Sejarah Besemah


1.1 Tradisi Megalitik dalam Lintasan Prasejarah
Timbulnya kebudayaan bersama-sama dengan adanya manusia pertama yang menggunakan akalnya. Sejarah kebudayaan meliputi waktu yang sama penjangnya dengan sejarah umat manusia, dari manusia yang pertama hingga waktu sekarang. Waktu yang panjang itu dalam sejarah manusia dibagi atas tiga zaman, yaitu zaman prasejarah, zaman protosejarah, dan zaman sejarah (Kherti, 1953:2).

Perkembangan budaya manusia pada masa prasejarah secara umum digambarkan berupa tahapan-tahapan yang memiliki-ciri tertentu. Budaya masyarakat prasejarah Indonesia dibagi menjadi tiga tingkatan penghidupan, yaitu pertama, masa berburu dan mengumpulkan makanan; masa bercocok tanam; dan tiga, masa kemahiran teknik (perundagian). Adanya tahapan perkembanganbudaya dengan cirri-ciri tertentu, kadangkala tidak ditemukan di semua wilayah. Beberapa wilayah di antaranya tidak memiliki temuan dari periode yang paling tua, tetapi memiliki tinggalan budaya yang lebih muda, seperti di Tanah Besemah kebudayaan prasejarah yang dilaluinya dalam bentuk kebudayaan Batu Besar (Megalitikum).

Para ahli memperkirakan budaya megalitik yang masuk .ke Indonesia melalui dua gelombang besar. Gelombang pertama, yang disebut megalitik tua, diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi, ditandai oleh pendirian monument-monumen batu seperti menhir, Undak batu, dan patung-patung simbolis-monumental. Gelombang kedua disebut sebagai megalitik muda yang direkirakan masuk ke Indonesia sekitar awal abad pertama sebelim Masehi hingga abad-abad pertama Masehi (Sartono, 1987:224). Monumen-monumen yang mewakili kelompok tinggalan Megalitik muda antra lain berupa monument peti kubur batu, dolmen dan sarkofagus.

Bangunan megalitikum tersebut hamper diseluruh kepulauan Indonesia. Bentuk banggunan kuno ini bermacam-macam dan meskipun sebuah bentuk berdiri sendiri ataupun beberapa merupakan satu kelompok. Maksud utama dari pendirian bangunan tersebut tidak luput dari latar belakang pemujaan nenek-moyang, dan pengharapan kesejahteraan bagi yang hidup, serta kesempurnaan bagi si mati (Poesponegoro, 1982:189). Banguan yang paling tua dengan bentuk tersebut dapat diduga umurnya secara nisbi (relaif). Bentuk-bentu tempat penguburan dapat berupa dolmen, peti kubur batu, bilik batu, dan lain-lain. Di tempat kuburan-kuburan semacam itu bisanya terdapat berbagai batu besar lainya sebagai pelengkap pemujaan nenek-moyang, seperti menhir, patung nenek-moyang, batu saji, batu lumping, batu lesung, batu batu damon, tenbok batu atau jaln yang berlapis batu.

Beberapa bentuk megalitik tadi mempunyai fungsi lain, misalnya dolmen, yang memiliki variasi bentuk yang tidak berfungsi sebagai kuburan, tetapi bentuk-bentuk yang menyerupai dolmen, dibuat untuk pelinggih roh atau persajian. Dolmen berfungsi sebagai pelinggih dikalangan masyarakat megalitik yang telah maju serta digunakan sebagai tempat duduk oleh kepala suku atau raja-raja, dan dipandang sebagai tempat keramat dalam melakukan pertemuan-pertemuan maupun upacara-upacara yang berhubungan dengan pemujaan arwah leluhur. Hal ini jelas sekali memperlihatkan suatu kepercayaan bahwa yang masih hidup dapat memperoleh berkah dari hubungan magis dengan nenek moyang memalui bagunan megalitik tersebut sebagai medium (Poesponegoro, 1982:196). Sebagai contoh, limping batu (lesung batu) dan batu dakon, sering didapatkan di lading atau sawah dan di pinggir-pinggir dusun, yang penempatannya mungkin bertujuan untuk mendapatkan kekuatan magis.

1.2 Megalik Besemah
Di Sumatera, bangunan megalitik terdapat di bagian selatan pulau tersebut, yang di dataran tinggi Tanah Besemah. Daerah ini terleak di antara Buki tBarisan dan Pegunungan Gumay, di lereng Gunung Dempo (3173 m). Peninggalan situs megalitik di daerah ini pernah dilaporkan oleh Ullman tahun 1850, Tombrink tahun 1870,Engelhard tahun 1891, Krom tahun 1918, Westernenk tahun 1922, dan Hoven tahun 1927, yang hamper semuanya beranggapan bahwa bangunan-bangunan tersebut merupakan peninggalan Hindu. Pada tahun 1929, van Eerde mengunjungi tempat tersebut, ia berbeda pendapat dengan angggapan-anggapan terdahulu. Van Eerde menyatakan, bahwa peninggalan megalitik di Besemah tidak pernah dipengaruhi oleh budaya Hindu, tetapi masih termasuk dalam jangkauan masa prasejarah. Bentuk megalitik tampak nyata pada peninggalan tersebut seperti pada menhir, dolmen, dan lain-lain. Kemudian van der Hoop melakukan penelitian yang lebih mendalam selama kurang lebih 7 bulan di Tanah Besemah, ia menghasilkan Publikasi lengkap tentang megalit di daerah tersebut. Publikasi ini sampai kini masaih sangat berharga bagi penelitian situs-situs megalit di Tanah Besemah. Van Heerkeren telah membuat ikhtisar tentang penemuan-penemuan megalitik di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan, sedangkan Peacock mencoba membahas megalit Besemah ini dari sudut pandang sejarah dan fungsinya dalam usaha penelahan kehdupan social masa lampau.

Namun yang pasti, di Tanah Besemah, Sumatera Selatan, pernah ada budaya yang hidup dan berkembang dalam lintasan prasejarah.Hal ini terbukti dengan banyaknya peninggalan budaya megalitik yang tersebar, misalnya di dusun Tegurwangi (batu beghibu dan lain-lain), gunungmigang (batu rang, batu kitap dan lain-lain), Gunung kaye (batu bupean / kubus dan batu pidaran/dakon), simpang pelajaran (batu pidaran, dan lain-lain), situs Muarapayang (batu perahu, peti kubur batu dan lain-lain), Tanjung-aghe (batu jeme dililit ulagh, peti kubur batu dan lain-lain), Talangtinggi Gunung Dempo (peti kubur batu), Keban-agung (batu jelapang), Belumay (batu nik kuanci dan peti kubur batu), Tebingtinggi, Lubukbuntak (batu jeme) Nanding (batu gung), Geramat Mulak Ulu (batu bercoret), Semende (batu tapak puyang awak), Pagaralam-Pagargunung (batu ghuse, batu bekatak, dan lain-lain), Kuteghayewe (batu gajah, peti kubur batu, batu kursi dan lain-lain), Pulaupanggung, Impit Bukit (batu jeme ngilik anak) Pajarbulan, Tanjungsakti (batu tiang/menhir), Genungkerte, Tanjungsakti (batu kawah), Baturancing (batu kebau tanduk runcing) dan lain-lain.

Peninggalan megalitik yang terdapat di Besemah terutama berupa menhir, dolmen, peti kubur batu, lesung serta patung-patung batu yang bergaya statis dan dinamis (Kherti, 1953:30). Menhir adalah sebuah batu tegak, yang sudah atau belum dikerjakan dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati orang yang telah mati. Benda tersebut dianggap sebagai medium penghormatan, menampung kedatangan roh sekaligus menjadi symbol dari orang-orang yang diperingati. Di Besemah ditemukan menhir berdiri tunggal atau berkelompok, membentuk formasi temugelang, persegi atau bujursangkar dan sering bersama-sama dengan bangunan lainnya, seperti dolmen, peti kubur batu atau lainnya. Di Karangdalam ditemukan menhir polos setinggi 1,6 meter, berdiri di atas undak batu. Di atas undak batu ini terdapat pula sebuah batu berlubang seperti batu lumping. Di dusun Tegurwangi, banyak ditemukan menhir polos dengan tinggi maksimal 1,5 meter di dekat dolmen, patung-patung dan peti kubur batu. Menhir yang lebih kecil setinggi 0,4 meter yang berdekatan dengan undak batu ditemukan di dusun Mingkik.

Menurut pengamatan van der Hoop, dolmen yang paling baik terdapat di Batucawang. Papan batunya berukuran 3 x 3 m dengan tebal 7 cm, terletak di atas 4 buah batu penunjang. Salah satu dolmen yang digalinya di Tegurwangi, diduga berisi tulang-tulang manusia, tetapi tulang dan benda-benda lain yang dianggap sebagai bekal kubur tidak ditemukan. Selain dolmen-dolmen, di daerah Besemah banyak ditemukan patung batu yang diduga merupakan patung manusia. Di antara dolmen-dolmen, terdapat juga dolmen yang papan batunya ditunjang oleh 6 buah batu tegak. Tradisi setempat menyatakan bahwa tempat ini merupakan pusat aktivitas upacara ritual pemujaan nenk moyang. Di daerah ini ditemukan juga dolmen bersama-sama menhir. Temuan-temuan lainnya terdapat di Pematang dan Pulaupanggung (Sekendal). Di dua tempat ini ditemukan palung batu. Daerah temuan lain adalah dusun Nanding, Tanjung-aghe, Pajarbulan (tempat ditemukannya dolmen dan menhir bersama dengan lesung batu, Gunungmigang, Tanjungsakti dan Pagardiwe (Kherti, 1953;30).

Kubur berundak adalah kuburan yang dibuat di atas sebuah bangunan berundak yang biasanya terdiri dari satu atau lebih undak-undak tanah, dengan tebing-tebing yang diperkuat dengan batu kali. Di dusun Mingkik ditemukan sebuah bangunan berundah dua, dengan tebing-tebing yang diprukuat dengan batu kali. Tinggi undak bawah 1,5 m dengan luas dataran berukuran 4 x 3,5 m. di dataran kedua didapatkan 2 buah batu tegak dengan sebuah batu kali berbentuk segi-empat. Di Karangdalam ditemukan bangunan batu berundak yang tiap datarannya dilapisi dengan papan batu dan banyak diantaranya belubang-lubang kecil. Di atas susunan batu berundak ini berdiri sebuah menhir setinggi 1,6 meter. Temuan di dusun Keban-agung yang mungkin berasal dari zaman yang lebih muda berupa sebuah kubur batu berundak dengan empat buah nisan yang diukir dengan pola daun (arabesk) dan pola burung. Nisan lainnya berbentuk manusia yang dipahat secar sederhana.

Peti kubur batu adalah kubur berupa sebuah peti yang dibentuk dari enam keping papan batu; terdiri dari dua sisi panjang, dua sisi lebar, sebuah lantai dan sebuah penutup peti. Papan-papan batu tersebut disusun secara langsung dalam lubang yang telah disiapkan terlebih dahulu. Peti kubur batu sebagian besar membujur dengan arah timur-barat. Temuan peti kubur batu yang paling penting terdapat di dusun Tegurwangi, sebuah daerah yang memang kaya dengan situs megalit seperti dolmen, menhir dan patung-patung.

Selain Van der Hoop, penelitain tentang peti kubur batu ini dilakukan juga oleh peneliti C.C. Batenberg dan C.W.p. de Bie. Van der hoop, sendiri telah meggali salah satu peti yang berada di Teguwangi, yang diagap peling besar di antara-antara peti kubur batu lainnya. Ia berhasil menemukan benda-benda yang penting yang diagaap sebagai bukti peninggal dari pendukung tradisi peti kubur batu. Pemukaan atas tutup peti kubur batu berada 25cm dibawah permukaan tanah, dan tutup peti kubur batu ini terdiri dari beberapa papan batu. Sela – sela antara batu – batu penutup dan antara penutup dengan peti tersebut disi dengan batu – batu kecil. Diantara papan – papan penutup, yang paling besar berukuran panjang 2,5m. lantai peti yang agak melambai dengan arah timur barat, terdiri dari 3 papan batu. Sisa – sisa tidak terdapat dalam peti – peti yang penuh dengan tanah dan pasir itu. Lapisan tanah selebar 20 cm dari atas peti, berisi temuan – temuan, sseperti 4 butir manik – manik merah berbentuk selindik, sebuah manik berwarna hijau transparan berbentuk heksagonal tangkup, sebuah paku emas berkepala bulat dan ujung yang tumpul, sebuah manik berwarna kuning keabu – abuan dua buah mekanik berwarna biru serta sebuah fragment perunggu selain itu masih ditemukan manik – manik dalam berbagai bentuk sebanyak 63 buah. Didalam peti kubur batu yang lainnya yang pernah dibuat oleh Batenburg, ditemukan beberapa buah manik – manik berwarna kuning dan sebuah mata tombak dari besi yang telah sangat berkarat.

Didalam peti kubur batu yang ditemukan oleh de Bie, terdapat sebuah lempengan perunggu berbentuk segiempatyang mengembung di bagian tengah. Selanjutnya de Bie menemukan peti kubur batu rangkap di tanjung-aghe yang terdiri dari dua ruang sejajar berdampingan, dipisahkan oleh dindingyang di lukis dengan warna-warna hitam, putih, merah, kuning, dan kelabu.lukisan ini menggambarkan manusia dan binatang yang distilir. Antra lain tampak gambar tangan dengan tiga jari, kepala kerbau dengan tanduknya, dan mata kerbau yang di gambarkan dengan lambang-lambangnya, mempunyai hubungan dengan konsepsi pemujaan nenek-moyang.

Temuan-temuan megalitik yang paling menarik di Tanah Besemah adalah arca-arca batu yang dinyatakan oleh von Heine Geldern bergaya “dinamis”. Arca-arca ini juga menggambarkan bentuk-bentuk binatang, seperti gajah, harimau, dan moyet. Kelihatan bentuk-bentuk arca yang membulat. Dapat ditfsirkan bahwapendukung budaya megalitik mekanikdi sini memilih bahannya sesuai dengan bentuk arca yang akan dipahat; kemudian pemahatan arca itu disesuaikan lagi dengan bentuk asli batunya. Plastisitas seni arca yang menonjol menandakan keahlian si pemahat. Sebagian besar arca-arca tersebut mewujudkan seorang lelaki bertutup kepala berbentuk topi baju, bermata bulat yang menonjol dengan dahi yang menjorong, yang semuanya memperlihatkan cirri ras Negrito. Arca-arca ini selanjutnya memakai gelang tangan dan karung, sedangkan pedang pendek yang lurus dan runcing tergantung di pinggang. Bagian kaki, dari betis sampai pergelangan kaki, tertutup oleh lilitan pembalut kaki. Kadang-kadang dipundak tampak “ponco”, yaitu selembar kaki penutup punggung, seperti yang bias dipakai oleh orang Amerika Latin.

Arca-arca ini tersebar di Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam, seperti Karangindah, Tinggiari Gumai, Tanjungsirih, Padang Gumay, Pagaralam, Tebatsementur (Tanjungtebat), Tanjunng Menang-Tengahpadang, Tanjungtebat, Pematang, Ayik Dingin, Tanjungberingin, Geramat Mulak Ulu, tebingtinggi-Lubukbuntak, Nanding, Batugajah (Kutaghaye Lame), Pulaupanggung (Sekendal),Gunungmigang, Tegurwangi, Airpur. Penemuan yang paling menarik adalah megalitik yang dinamakan “Batugajah”, yakni sebongka batu berbentuk bulat telur, berukuran panjang 2,17 m dan dipahat pada seluruh permukaannya. Bentuk batunya yang asli hamper tidak diubah, sedangkan pemahatan objek yang dimaksud disesuaikan dengan bentuk batunya. Namun, plastisitas pahatannya tampak indah sekali. Batu dipahat dalam wujud seekor gajah yang sedang melahirkan seekor binatang antara gajah dan babi-rusa, sedangkan pada ke dua bela sisinya dipahatkan dua orang laki-laki. Laki-laki sisi kiri gajah berjongkok sambil memegang telinga gajah, kepalanya dipalingkan ke belakang dan bertopi. Perhiasan berbentuk kalung besar yang melingkar pada lehernya,begitu pula pada betis tampak tujuh gelanng. Pada ikat pinggang yang lebar tampak pedang berhulu panjang, sedangkan sebuah nekara tergantung pada bahunya. Pada sisi lain (sisi kakan gajah)dipahatkan seorang laki-laki juga, hanya tidak memakai pedang. Pada pergelangan tangan kanan, terdapat gelang yang tebal, pada betis tampak 10 gelang kaki.

Temuan batu gajah dapat membatu usaha penentuan umur secara relative dengan gambar nekara itu sebagai petunjuk yang kuat, selain petunjuk-petunjuk lain seperti pedang yang mirip dengan belati Dong Son (Kherti, 1953:30), serta benda-benda hasil penggalian yang berupa perunggu (Besemah, gangse) dan manik-manik. Dari petunjuk-petunjuki diatas, para ahli berkesimpulan bahwa budaya megalitik di Sumatera Selatan, Khususnya di Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam, berlangsung pada masa perundagian; pada masa ini teknik pembuatan benda logam mulai berkembang. Sebuah nekara juga dipahatkan pada arca dari Airpuar. Arca ini melukiskan dua orang prajurit yang berhadp-hadapan, seorang memegang tali yang diikatkan pada hidung kerbau, dan orang yang satunya memegang tanduknya. Kepala serigala (anjing), tampak di bawah nekara perunggu tersebut.

Selain temuan-temuan di atas terdapat pula benda-benda migalitik berupa batu palung dan batu lesung. Batu palung adalah jambangan batu yang berbentuk panjang dengan sudut-sudut membulat. Jambangan ini fungsinya dipergunakan untuk menyimpan tulang-tulang manusia, seperti yang dilakukan di Nias. Batu-batu palung antara lain terdapat di Pajarbulan (Impit Bukit ), Gunungmigang, Tebatgunung, dusun Pagaralam, dan Pulaupanggung (Sekendal). Di beberapa tempat batu-batu palung tersebut, dibentuk seperti tubuh manusia, bahkan didekat Tebat Beluhu, sebuah palung dipahatkan bersama-sama dengan arca manusia, seolah-olah manusia tersebut memeluk palung. Arca tersebut berbentuk seperti arca-arca yang umumnya terdapat di daerah Besemah.

Batu lesung adalah sebungkah batu yang diberi lubang sebuah atau klebih, dengan diameter lubang dan dalam rata-rata 15 cm.permukaan batu yang rata dibagi dalam empat ruang oleh bingkai-bingkai. Kadang-kadang tiap ruang berlubang. Penduduk setempatmengatakan bahwa batu-batu tersebut pada zaman dahulu digunakan untuk menumbuk padi-padian. Batu lesung seperti ini ditemukan pada tempat-tempat kompleks bangunan megalitik. Di Besrmah, batu tersebut dinamakan batu lesung atau lesung batu, ditemukan antara lain di Tanjungsirih, Geramat (Mulak Ulu), Tanjung-aghe, Tebingtinggi, Lubukbuntak, Gunungmigang, danPajarbulan Impit Bukit.di luar daerah Besemah ditemukan pula peninggalan-peninggalan megalitik, yaiti di daerah Lampung, Baturaja, Muarakomering dan Pugungraharjo, antara lain berupa arca-arca nenek moyang, seperti yang ditemukan di Jawa Barat.

Selai situs-situs yang disebutkan diatas, pada tahun 1999-2002 Balai Arkeologi Palembang melakukan penelitian lanjutan di situs Muarapayang yang merupakan salah satu kompleks situs prasejarahdi Tanah Besemah. Temuan yang didapat berupa pecahan periuk, kendi tanah liat, fragmen keramik asing, tempayan kubur, kerangka manusia, alat-alat batu, bagunan megalitik, benteng tanah, makam puyang, dan sebagainya (Indriastuti, 2003:1). Situs Muarapayang sebagai salah satu situs pemukiman pra-sejarah telah dikenal sejak tahun 1932 oleh peneliti van der Hoop yang pernah menerbitkan buku berjudul “Megalitic Remain in South Sumatra”. dalam buku tersebut di uraikan tentang adanya penemuan sebuah dolmen di dusun Muarapayang. Informasi tentang tinggalan-tinggalan budaya dari situs Muarapayang tanpak nyata, seperti tinggalan berupa kompleks bagunan megalik, kompleks kubur tempayan, dan benteng tanah.

Kelanjutan tradisi megalitik pada umumnya masih ditempat-tempat lainnya di Indonesia yang berkembang dalam corak-corak local dan kondisi masa sekarang. Di Tanah Besemah yang telah beragama islam dan telah bayak menerima pengaruh budaya dari luar, agak sulit untuk menentukan kebiasaan-kebiasaan yang berasal dari zaman megalitik. Tetapi kadang-kadang nuasa tradisi prasejarah ini masih tampak nyata di tempat yang masih kuat tradisinya masih melekat beberapa aspek kehidupan.

1.3 Lukisan Purba di Besemah
Dalam bidang seni, tradisi megalitik di Besemah telah mengenal seni lukis yang berkualitas tinggi, baik dari segi bentuk maupun dari tata warna. Gaya naturalis serta gaya-gaya stilir telah muncul pada berbagai dinding kubur batunya yang dapat dilihat di situs megalitik Tanjung-aghe, megalitik Tegurwangi, dan megalitik Kutaghaye Lembak. Lukisan purba di dusun Tanjung-aghe ditemukan pertama kali oleh Van der Hoop (Hoop, 1932), sedangkan yang di dusun Tegurwangi dan dusun Kuteghaye Lembak ditemukan oleh penduduk sekitar tahun 1987. lukisan-lukisan tersebut mempunyai perpaduan warna yang menunjukkan bukti bahwa pembuatnya sudah mempunyai teknik yang berkualitas tinggi dalam penguasaan tata warna.

Menurut hasil analisis bentuk yang dilakukan Hoop, lukisan dari kubur batu Tanjung-aghe menggambarkan seorang manusia yang mengendarai seekor kerbau yang mengacu pada bentuk antropomorpik (bentuk manusia) dan bentuk fauna baik jenis kerbau maupun kera. Pada lukisan dari kubur batu Tegurwangi dan Kuteghaye Lembak, juga memiliki kualitas tinggi baik dipandang dari sudut estetika maupun symbol yang melatarbelakanginya. Tampaknya lukisan tersebut merupakan suatu pesan dari pelukisnya dalam bentuk symbol yang mengacu pada perilaku dan kehidupan religius masa itu. Analisis laboratories yang dilakukan oleh Samidi, dari Direktorat perlindungan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, berhasil mengungkapkan tentang bahan-bahan yang digunakan memakai warna hitam, merah, putih dan kuning. Warna merah dalam pada masa prasejarah telah menduduki tempat yang sangat penting. Warna merah telah banyak digunakan dalam upacara-upacara prosesi penguburan. Pada berbagai kubur dari masa prasejarah dalam gua maupun yang ditemukan di kyokkenmodinger (sampah kerang) sering dijumpai adapt menabur dengan warna merah. Tampaknya penggunaan warna cat dalam llukisan purba telah memiliki suatu makna dan kaidah yang sudah menjadi kesepakatan. Dalam berbagai pola luas pada masa purba atau sampai pada masa kini pun warna-warna tersebut masih tetap mempunyai arti tersendiri.

Objek-objek lukisan purba di Besemah di atas adalah manusia, fauna, flora, benda buatan manusia dan alam. Lukisan manusia digambarkan dengan susunan anatomi yang lengkap terdiri dari kepala, leher, badan, kaki dan berbagai anggota badan, seperti hidung, mata, mulut dan lain-lain secara lengkap. Walaupun demikian penggambaran tokoh manusia dibuat dalam proporsi yang tidak sebenarnya, antara lain posisi kepala terlalu e depan, sehingga objek lukisan seolah-olah bongkok. Demikian pula kadang-kadang badan terlalu gemuk dan leher pendek, penggambaran kaki seorang tokoh biasanya lebih pendek dibandingkan dengan anggota badan lainnya. Tokoh manusia banyak yang menunjukkan bentuk fisik seperti fisik orang Negro. Di dalam kkubur batu di dusun Tegurwangi, tokoh manusia ada yang digambarkan seperti seorang wanita dengan payudara yang besar. Tampaknya dalam bidang seni ada kesejajaran dalam tingkat keahlian antara seni lukis dan seni pahat. Hal ini tampak dari hasil pahatan dalam bentuk arca maupun dalam bentuk lukisan yang menghasilkan bentuk dan proporsi manusia yang hamper sama. Dalam seni lukis tokoh manusia juga di gambarkan dengan posisi bongkok dan dengan bibir lebar yang tebal.

Lukisan dalam bentuk binatang (fauna) terdiri dari binatang liar dan binatang-binatang yang telah dibudidayakan. Binatang liar, antara lain, adalah harimau (pengamatan Teguh Asmar), burung hantu (pengamatan Haris Sukendar), dan ular. Sedang binatang yang telah dibudidayakan, antara lain, lukisan kerbau. Lukisan binatang ini tampaknya erat sekali dengan pemahaman pendukung tradisi megalitik dengan lingkungan. Binatang yang menjadi objek lukisan terdapat di hutan belantara Besemah. Seperti juga pada tinggalan-tinggalan arca, maka lukisan purba Besemah mempunyai maksud yang hamper sama, yaitu bertujuan sebagai harapan terjadinya keakraban antara manusia dengan binatang hutan yang ganas. Kalau Hoop mendeskripsikan lukisan kerbau di dusun Tanjung-aghe menggambarkan seorang manusia mengendarai kerbau, sedangkan Teguh Asmar mendeskripsikan lukisan kerbau pada dinding pintu masuk salah satu kubur batu di Kute-ghaye. Selanjutnya, Asmar mengatakan bahwa kerbau dilukiskan kepala, leher, badan, seta kaki dengan penampilan yang tidak proporsional. Tanduknya hanya kelihatan satu, melengkung ke atas dan berwarna putih. Badannya begitu pendek diteruskan gambaran kaki kanannya yang memanjang kearah bawah, sedangkan kaki kirinya hanya tampak sampai separuh paha. Melihat bawahnya terlukis sebuah motif yang tidak jelas, karena warna lukisan banyak yang hilang. Kecuali tanduk dan selempang leher, kerbau diberi warna hitam dengan warna kontras putih (Asmar, 1990). Kemungkinan yang dikira Asmar kerbau itu adalah badak, karena “tanduk”nya satu dan melengkung ke atas dan badannya begitu pendek, serta mempunyai selempang leher.

Lukisan burung hantu merupakan lukisan yang indah di kubur batu Kute-ghaye. Walaupun indah, tetap menimbulkan perdebatan di antara arkeolog Hari Sukendar dengan Asmar. Hari Sukendar mengatakan bahwa lukisan itu menggambarkan burung hantu yang memiliki kuku panjang dan runcing, bagian muka (paruh dan mata) digambarkan secara jelas, sedangkan menurut Asmar bahwa binatang yang dimaksud adalah harimau. Tetapi menurut masyarakat setempat “burung hantu” tersebut adalah burung gerude (garuda). Selain lukisan “burung hantu” di dinding sebelah kiri, di dekat pintu masuk kubur batu adalah lukisan palak nage (kepala naga). Arca-arca dalam tradisi megalitik biasanya digunakan sebagai sarana untuk menjaga keselamatan, khususnya “keselamatan” si mati dalam mencapai dunia arwah.

Untung Sunaryo telah menemukan lukisan purba yang menggambarkan seperti serigala atau harimau dalam satu bidang dengan seorang objek lukisan manusia. Lukisan ini ditemukan tahun 1987 di kubur bilik batu Tegruwangi. Tetapi saying sekali, lukisan itu telah hilang. Dari pengamatan Haris Sukendar, lukisan fauna di megalitik Besemah dalam bentuk fisiknya dibagi menjadi dua bagian yaitu (1) Lukisan realistis, lukisan digambar sesuai dengan bentuk aslinya, seperti lukisan burung hantu, (2) Lukisan bersifat stilir, lukisan yang digambarkan dengan bentuk yang bergaya, tetapi mempunyai makna seperti objek aslinya, seperti lukisan kerbau di dusun Tanjung-aghe.

Seperti juga pada seni pahat, seni lukis kerbau ditemukan pada dinding kubur batu yang membuktikan bahwa kerbau telah dikenal dan dibudidayakan dalam tradisi megalitik di Besemah. Kerbau dalam tradisi megalitik ini menjadi binatang utama. Dalam berbagai upacara penting, kerbau selalu berperan yang digunakan sebagai binatang kurban yang disembelih baik untuk keperluan berkaitan dengan kepercayaan (belifs), yaitu sebagai kendaraan arwah ketika menuju alam arwah atau sebagai konsumsi manusia itu sendiri. Selain itu, kerbau juga merupakan symbol harkat dan martabat seseorang. Lukisan kerbau pada tradisi megalitik di Besemah menunjukkan bahwa masyarakatnya telah akrab dengan binatang ini.

Lukisan jenis flora ada yang dihubungkan dengan kesuburan atau hanya sekedar estetika. Objek lukisan flora dalam megalitik kebanyakan menggambarkan motif sulur atau jenis tanaman yang merambat (menjalar), lukisan dengan objek flora dalam kubur batu di Besemah mayoritas bermotif sulur. Bagaimana dengan pola-pola hias pada menhir di Besemah? Tampaknya masih terlalu sulit untuk mengetahui motif hias sulur dalam tradisi megalitik di Besemah sebagai estetika semata, karena belum diketahui makna religiusnya.

1.4 Megalitik Besemah dan Pengaruh Budaya Luar
Tampaknya dalam kurun waktu yang panjang ,memperlihatkan ada pekembangan kemajuan dalam tradisi megalitik. Arca megalitik besemah tampil begitu indah dan perhiasan tubuh (kalung dan gelang kaki) .arca mengalitik besemah telah mengakomodasikan segalah aspek yang bernilai tinggi yang datang dari luar . pahatan sudah menujukan keterampilan teknik yang mengandung unsur bermacan –macam budaya yang telah menyentu. Indikasi yang menujukan unsur-unsur budaya luar terletak pada berbagi bagian tubu serta pakaian dan hiasanya .Bagian bagian yang menujukan pengaruh budaya luar dapat di lihat pada bagian tutup kepala ,bentuk fiik tubuh ,perlengkap pakain ,dan pakainnya .hal ini dapat di lihat seperti pada pahatan sebagi berikut.

1.Pada seni pahat Besemah muncul gejalah pengaruh budaya Eropa (yunani) seperti dalam pahatan (goresan)di situs mengelitik Tegurwangi Lame terdapat took-toko yang di gambarkan dengan tutup kepala yang berumbai-rumbai dan hiasan dalm bentuk bulatan-bulata yang menyerupai perlengkapan pakaian seradut Romewi.

2.Pada acara –acara megalit Besemah di pulaupagung (Sekendal ),Tajungsiri, Muaradue gumay ulu ,dan lain- lain tertdapat pahatan yang menggambarkan pakaian ponco yang di gunakan oleh suku-suku bangsa di Amerika.Sementara pada bagian kaki ,ada pahatan–pahatan yang menggambarkan penutup kaki yang oleh R.P Soejono dikatakan kaos kaki.

3.Arca-arca megalitik di Besemah banyak yang digambarkan mengenakan pelengkap pakaian, seperti adanya pahatan nekara perunggu, belati atau pedang. Pahatan ini menggambarkan alat-alat kelengkapan hidup yang pada awalnya dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di daerah Dong-son, Vietnam (Soejono, 1982-1983;Gildern, 1945).

4.Teguh Asmar menyatakan adanya pengaruh luar khususnya dari segi bentuk tubuh (fisik) arca-arca megalitik yang seolah-olah menggambarkan bentuk prototif orang Negro, dengan ciri-ciri hidung pesek dan bibir tebal. Dalam temuan terakhir di situs Kute-ghaye, ada arca yang dipahatkan berambut keriting yang digambarkan dengan bentuk melingkar.

5.Sementara peneliti Ullman, Westenenk, Tombrink, dan lain-lain, cenderung mengatakan arca-arca megalitik Besemah dipengaruhi budaya India. Mereka menyatakan bahwa peninggalan itu dipengaruhi oleh budaya Hindu (Ullman 1850, Westenenk, 1921, Tombrink 1872).

6.Temuan lukisan kepala naga pada dinding kubur batu di Kute-ghaye menunjukkan pengaruh budaya Cina. Oleh van Heekeren mengatakan kubur-kubur batu yang monumental di dusun Kute-ghaye diduga berasal dari Cina.

Dari pendapat-pendapat di atas, menyatakan bahwa hasil budaya megalitik di Besemah sudah berhubungan dengan budaya luar dengan tingkat akulturasi yang sangat kompleks. Hal itu menandakan bahwa pendukung budaya megalitik Besemah sudah menguasai pengetahuan yang sangat tinggi yang dapat menyaring dan menyeleksi budaya luar yang baik dan benar.

Ciri-ciri pahatan megalitik Besemah yang menunjukkan tanda-tanda masuknya budaya luar, sudah menunjukkan pola pikir nenek moyang pada dataran tersebut begitu fleksibel. Mereka menganggap masuknya unsur-unsur asing tidak akan melenyapkan budaya terdahulu (asli), tetapi justru masuknya budaya asing dipandang sebagai unsur yang dapat memperkaya budaya sendiri. Sikap toleran ini sangat mempengaruhi hasil cipta (karya), rasa, dan karsa (budaya) nenek moyang. Hal ini dapat dibuktikan dengan tampilnya budaya material dalam bentuk megalitik yang sangat dinamis, yang berhasil menampilkan peninggalan budaya Batu Besar yang sangat unik, langka, dan penuh dengan kreasi-kreasi baru yang keluar dari lingkungan lama yang statis.

Selain ditemukan arca megalitik dinamis yang mengandung kebebasan bagi pemahatnya, ditemukan pula arca statis yang pada intinya mencerminkan budaya lama yang sulit berubah. Arca Muaradue dan Mingkik merupakan contoh situs megalitik yang masih asli belum memperoleh pengaruh-pengaruh luar yang datang kemudian. Bentuk arca Muaradue masih sederhana yang dapat dikelompokkan ke dalam jenis menhir. Arca semacam ini banyak digunakan dan berkaitan dengan penguburan. Berhubung ditancapkan ke dalam tanah, bagian bawah arca tidak diberi kaki. Arca statis yang ditemukan di dusun Mingkik ini belum diketahui untuk tanda kubur atau tidak, karena tanda-tanda ada penguburan pada lokasi berdirinya arca batu belum ditemukan.

1.5 Pendukung Budaya Megalitik Besemah
Kalau berbicara mengenai kebudayaan Megalitikum di Tanah Besemah, kita masih menyisakan pertanyaan apakah benar pendukung budaya batu besar adalah nenek moyang orang besemah sekarang ini?. Atau dengan kata lain apakah ada keterkaitan dengan asal-usul orang Besemah?.

Teguh Asmar, seorang peneliti megalitik telah mencoba mengadakan penelitian terhadap pendukkung megalitik. Berdasarkan bentuk fisik arca-arca Besemah serta lukisan-lukisan pada dinding kubur batu, Asmar mengambil kesimpulan bahwa nenek-moyang pendukung megalitik Besemah adalah dari ras negroid. Alasannya didasari oleh bentuk-bentuk dan cirri-ciri fisik arca Besemah yang, antara lain, berbibir tebal dan hidung pesek. Ia mengatakan bahwa tentunya pendukung megalitik Besemah paling tidak mempunyai cirri yang menyerupai bentuk yang digambarkan pada arca megalitik maupun lukisan-lukisan pada dinding kubur batu.

Bentuk-bentuk fisik dari tokoh-tokoh yang digambarkan pada kubur batu adalah pendek dan dengan bagian tubuh yang besar kandal (tambun). Apa yang tampak pada cirri-ciri fisik arca megalitik Besemah merupakan penggambaran nyata dari bentuk fisik pendukung tradisi megalitik. Walaupun pendapat Teguh Asmar belum memperoleh pembuktian yang otentik tetapi hal ini merupakan sumbangan pemikiran yang bermanfaat dalam usaha mengungkapkan dari ras mana penduduk Besemah masa lalu. Namun menurut penulis, gambaran mengenai cirri-ciri fisik patung seperti yang digambarkan Teguh Asmar tersebut, hamper dapat dikatakan tidak sesuai dengan ciri-ciri fisik orang Besemah yang hidup sekarang ini.

Sedangkan Koentjaraningrat (1979:1-17) menyatakan dalam teori mengenai persebaran penduduk manusia prasejarh, ia tidak menyebut sedikit pun mengenai asal-usul suku Besemah, yang dibicarakan adalah orang Irian, Kalimatan, Sulawesi, Flores, dan beberapa suku lainnya.

Selanjutnya pendapat Surdjanto Puspowardoyo tentang latar belakang benda-benda peninggalan masa lalu yang menyatakan bahwa hasil budaya manusia mengandung nilai-nilai simbolik yang harus diterjemahkan dan diungkapkan peneliti secara signifikan (Kusumawati, 2003:170-171). Sebagai contoh gambar cap tangan pada dinding gua dan ceruk di Indonesia bukan hanya bertujuan untuk memperoleh nilai ektetika seni, tetapi menurut van Heekeren, menggambarkan perjalaan arwah yang meraba-raba mencari jalan yang menuju kea lam arwah. Berangkat dari pendapat ini maka dalam mengungkapkan siapa dan dari ras mana nenek-moyang pendukung megalitik Besemah harus dicari pula menurut nilai-nila simbolok di belakang cap tangan tersebut.

Menariknya, kesimpulan para pakar bahwa pencipta tradisi megalitik Besemah terdiri dari dua latar belakang kebudayaan. Latar belakang budaya yang lebih awal menciptakan bentuk menhir, dolmen, serta arcatambaon primitif; dan yang berlatarbelakang kebudayan mengngelombang kedua, kemungkinan datang dari daratan Timur Asia tahun 200 sebelum masehi sampe 100 sebelum masehi (Hanafiah,2000:x).Kelompok yang terakhir ini,menurut Robert Heine-Geldern,ermasuk melahirkan budaya pahat patung khas seni Besemah dan stone cist grave (peti buku kubur).

Beberapa arca menunjukan adanya karakteristik dari kedua kelompok tersebut.kedua gaya itu dapat bertemu dan melembur di Besemah. Dapat di mengerti bahwa beberapa monument dari gaya yang lebih tua masih dapat di ciptakan pada periode yang sama pada perkembangan zaman pahat patung perunggu.Gambaran itu dapat dengan jelas pada arca batu gaja,yang dulu berada di dekat Lapangan Merdeka (Alun-alun Kota Pagaralam),tepatnya di tempat yang sekarang berdiri”Gedoeng Joeang’45” dan Masjid Taqwa Kata Pagaralam. Arca ini menampilkan gajah yang duduk,ditunggangi oleh seorang pahlawan yang digambarkan memakai kalung perunggu dengan pedang besar panjang serta gederang perunggu di punggungnya.Barang kali arca batu gajah merupakan suatu gambaran bahwa nenek-moyang orang Besemah adalah pejuang dan pahlawan.jika di kaitkan dengan kegigihan dan keberanian pejuang-pejuang Besemah pada waktu perang di Benteng penandingan,Benteng Menteralam,Benteng Tebatseghut,dan lain-lain gambaran di atas bener adanya.

Arca biasanya menggabarkan atau mengabadikan seorang tokoh yang dianggap memiliki kekuatan seorang dewa.pada candi-candi Hindu terdapat arca-arca yang mengambarkan dewa Ciwa,Brahma dan wisnu.Arca Ciwa,misalnya kadang digambarkan dengan tangan yang banyak dan dewa yang berkepala bamyak mempunyai latar belakang yang simbolek.Demilian juga pada arca-arca di Besemah memiliki makna sebagai symbol.kebiasaan pada masa prasejarah biasanya sangat mengagungkan nenek-moyangnya dan mempersentasikanya dalam bentuk arca-arca nenek moyang’sebagai usaha anak-cucunya yang ingin mengabadikan leluhurnya agar selalu dikenang.Jadi,berdasarkan pendapat diatas,dapat dikatakan bahwa kaitan pendukung migalitik di Tanah Besemah dengan nenek moyang jeme Besemah sekarang ini perlu pengkajian dan penelitian yang lebih mendalan lagi.

Suku Basemah Selayang Pandang
2.1Letak Geografis dan Alam
Daerah Besemah terletak di kaki Bukit Barisan. Daerahnya meluas dari lereng-lereng Gunung Dempo ke selatan sampai ke Ulu sungai Ogan ( Kisam ), ke barat sampai Ulu alas ( Besemah Ulu Alas ), ke utara sampai ke Ulu Musi Besemah ( Ayik Keghuh ),dan ke arah timur sampai Bukit Pancing, Pada masa Lampik Empat Merdike Due, daerah Besemah sudah dibagi atas Besemah Libagh, Besemah Ulu Lintang, Besemah Ulu Manak, dan Besemah Ayik Keghuh. Meskipun nama-namanya berbeda, namun penduduknya mempuyai hubungan atau ikatan kekerabatan yang kuat ( genealogis )

Daerah Besemah merupakan dataran tinggi dan pegunungan yang bergelombang. Ketinggian wilayah sangat bervariasi, dari ketinggian sekitar 441 meter dpl ( diatas permukaan laut ) sampai dengan 3.000-an meter lebih dpl. Daerah dataran tinggi 441 meter samapi dengan 1.000 meter dpl, sedangkan daerah berbukit dan bergunung ( bagian pegunungan ) berada pada ketinggian di atas 1.000 meter hingga 3.000 meter lebih dpl. Titik tertinggi adalah 3.173 meter dpl, yaitu puncak Gunung Dempo ( Bos, 1947:35 ), yang sekaligus merupakan gunung tertinggi di Sumatera Selatan. Daerah Gunung Dempo dengan lereng-lerengnya pada sisi timur dan tenggara mencakup 58,19 % dari luas wilayah Kota Pagar Alam sekarang yang 633,66 hektar ( Bappeda, 2003 : 7-12 ).

Bukit dan gunung yang terpenting di wilayah Kota Pagar Alam, antara lain adalah Gunung Dempo ( 3.173 m), Gunung Patah, ( 2.817 m ), Bukit Raje Mendare, Bukit Candi, Bukit Ambung Beras, Bukit Tungku Tige ( Tungku Tiga ), dan Bukit Lentur. Bagian wilayah kota yang marupakan dataran tinggi, terutama bagian timur, umumnya disebut “ Tengah Padang”. Daerah pusat Kota Pagar Alam yang meliputi kecamatan Pagaralam Utara dan Kecamatan Pagaralam Selatan atau wilayah bekas Marga Sumbay Besak suku alundue terletak pada ketinggian rata-rata 600 samapai 3.173 meter dpl.

Daerah Besemah dialiri sejumlah sungai. Satu diantaranya adalah sungai Besemah ( Ayik Besemah ). Pada zaman dahulu, keadaan alamnya sangat sulit dilewati, menyebabkan daerah ini jarang didatangi oleh Sultan Palembang atau wakil-wakilnya ( raban dan jenang ). Kondisi alam yang cukup berat ini menyebabkan sulitnya pasukan Belanda melakukan ekspedisi-ekspedisi militer untuk memadamkan gerakan pelawanan orang Besemah.

Mengenai keadaan alam Besemah pada permulaan abad ke-19, menurut pendatang Belanda dari karangan van Rees tahun 1870 melukiskan.

Sampai dengan tahun 1866 ada rakyat yang mendiami perbukitan yang sulit di datangi di sebalah tenggara Bukit Barisan yang tidak pernah menundukkan kepalanya kepada tetangga walaupun sukunya lebih besar. Walau hanya terdiri dari beberapa suku saja, mereka menanamkan dirinya rakyat bebas merdeka. Dari barat daya sulit ditembus oleh orang-orang Bengkulu, dari tiga sudut lain dipagari oleh gunung-gunung yang menjulang tinggi dan ditutupi oleh hutan rimba yang lebat dan luas di daerah pedalaman Palembang .

2.2 Asal-usul, Kepercayaan, dan Mata Pencarian
Sampai sekarang masih belum jelas dari mana sebenarnya asal-usul suku Besemah. Apakah teori-teori tentang perpindahan penduduk yang diikuti sekarang berlaku juga bagi suku Besemah, masih diliputi kabut rahasia. Namun yang jelas, jauh ( berabad-abad ) sebelum hadirnya mitos Atung Bungsu, di Tanah Besemah, di lereng Gunung Dempo dan daerah sekitarnya, telah ada masyarakat yang memiliki kebudayaan ( tradisi megalitik ) sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu dan bukti-bukti budaya megalitik di Tanah Besemah itu sampai sekarang masih ada. Tetapi permasalahannya, apakah jeme Besemah sekarang ini adalah keturunan dari pendukung budaya megalitik tersebut ?

Menurut Ahad, juraytue puyang Kedung Gunung Samat di Rempasay bahwa sebelum kedatangan Atung Bungsu ke daerah di sekitar Gunung Dempo, telah datang bergelombang dan berturut-turut suku-suku atau bangsa-bangsa itu adalah jeme Kam-kam, jeme Nik dan jeme Nuk, jeme Ducung, jeme Aking,dan jeme Rebakau, jeme Sebakas ; jeme Rejang dan jeme Berige. Pada masa tanah di sekitar Gunung Dempo diduduki oleh jeme Rejang dan jeme Berige, datanglah Atung Bungsu.

Dari cerita orang tua (jeme- jeme tue ), secara fisik jeme Nik dan jeme Nuk memiliki badan yang tinggi besar, hidung mancung, dan kulit putih kemerahan. Jeme Ducung perawakan tubuknya kecil, pendek tetapi memiliki kelincahan. Jeme Aking juga tinggi besar, kekar, kulitnya merah keputihan, dan memiliki pendirian yang keras. Jeme Rebakau berperawakan sedang, dan jeme Sebakas postur tubuhnya seperti orang-orang Melayu sekarang. Demikian pula jeme Rejang dan jeme Berige tidak jauh beda dengan jeme Sebakas. Ahad mengatakan bahwa orang Besemah sekarang diperkirakan merupakan keturunan dari berbagai suku-suku diatas, namun keturunan yang paling dominant berasal dari puyang Atung Bungsu.

Menurut cerita rakyat di Besemah, Atung Bungsu datang ke Besemah pada saat tempat ini sudah di diami oleh suku Rejang dan Berige. Ia sampai berdialog dengan salah seorang pimpinan suku Rejang yang bernama Ratu Rambut Selaku dari Lubuk Umbay yang masing-masing merasa berhak atas Tanah Besemah. Mulai sumpah, akhirnya Ratu Rambut Selake mengakui bahwa yang lebih berhak adalah Atung Bungsu. Ucapan Atung Bungsu itu kira-kira sebagai berikut, “Jikalau bulak, jikalau buhung, tanah ini aku punye, binaselah anak cucungku”.

Sedangkan M.Zoem Derahap, yang dijuluki Pak Gasak, dusun Negeri Kaye, Tanjung Sakti, bercerita bahwa rakyat Lubuk Umbay yang dipimpin Ratu Rambut Selake setelah mengakui Tanah Besemah milik Atung Bungsu mereka lalu diberi kedudukan sebagai Sumbay dalam Jagat Besemah, tetapi tidak masuk dalam system pemerintahan Lampik Empat Merdike Due. Sumbay mereka itu dinamakan Sumbay Lubuk Umbay.

Sebagai masyarakat Besemah percaya bahwa kedatangan Atung Bungsu itu bersama Diwe Semidang (Puyang Serunting Sakti) dan Diwe Gumay. Diwe Gumay menetap di Bukit Seguntang Palembang, sedangkan Diwe Semidang pada mulanya juga tinggal di Bukit Seguntang, lalu pagi menjelajah sembilan batanghari sampai akhirnya menetap di suatu tempat yang disebut Padang Langgar (Pelangkeniday). Keturunan kesebelas dari Diwe Gumay, yaitu Puyang Panjang sebagai Juray Kebalik-an baru menetap dibagian ilir Tanah Besemah, yaitu di Balai Buntar ( Lubuksempang).

Selain cerita rakyat yang tetap hidup dan berkembang di Besemah, mengenai asal- usul suku Besemah, seorang pengelana bangsa Inggris, E.Presgrave, yang mengunjungi daerah Besemah, memberikan cerita dalam The Journal Of The Indian Archipelago (Harian dari Kumpulan India) sebagai berikut (Gramberg, 1867:351-352).

“….., sewaktu kerajaan Majapahit runtuh, seorang kakak laki-laki dan seorang adik perempuan dengan banyak pengikut, telah meninggalkan Majapahit dan mendarat di Pantai Timur Sumatera. Adik perempuannya menempatkan dirinya di Palembang, dimana ia dalam waktu singkat telah menjadi ratu yang terpandang ; kakaknya (Atung Bungsu), yang lebih jauh masuk ke pedalaman, menetapkan diri di Lembah dari Passumah yang subur. Dengan demikian tanah ini diduduki dan dihuni para pendatang ini.

Mitos atau cerita mengenai Puyang Atung Bungsu terdapat beberapa versi yang diantara lain dapat kita baca dalam “Soerat Assal Oerang Mendjadikan Djagat Passumah” dengan kode ML 608 (BR.157.VIII) dan kode ML 234 yang ada di perpustakaan Museum Nasional, Jakarta. Sumber dengan kode ML 234 ditulis oleh Muhammad Arif dari dusun Benuakeling tanggal 28 November 1898 yang disalinnya dari suatu kitab orang dusun Tanahpilih, Marga Sumbay Ulu Lurah Benuakeling, yaitu Pangeran Samadil. Sumber data ini, sebelumnya disalin kembali oleh Muhammad Tayib yang pernah magang di kantor Kontrolir dari Bandar tanggal 25 Januari 1889. Jadi, sumber ini sudah disalin beberapa kali. Sumber aslinya dalam bentuk huruf Arab Gundul (Surat Melayu) yang kemudian ditulis dalam bentuk huruf latin.

Adalagi sumber yang ditulis oleh A. Grozali Mengkerin, juga dari dusun Benuakeling yang berjudul “Benuakeling Puting Jagat Besemah”. Selanjutnya ada lagi versi lain, misalnya yang ditulis oleh Musa dari dusun Muara Siban, M.S. Panggarbesi, Abdullah (Bedul) dusun Gelungsakti, dan beberapa tulisan lainnya. Cerita tentang Puyang Atung Bungsu ini banyak dibumbui dengan cerita-cerita yang berbau mistik, irrasional dan sulit diterima oleh akal sehat. Pada umumnya cerita tentang Atung Bungsu ini terdapat persamaan, bahwa tokoh ini berasal dari Kerajaan Majapahit dan dua orang anaknya, Bujang Jawe (Bergelar Puyang Diwate) dan Riye Rekian. Atung Bungsu dan keturunannya dianggap genre yang menjadikan “Jagat Besemah”. Konon, menurut cerita, kata “Besemah” berasal dari cerita istri Atung Bungsu yang Bernama Putri Senantan Buwih (anak Ratu Benuakeling) yang ketika sedang mencuci beras di sungai, bakul berasnya dimasuki ikan semah (ML, 608:5).

Salah seorang keturunan Bujang Jawe (Puyang Diwate) bernama puyang Mandulake (Mandulike) yang berputra lima orang, yaitu (1) Puyang Sake Semenung atau Semanung (menjadikan anak keturunan Pagargunung), (2) Puyang Sake Sepadi, melalui anaknya Singe Bekkurung yang bertempat tinggal di dusun Benuakeling menjadikan Marga Tanjung Ghaye, Sumbay Ulu Lurah, Sumbay Besak, Sumbay Mangku Anum, dan Sumbay Penjalang, (3) Puyang Sake Seratus menjadikan anak keturunan Bayuran (Kisam), (4) Puyang Sake Seketi (mati bujang, tidak ada keturunan). Puyang Singe Bekurung mempunya anak Puyang Pedane. Puyang Pedane beranak Puyang Tanjung Lematang. Puyang ini kemudian beranak tiga orang, yaitu Puyang Riye Lisi, Riye Ugian, dan Riye Lasam. Puyang Riye Lisi pindah ke Kikim menjadikan anak Merge Penjalang di Besemah Libagh, dan Puyang Riye Lasam menjadikan keturunan Sumbay Ulu Lurah.

Tentang asal-usul suku Besemah, versi lalin menceritakan bahwa ada seorang “Wali Tua” dari salah satu anggota keluarga Kerajaan Majapahit berangkat ke Palembang, kemudian kawin dengan Putri (anak) Raja Iskandar yang menjadi Raja Palembang. Salah satu keturunan inilah yang bernama Atung Bungsu yang pada suatu ketika berperahu menyelusuri sungai Lematang dan akhirnya sampai di sungai yang belum diketahui namanya, tempatnya menetap dinamakan Benuakeling . Di sungai itu, Atung Bungsu melihat banyak ikan semah yang mengerumuni bekas-bekas makanan yang dibuang ke sungai. Atung Bungsu menceritakan kepada istrinya bahwa di sungai banyak ikan semah-nya. Konon katanya, nama ikan inilah yang menjadi cikal-bakal asal-usul nama “Besemah” yang artinya “sungai yang ada ikan seah-nya”. Sungai itulah yang sampai sekarang dikenal dengan nama Ayik Besemah diantara dusung Karanganyar dengan dusun Tebatgunung Baru sekarang. Jadi, ada beberapa versi cerita mengenai ikan semah sebagai asal nama Besemah, di antaranya versi Atung Bungsu dan versi Senantan Buih.

Sumber : http://www.pagaralam.go.id