Memudarnya Tradisi Mendongeng

Oleh : Drs Budi Sayoga MKes,
Dosen Fisipol UGM, peneliti Center for Critical Social Studies (CCSS)

Sudah lama ditengarai bahwa tradisi atau kebiasaan mendongeng menjelang tidur di kalangan orangtua pada anaknya semakin jarang dilakukan. Hal ini disebabkan oleh berbagai alasan. Salah satu alasan yang sering dilontarkan orangtua adalah karena kesibukan,baik oleh kerja yang bersifat domestik ataupun profesinya. Dalam kaitannya dengan upaya penanaman nilai moralitas pada anak, orangtua perlu diingatkan kembali akan pentingnya fungsi dan manfaat dongeng sebagai sarana untuk aktivitas mulia tersebut.

Dongeng oleh para ahli pendidikan anak ataupun pakar psikologi anak, dianggap sebagai salah satu media yang cukup efektif dalam membangun karakter, kepribadian maupun kecerdasan anak. Melalui media dongeng dapat ditanamkan nilai kejujuran, percaya diri, sopan santun, setia kawan, tanggung jawab dan sebagainya. Jadi melalui media dongeng yang dilakukan sebelum anak tidur akan dapat secara efektif menanamkan nilai keluhuran, membuat rasa tenang serta menumbuhkan solidaritas sosial kepada sang anak.

Media dongeng adalah instrumen yang cukup signifikan dalam menginternalisasikan nilai budi pekerti pada jiwa yang masih murni ini. Media ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif sarana untuk membendung atau paling tidak menjadi media penyeimbang atas derasnya terpaan informasi berbagai media pada anak yang semakin jauh dari nilai moral dan etika. Melalui media ini pula akan dapat dipelihara kedekatan emosional antara anak dan orangtua. Jadi melalui media dongeng mampu ditanamkan banyak hal yang bersifat edukatif, konstruktif dan inspiratif pada pola pikir anak.

Dengan dongeng maka proses edukasi atau pendidikan moral pada anak dapat dilaksanakan lebih dini dan memikat. Ajaran tentang nilai yang bersifat normatif yang dikemas dalam bentuk cerita akan memudahkan proses transfer informasi. Meskipun aktivitas yang dilakukan adalah suatu proses pendidikan, kondisi ini akan menciptakan atmosfer yang menyenangkan bagi diri anak. Mereka tidak akan merasa jenuh dan bosan karena pesan moral dibingkai dengan narasi cerita yang bersifat imajinasi simbolik. Dongeng yang penuh dengan imajinasi simbolik ini memberi pengaruh pada pemaknaan akan kedalaman hidup (St. Sunardi 2002).

Di tengah banyaknya kasus kekerasan, media dongeng dapat dijadikan sebagai sarana untuk menumbuhkan rasa cinta kasih, empati dan simpati pada sesama. Konstruksi cerita yang diinternalisasikan pada diri anak tentunya diorientasikan agar perkembangan jiwanya diwarnai oleh nuansa kedamaian dan toleransi namun tetap diwarnai kesadaran kritis. Lewat media dongeng hal itu dapat dilakukan, karena media ini memberi peluang untuk terjadinya dialog empati tanpa dominasi. Sehingga memungkinkan tersemaikannya kesadaran kritis pada mereka. Muaranya adalah akan menyebabkan jiwa anak terkonstruksi pada hal yang bersifat manusiawi.

Lewat cerita yang disampaikan – meskipun bersifat fiktif – bisa dimunculkan inspirasi yang akan memotivasi anak untuk melakukan hal yang kreatif dan meningkatkan kecerdasannya. Oleh karena itu dongeng adalah salah satu hal yang cukup membantu dalam merangsang pertumbuhan kecerdasan, intelegensi maupun emosi anak. Melalui media ini, apabila frekuensi penyampaian pesannya intensif dan teratur bisa menjadi instrumen yang dapat membangkitkan kesadaran anak akan pentingnya sikap menghargai dan menghormati sesama. Perbedaan dalam segala aspek kehidupan tidak boleh disikapi dengan rasa curiga dan kebencian. Yang harus dikedepankan adalah sikap toleransi dan kesetaraan sosial.

Demikian besar manfaat dongeng sebagai sarana dalam membangun moralitas anak. Untuk itu keberadaannya harus tetap dilestarikan. Jangan sampai terpinggirkan oleh terjangan arus budaya modern yang seringkali tidak akomodatif terhadap upaya sosialisasi nilai yang mengutamakan etika dan moralitas. Dongeng harus tetap diposisikan sebagai instrumen dalam ruang keluarga yang sangat strategis bagi upaya menjauhkan anak dari pengaruh negatif informasi media yang dipenuhi tampilan informasi yang hanya mendatangkan keuntungan sesaat dan sangat bersifat materialis.

Sudah saatnya orangtua disadarkan untuk kembali mentradisikan budaya mendongeng pada anaknya. Kebiasaan mendongeng pada anak harus menjadi agenda rutin yang dilakukan dengan kerelaan tanpa disertai rasa keterpaksaan. Karena apabila aktivitas mendongeng disampaikan dengan terpaksa maka yang terjadi adalah paparan narasi tanpa makna dan nuansa cerita yang tidak memberikan sentuhan emosi pada anak. Aktivitas mendongeng adalah suatu momentum yang sangat penting untuk lebih memperkuat kedalaman hubungan batin antara orangtua dan anak.

Tradisi mendongeng yang tetap dilakukan orangtua pada putra-putrinya akan memberikan kontribusi dalam membangun fondasi bagi tegaknya modal budaya pada diri mereka. Modal budaya yang berupa kecerdasan, kearifan, kesopanan dan sebagainya adalah bekal yang sangat dibutuhkan oleh anak manakala mereka kelak dewasa dan masuk dalam lingkaran interaksi sosial yang kompetitif dan kompleks. Dengan modal budaya tersebut anak akan mampu beradaptasi dengan sistem sosialnya dan kemudian memposisikan dirinya secara benar.

Institusi keluarga adalah pelestari utama bagi eksistensi media dongeng. Institusi ini adalah habitat bagi kelangsungan hidup dongeng sebagai instrumen transformasi moral. Melalui dongeng akan menjadi sarana ekspresi orangtua dalam merefleksikan dan mengartikulasikan secara simbolik kehidupan dan dinamika yang melingkupinya (Susanne Lancer, 1997).

Untuk itulah maka tradisi mendongeng sebagai kebutuhan keluarga harus tetap dipertahankan. Dengan adanya kebutuhan itu maka akan muncul rasa memiliki. Apabila rasa memiliki itu masih melekat pada tiap keluarga akan berdampak pada kelangsungan hidup dongeng demikian pula sebaliknya. Jadi semua diserahkan kepada kesadaran institusi keluarga. Karena merekalah yang akan menjadi penentu utama apakah dongeng akan tetap kuat bertahan atau hilang tertimbun oleh putaran zaman.

Sumber : http://kakbimo.wordpress.com