperti ini di dalam rongga makam yang berbentuk setengah lingkaran memanjang, masih ter¬dapat nisan (Hadimoljono, 1977). Tipe makam ini misalnya Makam Sultan Mudseffuar.
Selain itu,- tipe susun timbun juga ada yang dibuat tidak berongga. Bentuknya hanya seperti kotak besar. Di atas kotak besar dipasang empat papan batu berukir dan ditancapkan dua buah nisan. Makam dengan teknik susun timbun juga ada yang dibuat dari batu merah.
Kedua, tipe bangunan kayu. Makam dirancang menurut konstruksi hangunan kayu. Empat buah papan batu yang lebar dipasang untuk membentuk sebuah kotak batu persegi empat panjang. Pada dinding utara dan selatan, - di bagian atas makam dibuat runcingan tepat di bagian tengahnya. Keempat papan batu ditopang empat lapisan yang membentuk kaki makam. Di tengahnya ditancap-kan situ atau dua buah nisan. (Hadimoljono, 1977).
Ketiga, Tipe sederhana. -Untuk tipe ini, konstruksi di¬bentuk dengan dua lapis batu yang dibuat secara berundak. Kemudian.di bagian atas makam ditancapkan satu dua buah nisan.
Keempat, Makam kuhah. Tipe ini mirip piramid. Bahan bangunannya terbuat dari batu bata dengan perekat (specie) di dalamnya terdapat satu atau dua buah makam. Di Kompleks Tallo ada tiga buah makam kubah. Satu di antaranya sudah runtuh.
Hiasan dipahatkan pada batu makam dan batu nisan berbentuk tumbuh-tumbuhan (bunga teratai dan sulur), hiasan geometris, dan kaligrafi-huruf Arab, seperti Al¬lah, Laa Ilaha Illahlah.
Benteng Panakukang
Benteng ini terletak pada tebing selatan sebuah anak sungai yang bermuara pada sungai Beru. Bagian sisa benteng terdapat pada sisi utara dan barat benteng, berupa Sebaran memanjang pecahan batu bata. Fungsi Benteng Panakukang adalah kubu pertahanan Gowa yang terdepan. Dahuluu, susunan tembok benteng meng¬hubungkan benteng Panakukang dengan Benteng Somba Opu.
Benteng Somba Opu
(tampak pintu bentengdan dinding sisi barat)
Benteng Somba Opu terletak di muara Sungai Jene' berang. Secara administratif terletak di Maccini Sombala, Kampung Sanrobone, Desa Bontoala, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa. Denah benteng berbentuk persegi empat. Ukuran panjang salah satu sisi ± 2 km. Sisa bangunan yang masih baik dan dapat memperlihatkan denah asli benteng terdapat pada bagian sisi barat. Rekonstruksi sisi barat benteng dapat diketahui bahwa benteng dibangun dari bahan batu bata dengan ukuran yang bervariasi serta sedikit batu pasir, terutama pada bagian pintu sebelah dalam. Tinggi tembok 7-8 meter, dengan ketebalan dinding rata-rata 12 kaki atau 300 cm. Ada empat bastion, tetapi yang tersisa dan direkonstruksi oleh SPSP Ujungpandang hanya I buah bastion.
Menurut sejarahnya, Benteng Somba Opu merupakan benteng induk yang berfungsi sebagai pusat pertahanan utama dan pusat pemerintahan kerajaan Gowa-Tallo. Dibangun atas perintah Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi Tumaparisi Kallonna. Selain benteng Somba Opu Raja Gowa IX juga merintis pembangunan benteng pengawal di antaranya Benteng `Penyua' atau sekarang lebih populer dengan Benteng Ujungpandang.
Benteng Ujungpandang
Benteng Ujungpandang terletak di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Ujungpandang, Kota Madya Ujungpandang. L.uas keseluhruhan areanya 21.252 meter persegi dan terdiri atas 15 bangunan.
Menurut sejarahnya, benteng ini juga dirintis oleh Raja Gowa IX Semula benteng berisi bangunan rumah Makassar dengan tiang-tiang kayu yang tinggi. Pem¬bangunan benteng diselesaikan pada tahun 1545 oleh raja Gowa X, / Manriogau Daeng Banto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng, sebagai benteng pertahanan pendamping kerajaan Gowa.
Benteng yang pada mulanya dibuat dari tanah liat ini mempunyai model tak ubahnya benteng-benteng Eropa abad ke-26 dan ke-17. Bentuk dasar benteng segi empat dan berarsitektur Portugis. Tonjolan-tonjolan tambahan pada model dasar segi empat melahirkan bentuk benteng yang menyerupai penyu. Bentuk penyu berhubungan dengan simbolisme kekuatan etnis Makassar, jaya di laut dan di darat, seperti halnya seekor penyu. Justru itu, naskah Lontarak menyebut benteng Penyua' (benteng penyu).
Area benteng ini seluas 2,5 hektar berdinding tertinggi 7 meter dan terendah 5 meter dengan ketebalan 2 meter, kemudian mengalami penyempurnaan, Di tahun 1635 Masehi, pada masa pemerintah Ian Sultan Alauddin, raja Gowa keempat belas, dinding benteng yang terbuat dari tanah liat diberi lapisan batu berbentuk segi empat dengan variasi ukuran berbeda.
Fungsi benteng Ujungpandang pada saat itu adalah benteng pengawal benteng induk, Somba Opu. Ketika kerajaan Gowa dikalahkan kompeni, melalui perjanjian Bongaya tahun 1667, benteng Ujungpandang beralih milik. Selanjutnya, benteng tersebut diubah namanya menjadi Fort Rotterdam yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan kompeni. Cornelis Janszoon Speelman (1666) sangat berperan dalam pengubahan nama ini. Belanda kemudian juga melaku¬kan perubahan struktur bangunan dan gaya Makassar menjadi bangunan yang berciri Eropa, gaya Gotik abad XVII.
Pada masa pendudukan Jepang (1942), benteng ini tidak lagi digunakan sesuai dengan fungsinya. Akibat kema¬juan teknologi, terutama di bidang komunikasi udara, benteng Ujungpandang dipandang kurang efektif untuk dijadikan benteng pertahanan Kemudian Jepang meng¬gunakannya sebagai pusat penelitian ilmiah bidang Bahasa dan pertanian.
Setelah kemerdekaan Indonesia benteng Ujungpandang menjadi tempat penampungan Belanda dan pengikutnya. Pada saat terjadi agresi militer kedua, benteng Ujungpandang difungsikan kembali menjadi benteng pertahanan dalam pertempuran tujuh hari antara pasukan KNIL dan TNI. Keadaan ini berlangsung hingga ditandatanganinya perjanjian penyerahan kembali kedaulatan RI tanggat 27 Desember 1949. Seusai perang benteng .ini berfungsi sebagai perumahan sipil dan militer.
Setelah pengosongan dan pemindahan 1500 jiwa pada tahun 1970, benteng Ujungpandang dipugar dan diperbaiki. Akhirnya, pada tanggal 21 April 1977, benteng Ujungpandang menjadi monumen sejarah yang dilindungi dan dijadikan Pusat Kebudayaan Sulawesi Selatan berdasarkan Surat KeputuSan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 14/A/1/1974.
Kini, benteng Ujungpandang dimanfaatkan sebagai kompleks perkantoran Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala, Balai Arkeologi, Dewan Kesenian Makassar, dan Museum Lagaligo yang disiapkan menampung berbagai koleksi yang dapat menunjang serta memberi informasi tentang benda cagar budaya kerajaan Gowa-¬Tallo khususnya, dan Sulawesi Selatan pada umumnya.
Penutup
Di area situs bekas kerajaan Gowa-Tallo terdapat enam jenis monumen peradaban penting yaitu, istana, mesjid, benteng, sumur, batu pelantikan, dan makam. Hampir semua berasal dari masa Islam, kecuali batu pallantikan. Hal ini bisa menjelaskan kepada kita perkernbangan kebudayaan etnis Makassar terutama dari periode masuknya Islam yang bisa memperkuat bukti-bukti tertulis yang sampai kepada kita.
Dari sisa peradaban tersebut,70% merupakan bangunan makam. Makam adalah rumah peristirahatan terakhir - manusia. Raja bagi masyarakat Makassar tidaklah di¬anggap mati, is hanya berpindah alam. Pandangan demikian menyebapkan raja yang telah wafat ditambah gelar "matinroe", artinya tidur . Justru itu di Makassar khususnya makam raja dibuat istimewa dan indah, seperti istana. Sampai sekarang makam dari tokoh-tokoh Gowa¬-Tallo masih menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjugi sepanjang tahun.
Sumber :
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia 1999/2000