Perjalanan Wisata Minat Khusus Geowisata Gunung Merapi


Oleh: Agus Hendratno

Pendahuluan
Perjalanan wisata alam termasuk juga kegiatan wisata minat khusus, dengan menempatkan Gunung Merapi beserta bentang alam dan produk erupsi serta kehidupan budaya di sekitamya sebagai suatu obyek dan atraksi wisata alam utama di wilayah Sleman, Yogyakarta merupakan suatu pengalaman wisata yang sangat menarik. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa Gunung Merapi dengan erupsinya ditempatkan sebagai kendala dalam pengembangan pariwisata di wilayah Sleman maupun Magelang (Jawa Tengah). Gunung Merapi dengan segala tensi bentang alam dan produk erupsi yang pernah ada di wilayah Sleman, khususnya di lembah Sungai Boyong, Sungai Kuning, lembah Sungai Gendol, Dusun Kinahrejo Kaliadem, Kecamatan Pakem, dan Cangkringan, dapat menjadi potensi, keunggulan dan peluang bagi pengembangan wisata minat khusus berbasis geologi kegungungapian. Kondisi geologi kegunungapian tersebut telah menyatu dengan sikap dan persepsi masyarakat lereng Gunung Merapi sebagai bagian integral dari ekosistem Merapi, sehingga mampu melahirkan wacana Merapi volcanic culture.

Penelitian kepariwisataan umum yang menyangkut Gunung Merapi sebagal daya tarik wisata telah dilakukan oleh beberapa pihak, antara lain : Lembaga Pengabdian Masyarakat ITB dengan menyusun Studi Skenario Pengembangan Ekowisata Lereng Merapi Bagian Selatan (Anonim, 1995); Serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata (PUSPAR) UGM melalui Studi Pengembangan Wisata Vulkan Merapi (Anonim, 1999). Beberapa penelitian tersebut berhasil menunjukkan dan menempatkan bahwa keberadaan Gunung Merapi merupakan titik sentral daya tarik wisata yang mendasari setiap pengembangan produk wisata, promosi wisata, bahkan pengembangan sarana prasarana pendukung wisata yang ada di sekitar Lereng Gunung Merapi.
Penelitian geologi kegunungapian yang menyangkut sebaran awan panas, geologi Gunung Merapi, monitoring aktivitas vulkanik, aliran lahar, stratigrafi dan geokimia batuan gunungapi telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain : Wirahadikusumah, dkk. (1984), Bronto, et.al. (2000), Newhall, et.al. (2000). Salah satu kesimpulan dari basil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keberadaan Gunung Merapi merupakan laboratorium kegunungapian yang menyimpan berbagai aspek ilmiah kebumian Zaman Kuarter yang terus untuk diteliti, diantaranya aspek volcanic tourism.

Penelitian ini akhimya lebih ditekankan untuk mencari relevansi aspek geologi kegunungapian Merapi dengan daya tarik wisata minat khusus yang akhirnya dapat dikembangkan sebagal alternatif perjalanan wisata di daerah Yogyakarta. Aspek geologi kegunungapian Merapi yang meliputi : bentang alam, stratigrafi batuan gunungapi, daerah rawan bencana, penggunaan lahan sebagal daya tarik wisata alam minat khusus dan sebagai alternatif perjalanan wisata di Yogyakarta. Aspek kegunungapian Merapi, juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan produk dan promosi wisata minat khusus berbasis geologi kegunungapian di Yogyakarta. Hal ini mengingat keberadaan Yogyakarta sebagal daerah tujuan wisata utama yang sering menjadi paket perjalanan wisata jalur Borobudur Yogyakarta Bali, maupun paket Borobudur Merapi Prambanan Kraton Yogyakarta Malioboro Parangtritis.

Tinjauan Pustaka
Definisi geoekowisata sebagai suatu bagian terminologi ilmiah kebumian belum banyak dilakukan oleh para ahli kebumian. Geowisata sebagai suatu bagian dari terminologi kepariwisataan telah didefinisikan oleh Sampumo (1995) sebagai bentuk kegiatan wisata yang mengunjungi obyek-obyek geologi yang menarik. Secara empiris, pengalaman penulis seiama ini menunjukkan bahwa kegiatan yang nantinya dapat dikategorikan sebagai geowisata tidak harus pada obyek geologi yang menarik. Hal ini sangat tergantung dari seseorang yang mengunjungi ke obyek geologi tersebut, apakah seseorang tersebut sebagai bagian dari masyarakat yang memahami ilmu kebumian pada umumnya ataukah seseorang yang tidak pernah menerima pendidikan ilmu kebumian. Oleh karena itu, untuk memberikan persepsi yang sama dalam penelitian ini maka terminologi geowisata secara ilmiah kebumian maupun kepariwisataan, dapat dijabarkan sebagai berikut : bahwa geowisata merupakan salah satu bentuk perjalanan wisata alam minat khusus yang didasari oleh ketertarikan 1 rasa ingin tahu pada keragaman fenomena kebumian (geodiversify). Keragaman fenomena kebumian yang nantinya menjadi dasar komoditas produk dan promosi geowisata sebagai bentuk perjalanan wisata minatkhusus, meliputi: Proses kebumian yang aktif, seperti: letusan gunungapi dan produknya, lokasi rawan gempabumi tektonik, gerakan patahan batuan yang masih aktif, manifestasi geotermal (panasbumi), serta kawasan rawan tanah longsor.

Keindahan alam akibat proses geodinamika masa lalu maupun Resen (masa sekarang), seperti: pemandangan (gunung, sungai, pantai, karst, dataran tinggi, terumbu karang), yang diikuti dengan pembelajaran wawasan ekologi. Aspek kebudayaan masa lalu yang mengikuti perkembangan geodinamika, seperti: situs hancurnya peninggalan purba oleh bencana alam masa lalu; situs arkeologi dan paleoantropologi.

Kegiatan eksploitasi sumberdaya geologi, seperti: eskploitasi minyak dan gas bumi, tambang emas, tambang batubara, juga pertambangan rakyat. Kegiatan eksploitasi sumberdaya geologi yang bermasalah terhadap iingkungan di sekitamya.

Geowisata sebagai bentuk perjalanan wisata alam termasuk dalam kategori wisata minat khusus. Pengertian wisata minat khusus menurut Hall & Weiler (1982) adalah sebagai berikut :
Suatu bentuk perjalanan wisata dimana wisatawan mengunjungi suatu tempat, karena memiliki minat atau tujuan khusus mengenai sesuatu jenis obyek atau kegiatan yang dapat ditemui atau dilakukan di lokasi daerah tujuan wisata / tempat yang menarik dari aspek lingkungan fisik, sosial dan budayanya. Wisata aktif, dimana wisatawan terlibat secara aktif dalam berbagai kegiatan di lingkungan fisik (termasuk aspek fenomena kebumian/geologi) atau lingkungan komunitas/sosial budaya yang dikunjunginya.

Geowisata sebagai bentuk perjalanan wisata minat khusus mempunyai aspek REAL Travel (Hall & Weiler, 1982), yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

• Rewarding (penghargaan), yaitu penghargaan atas sesuatu obyek dan daya tarik wisata yang dikunjunginya, yang diwujudkan pada keinginan wisatawan untuk dapat belajar memahami atau bahkan mengambil bagian dalam aktivitas yang terkaitdengan proyektersebut.

• Enriching (pengkayaan), yaitu mengandung aspek pengkayaan atau penambahan pengetahuan dan kemampuan terhadap sesuatu jenis atau bentuk kegiatan yang diikuti wisatawan.

• Adventurism (petualangan), yaitu mengandung aspek pelibatan wisatawan dalam kegiatan yang memiliki sesuatu resiko secara fisik dalam bentukkegiatan petualangan.

• Learning (proses belajar), yaitu mengandung aspek pendidikan melalui proses belajar yang diikuti wisatawan terhadap sesuatu kegiatan edukatif tertentu yang diikuti wisatawan.

Morfologi
Secara morfologi, kawasan Gunung Merapi bagian selatan merupakan lereng gunungapi yang ke arah selatan mempunyai elevasi semakin kecil dan akhimya berubah menjadi dataran fluvio-vulkanik di Yogyakarta. Kemiringan topografi kawasan lereng Merapi bagian selatan dengan potongan vertikal utara selatan dapat dikiasifikasikan menjadi 5 unit mortologi (label 1). Kegiatan perjalanan geowisata ini dapat dikembangkan dari Puncak Merapi hingga ke lereng bawah - kaki vulkan Merapi. Fenomena morfologi yang dapat menjadi daya tarik geowisata adalah lansekap aliran sungai, tebing sungai, lembah curam lereng gunungapi, puncak bukit di lereng gunungapi. Perpaduan antara unsur mortologi dengan unsur vegetasi (flora) yang tumbuh di atasnya telah menjadi daya tarik aiamiah lembah hingga tinggian di kawasan lereng Gunung Merapi bagian selatan.

Geologi Kegunung Apian
Gunung Merapi, yang terletak di perbatasan wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta ini, merupakan satu dan 129 gunungapi yang ada di Indonesia dan merupakan yang paling aktif. Periode letusan Gunung Merapi tercatat 2-8 tahun, tetapi aktivitas kecil seperti pembentukan kubah lava terjadi hampir sepanjang tahun. Puncak Gunung Merapi ini mempunyai ketinggian kurang lebih 2.968 m dari permukaan laut (dpl). Posisi geografis terletak pada 32,51 LS dan 110° 26.5 BT.

Gunung Merapi yang merupakan gunungapi tipe strato/andesitik dengan kubah lava dan dua lapangan solfatara Gendol dan Woro adalah salah satu dari 45 gunungapi aktif yang senantiasa diwaspadai dan dipantau secara terus menerus. Hal ini mengingat bahwa aktivitas erupsi Gunung Merapi dapat dikatakan hampir terjadi setiap tahun dengan munculnya atau pembentukan kubah lava baru di puncaknya. Karenanya Gunung Merapi ini dijadikan sebagai the most active volcano in the world dan juga oleh The International Decade Natural Disaster Reduction (IDNDR) ditetapkan sebagai The Decade Volcano of The World pada tahun 1994, sama dengan Gunung Etna di Italia. Ciri khas dari letusan Gunung Merapi adalah adanya guguran lava pijar dan kubah lava, yang dapat menyebabkan erupsi awan panas dengan jarak luncur mencapai 6-7 km (letusan 22 Nopember 1994 dan erupsi Merapi Februari 2001) dari puncak Merapi. Tipe erupsi yang khas ini dijadikan model untuk sebuah tipe erupsi, yang selanjutnya diberi nama Tipe Merapi (Merapi Type Eruption). Menurut Bronto (1996), erupsi Tipe Merapi ini telah dijadikan acuan bagi gunungapi lain yang berciri sama di dunia.

Istilah awan panas dikenal di Indonesia dan khusus di Gunung Merapi juga disebut “wedhus gembel". Hal ini dikarenakan secara visual, awan panas nampak bergumpal¬-gumpal seperti awan atau bulu domba, yang berwama putih hingga putih abu-abu gelap, yang tersusun oleh campuran bahan padat berbagai ukuran dan gas, bersuhu tinggi, bergerak sangat cepat menuruni lereng gunungapi. Bronto (1996) menjelaskan bahwa

Keterangan
Resiko bencana Merapi:
Perkiraan tingkat kerusakan, kerugian, penderilaan, kefatalan, kehilangan karena bencana Merapi yang menimpa suatu kelompok masyarakat.

Ketahanan masyarakat:
Kondisi kesiap-siagaan suatu masyarakat selaras dinamis untuk membina ketahanan menghadapi suatu peristiwa bancana alam yang bisa mengancam integritas, identitas, dan kehidupan kolektif sosial masyarakat tersebut (tingkat kewaspadaan).

Faktor ketahanan masyarakat meliputi:
• Persepsi masyarakat terhadap G. Merapi dan lingkungannya, serta bencananya
• ikap gotong royong masyarakat menghadapi pencegahan dini terhadap resiko kerugian bencana alam
• Terakomodasinya serta dipahaminya sistem peringatan dini ke masyarakat
• Tersedianya jalur pengungsian dan barak pengungsian yang memadai


Faktor Manusia = Hidup + Kehidupan
Hidup = jiwa raga
Kehidupan = aktivitas budidaya: pariwisata,pertanian, perkebunan, perhutanan, perrnukiman, Pertambangan, sosial kemasyarakatan.

Seberapa tingkat kewaspadaan masyarakat Kinahrejo Kaliadem (sekitar hula Sungai Kuning dan Sungai Gendol), terutama yang masih menetap di Daerah Terlarang dan juga Daerah Bahaya 1, dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan data (wawancara) yang diambii secara acak (random) terhadap sejumlah masyarakat yang menetap di Kinahrejo Kaliadem menunjukkan 88.6 % masyarakat tidak merasa khawatir terhadap kemungkinan letusan Gunung Merapi yang melanda wilayahnya, atau dengan kata lain adalah tidak merasa khawatir adanya resiko bahaya awan panas yang melanda wilayahnya.

Sebagian besar masyarakat lokal yang merasa tidak khawatir terhadap resiko bencana (khususnya awan panas Gunung Merapi) mempunyai alasan "pasrah" tarhadap kehendak Sang Pencipta melalui letusan "kemarahan" Gunung Merapi. Bentuk kepasrahan" masyarakat Kinahrejo Kaliadem terhadap "kemarahan"/aktivitas Gunung Merapi hingga pada level Siaga Merapi Awas Merapi (seperti yang pernah terjadi pada sekitar awal tahun 2001) akan melahirkan komunitas budaya volkanik yang unik. Komunitas budaya volkanik tersebut tercermin dalam apresiasi dan persepsinya terhadap unsur lingkungan alam sekitarnya, seperti : unsur gunung dan sungai sebagai "sesuatu yang hidup" ; unsur hutan sebagai sumber mata ¬pencaharian primer (kegiatan berladang, merumput, mengambil ranting-ranting kayu yang keying untuk kayu bakar); unsur batuan (bongkah-bongkah andesit, fragmen aliran pirokiastik) sebagai " sesuatu yang hidup dan diuri-uri" juga sebagai sumber pendapatan sekunder; Serta unsur mata-air sebagai sumber keberlangsungan hidup masyarakat. Pemahaman terhadap bentuk apresiasi dan persepsi masyarakat tersebut terhadap lingkungan alam Gunung Merapi akan membentuk wawasan dan pengalaman yang mendalam bagi setiap wisatawan/pengunjung luar wilayah tersebut yang mampu menangkap fenomena volcanic culture. Sekalipun aktivitas Gunung Merapi meningkat, masyarakat Kinahrejo Kaliadem tetap menunjukkan "kepasrahanan" dengan melakukan kegiatan sosial ekonomi sehari-hari tanpa memperlihatkan rasa khawatir terhadap kemungkinan letusan awan panas melanda wilayahnya. Mereka beranggapan bahwa interaksi damai, harmoni, yang dibangun secara turun-temurun antara masyarakat Kinahrejo Kaliadem dengan Gunung Merapi sebagai sesuatu yang "diuri-uri" akan "terhindarkan" dari ancaman malapetaka aliran pirokiastik yang akan melanda wilayahnya. Interaksi apresiasi dan persepsi masyarakat secara budaya akan melahirkan kearifan tradisional terhadap unsure geo-ekologi di sekitarnya. Kearifan tersebut juga merupakan salah satu daya tarik keragaman etno-geologi masyarakat lereng Gunung Merapi sebagai produk dan promosi geowisata kegunungapian.

Tabel 1. Unit Morfologi Kawasan lereng Gunung Merapi bagian selatan, Sleman.

Unit Morfologi

Kriteria Tofografi dan Geowisata


1

Kerucut vulkan
Gunung Merapi

Sebagian berupa kawah vulkanik G. Merapi. Kemiringan lereng sangat curam : mencapai > 25° Elevasi : 2960 - 1800 m dpi.

Kegiatan geowisata: petualangan berat dengan pendakian puncak Merapi dan Jalur Kinahrejo


2

Lereng atas vulkan
Gunung Merapi

Sebagian berupa lembah-lembah dalam yang sangat curam dan beberap bukit (misal: G. Tarp, G. Plawangan) di sekitar lereng atas G. Merapi. Kemiringan lereng pada umumnya curam: mencapai 250 -15°. Elevasi : 1800 -1000 m dpl.

Kegiatan geowisata : petualangan berat, jelajah ekosistem hutan dan produk erupsi Merapi di masa lalu.


3

Lereng bawah
vulkan Gunung
Merapi

Topografi umumnya bergelombang dan miring landai ke Selatan.

Kemiringan lereng sekitar 15°- 10°- Elevasi 1000 - 425 m dpl.

Kegiatan geowisata: apresiasi dan interpretasi produk erupsi Merapi

terhadap aktivitas masyarakat dan komponen lingkungan fisik – persepsi budaya masyarakat lereng Merapi.


4

Kaki vulkan
Gunung Merapi

Topografi sebagian besar sangat landai hingga hampir datar dengan

kemiringan 10° - 5°. Elevasi 425 - 200 m dpl.

Kegiatan geowisata: apresiasi pengeruh bentang alam dan produk erupsi Merapi terhadap aktivitas masyarakat pada umumnya.


5

Dataran fluvio-vulkanik
Yogyakarta

Topografi dataran dan sebagian besar dipengaruhi proses deposisi sungai di bagian hilir lereng G.Merapi Selatan. Kemiringan kurang dari <>

Kegiatan geowisata : apresiasi pengaruh bentang alam dan produk Merapi terhadap keberlanjutan kegiatatan masyarakat pada umumnya.



Tabel 2: Persepsi Masyarakat lereng gunung merapi terhadap kemungkinan letusan awan panas yang melanda wilayahnya


Persepsi masyarakat

Masyarakat sekitas Sungai Kuning-Kinahrejo Kali Adem (N=35 orang)

Khawatir

11,4 %

Tidak khawatir (siap siaga)

88,6 %


Pembahasan
Proses kegunungapian Merapi pada masa lalu telah membentuk tatanan geologi yang khas di daerah penelitian, yang meliputi adanya Endapan Merapi Tua dan Endapan Merapi Muda. Endapan Merapi Tua (Rahardjo, dkk., 1995) di sekitar Kinahrejo terdiri dan aliran lava andesit, basaltik yang bersifat keras, kompak. Aliran lava andesit tersebut sebagian tersingkap sebagai dasar aliran sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi (Sungai Kuning dan Sungai Gendol). Endapan Merapi Muda menempati sebagian besar kawasan lereng Gunung Merapi bagian selatan, umumnya berupa bongkah andesit lepas, kerakal-kerikil andesit, endapan awan panas, serta endapan lahar yang bersifat lepas, agak kompak dan porous. Sebagian Endapan Merapi Muda tersebut juga membentuk urutan vertikal yang sangat menarik di tebing terjal Sungai Kuning maupun Sungai Gendol. Perpaduan antara susunan vertikal batuan gunungapi yang menempati tebing vertikal pada lembah sungai telah membentuk pemandangan bentang alam gunungapi yang sangat menarik (volcanic scenic range).

Produk endapan awan panas masa lalu yang ditemukan di Dusun Kinahrejo, dan saat ini menjadi tumpuan bangunan rumah tinggal komunitas masyarakat lereng Gunung Merapi merupakan wacana kerawanan bencana erupsi gunungapi yang suatu saat dapat terulang kembali melanda kawasan tersebut. Wacana kerawanan bencana erupsi gunungapi tersebut menyatu menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat di Dusun Kinahrejo Kaliadem, yang justru tidak merasa khawatir terhadap ancaman bahaya Gunung Merapi ketika status monitoring gunungapi hingga pada level Siaga Merapi. Kondisi ini merupakan karakteristik dari adanya wacana etno-geologi yang berkembang di daerah penelitian, sehingga mampu menempatkan wacana tersebut sebagai produk geowisata yang unik.

Geowisata Merapi sebagai model perjalanan wisata minat khusus di daerah penelitian (hulu Sungai Boyong, Sungai Kuning, Sungai Gendol, Kinahrejo, Kaliadem) kecamatan Cangkringan, mempunyai cakupan aspek dalam REAL Travel, antara lain :

• Rewarding (penghargaan): artinya mempunyai aspek penghargaan terhadap suatu obyek/daya tarik fenomena kegunungapian yang dikunjungi, yang diwujudkan pada keinginan wisatawan dapat belajarmemahami obyektersebut.

• Enriching (pengkayaan pengembangan diri): artinya mempunyai aspek penambahan pengetahuan dan kemampuan (pengkayaan) terhadap suatujenis perjalanan geowisata.

• Adventure (petualangan): artinya mempunyai aspek pelibatan wisatawan dalam kegiatan yang memiliki tantangan fisik/bentuk perjalanan mengamati obyek kegunungapian atau kegiatan petualangan terhadap singkapan obyek geologi gunungapi.

• Learning (proses pembelajaran): artinya mempunyai aspek pendidikan 1 proses belajar yang diikuti wisatawann terhadap sesuatu pembelajaran terhadap materi dan proses kegunungapian terhadap masyarakat yang tinggal di daerah bahaya Merapi.

Berdasarkan kondisi lingkungan alam dan budaya kegunungapian Merapi, obyek-¬obyek ketertarikan wisatawan yang berkunjung ke daerah penelitian sangat bervariatif, antara lain meliputi :
• Endapan pirokiastik pada dinding Sungai Boyong, Kaliurang Barat: apresiasi terhadap materi, proses dan dampak.

• Mata-air dan aliran lava andesit di hulu Sungai Kuning: apresiasi terhadap proses, manfaat dan dampak.

• Urutan vertikal endapan piroklastik, Sungai Kuning: apresiasi terhadap materi, proses dan dampak event Labuhan Merapi di Kinahrejo: apresiasi terhadap persepsi dan sikap masyarakat pada keberadaan gunungapi: Merapi Volcanic Culture

• Watu-gajah & Watu-tumpeng (berupa bongkah andesit produk aliran pirokiastik) di Kaliadem: apresiasi dan sikap masyarakat pada produk erupsi Merapi sebagai sesuatu yang “hidup”: Merapi Volcanic Culture.

• Endapan banjir lahar dan cekdam di Sungai Gendol: apresiasi terhadap materi, proses, manfaat, dampak dan teknologi.

• lnteraksi antara morfologi lembah
Bentuk-bentuk ketertarikan terhadap obyek lingkungan alam dan budaya kegunungapian tersebut, maka secara nyata bahwa model REAL Travel dalam daya tarik geowisata Merapi dapat dimaknai sebagai berikut:

• Penghargaan, pengkayaan, dan pembelajaran terhadap keberadaan materi, proses, manfaat, dampak (bahaya), dari lingkungan fisik dan kegiatan kegunungapian (Merapi) di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.

• Penghargaan, pengkayaan, dan pembelajaran terhadap sikap dan persepsi masyarakat Lereng Merapi terhadap materi, proses, dampak (bahaya) dan manfaat kegunungapian (Merapi) secara sosial dan culture.

• Penghargaan dan pengkayaan terhadap keberadaan Merapi Volcano Scenic Memberikan rewardng- learning terhadap sebuah produk erupsi Merapi, yang akhimya dijadikan sesuetu yang ‘berjiwa atau dikeramatkan‘. Ini sebagai simbd kuatnya Merapi volcanic culture.

• Range (lingkungan fisik dan komposisi vegetasinya).

• Adventure : melakukan observasi dan proses pembelajaran dengan berjalan kaki, menuruni lembah sungai - lereng bukit; serta interaksi sosial masyarakat Lereng Merapi.


Tabel 4. Skenario kegiatan dan produk perjalanan geowisata pada aliran Sungai Boyong, Kaliurang Barat, Lereng Merapi Selatan



Tabel 5. Skenario kegiatan dan produk perjalanan geowisata pada aliran Sungai Kuning bagian hulu - Kinahrejo, lereng Merapi selatan



Tabal 6. Skenarlo kegiatan dan produk perjalanan geowisata pads mataair Umbul lanang, bagian huiu Sungal Kuning - Klnahrejo, Lereng Merapi selatan



Tabel 7. Skenario kegiatan dan produk perjalanan geowisata pada Upacara Labuhan


Tabel 8. Skenario kegiatan dan produk perjalanan geowisata pada dasar aliran Sungal Gendol bagian hulu dan bangunan Sabo Dam, Dusun Kaliadem, Lereng Merapi selatan



Kesimpulan
Hasil identitikasi daya tarik geowisata Gunung Merapi di wilayah Sleman meliputi: endapan aliran pirokiastik di aliran Sungai Boyong Sungai Kuning Sungai Gendol bagian hulu termasuk teknologi pengendali aliran lahar hujan; hutan lindung sebagai bentuk ekosistem Merapi; fenomena munculnya mata-air; fenomena budaya vulkan Merapi dan persepsi masyarakat terhadap situs Ringin Putih Watu-gajah Watu-tumpeng Upacara Labuhan Merapi; persepsi masyarakat terhadap tempat tinggalnya di daerah rawan bencana Merapi; serta aspek volcanic scenic range dari topografi lembah lereng Merapi bagian selatan. Pengembangan kegiatan geowisata pada prinsipnya merupakan bentuk aktivitas wisata yang tidak merusak lingkungan alam setempat, bahkan mempunyai aspek rewarding enriching, serta learning terhadap kondisi lingkungan maupun masyarakat lokal di Lereng Merapi selatan.

Penyusunan skenario perjalanan geowisata di wilayah Cangkringan (terutama Dusun Kaliurang barat, Kinahrejo dan Kaliadem), sekalipun daerah tersebut merupakan daerah rawan bencana Merapi. Kegiatan geowisata Merapi yang berbasis pada lingkungan fisik kegunungapian dan etno¬geologi dari masyarakat lereng Merapi dapat dikembangkan melalui pembinaan dan pengarahan masyarakat dalam upaya melanggengkan budaya masyarakat lereng Merapi yang lebih balk. Kenyataan ini telah banyak mengundang rasa ingin tahu bagi orang luar daerah atau wisatawan untuk berkunjung ke daerah tersebut. Namun demikian, kegiatan geowisata sebagai bentuk REAL Travel belum sepenuhnya menjadi hal yang menarik bagi pengunjung, karena kenyataannya belum sampai pada proses rewarding dan learning dari aspek wisata minat khusus tersebut.

Daftar Pustaka
Anonim,1990, Gunung Merapi, dalam Berita Berkala Vuikanologi (edisi khusus); Direktorat Vulkanologi, Bandung.

Anonim, 1995, Skenano Pengembangan Ekowisata Lereng Merapi Bagian Selatan, Laporan Akhir; Lembaga Pengabdian pada Masyarakat ITB Bandung dan DirektoratTeknologi Pemukiman dan Ungkungan Hidup BPPT, Jakarta, tidak dipublikasikan.

Anonim, 1999. Pengembangan wisata Vulkan Merapi; Pusat Penelitian Pengembangan Pariwisata (PUSPAR) UGM, Yogyakarta, tidak dipublikasikan.

Bronto, S., 1996, Apa yang dapat dilakukan oleh Ilmuwan Yogyakarta terhadap Gunungapi Merapi dan lingkungan hidup di sekitamya, dalam Seminar Bulanan Akademi llmu Pengetahuan Yogyakarta (AMY), 22 November 1996, Yogyakarta, 18 bal.

Bronto, S., Ratdomopurbo, Andreastuti, S., & Budianto, A., 2000, Merapi Volcano Borobudur; Guidebook Fieldtrip A-2, International Association of Volcanology and Chemistry of the Earth‘s Interior (IAVCEI), July 12-17, Volcanology Survey Indonesia, Bandung.

Hall, C.H. & Weiler, B., 1992, Introduction. What‘s Specal about Special Interest Tourism ? in Weiler, B. & Hall, C.H. (ads), 1992, Special Interest Tourism, Belhaven Pers John Wiley & Sons Inc., London, p 1-14.

Howard, A.D. & Remson, I., 1978, Geology in Environmental Planning, McGraw-Hill Book Company, New York.

Newhall, C.G., Bronto, S., Alloway, B., Banks, N.G., Bahar, I., del-Marmot, M.A., Hadisantoso, R.D., Holcomb, R.T., McGeehin, J., Miksic, J.N., Rubin, N., Sayudi, D.S., Sukhyar, R., Andreastuti, S., Tilling, R.I., Torley, R., Trimble, D., & Wirahadikusumah, A.D., 2000, 10.000 Year‘s of Explosive Eruptions of Merapi Volcano, Central Java : Archaeological and Modem Implications; in Journal of Volcanology and Geothermal Research 100, New York, p 9-50.

Pardyanto, L., Reksowirogo, L.D., Mitrohartono, F.X.S., & Hardjowarsito, S.H., 1978, Peta Daerah Bahaya Gunung Merapi, Jawa Tengah, skala 1 : 100.000, Direktorat Geatogi, Bandung.
Rahardjo, W., Sukandan-umidi, & Rosidi, H.M.D., 1995, Peta Geologi Lembar Yogyakarta (edisi khusus) skala 1 : 100.000, Puslitbang Geologi, Bandung.

Sampumo, 1995, Geologi dan Kepariwisataan, dalam Kumpulan Makalah Seminar Nasional lnformasi Geologi dalam Pengembangan Tata Ruang Kota dan Wilayah, Lustrum VIII HMTG GE~4ITS, Bandung.

Valentine, P.S., 1992, Nature-based Tourism, in Weiler, B. & Hall, C.H. (eds), 1992, Special interus‘ Tourism, Belhaven Pers John W ley & Sons Inc., London, p 105 128.

Weiler, B. & Kalinowski, K.M., 1992, Educational Travel in Weiler, B. & Hall, C.H. (eds), 1992, Special Interest Tourism, Belhaven Pers John Wiley & Sons Inc., London, p 15- 26.

Wirahadikusumah, A.D., Juwama, H., & Lubis, H., 1984, Peta Geologi Gunungapi Merapi, Jawa Tengab, skala 1 : 50.000, Direktorat Vulkanologi, Bandung.
__________
Agus Hendratno adalah Dosen Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Sumber: Jurnal Pleslonsl Pariwisata, Volume 2, Nomor 2, Desember 2002 dan i-lib.ugm.ac.id
Foto : http://haarrr.files.wordpress.com