Pengelolaan Taman Wisata Alam Laut Gili Matra, Kabupaten Lombok Barat

Oleh Imam Bachtiar

Pendahuluan
Taman Wisata Alam Laut (TWAL) merupakan salah satu bentuk dari Kawasan Konservasi Laut (KKL) yang dikelola di bawah kewenangan Departemen Kehutanan. TWAL Gili Matra atau kadang disebut TWAL Gili Indah merupakan salah satu kawasan konservasi laut yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan. Pengelolaan TWAL Gili Matra dapat menjadi contoh kasus yang baik dimana BKSDA sebagai lembaga pemegang mandat pengelolaan KKL memiliki kewenangan yang tidak cukup untuk melaksanakan tugasnya.

KKL mempunyai peranan yang sangat penting baik secara ekologis maupun ekonomis, sehingga pengelolaannya harus menjadi prioritas utama. Jika kawasan konservasi yang luas sudah terbentuk akan terjadi pemulihan keanekaragaman dan biomassa di dalam kawasan dan spill-over sumberdaya ke luar kawasan. Hasil kajian (review) oleh Halfern and Warner (2002) menunjukkan bahwa kawasan konservasi laut (marine reserve) mampu menunjukkan kenaikan kelimpahan, biomassa, ukuran tubuh dan keanekaragaman dalam waktu kurang dari tiga tahun. Gell and Roberts (2003) juga menunjukkan sejumlah bukti bahwa pembentukan kawasan konservasi di laut benar-benar dapat mengembalikan stok sumberdaya ikan yang rendah dan memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di dalam kawasan.

Ukuran KKL yang dibutuhkan untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati di laut merupakan isu yang kritis. Pada kawasan konservasi yang telah dilaporkan sukses luasnya sangat bervariasi, misalnya Apo Island (10%), Merritt Island (22%), Georges Bank (25%), Nabq (33%), dan St Lucia (35%) dari luas kawasan (Gell and Roberts 2003). Angka praktis yang sering digunakan sebagai ukuran kawasan tanpa eksploitasi (no take area, NTA) untuk melindungi seperlima dari induk pemijah adalah 20%. Tetapi angka ini dianggap terlalu kecil untuk melindungi fungsi ekosistem. Berdasarkan model yang terbaru NTA seharusnya >30% dari seluruh kawasan yang tersedia (Sale et al. 2005). Ukuran NTA sebesar itu akan sangat sulit untuk diterapkan di Indonesia. Halpern (2003) menyatakan pendapat yang berbeda bahwa luas kawasan konservasi tidak berbanding lurus dengan peningkatan efektivitas kawasan tersebut untuk meningkatkan populasi ikan. Pengawetan keanekaragaman spesies memang membutuhkan ukuran NTA yang lebih besar daripada yang dibutuhkan untuk sekadar mempertahankan kelimpahan populasi.

Indonesia yang memiliki target untuk memperluas KKL hingga 20 juta hektar pada tahun 2010 mempunyai masalah yang besar di dalam pengelolaannya. Dari 113 KKL marine protected area (MPA) yang telah dibangun hanya tiga kawasan yang mempunyai kondisi baik (Burke et al, 2003). Laporan resmi pemerintah tentang pengelolaan KKL yang berjalan baik dapat saja jauh lebih banyak. Tetapi, jika laporan tersebut dikaji lebih dekat maka peran pemerintah di dalam pengelolaan tersebut bisa jadi sangat kecil, sedangkan peran terbesar dikendalikan oleh masyarakat. Pengelolaan TWAL Gili Matra merupakan kasus yang unik di dalam pengelolaan kawasan konservasi. Makalah ini dimaksudkan untuk membahas contoh kasus tersebut sehingga dapat dirumuskan pelajaran yang dapat dipetik dan rekomendasi untuk perbaikan pengelolaan KKL di Indonesia.

Kondisi Geografis
TWAL Gili Matra yang mempunyai luas kawasan sebesar 2954 ha terletak di Kabupaten Lombok Barat. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sedangkan di sebelah barat dan selatan berbatasan dengan Selat Lombok. Di sebelah timur berbatasan dengan selat kecil yang menghubungkan Gili Air dengan daratan Pulau Lombok. Di dalam TWAL terdapat pemukiman penduduk yang tergabung dalam satu pemerintahan desa, yaitu Desa Gili Indah. Sejak awal TWAL di bagian utara Kabupaten Lombok Barat ini dikenal sebagai TWAL Gili Indah, Kecamatan Pemenang. Tetapi sejak tahun 2005, BKSDA mulai memperkenalkan dan mempopulerkan nama TWAL Gili Matra. Sebelumnya KKL tersebut lebih popular dengan nama TWAL Gili Indah.

TWAL Gili Matra terdiri atas tiga pulau kecil (gili), yaitu Gili Meno (150 ha), Gili Air (175 ha) dan yang paling besar adalah Gili Trawangan (340 ha). Ketiga pulau tersebut berpenghuni. Jumlah penduduk Desa Gili Indah telah meningkat lima kali dalam satu dekade terakhir. Jumlah penduduk pada tahun 2006 adalah 3195 jiwa, sedangkan pada tahun 1997 penduduk Desa Gili Indah hanya sebesar 522 jiwa. Pendidikan penduduk pada umumnya terbatas sampai sekolah dasar (SD). Sebagian besar penduduk asli mengaku dari suku Bugis. Tingginya penduduk migran sebagai tenaga kerja pariwisata telah banyak mengubah budaya masyarakat Desa Gili Indah. Rumah panggung yang dulu sangat banyak ditemukan di ketiga pulau sekarang sudah banyak berganti dengan rumah tanah (bawah).

Sebelum ditetapkan sebagai TWAL, ketiga pulau tersebut merupakan wilayah yang memiliki perkembangan pariwisata sangat pesat. Pada tahun 1987, hanya ada dua penginapan yaitu Paradiso di Gili Air dan Pondok Pak Majid di Gili Trawangan. Pertumbuhan usaha penginapan meningkat pesat dengan meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara. Di akhir tahun 1980-an, Pemerintah Daerah Lombok Barat menetapkan bahwa ketiga pulau tersebut hanya diperuntukkan sebagai obyek wisata, sedangkan penginapan hanya dibangun di daratan Lombok. Tingginya permintaan wisatawan akan penginapan di pulau kecil dan lemahnya penegakan hukum membuat masyarakat banyak membuka usaha penginapan.

Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan pemerintah dalam pengembangan pariwisata di kawasan tersebut terus berlanjut. Ketika pertumbuhan penginapan di pulau tidak dapat dicegah oleh pemerintah, Pemerintah Daerah Lombok Barat kemudian menetapkan surat keputusan Bupati yang dikenal sebagai “SK 500”. Di dalam keputusan tersebut dibatasi jumlah kamar penginapan masing-masing 100 kamar, 200 kamar, dan 300 kamar di Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan. Sekali lagi pembatasan ini juga dilanggar masyarakat. Demikian juga Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang telah diperdakan juga tidak dapat diimplementasikan. Pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak hanya dilakukan oleh pengusaha dan masyarakat, tetapi juga oleh pemerintah. Misalnya, walaupun jumlah kamar di Gili Trawangan sudah jauh melebihi kuota pemerintah (>400 kamar), tetapi pemerintah masih memberikan hadiah atau konsesi penambahan kamar kepada sebuah hotel yang dianggap berjasa.

Pada tahun 2006, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat sekali lagi mengupayakan pengaturan kawasan wisata alam laut tersebut. Pemerintah Kabupaten membuat Rencana Tata Bangunan dan Lahan (RTBL) untuk menertibkan banyak bangunan yang telah melanggar sempadan pantai. Tetapi protes keras dari masyarakat membuat pemerintah tidak berani melakukan penegakan peraturan yang telah dibuatnya. Hingga tahun 2007, hampir semua aturan pemerintah dalam pengembangan pariwisata tidak dapat diimplementasikan di Desa Gili Indah.
Pengelolaan Sumberdaya di Dalam TWAL

Pengelolaan sumberdaya di dalam TWAL Gili Matra selama ini dapat dibagi menjadi dua, pengelolaan sumberdaya daratan oleh pemerintah kabupaten dan pengelolaan sumberdaya laut oleh BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam). Pada saat ini, kedua pengelolaan sumberdaya tersebut tidak dapat dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat mengelola kedua kelompok sumberdaya tersebut secara mandiri dan menolak campur tangan pemerintah. Orientasi pengelolaan oleh masyarakat yang lebih condong mengacu kepada pertumbuhan pariwisata dapat mengancam kelestarian sumberdaya itu sendiri. Hal ini bisa jadi belum sepenuhnya disadari oleh masyarakat Desa Gili Indah, sehingga pengendalian dari pengelolaan tersebut sebaiknya tetap dilakukan oleh pemerintah.

Secara hukum, BKSDA merupakan pemegang mandat pengelolaan TWAL Gili Matra, sejak ditetapkannya TWAL Gili Matra dengan SK Menhut 85/Kpts-II/1993. Tetapi sayangnya mandat tersebut hanya berlaku di lautan, sedangkan mandat pengelolaan sumberdaya daratan dipegang pemerintah kabupaten. Pengelolaan yang terpadu mensyaratkan keterpaduan pengelolaan di daratan dan lautan. Koordinasi yang menjadi pintu keterpaduan tersebut seringkali sulit dilakukan oleh BKSDA karena perbedaan eselonisasi dan kepentingan ekonomi. Dengan hambatan yang demikian besar pengelolaan terpadu di TWAL Gili Matra tampaknya cukup sulit diwujudkan dalam kondisi sekarang.

Pengelolaan sumberdaya lautan di TWAL Gili Matra baru dimulai enam tahun setelah ditetapkannya Desa Gili Indah sebagai TWAL. Hingga akhir tahun 1998, belum ada rencana pengelolaan sumberdaya yang dibuat oleh pemerintah (BKSDA). Seorang jagawana dari BKSDA NTB ditempatkan di sebuah pos di Gili Trawangan pada tahun 1998. Pada pertengahan tahun 1998, proyek pengelolaan terumbu karang COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) menjadikan TWAL Gili Matra sebagai pilot pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat. Di dalam kegiatan COREMAP tersebut masyarakat diajak berdikusi untuk membuat rencana pengelolaan yang berbentuk sebagai rencana zonasi pemanfaatan kawasan terumbu karang.

Pada tanggal 28 September 1998, rencana pengelolaan tersebut dapat disepakati oleh masyarakat dan disyahkan oleh Pemerintah Desa dan Pemerintah Kabupaten. Di dalam proses penyusunan rencana pengelolaan tersebut, sayangnya, partisipasi dari kelompok pengusaha wisata rendah. Masyarakat lokal banyak yang berpikiran bahwa pengusaha wisata yang umumnya bukan orang yang lahir di Desa Gili Indah sehingga tidak mempunyai hak untuk merencanakan masa depan pulau. Walaupun rencana pengelolaan COREMAP tersebut tidak berjalan semestinya, sejarah pengelolaan sumberdaya di TWAL Gili Indah bermula dari rencana pengelolaan tersebut (Bachtiar, 2000).

Pada awal tahun 1999, BKSDA juga mensosialisasikan rencana zonasi TWAL Gili Indah dimana kawasan terumbu karang dibagi-bagi menjadi Blok Zona Inti, Blok Zona Penyangga dan Blok Zona Pemanfaatan. Di dalam sebuah Rapat Desa Gili Indah, masyarakat dan aparat desa mengaku tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan rencana zonasi BKSDA tersebut. Hasil rapat di Desa Gili Indah menyepakati bahwa rencana zonasi BKSDA akan diimplementasikan oleh staf BKSDA sendiri, sedangkan rencana zonasi COREMAP akan diimplementasikan oleh kelompok masyarakat.

Kedua rencana zonasi tersebut (COREMAP dan BKSDA) akhirnya tidak dapat diimplementasikan di lapangan. Rencana zonasi COREMAP tidak dapat diimplementasikan karena tindaklanjut zonasi tersebut, misalnya pembuatan batas-batas zona dan penyediaan dana pengawasan, tidak dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Rencana zonasi dari BKSDA tidak dapat diimplementasikan karena BKSDA tidak memiliki cukup staff dan dana untuk melakukan pengawasan. Krisis moneter yang menyebabkan krisis keamanan telah menyebabkan meningkatnya frekuensi penangkapan ikan dengan bom dan racun (potas). Penangkapan ikan dengan bom menyebabkan gangguan yang sangat besar pada kunjungan wisatawan ke Gili Matra, karena sekitar 70% wisatawan asing yang datang adalah penyelam SCUBA.

Banyaknya keluhan dari wisatawan membuat para pemuka Desa Gili Indah menyusun sebuah awig-awig (rencana) yang melarang penggunaan bom di awal tahun 2000. Penyusunan awig-awig tersebut diinspirasikan oleh kegiatan COREMAP yang membolehkan warga menyusun aturan pengelolaan sumberdaya. Seorang warga Gili Meno yang dikenal sebagai pelaku pemboman ikan menyatakan tobat karena terancam mendapat sanksi sosial, keluarga dan tetangganya dilarang menghadiri pesta pernikahan di rumahnya (Bachtiar, 2000). Pada tahun yang sama, 19 Maret 2000, di Kecamatan Tanjung yang bersebelahan dengan Desa Gili Indah, kelompok nelayan membuat Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara (LMNLU). LMNU merupakan lembaga adat yang lahir untuk mengatasi penangkapan ikan dengan bom dan racun, yang tidak dapat diatasi oleh pemerintah. Setelah berdirinya LMNLU, masyarakat Gili Indah kemudian ikut bergabung di dalamnya, dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemuda Gili. Di dalam Satgas tersebut terdapat unsur KSDA.

Tahun 2000 merupakan langkah awal terjadinya komanajemen pengelolaan sumberdaya terumbu karang di TWAL Gili Matra. BKSDA mendukung komanajemen tersebut dengan menyediakan sebuah speedboat dan penambahan staff jagawana. Dana operasional pengawasan ditanggung bersama antara BKSDA dengan pengusaha wisata. Komanajemen ini juga mengorbitkan jagawana Bursan sebagai penerima COREMAP Award pada tahun 2002. Dalam implementasi komanajemen oleh LMNLU sejak tahun 2000-2005, sekitar lima kasus penangkapan ikan destruktif telah ditangkap dan diberi sanksi denda oleh satgas bersama BKSDA (Bachtiar 2005), sekitar 10 kasus lainnya diselesaikan dengan surat pernyataan tidak mengulangi perbuatan merusak tersebut. Pada tahun 2001, awig-awig pengelolaan terumbu karang COREMAP direvisi oleh masyarakat dan disyahkan pada tanggal 1 September 2001 sebagai Awig-awig Zonasi Pesisir Desa Gili Indah.

Di dalam Zonasi Pesisir tersebut konflik antara pariwisata dengan perikanan tangkap diselesaikan dengan uang kompensasi kepada nelayan. Sebagian kawasan penangkapan ikan ditetapkan dijadikan kawasan wisata selam yang melarang nelayan beroperasi. Sebagai kompensasinya, pengusaha pariwisata selam memberikan uang 3 juta per bulan (MKI, 2006). Uang tersebut disediakan oleh Asosiasi Pengusaha Gili Air (APGA) dan Gili Eco Trust (GET) yang berada di Gili Trawangan. Baik APGA maupun GET mendapatkan uang kompensasi dari penyelam SCUBA, setiap penyelam membayar Rp 20 ribu.

Peran BKSDA Dalam Pengelolaan TWAL
Berdasarkan UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 34 (1), bahwa kewenangan pengelolaan kawasan konservasi berada di tangan Pemerintah (Pusat), yang berarti pada Departemen Kehutanan. Di dalam Departemen Kehutanan, Surat Keputusan Menteri No. 6187/2002 menegaskan bahwa Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) merupakan pelaksana teknis dari konservasi sumberdaya alam dan lingkungan. Sebagai lembaga yang mendapat mandat pengelolaan kawasan konservasi, peran BKSDA di dalam pengelolaan TWAL Gili Matra seharusnya lebih besar daripada sektor pemerintah yang lainnya. Tetapi hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa peran BKSDA semakin lama semakin mengecil.

Pada tahun 1999, BKSDA pernah memperkenalkan rencana zonasi TWAL Gili Indah. Sampai sekarang rencana zonasi tersebut tidak pernah dapat diimplementasikan di lapangan. Aturan pengelolaan yang sekarang dilaksanakan oleh masyarakat bersama pengusaha wisata di TWAL adalah aturan pengelolaan yang dibuat oleh masyarakat. BKSDA juga pernah akan memberlakukan pemungutan uang konservasi bagi pengunjung TWAL Gili Indah. Tetapi hal ini dibatalkan karena Pemerintah Kabupaten (Dinas Pariwisata) merasa lebih berhak mendapatkan uang pengelolaan daripada BKSDA.

Sebagai pemegang mandat UU No 5/1990, BKSDA idealnya merupakan satu-satunya otoritas yang melakukan pengelolaan TWAL. Jika BKSDA membutuhkan dan menghendaki, kewenangan pengelolaan dapat saja sebagian diserahkan kepada pihak swasta atau masyarakat (pasal 37), agar rencana pengelolaan tersebut dapat berjalan sesuai denggan misi konservasi. Di dalam pelaksanaan patroli pengawasan, misalnya, BKSDA dapat melibatkan masyarakat atau meminta bantuan masyarakat/swasta agar dapat dilaksanakan dengan biaya yang lebih murah. Jika semua kapal wisata ikut berpartisipasi dalam patrol pengawasan maka banyak biaya dapat dihemat dan misi konservasi dapat dituntaskan.

Sebagai pemegang otoritas kewenangan, BKSDA semestinya menjadi penentu semua kebijakan di dalam kawasan konservasi TWAL. Di dalam pasal 35 (UU 5/1990) bahkan disebutkan bahwa BKSDA atas nama pemerintah dapat menghentikan pemanfaatan dan menutup TWAL sebagian atau seluruhnya selama waktu tertentu, jika sangat dibutuhkan untuk pemulihan sumberdaya yang ada. Rencana tata ruang, ijin pengusahaan wisata, dan rencana pembangunan lainnya seharusnya mendapat persetujuan dari BKSDA sebelum dapat disyahkan oleh lembaga pemerintahan kabupaten atau propinsi. Dengan otoritas penuh ini BKSDA memiliki kemampuan untuk menjamin bahwa semua pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan konservasi tidak mengganggu misi konservasi. Rencana pengelolaan yang dibuat oleh masyarakat atau lembaga pemerintahan daerah dapat diveto oleh BKSDA jika bertentangan dengan misi konservasi. Tetapi mandat kewenangan yang besar di dalam UU 5/1990 tersebut tidak tampak di dalam praktik di lapangan.

Di dalam kegiatan pengelolaan sehari-hari, kewenangan BKSDA di dalam TWAL kurang mendapat perhatian yang sewajarnya. Pembuatan tata ruang kawasan darat di dalam TWAL masih dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Pemberian ijin usaha wisata (hotel, restoran, dive centers) berada di lembaga pemerintahan kabupaten, walaupun harus mendapat persetujuan BKSDA. Jika ada keterlibatan BKSDA dalam rapat-rapat koordinasi di tingkat propinsi maupun kabupaten, lembaga BKSDA tidak memiliki hak istimewa dibandingkan dengan lembaga pemerintahan yang lainnya. Penggunaan jarring muro-ami yang merusak terumbu karang, misalnya, tetap mendapat ijin dari Dinas Perikanan dan Kelautan, walaupun BKSDA menginginkan alat tangkap itu dilarang di dalam TWAL. Dengan kedudukan lembaga BKSDA yang sama dengan lembaga lain, di dalam mengambil kebijakan pengelolaan, maka peran BKSDA dapat diperkecil karena akan selalu kalah dalam argumentasi dan voting. Jika BKSDA memiliki hak veto khusus di dalam kawasan KKL, maka pengelolaan di dalam KKL dapat lebih sesuai dengan tujuan konservasi sumberdaya alam.

Pengerdilan peran BKSDA di dalam pengelolaan TWAL Gili Indah merupakan salah satu contoh kasus, bahwa pengelolaan kawasan konservasi dapat menyimpang dari prinsip-prinsip konservasi. Fenomena yang sama juga dilaporkan terjadi di Taman Nasional Laut Bunaken, dimana otoritas pengelolaan sekarang dipegang oleh Badan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, yang dibentuk Gubernur Sulawesi Utara dan didanai oleh NSWA (North Sulawesi Watersport Association) (UNEP, 2002), bukan lagi dipegang oleh Balai Taman Nasional Laut Bunaken Departemen Kehutanan.

Penutup
Konservasi sering dianggap sebagai kegiatan yang tidak memiliki nilai ekonomis, sehingga sering mendapat prioritas yang terakhir di dalam perencanaan pembangunan. Bergulirnya pendulum otonomi daerah yang bergerak keras ke arah kiri dapat sangat membahayakan upaya konservasi. Ketidakjelasan kewenangan atau otoritas pengelolaan di dalam kawasan konservasi menjadi salah satu penyebab mengecilnya peran BKSDA dalam pengelolaan TWAL Gili Indah.

Kewenangan BKSDA sebagai pemegang mandat UU 5/1990 untuk melakukan konservasi sumberdaya alam telah banyak mengalami pengerdilan, baik oleh pemerintah daerah maupun oleh pihak swasta. Pengurangan kewenangan yang bertentangan dengan undang-undang tersebut harus mendapat perhatian serius, jika pemerintah Indonesia memiliki komitmen dalam konservasi sumberdaya alam.

Dalam hal pengelolaan KKL, kewenangan pengelolaan tersebut sebaiknya tidak hanya meliputi kewenangan di dalam pengelolaan lautan tetapi juga daratan. Segala jenis kegiatan baik yang bersifat eksploitatif maupun bersifat ekstraktif di dalam KKL harus mendapat persetujuan lembaga pengelola. Rencana pengelolaan kawasan yang diajukan oleh pemerintah daerah harus diselaraskan dengan misi konservasi dari lembaga tersebut.

Di dalam perijinan pendirian bangunan atau penambahan kamar hotel, misalnya, BKSDA seharusnya memiliki hak veto yang lebih tinggi daripada lembaga pemerintahan daerah. Tanpa kewenangan atau otoritas yang jelas dan besar tersebut, maka KKL di Indonesia terancam dengan kerusakan yang tinggi. Pemerintah daerah yang mengejar peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) akan cenderung untuk memprioritaskan ekonomi dan mengerdilkan upaya konservasi. Jika hal ini juga diaplikasikan di dalam kawasan konservasi, maka misi konservasi akan menjadi inferior jauh di bawah misi ekonomi yang menjadi superiornya.

Sudah saatnya peraturan perundangan yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya ditinjau ulang untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada lembaga konservasi di dalam mengelola kawasan konservasi. Tanpa kewenangan yang besar, upaya konservasi sangat sulit mencapai tujuan akibat tekanan ekonomi dan politik yang tinggi dari pemerintah daerah.

Daftar Pustaka
Bachtiar, I. 2000. “Community Based Coral Reef Management: Lessons Learned from The Marine Tourism Park Gili Indah, Lombok Barat. Komunitas 3(1):67-77.

------------. 2005. “Developing Community Participation in a Developing Country: Case Studies in The Lombok Island”, in H. Mitsuda and R. Sayuti (eds.). Sustainable Lombok: Rich Nature and Rich People in The 21st Century. Mataram University Press.

Burke L, Selig E, Spalding, M. 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. Washington, DC: World Resources Institute.

Gell FR and Roberts CM. 2003. “Benefits Beyond Boundaries: The Fishery Effects of Marine Reserves”. TRENDS in Ecology and Evolution 18(9): 448-455.

Halpern BS and Warner RR. 2002. “Marine Reserves Have Rapid and Lasting Effects”. Ecology Letters 5: 361–366

Halpern BS. 2003. “The impact of Marine Reserves: Do Reserves Work and Does Reserve Size Matter?” Ecological Applications, 13(1) Supplement: S117–S137

Sale PF, Cowen RK, Danilowicz BS, Jones GP, Kritzer JP, Lindeman KC, Planes S, Polunin NVC, Russ GR, Sadovy YJ, and Steneck RS. 2005. “Critical Science Gaps Impede Use of No-Take Fishery Reserves.” TRENDS in Ecology and Evolution 20(2): 74-80.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49.
__________
Imam Bachtiar, Peneliti di Pusat Penelitian Pesisir dan Laut, Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Email: bachtiar.coral@gmail.com

Sumber :http://lomboknews.com