Fungsi Seni Pertunjukan Bagi Pembangunan Moral Bangsa

Oleh : A.M. Hermien Kusmayati

I
Seni, dalam hal ini seni pertunjukan selama perjalanan sejarah memperlihatkan keragaman fungsi yang disandangnya. Beragam fungsi ini oleh R.M. Soedarsono dikelompokkan ke dalam tiga wilayah, yaitu 1) sebagai sarana ritual, 2) sebagai hiburan pribadi, dan 3) sebagai presentasi estetis. Pemilahan ke dalam tiga wilayah ini berdasarkan kepentingan pengamat atau penontonnya.1 Ketiga wilayah yang dipilahkan demikian ini tidak tersekat mutlak, tetapi seringkali bertumpang tindih. Misalnya, seni pertunjukan yang disajikan untuk kepentingan ritual juga menampilkan nilai-nilai estetis atau seni pertunjukan yang ditampilkan untuk hiburan pribadi juga tidak lepas dari keindahan yang membalutnya wujudnya.

Para peneliti dan ahli menengarai bahwa fungsi seni pertunjukan setidak¬tidaknya sudah mulai dilekatkan di dalam keberadaannya pada waktu masyarakat mengenal peradaban bercocok tanam, yaitu ketika masyarakat sudah tidak lagi berpindah-pindah tempat untuk menemukan dan mengumpulkan makanan yang disediakan oleh alam. Waktu luang di sela-sela dan di antara bercocok tanam merupakan saat yang tepat untuk berkesenian. Di samping itu, kebutuhan dan harapan akan keselamatan serta kesejahteraan di dalam kehidupan membutuhkan kehadiran seni pertunjukan sebagai sarananya.

Simbol-simbol mitis yang mewujud sebagai aspek-aspek seni pertunjukan ditampilkan untuk memuliakan arwah leluhur dan kekuatan alam yang disakralkan. Mantera yang diserukan, gerak yang ditarikan, pakaian dan rias yang dikenakan, perlengkapan yang digunakan, tempat dan waktu penyelenggaraan, serta warna-warni sesaji yang menyertai merupakan ungkapan kehendak komunitas yang melaksanakannya. Melodi yang disuarakan sebagaimana juga gerak-gerak yang ditarikan dan aspek-aspek pendukung bentuk yang disajikan bukan semata-mata ungkapan keindahan, tetapi lebih ditegakkan sebagai pilar¬pilar kesakralan ritual.

Penampilan seni pertunjukan dalam kesempatan demikian menjadi sarana upacara atau dapat juga merupakan upacara itu sendiri. Bentuk-bentuk kelanjutannya yang masih dikenali sampai sekarang antara lain tari Hudoq yang menggunakan topeng di Kalimantan, Dendang Saluang di Sumatera Barat, tari penyembuhan penyakit di Riau, tari Rejang di Bali, dan tari Tayub serta Tiban di Jawa. Aspek-aspek yang membentuknya memperlihatkan jalinan akar yang memanjang tidak terputus oleh waktu.

Dalam kategori sejarah2 kerajaan, seni pertunjukan tampil dengan fungsi yang tidak sepenuhnya berubah. Ia tetap mengusung simbol-simbol mitis untuk kepentingan ritual tertentu. Sejalan dengan itu, penyelenggaraannya juga untuk mengusung kepentingan penguasanya dan kalangan tertentu. Pendapa atau bangsal istana dan rumah-rumah para bangsawan merupakan “panggung pergelaran” yang diutamakan. Seni pertunjukan dengan seniman pelakunya ditempatkan sebagai regalia atau benda-benda yang turut melegitimasikan dan menguatkan kedudukan raja dan bangsawan. Audiensi atau kunjungan raja ke wilayah tertentu selalu diiringkan oleh sekelompok petugas kerajaan yang berkewajiban menyajikan seni pertunjukan.

Sebagai regalia, seni pertunjukan berdampingan dengan benda-benda pusaka kerajaan, seperti tombak, keris, pedang, payung kebesaran, dukun atau pawang, dan orang-orang dengan ciri-ciri tertentu yang dipilih khusus untuk menopang kepentingan tersebut. Pada masa ini seni pertunjukan dihadirkan sebagai sarana ritual sekaligus juga merupakan presentasi estetis bagi kalangan atau komunitas khusus.

Pada masa kerajaan Majapahit disebutkan di dalam Babad Songennep bahwa seni pertunjukan menjadi bagian ketika raja beraudiensi dengan para anggota kerajaan. Pada waktu itu dipertontonkan Okol,3 yaitu sejenis tari semacam gulat yang dibawakan oleh dua orang laki-laki tanpa menggunakan senjata. Okol kadang-kadang masih dijumpai di beberapa wilayah Daerah Tingkat II Kabupaten Bangkalan. Tari ini ditampilkan oleh masyarakat sebagai sarana upacara meminta hujan apabila musim kemarau berlangsung lebih panjang dari seharusnya.

Adapun seni pertunjukan sebagai presentasi estetis yang dimaksudkan oleh Soedarsono adalah jenis jenis dan bentuk-bentuk yang dinikmati nilai keindahannya semata-mata dengan mengabaikan kepentingan yang lain. Hal ini dapat dilakukan ketika seseorang menyaksikan dan mendengarkan orkestra musik, menonton pementasan tari-tari kreasi baru, atau pergelaran wayang kulit kemasan padat maupun semalam suntuk yang tidak bersangkut paut dengan ritual dan tidak bermuatan bermacam-macam pesan.

Akan tetapi di sebalik fungsinya sebagai presentasi estetis, seni pertunjukan sudah dikenal mampu menjadi wadah bermacam-macam pesan. Wayang kulit digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media dakwah yang tidak mengusik serta mengecilkan arti penting kehidupan religi masyarakat pada masanya. Melalui wayang kulit pula pemerintah menginformasikan program¬programnya, mulai dari bebas buta huruf, keluarga berencana, pembangunan bangsa, dan lain-lainnya. Suara dalang wayang kulit dan beberapa bentuk seni pertunjukan yang lain, seperti tari, musik, dan drama juga digunakan sebagai media untuk mengkampanyekan partai politik tertentu dalam beberapa kali periode pemilihan umum yang pernah dialami. Seni pertunjukan dipandang sebagai media yang handal untuk berbagai kepentingan, termasuk di dalamnya untuk kepentingan tersebut.

Uraian pengantar di atas memperlihatkan betapa seni pertunjukan menghantarkan fungsi yang dibutuhkan oleh masyarakat dari waktu ke waktu. Kebutuhan ini tidak hanya bagi individu atau kelompok tertentu saja, tetapi juga mencakup masyarakat secara luas.

II
Arti penting seni bagi kehidupan manusia pada umumnya dan bangsa khususnya di antaranya dikemukakan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Prof. Dr. Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam “Semiloka Peningkatan Kualitas Pendidikan Seni di Indonesia” yang dilaksanakan pada tahun 2003 di Surakarta. Dikemukakan pada kesempatan Semiloka tersebut bahwa tatanan sosial masyarakat Indonesia pada saat ini yang sangat majemuk dan kompleks perlu menempatkan seni di tengah-tengah kehidupan. Masyarakat Indonesia yang ditengarai sedang mengalami krisis kebanggaan, martabat, serta jatidiri bangsa yang kurang diakui secara internasional, memerlukan seni sebagai media untuk meraih penghargaan yang diharapkan ini .4 Bermacam-macam jenis dan bentuk seni yang dicontohkan, termasuk seni pertunjukan di dalamnya. Seni pertunjukan yang banyak memuat dan menawarkan bermacam-macam fungsi bagi kehidupan masyarakat dipandang mampu memunculkan toleransi terhadap berbagai perbedaan.

Sikap toleran sangat berguna untuk menipiskan dan menepis sekat-sekat pembeda yang seringkali muncul oleh berbagai penyebab. Sikap toleran sangat diperlukan bagi pembangunan moral bangsa. Perbedaan yang timbul selayaknya dapat dimengerti sebagai kemajemukan yang mengayakan wawasan. Majemuk dan plural yang menjadi ciri budaya Indonesia merupakan keunggulan yang patut dibanggakan, bukan untuk diseragamkan atau terus dipertentangkan. Pertentangan pandangan yang kadangkala berlanjut pada pertikaian fisik dan perusakan lingkungan. Ketidaksepahaman ini mudah menyulut konflik yang tidak berkesudahan, karena penghormatan terhadap keragaman dan kemajemukan budaya seringkali tidak diabaikan.

Seni pertunjukan yang berfungsi sebagai sarana ritual, hiburan pribadi, dan presentasi estetis seperti dikemukakan oleh Soedarsono mengajarkan bagaimana selayaknya manusia berperilaku sosial. Aspek-aspek pembentuk sosok seni pertunjukan mengetengahkan norma-norma dan nilai-nilai yang dapat menjaga kesinambungan pembangunan moral bangsa. Kejernihan mencerna seni pertunjukan diharapkan mampu membangunkan kearifan yang banyak tertumpang oleh kepentingan individu atau kelompok. Penghormatan atau salam pun kurang mendapatkan tempat.

Salam yang bermakna untuk saling menghormati dapat dilakukan melalui musik dan gamelan beserta lirik-liriknya dan gerak-gerak tari, terutama tari-tari tradisi. Tubuh dan anggota tubuh yang digerakkan dan dalam sikap tertentu merupakan instrumen penghantar berkomunikasi. Anggota tubuh yang paling utama digunakan sebagai jembatan untuk berkomunikasi, dikemukakan oleh Desmond Morris, adalah tangan.5 Gesture atau gerak isyarat yang dilakukan dengan tangan merupakan bagian yang penting untuk penyampaian salam. Kedua belah tangan dengan jari jemari tegak vertikal yang ditangkupkan di atas dahi, di depan dahi, di depan wajah, atau di depan dada dapat dimengerti sebagai salam tanda penghormatan. Menggerak-gerakkan kedua belah tangan dengan sikap satu tangan menggenggam tangan lainnya juga dimaksudkan untuk memberi penghormatan.

Bapak Pendidikan Indonesia, yakni Ki Hadjar Dewantara (1889—1959) sekitar setengah abad lalu telah mengemukakan bahwa nilai-nilai moral dapat diajarkan melalui seni pertunjukan. Sandiwara atau yang kini dikenal dengan drama disebutkan sebagai salah satu di antaranya. Tokoh pendidikan ini menyebutkan bahwa sandiwara yang berasal dari kata “sandi” yang berarti tertutup atau rahasia dan “wara” yang berarti pelajaran memiliki peran penting dalam pendidikan yang berhubungan dengan moral.6

Seni pertunjukan juga berusaha mendekatkan kita pada alam yang arif. Betapa alam yang kaya –yang sering dijadikan tema garapan seni pertunjukan— menuntun kita pada kearifan. Salah satu contoh adalah “alam takambang jadi guru” yang menjadi pijakan atau filosofi seni pertunjukan di Sumatera Barat. Alam di sekeliling manusia merupakan guru yang bijak bagi manusia, sehingga tidak seharusnya manusia menyia-nyiakannya. Apabila manusia tidak menggunduli hutan, maka banjir dan kepunahan satwa dapat dihindari. Namun demikian, kebijakan yang diajarkan oleh alam kerapkali tidak mampu menembus batas keserakahan manusia.

Dengan cara yang lain lagi, seni pertunjukan mengingatkan nilai-nilai moral bagi masyarakat. Ke dalam tema yang membingkainya tidak sedikit disisipkan cerita, baik berupa mitos, legenda, atau babad. Kearifan yang selayaknya diteladani atau sebaliknya tabu yang harus dihindari oleh masyarakat berulangkali ditampilkan melalui seni pertunjukan, terutama yang berpola dan berakar tradisi. Seni pertunjukan menjadi kepanjangan norma serta nilai yang diharapkan oleh masyarakat. Ia juga mampu menjaga kebersamaan dalam bermasyarakat apabila ditempatkan sebagai savety valve atau katup pengaman ketegangan dan peredam dorongan-dorongan agresif ketika seseorang berada dalam konflik.7

Contoh lain adalah bagian dari wiracarita Ramayana yang diungkapkan oleh dalang di dalam wayang kulit atau berupa lirik-lirik tembang. Filosofi Hastha Brata di dalam wiracarita Ramayana yang disampaikan oleh Rama kepada adik tirinya, yaitu Bharata sungguh merupakan ajaran yang mengungkapkan betapa ideal etika yang diharapkan muncul dari dalam diri seseorang yang ditempatkan sebagai pemimpin. Ia selayaknya berperilaku utama karena selalu dijadikan teladan.

Berwatak tanah atau bumi yang jujur, berbudi luhur, dan penuh belas kasih kepada sesama manusia. Tanah menyediakan kesejahteran kepada yang mengolahnya dengan sungguh-sungguh, tetapi menggenggam kegersangan bagi yang tidak menyentuhnya apalagi menyia-nyiakannya.

Berwatak air yang memberikan kesegaran, kejernihan dan ketenangan, rendah hati, serta berpandangan luas bagaikan sifat air yang selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah dan meluas.

Berwatak angin yang bertiup menyentuh, menyelami, dan menyejukkan suasana.
Berwatak angkasa yang selalu siap memberikan pengayoman beberapa sumber lain menyebutkan bahwa pemimpin harus berwatak samudera yang bersedia menerima segala curahan harapan.

Berwatak rembulan yang memberikan terang di kala gelap.
Berwatak surya yang berwibawa, adil menyinari, memberi energi, dan mampu membangkitkan kekuatan.

Berwatak api yang memberikan semangat dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan dengan tegas dan “teges”.

Berwatak bintang yang tidak tampak menonjolkan diri, tetapi tetap setia muncul dengan kerlipnya di kejauhan untuk menunjukkan arah.8

Delapan watak ideal yang diperlukan oleh seorang pemimpin ini memerlukan kepekaan dan kejernihan pikir dan rasa untuk mencerna. Pemimpin diperlukan dan ditempatkan sebagai pengayom atau pelindung dan panutan karena kultur paternalistik yang terus mengakar dan memanjang, khususnya di Indonesia. Uraian di atas hanya merupakan petikan beberapa contoh yang dapat dicermati sebagai bagian permenungan bagi bangsa yang sedang membangun berbagai sendi kehidupan.

III
Perjalanan sejarah mencatat bahwa seni pertunjukan tidak diragukan memiliki arti penting bagi kehidupan bermasyarakat. Seni pertunjukan dengan aspek-aspek pembentuk sosoknya sesungguhnya telah berusaha menempatkan diri sebagai pilar-pilar yang dapat digunakan sebagai penyangga kehidupan berbangsa yang saat ini sedang dalam pembangunan. Masyarakat Indonesia yang sedang dalam pembangunan, khususnya pembangunan moral memerlukan dukungan untuk kebersamaan. Kebersamaan yang dilandasi oleh toleransi bermasyarakat ditawarkan oleh seni pertunjukan kepada kita yang sedang membangun kembali jatidiri, kebanggaan, dan martabat bangsa seperti sekarang ini. Namun demikian, semuanya terpulang kepada kita sendiri. Mampukah kita menepis batas egoisme, pemaksaan kehendak, atau keserakahan yang merupakan kendala untuk melangkah ke depan.

Kepustakaan
Brodjonegoro, Satryo Soemantri, “Pengantar Semiloka Peningkatan Kualitas Pendidikan Seni di Indonesia”, Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia, 29—30 April 2003.

Coser, Lewis A., The Function of Social Conflict, Glencoe: Free Press, 1956. Majelis Luhur Taman Siswa, Karya Ki Hadjar Dewantara, Yogyakarta: 2004.

Eliade, Mircea, The Myth of The Eternal Return, terjemahan dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Inggris oleh Willard R. Trask, Princeton University Press, 1991.

Esmiet, “Ramayana dalam Lakon Versi Jawa” dalam Sarwono Suprapto dan Sri Harti Widyastuti (ed.), Ramayana Transformasi, Pengembangan, dan Masa Depannya, Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa Yogyakarta, 1998.

Kamajaya, Pilihan Anggitan K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, Yogyakarta: Yayasan Centini, 1992).

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987.

Kusmayati, A.M. Hermien, Aspek Etika dalam Bingkai Seni Pertunjukan, pidato pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 25 Maret 2006.

Morris, Desmond, Manwatching: A Field Guide to Human Behavior, New York: Harry N. Abrams, Inc., 1977.

Soedarsono, R.M., Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.

Sumodiningrat, Gunawan, Kepemimpinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 17 Maret 2001.

Werdisastro, R., Babad Songennep, Djember: 1914, transliterasi 1971


1 R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002).

2 Meminjam istilah yang dipergunakan oleh Kuntowijoyo dalam Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 6. Istilah “kategori sejarah” digunakan untuk memberi pemahaman bahwa meskipun memiliki kronologi, tetapi dapat bersifat tumpang tindih.

3 R. Werdisastro, Babad Songennep (Djember: 1914, transliterasi 1971), 18.

4 Satryo Soemantri Brodjonegoro, “Pengantar Semiloka Peningkatan Kualitas Pendidikan Seni di Indonesia” (Surakarta: Sekolah Tinggi Seni Indonesia, 29—30 April 2003), 5—6 dan lihat A.M. Hermien Kusmayati, Aspek Etika dalam Bingkai Seni Pertunjukan, pidato pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 25 Maret 2006, 2 dan 3.

5 Desmond Morris, Manwatching: A Field Guide to Human Behavior (New York: Harry N. Abrams, Inc., 1977), 24.

6 Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan di dalam Sandiwara” dalam mingguan Nasional, 8/15 Desember 1951 dalam Karya Ki Hadjar Dewantara (Majelis Luhur Taman Siswa: Yogyakarta, 2004), 347—350 dan lihat Kusmayati, 2006, 7—9.

7 Lewis A. Coser, The Function of Social Conflict (Glencoe: Free Press, 1956), 41—48.

8 Gunawan Sumodiningrat, Kepemimpinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 17 Maret 2001, lihat Esmiet, “Ramayana dalam Lakon Versi Jawa” dalam Sarwono Suprapto dan Sri Harti Widyastuti (ed.), Ramayana Transformasi, Pengembangan, dan Masa Depannya (Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa Yogyakarta, 1998), 84—88, lihat juga Kusmayati, 2006

Sumber :
Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Sejarah dengan tema “Sejarah Seni Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa” yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal 17—18 Mei 2006