Patrol Banyuwangi, Musik Tradisional di Tengah Modernitas


Oleh: Rizem Aizid

Patrol merupakan musik tradisional rakyat khas Banyuwangi yang tergolong jenis musik hiburan. Penampilannya pun hanya dilakukan sekali dalam setahun, yaitu pada saat bulan Puasa. Patrol digunakan masyarakat Banyuwangi untuk meronda memeriahkan dan menyemarakkan suasana malam bulan Puasa. Adapun pelaksanaannya dimulai sekitar tengah malam dan berakhir pada menjelang pukul 3 pagi, pada saat orang yang berpuasa bersantap “sahur”. (Ensiklopedi Seni Musik dan Seni Tari Daerah, Laporan Penilitian dan Pencatatan Kebudayaan Jawa Timur, tahun 1996/1997, hal : 192 ).

Selain patrol, kesenian tradisional rakyat Banyuwangi sangat beragam. Ada Jaranan Banyuwangi, Janger, Pacul Goang, Terbang Gending, dan lain-lain. Dari sekian kesenian musik tradisional Banyuwangi itu, Patrol termasuk salah satu jenis musik tradisional yang tetap bertahan (eksis) di tengah goncangan modernisasi. Artinya, musik patrol masih banyak diminati masyarakat (tradisional), selain karena keunikan simbolisasinya (pakaian, alat-alat musik,dll) juga karena mengusung makna filosofis yang sangat menyentuh hati. Nilai-nilai natural-filosofis kesenian tradisional ini terletak pada gaya (style) permainan dan lantunan musiknya. Untuk itu, tulisan ini akan sedikit menggambarkan musik tradisional rakyat Banyuwangi dalam bentuk seni-musik Patrol.

Dalam sejarahnya, Kesenian tradisional (Patrol) memiliki banyak keistimewaan dan keunikan dalam bentuk dan symbol yang diusungnya. Mulai dari symbol fisik (seragam yang dipakai) sampai symbol non-fisik (pesan-pesan moral). Salah satu keunikan itu adalah sisi naturalisme musik tradisional yang tidak terdapat pada musik-musik pop-modern.

Harus diakui, kemajemukan bangsa Indonesia tidak hanya pada ranah agama, etnisitas, maupun budaya. Kesenian tradisional berupa musik dan tarian, juga menjadi bagian penting dalam kemajemukan tersebut. Oleh karena itu, Indonesia harus bangga dengan kekayaan budaya-seni yang dimilikinya. Kebudayaan dan kesenian itu perlu untuk selalu dilestarikan dan dijaga dari “kolonialisasi” budaya-pop Barat.

Kesenian musik Patrol memiliki kekhasan lantunan musik yang tidak dimiliki musik-musik pop masa kini. Bukan karena alat-alat musik patrol yang terbuat dari bamboo, tetapi karena bunyi yang dihasilkannya mampu menyatukan manusia (pendengar) dengan alam semesta. Boleh dibilang, patrol adalah musik tradisional ke-alam-an.

Keindahan lantunan musik patrol menawarkan sensasi-sensasi melebihi musik-musik pop-modern. Bagi para pendengarnya, patrol dapat membuat mereka seakan-akan menyatu dengan alam. Oleh karena keunikan itulah, patrol masih dilestarikan (eksis) dalam masyarakat modern Banyuwangi.

Dalam realitas saat ini, musik tradisional patrol masih mampu menunjukkan eksistensinya di tengah kepungan budaya pop-modern. Memang, ketenaran dan “ngtrenitas” patrol masih jauh tertinggal dari musik-musik pop-modern seperti Dang Dut, Pop, Rock, Gendang Kempul, dan lain sebagainya. Akan tetapi, ketertinggalan itu tidak membuat patrol Banyuwangi tenggelam atau terlarut dalam genangan modernitas dan globalisasi. Justru sebaliknya, adalah tantangan bagi kesenian tradisional patrol untuk tetap eksis.

Tenggelamnya Nilai-Nilai ke-Alam-an Musik Patrol
Patrol mempunyai nilai-nilai filosofis ke-alam-an dalam setiap dentuman bunyinya. Hal itulah yang mengkibatkan musik patrol masih digemari masyarakat Banyuwangi. Jika dicermati secara mendalam dan menyeluruh, musik tradisional ini, secara tersirat, berusaha menyadarkan manusia (kita) bahwa manusia dan alam adalah satu dan bersifat mutualisme (saling membutuhkan). Keduanya memiliki kesamaan yang padu. Untuk itu, hubungan antara manusia dengan alam harus seimbang. Artinya, manusia tidak boleh merusak alam jika tidak ingin dirusak oleh alam.

Namun sayangnya, nilai-nilai filosofis tersebut tidak banyak diketahui orang. Selama ini, orang hanya menjadikan musik patrol sebagai musik untuk memeriahkan ronda malam. Patrol seakan sudah kehilangan ruh ke-alam-annya. Oleh karena minimnya pamahaman masyarakat terhadap nilai-nilai filosofis-humanis yang ada dalam patrol itulah, musik ini menjadi sekadar musik mainan belaka.

Di samping itu, adanya pergeseran budaya masyarakat tradisional akibat arus globalisasi dan modernitas yang tidak dapat dibendung, semakin menenggelamkan pamor patrol sebagai musik tradisional dalam belantara musik domestic. Musik patrol harus bersanding dengan musik pop-modern seperti Dangdut, Pop, Rock, dll. Hasilnya sangat jelas sekali, patrol berada jauh dibelakang. Masyarakat, tepatnya kaum muda, lebih memilih musik pop-modern ketimbang musik tradisional. Sebab, musik tradisional dianggap sudah ketinggalan zaman dan tidak mode.

Perlu diakui, Nilai-nilai humanisme dan naturalisme yang diusung musik patrol saat ini sudah hampir tidak kelihatan lagi. Pasalnya, orang hanya menjadikan musik ini sebagai musik untuk bersenang-senang, bukan menikmati secara mendalam. Oleh karena itu, kesenian musik tradisional masyarakat Banyuwangi tersebut sudah mengalami pergeseran budaya (paradigma). Dalam hal ini, Ada dua tipologi budaya yang berbeda. Pertama, tipologi masyarakat tradisional yang menempatkan musik patrol sebagai musik tradisional dengan berbagai keunikan dan keistimewaan serta pesan-pesan moral tradisionalnya. Kedua, tipologi masyarakat hedonis (modernis). Mereka menempatkan musik patrol hanya sebatas musik tradisional untuk kesenangan semata.

Dari dua tipologi itu, dapat disimpulkan bahwa pergeseran budaya pada musik patrol diakibatkan oleh arus budaya pop masa kini. Akibatnya, kesenian musik tradisional patrol tidak lagi se-tenar beberapa puluh tahun atau abad yang lalu, dimana modernitas dan globalisasi masih belum menggilas kebudayaan masyarakat Banyuwangi. Apapun itu, yang parlu dilakukan saat ini adalah melestarikan dan menjaga agar kesenian tradisional patrol tetap eksis dalam kepungan modernitas.

Patrol VS Pop, Budaya Tradisonal VS Budaya Modern
Jamak diakui, budaya tradisional dan budaya modern merupakan dua jenis kebudayaan kontradiktif yang tumbuh dalam masyarakat. Di satu pihak, masyarakat masih mengedepankan nilai-nilai etis, moral, dan tradisi dalam setiap aktivitasnya. Di sini, nilai-nilai tradisional berada di atas segalanya. Sedangkan di lain pihak, nilai-nilai tersebut tidak begitu berarti dalam pergaulan masyarakat modern. Perlu diketahui, dalam realitas masyarakat modern, nilai-nilai tradisional (norma, etis, moral, dan tradisi) tidak lagi dinomorsatukan.

Demikian pula yang terjadi pada kesenian tradisional patrol. Nilai-nilai etis, moral, dan tradisi masih sangat kental. Akan tetapi, kekentalan nilai-nilai tersebut tidak bisa menandingi budaya pop-modern. Musik-musik modern-hedonistis yang notabene mematikan nilai-nilai tradisional sangat digemari oleh kaum muda ‘hedon’ modern. Kematian nilai-nilai tradisionalitas itu sangat tampak pada beberapa jenis musik modern, seperti Dang dut, Hip Hop, dll. Sebagaimana kita ketahui, musik Dang Dut saat ini sudah tidak lagi mengindahkan tata norma masyarakat tradisional.

Dalam perkembangannya, Dang Dut yang kini mulai digemari masyarakat Indonesia telah kehilangan ruh tradisionalitasnya. Hal itu dapat dilihat dari simbolisasi permainannya. Misalnya, mempertontonkan sensualitas, busana (pakaian) yang serba terbuka dan mini, goyangan tubuh yang melanggar norma, dan lain-lain.

Mungkin masih segar dalam ingatan kita tentang kasus-kasus penyanyi Dang Dut yang baru-baru ini dikecam masyarakat luas. Ada Inul Daratista, Dewi Persik, Trio Macan, dan teman-teman sejenisnya. Mereka telah mencemarkan nama baik musik Dang Dut. Musik yang dulunya menghormati tata norma tradisional, kini telah berani tampil buka-bukaan. Karena merekalah, musik Dang Dut tidak lagi mengindahkan tata norma atau adat masyarakat tradisional.

Berbeda dengan jenis musik patrol. Musik ini masih kental dengan aroma khas tradisionalitasnya. Meskipun pada perkembangan terkini, musik patrol juga sedikit mengalami perubahan (agak kemodernan). Akan tetapi, itu tidak menghilangkan ruh tradisionalitasnya.

Hal semacam ini tidak hanya menimpa kesenian musik patrol di Banyuwangi, banyak kesenian tradisional lainnya yang masih bertahan dengan nilai-nilai tradisionalitasnya. Seperti, Jaranan, Zapin Melayu, Kentrung, Kerapan Sapi (Madura), dan kesenian tradisional lainnya. Akhirnya, semoga patrol Banyuwangi mampu menunjukkan taringnya (eksis) di tengah berbagai terpaan gelombang modernitas dan globalisasi di Indonesia. Amin!

Sumber : http://rizemweb.blogspot.com
Foto : http://www.andikafm.com