Sejarah Kabupaten Karo Sumatera Utara

Perundingan Renville
Sesudah pertempuran di Medan Area, Kabanjahe, Samura, Seberaya,Sukanalu, Suka, Barus Jahe, Sarinembah, Tiga Binanga dan beberapa tempat di Tanah Karo, maka Belanda dapat menguasai sebahagian Tanah Karo.

Tetapi keinginan Belanda untuk menguasai seluruh Tanah Karo, tetap tidak berhasil karena pertahanan yang dibuat Resimen I di Sungai (Lau Lisang), tidak dapat ditembus oleh serdadu-serdadu Belanda. Pertahanan ini sangat menguntungkan Resimen I, terletak di belakang jembatan Lau Lisang yang telah dirusakkan. Meskipun dengan persenjataan yagn serba kurang, namun akibat faktor alam yagn mendukung, memberikan kemungkinan untuk bertahan dengan baik. Di sungai Lau Lisang inilah garis pertahanan pertama dan terdepan pada waktu itu hingga berakhirnya Agressi I, tetap dapat dikuasai. Lalu terdengar kabar tentang diadakannya perundingan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda di atas kapal USA Renville di Tanjung Priok-Jakarta yang diprakarsai oleh Dewan Keamanan PBB. Perundingan yagn terkenal dengan Perundingan Renville itu ditanda tangani pada tanggal 17 Januari 1948, jam 15.00 sore, dimana pihak Indonesia menerima garis “Van Mook”. Garis yagn ditentukan oleh Gubernur Jenderal Belanda Van Mook.

Konsekuensi dari perundingan Renville ini adalah; bahwa semua pasukan Indonesia yagn berada dalam “Kantong-kantong” (yang ditentukan oleh garis Van Mook) harus keluar (hijrah) ke daerah yang masih dikuasai Republik Indonesia.

Di Sumatera Utara, garis damarkasi dimulai dari Gebang di Langkat sampai ke Lau Pakam (Perbatasan Tanah Karo-Aceh) menyusur Sungai Renun ke Lau Patundal (Perbatasan Tanah Karo-Dairi), ke Ajibata di tepi Danau Toba menyusur Pantai Danau Toba ke Parapat (masuk kekuasaan Belanda),ke Simpang Bolon terus ke Gunung Melayu, menyusur Sungai Asahan sampai ke Laut.

Dengan demikian semua Pasukan di daerah Tanah Karo, Deli Serdang, Simalungun, dan Asahan harus dikosongkan oleh TRI dan lasykar-lasykar, mereka harus hijrah ke daerah Aceh atau Tapanuli Utara, Labuhan Batu atau Tapanuli Selatan. Hanya TRI dan lasykar yagn berada di daerah Tanah Karo saja yang terpaksa mengundurkan diri. Resimen I Divisi X di bawah Letkol Djamin Ginting telah terlebih dahulu hijrah ke Lembah Alas di Aceh, sedangkan Resimen Napindo Halilintar di bawah Mayor Selamat Ginting ke Sidikalang-Dairi bersama dengan Pasukan Barisan Harimau Liar (BHL) di bawah Pimpinan Saragih Ras dan Payung Bangun.

Daerah Simalungun dan Asahan, sebelumnya sudah dikosongkan oleh TRI dan Pasukan-pasukan lain, mereka telah berada di daerah Tapanuli dan Labuhan Batu.

Agresi I Militer Belanda
Kabar-kabar angin bahwa Belanda akan melancarkan agresi I militernya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia kian semakin santer, puncaknya, pagi tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan ke seluruh sektor pertempuran Medan Area. Serangan ini mereka namakan “Polisionel Actie” yang sebenarnya suatu agresi militer terhadap Republik Indonesia yang usianya baru mendekati 2 tahun.

Pada waktu kejadian itu Wakil Presiden Muhammad Hatta berada di Pematang Siantar dalam rencana perjalanannya ke Banda Aceh. Di Pematang Siantar beliau mengadakan rapat dengan Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan. Dilanjutkan pada tanggal 23 Juli 1947 di Tebing Tinggi. Pada arahannya dengan para pemimpin-pemimpin perjuangan, wakil presiden memberikan semangat untuk terus bergelora melawan musuh dan memberi petunjuk dan arahan menghadapi agresi Belanda yang sudah dilancarkan 2 hari sebelumnya. Namun Wakil Presiden membatalkan perjalanan ke Aceh dan memutuskan kembali ke Bukit Tinggi, setalah mendengar jatuhnya Tebing Tinggi, pada tanggal 28 Juli 1947. Perjalanan Wakil Presiden berlangsung di tengah berkecamuknya pertempuran akibat adanya serangan-serangan dari pasukan Belanda.

Rute yang dilalui Wakil Presiden adalah Berastagi-Merek-Sidikalang-Siborong-borong-Sibolga-Padang Sidempuan dan Bukit Tinggi. Di Berastagi, Wakil Presiden masih sempat mengadakan resepsi kecil ditemani Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan, Bupati Karo Rakutta Sembiring dan dihadiri Komandan Resimen I Letkol Djamin Ginting’s, Komandan Laskar Rakyat Napindo Halilintar Mayor Selamat Ginting, Komandan Laskar Rakyat Barisan Harimau Liar (BHL) Payung Bangun dan para pejuang lainnya, di penginapan beliau Grand Hotel Berastagi. Dalam pertemuan itu wakil presiden memberi penjelasan tentang situasi negara secara umum dan situasi khusus serta hal-hal yang akan dihadapi Bangsa Indonesia pada masa-masa yang akan datang.

Selesai memberi petunjuk, kepada beliau ditanyakan kiranya ingin kemana, sehubungan dengan serangan Belanda yang sudah menduduki Pematang Siantar dan akan menduduki Kabanjahe dan Berastagi. Wakil Presiden selanjutnya melakukan: “Jika keadaan masih memungkinkan, saya harap supaya saudara-saudara usahakan, supaya saya dapat ke Bukit Tinggi untuk memimpin perjuangan kita dari Pusat Sumatera”.

Setelah wakil presiden mengambil keputusan untuk berangkat ke Bukit Tinggi via Merek, segera Komandan Resimen I, Komandan Napindo Halilintar dan Komandan BHL, menyiapkan Pasukan pengaman. Mengingat daerah yang dilalui adalah persimpangan Merek, sudah dianggap dalam keadaan sangat berbahaya.

Apabila Belanda dapat merebut pertahanan kita di Seribu Dolok, maka Belanda akan dengan mudah dapat mencapai Merek, oleh sebab itu kompi markas dan sisa-sisa pecahan pasukan yang datang dari Binjai, siang harinya lebih dahulu dikirim ke Merek. Komandan Resimen I Letkol Djamin, memutuskan, memerlukan Pengawalan dan pengamanan wakil presiden, maka ditetapkan satu pleton dari Batalyon II TRI Resimen I untuk memperkuat pertahanan di sekitar gunung Sipiso-piso yang menghadap ke Seribu Dolok, oleh Napindo Halilintar ditetapkan pasukan Kapten Pala Bangun dan Kapten Bangsi Sembiring.

Sesudah persiapan rampung seluruhnya selesai makan sahur, waktu itu kebetulan bulan puasa, berangkatlah wakil presiden dan rombongan antara lain: Wangsa Wijaya (Sekretaris Priadi), Ruslan Batangharis dan Williem Hutabarat (Ajudan), Gubernur Sumatera Timur Mr. TM. Hasan menuju Merek. Upacara perpisahan singkat berlangsung menjelang subuh di tengah-tengah jalan raya dalam pelukan hawa dingin yang menyusup ke tulang sum-sum.

Sedang sayup-sayup terdengar tembakan dari arah Seribu Dolok, rupanya telah terjadi tembak-menembak antara pasukan musuh / Belanda dengan pasukan-pasukan kita yang bertahan di sekitar Gunung Sipiso-piso.

Seraya memeluk Bupati Tanah Karo Rakutta Sembiring, wakil presiden mengucapkan selamat tinggal dan selamat berjuang kepada rakyat Tanah Karo. Kemudian berangkatlah wakil presiden dan rombongan, meninggalkan Merek langsung ke Sidikalang untuk selanjutnya menuju Bukit Tinggi via Tarutung, Sibolga dan Padang Sidempuan.

Sementara itu, keadaan keresidenan Sumatera Timur semakin genting, serangan pasukan Belanda semakin gencar. Akibatnya, ibu negeri yang sebelumnya berkedudukan di Medan pindah ke Tebing Tinggi.

Bupati Rakutta Sembiring, juga menjadikan kota Tiga Binanga menjadi Ibu negeri Kabupaten Karo, setelah Tentara Belanda menguasai Kabanjahe dan Berastagi, pada tanggal 1 Agustus 1947.

Namun sehari sebelum tentara Belanda menduduki Kabanjahe dan Berastagi, oleh pasukan bersenjata kita bersama-sama dengan rakyat telah melaksanakan taktik bumi hangus, sehingga kota Kabanjahe dan Berastagi beserta 51 Desa di Tanah Karo menjadi lautan Api.

Taktik bumi hangus ini, sungguh merupakan pengorbanan yang luar biasa dari rakyat Karo demi mempertahankan cita-cita luhur kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat dengan sukarela membakar apa saja yang dimiliki termasuk desa dengan segala isinya.

Kenyataan itu telah menyebabkan wakil presiden mengeluarkan keputusan penting mengenai pembagian daerah dan status daerah di Sumatera Utara yang berbunyi sebagai berikut:

“Dengan surat ketetapan Wakil Presiden tanggal 26 Agustus 1947 yang dikeluarkan di Bukit Tinggi, maka daerah-daerah keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, kabupaten Tanah Karo, dijadikan satu daerah pemerintahan militer dengan Teungku Mohammad Daud Beureuh sebagai Gubernur Militer. Sedangkan daerah-daerah keresidenan Tapanuli, Kabupaten Deli Serdang, Asahan dan Labuhan Batu menjadi sebuah daerah pemerintahan Militer dengan Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer. Masing-masing Gubernur Militer itu diangkat dengan Pangkat Mayor Jenderal.

Selanjutnya melihat begitu besarnya pengorbanan rakyat karo ini, wakil presiden Drs. Mohammad Hatta menulis surat pujian kepada rakyat Karo dari Bukit Tinggi pada tanggal 1 Januari 1948. Adapun surat wakil presiden tersebut selengkapnya sebagai berikut:

Bukittinggi, 1 Januari 1948
“Kepada Rakyat Tanah Karo Yang Kuncintai”.
Merdeka!

Dari jauh kami memperhatikan perjuangan Saudara-saudara yang begitu hebat untuk mempertahankan tanah tumpah darah kita yang suci dari serangan musuh. Kami sedih merasakan penderitaan Saudara-saudara yang rumah dan kampung halaman habis terbakar dan musuh melebarkan daerah perampasan secara ganas, sekalipun cease fire sudah diperintahkan oleh Dewan Keamanan UNO.

Tetapi sebaliknya kami merasa bangga dengan rakyat yang begitu sudi berkorban untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan kita.

Saya bangga dengan pemuda Karo yang berjuang membela tanah air sebagai putra Indonesia sejati. Rumah yang terbakar, boleh didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangun lagi, tetapi kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya. Dan sangat benar pendirian Saudara-saudara, biar habis segala-galanya asal kehormatan bangsa terpelihara dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang penghabisan. Demikian pulalah tekad Rakyat Indonesia seluruhnya. Rakyat yang begitu tekadnya tidak akan tenggelam, malahan pasti akan mencapai kemenangan cita-citanya.

Di atas kampung halaman saudara-saudara yang hangus akan bersinar kemudian cahaya kemerdekaan Indonesia dan akan tumbuh kelak bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Karo, sebagai bagian dari pada Rakyat Indonesia yang satu yang tak dapat dibagi-bagi.

Kami sudahi pujian dan berterima kasih kami kepada Saudara-saudara dengan semboyan kita yang jitu itu: “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”.

Saudaramu,
MOHAMMAD HATTA
Wakil Presiden Republik Indonesia

Selanjutnya, untuk melancarkan roda perekonomian rakyat di daerah yang belum diduduki Belanda, Bupati Rakutta Sembiring mengeluarkan uang pemerintah Kabupaten Karo yang dicetak secara sederhana dan digunakan sebagai pembayaran yang sah di daerah Kabupaten Karo.

Akibat serangan pasukan Belanda yang semakin gencar, akhirnya pada tanggal 25 Nopember 1947, Tiga Binanga jatuh ke tangan Belanda dan Bupati Rakutta Sembiring memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Karo ke Lau Baleng. Di Lau Baleng, kesibukan utama yang dihadapi Bupati Karo beserta perangkatnya adalah menangani pengungsi yang berdatangan dari segala pelosok desa dengan mengadakan dapur umum dan pelayanan kesehatan juga pencetakan uang pemerintahan Kabupaten Karo untuk membiayai perjuangan.

Setelah perjanjian Renville ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, Pemerintah RI memerintahkan seluruh Angkatan Bersenjata Republik harus keluar dari kantung-kantung persembunyian dan hijrah ke seberang dari Van Mook yaitu daerah yang dikuasai secara de jure oleh Republik.

Barisan bersenjata di Sumatera Timur yang berada di kantung-kantung Deli Serdang dan Asahan Hijrah menyeberang ke Labuhan Batu. Demikian pula pasukan yang berada di Tanah Karo dihijrahkan ke Aceh Tenggara, Dairi dan Sipirok Tapanuli Selatan. Pasukan Resimen I pimpinan Letkol Djamin Ginting hijrah ke Lembah Alas Aceh Tenggara. Pasukan Napindo Halilintar pimpinan Mayor Selamat Ginting hijrah ke Dairi dan pasukan BHL pimpinan Mayor Payung Bangun hijrah ke Sipirok Tapanuli Selatan.

Berdasarkan ketentuan ini, dengan sendirinya Pemerintah Republik pun harus pindah ke seberang garis Van mook, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Karo yang pindah mengungsi dari Lau Baleng ke Kotacane pada tanggal 7 Pebruari 1948. Di Kotacane, Bupati Rakutta Sembiring dibantu oleh Patih Netap Bukit, Sekretaris Kantor Tarigan, Keuangan Tambaten S. Brahmana, dilengkapi dengan 14 orang tenaga inti.

Selanjutnya untuk memperkuat posisi mereka, Belanda mendirikan Negara Sumatera Timur. Untuk daerah Tanah Karo Belanda menghidupkan kembali stelsel atau sistem pemerintahan di zaman penjajahan Belanda sebelum perang dunia kedua.

Administrasi pemerintahan tetap disebut Onder Afdeling De Karo Landen, dikepalai oleh seorang yang berpangkat Asisten Residen bangsa Belanda berkedudukan di Kabanjahe. Di tiap kerajaan (Zeifbesturen) wilayahnya diganti dengan Districk sedangkan wilayah kerajaan urung dirubah namanya menjadi Onderdistrick.

Adapun susunan Pemerintahan Tanah Karo dalam lingkungan Negara Sumatera Timur adalah: Plaatslijkbestuur Ambteenaar, A. Hoof. Districthoofd Van Lingga, Sibayak R. Kelelong Sinulingga, Districhoofd Van Suka, Sibayak Raja Sungkunen Ginting Suka, Districhoofd Van Sarinembah, Sibayak Gindar S. Meliala, Districthoofd Van Kuta Buluh, Sibayak Litmalem Perangin-angin.

Agresi II Militer Belanda
Namun perjanjian Renville ini tidak bertahan lama karena pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan aksi militer II, akibat serangan ini pasukan republik segera bergerylla ke pedalaman Tanah Karo, dan menyerang pos-pos kedudukan musuh serta melucuti senjata mereka. Umumnya para Onderdistricthoofd meninggalkan tempatnya mengungsi mencari tempat aman ke Kabanjahe, Berastagi dan Tiga Binanga.

Setelah itu, untuk menentukan daerah pertempuran bagi masing-masing kesatuan di daerah Gerillya Tanah Karo dan Pemerintahan Militer Kabupaten Karo, maka tanggal 1 April 1949 diadakan perundingan antara Komandan Resimen IV Distrik X Mayor Djamin Ginting dengan komandan Sektor III Sub-Terr VII, Mayor Selamat Ginting di Kotacane.

Dalam perundingan itu kedua belah pihak sepakat membagi daerah operasi pertempuran sebagai berikut: Daerah Operasi Pasukan Resimen IV, mulai dari sebelah kiri jalan raya Tiga Binanga sampai ke Berastagi dan dari Berastagi sampai ke Medan sebelah menyebelah ke jalan raya; daerah operasi pasukan TNI sektor III, mulai dari Kabupaten Dairi terus sebelah kanan jalan raya Lau Baleng Tiga Binanga Tongkoh termasuk daerah Silima Kuta Cingkes, Simalungun.

Adapun mengenai hal kedua, yaitu perihal pembentukan pemerintahan Pentadbiran militer Kabupaten Karo, baru diputuskan setelah komandan Sub Terr VII Komando Sumatera Letnan Kolonel A.E. Kawilarang tiba di Kotacane pada tanggal 2 April 1949. Di Kotacane beliau berunding dengan Mayor Djamin Ginting dan dalam kedudukannya selaku Wakil Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Letkol A.E. Kawilarang mengeluarkan surat ketetapan Nomor 62/ist/dl, tanggal 4 April 1949, tentang susunan pemerintahan Pentadbiran Militer Karo sebagai berikut:

Kepala PPMK : Rakutta Sembiring
Wakil Kepala I : Wedana Keras Surbakti
Wakil Kepala II : Wedana Netap Bukit
Kepala Sekretariat : Kantor Tarigan
Kepala Keuangan : Tambaten Berahmana
Wedana Karo Utara : Kendal Keliat
Wedana Karo Selatan : Matang Sitepu

Dalam surat ketetapan ini ternyata kewedanan Karo Hilir, kewedanan Karo Jahe dan kewedanan Tiga Panah sama sekali tidak disebut atau dicantumkan lagi.

Kewedanan Karo Jahe dibaginya menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Pancur Batu Timur dan kecamatan Pancur Batu Barat. Demikian pula kalau tadinya setelah revolusi social Kabupaten Karo terdiri dari tiga kewedanan, malah ditambah lagi dengan kewedanan Tiga Panah dengan 15 kecamatan, maka dengan keputusan 4 April 1949 itu, Kabupaten Karo hanya terdiri dari dua kewedanan membawahi 9 kecamatan.

Selanjutnya dengan tercapainya persetujuan Roem Royen, tanggal 7 Mei 1949, yang isinya Belanda setuju memulihkan kedudukan Republik Indonesia ke Jakarta sekaligus mengembalikan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada kedudukannya semula, maka disepakati penghentian tembak antara RI dengan Belanda.

Dengan keluarnya penghentian tembak menembak itu, Kepala Pemerintah Pentadbiran Militer Karo Rakutta Sembiring dan perangkat kantornya segera meninggalkan Kotacane menempati kantor yang baru di Tiganderket, maka daerah Tanah Karo diklaim oleh dua negara yaitu Republik Indonesia dan Negara Sumatera Timur.

Pembentukan Negara Sumatera Timur (NST) tidak disetujui oleh rakyat dan setelah Konferensi Meja Bundar, dimana-mana muncul gerakan-gerakan yagn bertujuan untuk menghapuskan Negara boneka tersebut.

Menjelang akhir Desember 1949, para pemuda mengadakan konferensi dan mengeluarkan mosi agar pemerintah RI dikembalikan ke Sumatera Timur. Kemudian tanggal 21-22 Januari 1950, front Nasional Sumatera Timur mengadakan konferensi dan menghasilkan resolusi yagn menuntut agar NST segera dilebur kedalam Republik Indonesia. Sejak itu, situasi memanas “Aksi Tuntutan Rakyat” muncul dimana-mana termasuk di Tanah Karo.

Aspirasi mereka akhirnya terpenuhi setelah persoalan Negara-Negara RIS diselesaikan secara nasional yaitu kembali ke pangkuan Negara kesatuan Republik Indonesia dengan UUDS 1950.

Dengan terbentuknya NKRI tanggal 15 Agustus 1950, dualisme pemerintahan di Tanah Karo tidak ada lagi dan Bupati Rakutta Sembiring dan segenap perangkatnya kembali ke kantornya di Kabanjahe.

Salah satu keputusan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia itu adalah Kabupaten Karo terdiri dari dua kewedanan yang masing-masing membawahi lima kecamatan dengan susunan sebagai berikut:

Bupati Kepala Daerah : Rakutta Sembiring Berahmana
Wakil I : Keras Surbakti
Wakil II : Netap Bukit
Kepala Sekretaris : Kantor Tarigan
Bendahara : Tambaten Berahmana

Wedana Karo Utara Kendal Keliat membawahi lima camat yaitu:

1.Camat Kabanjahe Nahar Purba
2.Camat Barusjahe Babo Sitepu
3.Camat Tiga Panah Djamin Karo Sekali
4.Camat Simpang Empat Nahar Purba
5.Camat Payung Nitipi Payung

Wedana Karo Selatan Matang Sitepu membawahi lima camat:
1.Camat Tiga Binanga Pulung Tarigan
2.Camat Juhar Tandil Tarigan
3.Camat Munthe Pangkat Sembiring Meliala
4.Camat Kuta Buluh Masa Sinulingga
5.Camat Mardinding Tuahta Barus

Dengan demikian setelah terbentuknya NKRI, daerah Karo Jahe (Deli Hulu) dan Silima Kuta (Cingkes) yang sejak revolusi social Maret 1946 masuk dari bagian Kabupaten Karo ‘dipaksa’ berpisah. Deli Hulu yang tadinya menjadi satu kewedanan dimasukkan ke dalam bagian Deli Serdang, sedangkan Kecamatan Silima Kuta dimasukkan kedalam wilayah Kabupaten Simalungun.

Adapun Ibu Negeri atau tempat berkantor kepala Pemerintahan Karo (Kabupaten Karo) sejak Indonesia merdeka 1945 hingga sekarang adalah:

1. Kabanjahe, 1945 – 31 Juli 1947
2. Tigabinanga, 31 Juli 1947 – 25 Nopember 1947
3. Lau Baleng, 25 Nopember 1947 – 7 Pebruari 1948
4. Kutacane, 7 Pebruari 1947 – 14 Agustus 1949
5. Tiganderket, 14 Agustus 1949 – 17 Agustus 1950
6. Kabanjahe, 17 Agustus 1950 hingga sekarang

Revolusi Sosial
Meletusnya revolusi sosial di Sumatera Utara yang dikumandangkan oleh Wakil Gubernur Sumatera Dr. M. Amir pada tanggal 3 Maret 1946, tidak terlepas dari sikap sultan-sultan, raja-raja dan kaum feodal pada umumnya, yang tidak begitu antusias terhadap kemerdekaan Indonesia. Akibatnya rakyat tidak merasa puas dan mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur supaya daerah istimewa seperti Pemerintahan swapraja/kerajaan dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dinamika perjuangan kemerdekaan. Sistem yang dikehendaki ialah pemerintah yang demokratis berporos kepada kedaulatan rakyat.

Gerakan itu begitu cepat menjalar ke seluruh pelosok daerah Sumatera Timur. Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja ditahan dan dipenjarakan oleh lasykar-lasykar yang tergabung dalam Volks Front. Di Binjai, Tengku Kamil dan Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang pengawalnya. Istri-istri mereka juga ditangkap dan ditawan ditempat berpisah. Sultan langkat di Tanjung pura pun tertangkap. Demikian juga sultan-sultan lainnya seperti Sultan Kualoh Leidong, Sultan Asahan, dan sultan-sultan lainnya ditangkap walaupun melakukan perlawanan tetapi pasukan-pasukannya dapat dikalahkan oleh lasykar-lasykar rakyat. Pada saat itu di Sumatera Timur ada 21 swapraja atau kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan yang dalam Bahasa Belanda dinamakan Inlands Zelfbestuur (swapraja bumiputera).

Demikian pula sebagai follow up dari revolusi sosial itu, pada tanggal 8 Maret 1946, keadaan pun semakin genting di Tanah Karo. Pemimpin pemerintahan di Tanah Karo Ngerajai Meliala beserta pengikut-pengikutnya ditangkap dan diungsikan ke tanah alas Aceh Tenggara. Menghadapi keadaan yang semakin tidak menentu ini, Panglima Divisi X Sumatera Timur, memperlakukan keadaan darurat. Khusus untuk Tanah Karo Panglima mengangkat Mayor M. Kasim, komandan resimen I Devisi X Berastagi menjadi pejabat sementara kepala pemerintahan sebagai pengganti Ngerajai Meliala.

Selanjutnya pada tanggal 13 Maret 1946, Komite Nasional Indonesia Tanah Karo bersama barisan pejuang Tanah Karo, dalam sidangnya berhasil memutuskan antara lain: membentuk pemerintahan Kabupaten Karo dengan melepaskan diri dari keterikatan administrasi kerajaan dan menghapus sistem pemerintahan swapraja pribumi di Tanah Karo dengan sistem pemerintahan demokratis berdasarkan kedaulatan rakyat, kemudian Kabupaten Karo diperluas dengan memasukkan daerah Deli Hulu dan daerah Silima Kuta Cingkes dan selanjutnya mengangkat Rakutta Sembiring Brahmana menjadi Bupati Karo, KM Aritonang sebagai Patih, Ganin Purba sebagai Sekretaris dan Kantor Tarigan sebagai Wakil Sekretaris dan mengangkat para lurah sebagai penganti raja urung yang sudah dihapuskan.

Usul itu disetujui sepenuhnya oleh peserta sidang dan Mr. Luat Siregar mewakili Gubernur Sumatera Utara dan disahkan oleh residen Yunus Nasution yang saat itu ikut di dalam rapat tersebut. Dengan demikian terbentuklah sudah Tanah Karo sebagai suatu daerah dan Rakutta Sembiring ditetapkan sebagai Bupati Kar yang pertama.

Kemudian, setelah pemerintahan Kabupaten Karo terbentuk, di daerah Kabupaten Karo menghadapi banyak persoalan. Penyesuaian kedudukan pejuang dalam pemerintahan, kondisi sosial masyarakat yang buruk dan pembangunan daerah diabaikan oleh pusat serta masalah ketertiban dan keamanan yang sangat mengganggu sehingga otomatis menghambat roda pemerintahan daerah.

Salah satu contohnya, jika beberapa hari sebelumnya oleh KNI diangkat para Lurah sebagai pengganti Raja Urung dengan wilayah kekuasaan pemerintahan yang sama, maka untuk menyesuaikan kebijaksanaan sesuai dengan keputusan Komite Nasional Provinsi tertanggal 18 April 1946, diputuskan bahwa Tanah Karo terdiri dari tiga kewedanan dan tiap kewedanan terdiri dari lima kecamatan.

Kewedanan itu adalah: Kewedanan Karo Tinggi berkedudukan di Kabanjahe dengan wedanannya Netap Bukit, Kewedanan Karo Hilir berkedudukan di Tiga Binanga dengan wedanannya Tama Sebayang dan Kewedanan Karo Jahe berkedudukan di Pancur Batu, dengan wedanannya Keras Surbakti.

Kewedanan Karo Tinggi terdiri dari lima kecamatan:

1.Kecamatan Kabanjahe dengan camatnya Nahar Purba
2.Kecamatan Simpang Empat dengan camatnya Djeneng Ginting
3.Kecamatan Payung dengan camatnya Tampe Perangin-angin/Kendal Keliat
4.Kecamatan Barusjahe dengan camatnya Matang Sitepu
5.Kecamatan Tiga Panah dengan camatnya Djamin Karo Sekali

Kewedanan Karo Hilir terdiri dari lima kecamatan:

1.Kecamatan Tiga Binanga dengan camatnya Mulai Sebayang/ Likat Ginting
2.Kecamatan Munthe dengan camatnya Ngembar S. Meliala
3.Kecamatan Juhar dengan camatnya Pulung Tarigan
4.Kecamatan Kuta Buluh dengan camatnya Masa Sinulingga
5.Kecamatan Mardinding dengan camatnya Nuriken Ginting/Tambaten S. Berahmana

Kewedanan Karo Jahe terdiri dari empat kecamatan:

1.Kecamatan Pancur Batu dengan camatnya Usman Deli
2.Kecamatan Sibiru-biru dengan camatnya Selamat Tarigan
3.Kecamatan Kutalimbaru dengan camatnya Kelang Sinulingga
4.Kecamatan Namorambe dengan camatnya Ya’far Ketaren

Kemudian pada bulan September 1974, Residen Sumatera Timur Abubakar Ja’ar mengeluarkan SK Pembentukan Kewedanan Batu Karang dan Tiga Panah, masing-masing dipimpin oleh Hasan Basri dan Matang Sitepu.

Realisasi pembentukan kewedanan Tiga Panah dapat diwujudkan, namun karena kegiatan pasukan Belanda makin gencar menyerang Karo Utara, akhirnya pembentukan kewedanan Batu Karang tidak dapat diwujudkan.

Adapun susunan dan personalia kewedanan Tiga Panah dengan tiga kecamatan adalah Wedana Matang Sitepu kecamatan Tiga Panah dengan camatnya Djamin Karo Sekali, kecamatan Barusjahe dengan camatnya Dapat Sitepu dan kecamatan Cingkes dengan camatnya Babo Sitepu.

Demikianlah Pemerintahan di Kabupaten Karo telah tersusun dengan baik. Walaupun pada mulanya ada masalah rumit tentang kedudukan sibayak sibayak dan Raja-Raja Urung. Namun tidak terjadi hal-hal yang menimbulkan pertumpahan darah, karena sibayak-sibayak itu bersedia dengan rela mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan mereka kepada kepala-kepala pemerintahan yang baru yang terpilih secara demokratis.

Terbentuknya TKR di Tanah Karo
Meskipun Jepang menyatakan menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945 namun serdadu Belanda baru mendarat di Pantai Cermin, pada tanggal 10 Oktober 1945 atau hampir dua bulan setelah Republik Indonesia berdiri, dengan membonceng para serdadu sekutu (Inggris). Serdadu sekutu yang mendarat itu berjumlah 800 orang dengan bersenjata lengkap dan mutakhir, Royal Artelery 26 Th Indian Division dipimpin oleh Brigjen Ted Kelly, yang sebenarnya bertugas menyerbu daratan Semenanjung Malaya.

Dalam situasi demikian, api perjuangan semakin membara di segenap persada nusantara, juga halnya di Sumatera Utara maka saat bersamaan dengan mendaratnya pasukan sekutu di Pantai Cermin. Di kota Medan dibentuklah tentara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dipimpin oleh Mayor Achmad Tahir dengan kepala markas umum Kapten R. Sucipto. Namun sebelumnya pada tanggal 29 September 1945 di Kabanjahe telah terbentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI) cabang Tanah Karo, dipimpin oleh Matang Sitepu. Sebagai ketua umum dibantu oleh Tama Ginting, Payung Bangun, Selamat Ginting, Ulung Sitepu, Rakutta Sembiring, R.M. Pandia, Koran Karo-karo dan Keterangan Sebayang. Tugas BPI ini cukup berat. Pertama menyebarluaskan Proklamasi Kemerdekaan ke desa-desa Tanah Karo, Kedua membentuk ranting-ranting BPI di desa-desa, dan ketiga mencari senjata untuk memperkuat barisan. Beberapa jenis senjata Karabin, Pistol, Pedang panjang yang dikuasai dengan berbagai cara memang sudah dimiliki, namun jauh sekali dari cukup. Satu-satunya jalan untuk memiliki senjata api itu adalah mengambil atau merebutnya dari tentara Jepang. Peristiwa yang sangat penting pada saat itu adalah, insiden Tiga Panah pada tanggal 9 Desember 1945 dimana terjadi serangan barisan pemuda terhadap konvoi tentara Jepang. Terjadilah pertempuran yang sangat seru. Namun karena jumlah tentara Jepang lebih besar dan bersenjata lengkap serta sudah berpengalaman dalam pertempuran maka dalam pertempuran itu barisan kita terpaksa mengundurkan diri dengan kerugian yang cukup besar. Setelah insiden ini, terjadi reorganisasi kepengurusan Barisan Pemuda Indonesia Tanah Karo. Dalam proses yang sangat cepat sesuai revolusi, orang pertama BPI Tanah Karo beralih dari Matang Sitepu kepada Payung Bangun dan wakilnya Selamat Ginting. Di Minggu kedua Desember 1945 beralih lagi pimpinan kepada Selamat Ginting. Adapun susunan pengurus BPI Tanah Karo setelah itu adalah Selamat Ginting dibantu oleh wakil ketua Tama Ginting serta koordinator-koordinator: Keterangan Sebayang, Ulung Sitepu, Tampe Malem Sinulingga, Turah Perangin-angin, Rakutta Sembiring dan Koran Karo-karo.

Di dalam Barisan Pemuda Indonesia Tanah Karo ini semua potensi pimpinan pemuda dengan berisan-barisan perjuangannya, dirangkul, bergabung ke dalam Barisan Pemuda Indonesia termasuk bekas Gyugun atau Haiho seperti: Djamin Ginting, Nelang Sembiring, Bom Ginting. Sedangkan dari Talapeta: Payung Bangun, Gandil Bangun, Meriam Ginting, Tampe Malem Sinulingga. Dari N.V. mas Persada: Koran Karo-karo. Dari Pusera Medan: Selamat Ginting dan Rakutta Sembiring. Demikian pula dari potensi-potensi pemuda lain seperti: Ulung Sitepu, Tama Ginting, Matang Sitepu, R.M. Pandia, Batas Perangin-angin dan Turah Perangin-angin.

Dalam proses sejarah selanjutnya, BPI kemudian berubah menjadi BKR (Badan Keselamatan Rakyat) yang merupakan tentara resmi pemerintah dimana Djamin Ginting’s ditetapkan sebagai komandan pasukan teras bersama-sama Nelang Sembiring dan Bom Ginting yang anggotanya antara lain Selamat Ginting’s, Nahud Bangun, Rimrim Ginting, Kapiten Purba, Tampak Sebayang dan lain-lain.

Pada umumnya yang menjadi anggota BKR ini adalah para bekas anggota Gyugun atau Heiho dan berisan-barisan bentukan Jepang. Djamin Ginting.S bekas komandan pleton Gyugun ditunjuk menjadi Komandan Batalyon BKR Tanah Karo.

Di samping itu barisan-barisan rakyat yang tergabung dalam kesatuan lasykar di Tanah Karo juga mengalami penyusunan organisasi. Barisan lasykar rakyat Napindo Halilintar Tanah Karo dipimpin oleh Selamat Ginting dan Ulung Sitepu dibantu oleh Koran Karo-karo, Tama Ginting, T.M. Sinulingga, Turah Perangin-angin, Batas Perangin-angin, dan Matang Sitepu. Para pemuda yang bergabung dalam barisan Napindo ini pada mulanya bersifat sukarela dan tidak terikat secara organisatoris, kecuali terdaftar dalam organisasi itu di kampung masing-masing. Pemuda-pemuda ini berlatih pada sore hari di bawah pimpinan seseorang yang pernah mendapat latihan militer atau semi militer. Pelatih ini umumnya adalah bekas Gyugun, Haiho, Talapeta, atau peserta kursus sekolah guru.

Dapatlah dibayangkan bagaimana beratnya membentuk pasukan bersenjata kita pada tahap permulaan ini, tapi dengan kesungguhan para komandan pasukan dan para pelatihnya, dapat juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal bakal Tentara Keamanan Rakyat Republik Indonesia. (Lanjut)

Sumber : http://www.karokab.go.id