Penerapan Desentralisasi Fiskal Untuk Meningkatkan Sektor Pariwisata

Oleh: Deny Junanto

1. Pendahuluan
Sektor pariwisata sempat menjadi sektor penghasil devisa terbesar ketika ekspor kayu, tekstil dan migas mengalami penurunan. Namun, semenjak terjadinya kerusuhan dan reformasi pada tahun 1998, sektor ini mengalami penurunan yang cukup signifikan. Bergejolaknya kondisi sosial politik dalam negeri sebagai efek berantai krisis ekonomi merupakan penyebab utama terjadinya penurunan.

Seiring dengan mulai pulihnya kondisi perekonomian nasional dan kondisi sosial politik yang relatif tenang, sektor pariwisata kembali diharapkan untuk dapat menjadi salah satu sumber penghasil devisa terbesar bagi Indonesia.

Pariwisata memiliki peran yang besar dalam pembangunan nasional. Karena selain menghasilkan pendapatan dan sekaligus sebagai penghasil devisa, sektor pariwisata berkaitan erat dengan penanaman modal asing. Turis-turis yang datang ke Indonesia adalah termasuk mereka yang berhubungan bisnis dengan Indonesia.

Hal yang sama juga dialami oleh banyak negara-negara lain di dunia. Menurut laporan World Trade Organization (WTO), secara akumulatif, sektor pariwisata mampu mempekerjakan sekitar 230 juta lapangan pekerjaan dan memberikan kontribusi ratusan milyar dollar terhadap perekonomian di berbagai negara. Deklarasi ini dimanifestasikan ke dalam pernyataan yang dikeluarkan mengenai pentingnya pariwisata, ”berdampak langsung pada sektor sosial, budaya, pendidikan, dan ekonomi dalam masyarakat suatu bangsa dan hubungan internasionalnya” (WTO, 1998). Rancangan PBB untuk menggiatkan pariwisata juga menunjukkan kesadaran bahwa ekoturisme merupakan bagian penting untuk menjamin kelangsungan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, pemerintah tentunya diharapkan mampu tampil sebagai pendorong dalam pembangunan sektor pariwisata. Selama ini pengelolaan sektor pariwisata di Indonesia dirasakan masih jauh dari ideal. Minimnya sarana dan prasarana bagi para turis untuk dapat menikmati obyek-obyek wisata yang tersebar di berbagai daerah menjadi hal yang paling sering dikeluhkan para wisatawan. Apabila hal ini tidak dapat diantisipasi oleh pemerintah, kondisi tersebut akan menjadi faktor penurunan bagi pariwisata nasional.

Dengan diberlakukannya asas desentralisasi fiskal di Indonesia, maka pemerintah daerah memiliki kesempatan lebih besar untuk mengelola potensi pariwisata di daerahnya masing-masing secara lebih baik. Permasalahan yang muncul kemudian adalah pada fungsi pengeluaran pemerintah dimana daerah dapat berperan membangun potensi pariwisata daerah.
Dalam tulisan ini, yang hendak disoroti adalah pengeluaran pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh terhadap sektor pariwisata yaitu: transportasi, khususnya jalan; pengelolaan sumber daya alam; serta penyediaan air bersih dan sanitasi.

2. Pengertian Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Agar pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat.

2.1. Kebijakan Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Sesuai dengan UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 bahwa perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa kepada daerah diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan (money follows function). Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu diberikan pengaturannya sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.

Pembiayaan penyelenggaraan pemerintah berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban APBD, pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan.

Selanjutnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi, kepada daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal dengan Dana Perimbangan.

Di samping itu daerah juga diberi kewenangan untuk melakukan pinjaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Pinjaman tersebut dapat berupa pinjaman jangka pendek untuk membiayai kesulitan arus kas daerah dan pinjaman jangka panjang untuk membiayai kebutuhan pengeluaran penyediaan sarana dan prasarana daerah.

Sumber-sumber pembiayaan daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah:
a) Pendapatan Asli Daerah (PAD)
b) Dana Perimbangan
- Bagian Daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan (revenue sharing)
- Dana Alokasi Umum
- Dana Alokasi Khusus
c) Pinjaman daerah

2.2. Aturan-Aturan dalam Implementasi Desentralisasi Fiskal
Dalam makalahnya, Roy Bahl dan Neil McMullen (2000) mengetengahkan aturan-aturan yang harus dipenuhi dalam mengimplementasikan desentralisasi fiskal. Aturan-aturan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Desentralisasi fiskal harus dilihat sebagai suatu sistem yang komprehensif
Unsur-unsur penting dalam sistem desentralisasi fiskal digambarkan dalam Tabel 1 berikut.



b) Uang mengikuti fungsi
Hal yang harus dilakukan pertama kali adalah menentukan penyerahan tanggung jawab pengeluaran kepada pemerintah daerah, baru kemudian penyerahan tanggung jawab penerimaan ditentukan.

Pelayanan yang dapat dikenai retribusi (fasilitas publik, bus) harus dibiayai, sebagian besar dengan retribusi; pelayanan umum dengan manfaatnya bersifat lokal (jalan, taman) harus dibiayai dengan pajak lokal; dan barang-barang yang memiliki eksternalitas yang besar harus dibiayai dengan pajak provinsi dan transfer antarpemerintah.

c) Pemerintah pusat harus memiliki kemampuan untuk memantau dan men gevaluasi proses desentralisasi
Proses desentralisasi fiskal yang ”terkendali” dan bertahap memerlukan bimbingan pemerintah pusat yang kuat dalam hal-hal seperti penerapan sistem akuntansi keuangan yang seragam, norma pemeriksaan, keterbukaan dalam hal pinjaman, dan penentuan kapan melonggarkan pengawasan atas pengeluaran, bagaimana menyesuaikan rumus distribusi substitusi, dan bagaimana menentukan batas jumlah pinjaman. Dalam beberapa bidang, diperlukan bantuan teknis kepada pemerintah daerah.

d) Diperlukan sistem antarpemerintah yang berbeda untuk sektor perkotaan dan pedesaan
Dalam kenyataan, tahap yang lebih baik dalam implementasi desentralisasi fiskal harus dimulai dari unit-unit pemerintah daerah yang besar, kemudian membiarkan unit pemerintah yang lebih kecil menjadi besar.

Pemerintah subnasional memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyediakan dan mendanai pelayanan masyarakat, dan tentunya memiliki perbedaan kemampuan dalam hal memperoleh pinjaman.

e) Desentralisasi fiskal memerlukan kewenangan besar bagi pemerintah daerah untuk mengelola pajak
Masyarakat akan lebih mampu menjaga akuntabilitas pejabat-pejabat daerah yang dipilihnya apabila pelayanan-pelayanan publik daerah lebih banyak didanai dari pajak daerah dibanding apabila oleh transfer pemerintah pusat. Pajak harus bisa dirasakan oleh masyarakat lokal, cukup besar untuk menjadi beban, dan beban tersebut tidak mudah untuk dialihkan kepada penduduk di luar wilayah tersebut.

f) Pemerintah pusat harus mematuhi aturan-aturan desentralisasi fiskal yang telah dibuatnya
Agar desentralisasi fiskal dapat berhasil, pemerintah harus mematuhi aturan-aturan yang terlah dibuatnya.

g) Mempertahankan kesederhanaan
Sistem administrasi pemerintah daerah sering tidak mampu menangani pengaturan fiskal antarpemerintah yang rumit. Begitu pula sistem pemerintah pusat diperlukan untuk memantau dan mengevaluasi pengaturan fiskal antarpemerintah.

h) Desain sistem transfer antarpemerintah seharusnya sesuai dengan tujuan reformasi administrasi
Transfer antarpemerintah memiliki dua dimensi: besarnya dana yang bisa didistribusikan, dan distribusi dana tersebut ke masing-masing unit pemerintah daerah yang berhak. Besarnya dana yang didistribusikan mencerminkan keseimbangan fiskal secara vertikal antara pemerintah pusat dan daerah, dan dimensi alokasi dana menggambarkan keseimbangan fiskal secara horizontal.

i) Desentralisasi fiskal harus mempertimbangkan ketiga tingkatan pemerintahan
Di beberapa negara, pemerintah provinsi terlalu besar untuk memungkinkan partisipasi masyarakat pada tingkat yang mampu menjamin bahwa keinginan masyarakat diperhatikan, atau menjamin adanya akuntabilitas pejabat pemerintah. Dalam kasus seperti ini, desentralisasi fiskal harus dijalankan melalui tingkat pemerintah yang lebih bawah.

j) Menerapkan batasan anggaran yang ketat
Batasan anggaran yang ketat berimplikasi bahwa pemerintah daerah yang diberi otonomi akan dituntut untuk menyeimbangkan anggarannya tanpa ada bantuan dari pemerintah pusat diakhir tahun anggarannya (terutama bila terjadi kekurangan dana antara yang dianggarkan dengan realisasinya).

k) Memahami bahwa sistem fiskal antarpemerintah selalu dalam transisi dan merencanakan untuk antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi
Beberapa unsur dalam program desentralisasi fiskal berumur pendek, relevansinya akan berkurang seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi. Perbedaan antardaerah dalam sebuah negara berubah, kualitas infrastruktur dasar berubah, wilayah-wilayah prioritas untuk investasi berubah, dan kapasitas teknis dari masing-masing pemerintah daerah berubah. Pemerintah pusat harus mempunyai fleksibilitas dalam rencana desentralisasi fiskalnya agar dapat mengakomodasi perubahan-perubahan tersebut.

l) Harus ada pelopor bagi desentralisasi fiskal
Agar program desentralisasi fiskal berhasil, harus ada pelopor yang memahami kerugian dan keuntungan dari pelaksanaan program tersebut.

3. Penyerahan Wewenang Pengeluaran dan Penerimaan
Desentralisasi yang efektif membutuhkan otoritas yang dimiliki semua tingkat pemerintah untuk membuat keputusan mengenai pengeluaran dan pendapatan yang mencukupi—juga meningkatkan kemampuan daerah atau penyerapan dari pemerintah pusat—untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran tersebut. Mengikuti tema literatur mengenai desentralisasi fiskal yang menyebutkan ”money follows function,” bagian berikut dimulai dengan analisis mengenai keputusan-keputusan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah pada beberapa bidang/sektor.

3.1. Pengeluaran
Permasalahan mendasar dalam desentralisasi fiskal adalah sektor publik apa yang paling cocok untuk diserahkan ke setiap tingkatan pemerintah. Tingkatan pemerintah tersebut termasuk pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kota atau kabupaten. Untuk mendapatkan kerangka konseptual bagi distribusi tanggung jawab pengeluaran, para ahli ekonomi memfokuskan pada isu-isu efisiensi dan keadilan, dimana efisiensi diartikan sebagai pemuasan kebutuhan/pilihan¬-pilihan terhadap barang dan jasa pada tingkat biaya terendah yang paling mungkin. Para pakar administrasi publik juga memperhatikan efisiensi tersebut, akan tetapi mereka menekankan faktor¬faktor lain seperti akuntabilitas, transparansi, dan kapasitas.

3.1.1. Sudut Pandang Ekonomi
Sejalan dengan Musgrave (Musgrave, 1959), para ekonom membagi tiga fungsi pemerintah dalam perekonomian berbasis pasar: alokasi, distribusi, dan stabilisasi (kadang-kadang tergantung pada kebijakan makroekonomi). Distribusi fungsional Musgrave dapat digunakan untuk membuat kerangka penyerahan pengeluaran antarpemerintah. Berkaitan dengan pariwisata, fungsi alokasi lebih dijelaskan lebih detil dalam paper ini. Fungsi distribusi dan stabilisasi secara umum dijelaskan untuk memberikan pengertian menyeluruh mengenai tugas-tugas pemerintah dalam sistem desentralisasi.

Fungsi alokasi menyinggung peran pemerintah dalam menyediakan dan mengatur ketentuan apa yang dimaksud barang publik dan barang kuasi-publik dan selanjutnya mempengaruhi alokasi sumber daya melalui pasar, contohnya, mengatur kebijakan dan penggunaan pajak dan subsidi tertentu. Barang publik dan kuasi-publik dibedakan dari barang secara keseluruhan yang disuplai oleh sektor swasta, dalam hal: 1) ketidaksesuaiannya; 2) turunannya yang dikenal dengan eksternalitas. Berkaitan dengan ketidaksesuaian, pengeluaran dari mereka yang tidak membayar pada prakteknya tidak mungkin dan sejumlah pengguna dapat mengkonsumsi barang/jasa yang sama pada waktu bersamaan. Sektor swasta tidak akan menyuplai barang jika harga pasar tidak dapat ditentukan karena masyarakat akan menerimanya meskipun mereka tidak ingin membayar untuk barang tersebut dan pembeli tidak akan menggunakannya. Satu contoh dari barang publik murni adalah pertahanan nasional: sekali disuplai, mereka yang tidak membayar, pada prakteknya tidak dapat dikecualikan dalam hal perlindungan dan perlindungan atas satu orang tidak akan mengurangi perlindungan terhadap yang lain. Pada contoh ini, karakteristik non pengeluaran (non-exclusion) dan tidak habis (non-exhaustion) dalam pertahanan nasional menjelaskan mengapa pemerintah terlibat dalam menyediakan dan mengatur ketentuan mengenai pertahanan nasional.

Pada kasus eksternalitas, transaksi pasar antara pembeli dan penjual mempengaruhi pihak ketiga yang tidak terlibat dalam transaksi. Hal ini mengakibatkan, misalnya eksternalitas yang mungkin positif atau negatif dan nilainya tidak sama dengan yang dibayangkan situasi pasar, mengarah pada terjadinya produksi barang/jasa yang kurang (underproduction) ataupun lebih (overproduction). Sebagai contoh, dalam pelayanan kesehatan seseorang divaksin anti polio menerima keuntungan langsung untuk apa yang seharusnya ia bayar. Meskipun demikian, vaksinasi juga melindungi mereka yang tidak membayar—hal ini merupakan eksternalitas/pihak ketiga yang positif yang mungkin tidak disadari dan selanjutnya pelayanan mungkin menjadi kurang dari perspektif masyarakat secara keseluruhan. Pada contoh ini, keberadaan eksternalitas yang dihubungkan dengan vaksinasi menjelaskan mengapa pemerintah terlibat dalam penyediaan dan pengaturan.

Dalam fungsi alokasi, peran pemerintah adalah untuk melakukan intervensi pada saat pasar gagal mengalokasi sumber daya secara efisien. Tujuan pemerintah dalam memenuhi fungsi alokasi harus terbaik dan dapat memenuhi keinginan konsumen. Keputusan alokasi tidak hanya melibatkan pemberian pelayanan dari pemerintah atau swasta, tetapi juga menyangkut masalah biaya dan manfaat, contohnya, tingkatan pemerintah yang mana yang diserahkan tugas memberikan pelayanan publik untuk menjamin untuk menjamin terpenuhinya keinginan dan kebutuhan konsumen.

Terdapat kesepakatan umum diantara para ahli keuangan publik bahwa alokasi tanggung jawab antarpemerintah yang paling efisien dalam menyediakan barang publik dan kuasi-publik dapat terjadi apabila tingkatan pemerintah paling bawah mampu menyediakan secukupnya sesuai tanggung jawab yang diserahkan. Hal ini dikenal dengan prinsip tambahan (principle of subsidiarity). Meskipun demikian, terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi kapasitas pemerintah daerah dalam menyediakan barang/jasa secara efisien dan mencukupi. Faktor-faktor ini antara lain: skala ekonomi, adanya lintas batas (spillover) dan disparitas fiskal diantara tingkatan pemerintah daerah.

Skala ekonomi. Skala ekonomi terjadi pada saat output merespon lebih dari proporsinya terhadap adanya peningkatan input. Pada sektor publik, hal ini berarti biaya per orang yang dilayani menurun sementara jumlah unit pelayanan meningkat. Contohnya, jika skala ekonomi terpengaruh, biaya per kapita untuk menyuplai air akan menurun apabila jumlah unit pelayanan bertambah. Terdapat beberapa bukti bahwa skala ekonomi ada dalam pelayanan yang membutuhkan capital-intensive seperti penyediaan air dan distribusi listrik, tetapi hanya sedikit bukti dimana skala ekonomi muncul dalam pelayanan dengan labor-intensive seperti kepolisian dan perlindungan kebakaran.

Lintas batas. Kepercayaan pada prinsip tambahan (principle of subsidiarity) akan mengalami kesulitan sehubungan dengan adanya lintas batas, misalnya eksternalitas yang melampaui batas-batas yurisdiksi. Apbila biaya/manfaat bertambah bagi mereka yang bukan penduduk, pemerintah daerah mungkin tidak akan memperhatikan mereka, sehingga akan terjadi inefisiensi produksi dan keputusan-keputusan yang diambil. Sebagai contoh, diasumsikan Kota A membangun fasilitas pengolahan limbah yang membuang sebagian kotoran ke sungai yang melewati Kota B, dan Kota B mengambil air sungai tersebut untuk keperluan air bersih. Semakin bersih Kota A dalam melakukan pengolahan limbah, maka Kota B akan mendapat dampak yang semakin baik. Meskipun demikian, Kota A tidak akan memberikan manfaat bagi Kota B dengan pertimbangan bahwa Kota A harus menambah biaya untuk membangun fasilitas pengolahan limbah yang lebih besar. Berdasarkan kondisi ini, Kota B dapat menawarkan bantuan kepada Kota A dalam hal biaya untuk membangun fasilitas pengolahan limbah yang lebih besar. Atau, dalam situasi tidak ada kompensasi semacam itu, pemerintah pada tingkat lebih tinggi pengaruhnya terhadap kedua daerah tersebut, lebih luas, dan memperoleh manfaat dari pelayanan air bersih, dapat menyediakan pelayanan tersebut. Solusi ini dapat memberikan kepuasan seperti apa yang disebut dengan prinsip persesuaian (principle of correspondence) yang mencakup daerah-daerah lintas batas dan tingkat pemberian pelayanan pemerintah menjadi tepat (Oates, 1972). Seperti contoh pengolahan limbah di atas, operasionalisasi prinsip persesuaian akan menghasilkan suatu pemerintahan regional (mencakup Kota A dan Kota B).

yang bertanggung jawab atas fasilitas pengolahan limbah. Dalam kondisi tidak ada pemerintahan regional, pemerintah pusat/provinsi dapat membangun fasilitas tersebut. Suatu alternatif solusi dalam mengatasi masalah lintas batas adalah tingkat pemerintahan yang lebih tinggi dapat membiayai pelayanan (dalam contoh ini adalah fasilitas pengolahan limbah). Bantuan (atau pajak) dapat mengurangi eksternalitas dan kemudian dapat menghasilkan alokasi sumber daya yang efisien secara sosial.

Disparitas fiskal. Permasalahan lain dalam memenuhi prinsip tambahan adalah menentukan penyerahan pengeluaran yang berkaitan dengan disparitas fiskal dan ekonomi diantara pemerintahan-pemerintahan daerah yang ada di suatu negara. Ketika pelaksanaan prinsip tambahan akan mengarah pada penyerahan penentuan pelayanan ke pemerintah yang lebih rendah dimungkinkan, kapasitas fiskal yang ada tidak dapat mendukung pelaksanaan tersebut. Karena seringkali terjadi ketidakcocokan antara kebutuhan pelayanan pemerintah dengan kapasitas untuk membiayai pelayanan, maka pemerintah yang lebih tinggi dapat mengintervensi melalui berbagai cara bantuan fiskal atau dengan menyediakan pelayanan secara langsung.

Fungsi distribusi pemerintah yang berkaitan dengan peran pemerintah dalam merubah distribusi pendapatan, kesejahteraan atau berbagai indikator ekonomi lainnya akan dapat lebih adil dibandingkan dengan alokasi pasar yang ketat. Para ahli keuangan publik menyatakan, dalam menjalankan fungsi ini pemerintah mendasarkan pada dua asumsi: 1) kemampuan membayar pajak untuk pindah dari satu tempat ke tempat lain di suatu negara akan melemahkan kemampuan pemerintah daerah untuk memberikan berbagai manfaat melalui paket-paket pajak; dan 2) keputusan-keputusan distribusi biasanya merefleksikan nilai bangsa secara keseluruhan berkenaan dengan distribusi sumber daya yang tepat. Pemerintah daerah mempunyai keterbatasan kemampuan untuk mempengaruhi tujuan-tujuan distribusi di dalam perekonomian terbuka dimana kegiatan¬kegiatan ekonomi dan masyarakat dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Meskipun demikian, pemerintah daerah dapat berpartisipasi dalam fungsi distribusi melalui penentuan pelayanan, misalnya kesehatan dan pendidikan, bagi mereka yang tidak memperoleh pelayanan tersebut.

Fungsi stabilisasi menyinggung usaha-usaha pemerintah untuk menstabilisasi perekonomian, mencegah peningkatan jumlah pengangguran, mengontrol tingkat inflasi dan meningkatkan prospek pertumbuhan ekonomi. Pemerintah melakukan hal ini melalui kebijakan moneter (mengontrol suplai uang) dan kebijakan fiskal (merubah pajak dan pengeluaran). Ada suatu kesepakatan umum diantara para pakar keuangan publik bahwa pemerintah nasional harus memiliki tanggung jawab stabilisasi yang besar, akan tetapi pemerintah daerah juga memiliki peran yang sama, hanya relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan pemerintah pusat.

3.1.2. Sudut Pandang Administrasi Publik
Untuk meningkatkan efisiensi dan keadilan, para pakar administrasi publik mempertimbangkan faktor-faktor lain dalam merekomendasi pada tingkat pemerintahan yang mana yang harus bertanggung jawab atas fungsi-fungsi tertentu. Faktor yang paling penting adalah kapasitas pemerintah daerah—dalam merencanakan, membiayai, dan mengelola pemberian pelayanan—dan akuntabilitas.

Kapasitas lokal. Prinsip tambahan menyarankan bahwa pemerintah daerah harus dekat dengan masyarakat mereka dan menempatkan mereka pada posisi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan cara pemerintah pusat mengelola sumber daya dan memenuhi kebutuhan¬kebutuhan masyarakat. Meskipun demikian, pemerintah daerah mungkin tidak memiliki kemampuan untuk mengelola pemberian pelayanan. Pemerintah pusat dapat menggunakan (dan sudah menggunakan) ketidakmampuan kapasitas pemerintah daerah sebagai alasan untuk tetap meneruskan dominasi mereka dalam memberikan pelayanan. Membangun kapasitas pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan merupakan tujuan utama organisasi-organisasi internasional, seperti PBB, Bank Dunia, serta badan-badan donor bilateral.

Akuntabilitas. Untuk menciptakan desentralisasi yang efektif, semua tingkat pemerintahan suatu negara harus memiliki sistem akuntabilitas yang memberikan informasi transparan yang memungkinkan masyarakat memonitor kinerja pemerintah dan mengambil tindakan-tindakan untuk menyempurnakannya. Sehubungan dengan akuntabilitas, isu-isu yang sering muncul adalah transparansi dan korupsi. Secara umum diasumsikan bahwa keinginan atas pemberian pelayanan yang lebih akuntabel akan meningkatkan tekanan pada pemerintahan daerah yang lebih transparan sehingga korupsi dapat mudah diidentifikasi dan dikurangi. Meskipun tingkat/derajat desentralisasi yang lebih besar tidak selalu terkait dengan tingkat korupsi yang rendah, namun umumnya pada tingkat desentralisasi tersebut korupsi dapat diidentifikasi lebih mudah pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (misalnya nama yang diketahui masyarakat) dan diambil tindakan-tindakan untuk mengatasinya.

3.2. Penerimaan
Sejalan dengan pendapat ”uang mengikuti fungsi”, tulisan ini memfokuskan pada pendapatan mana yang tersedia untuk membiayai pengeluaran pada tingkat pemerintahan yang berbeda. Pemerintah pada semua tingkatan bergantung pada sumber pendapatan yang bervariasi untuk membiayai pemberian pelayanan. Sumber-sumber pendapatan tersebut mencakup: pajak, biaya tambahan atas barang dan jasa tertentu, transfer antarpemerintah dari tingkat yang lebih tinggi, serta pinjaman dari pasar modal. Setiap sumber pendapatan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

3.2.1. Pajak
Penyerahan pajak antarpemerintah akan tergantung, secara lebih luas, terhadap kombinasi pajak yang digunakan suatu negara pada khususnya. Pada prakteknya, di beberapa negara, penyerahan pajak didasarkan pada ketentuan-ketentuan konstitusional, di beberapa negara lain pada anggaran dasar dan yang lainnya, pada peraturan-peraturan. Di banyak negara dimana konstitusi menyatakan adanya alokasi pajak, alokasi tersebut adalah antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.

Secara teori tidak ada kesepakatan pada tingkat pemerintahan yang mana seharusnya pajak¬pajak ditentukan. Meskipun demikian, para pakar keuangan publik pada umumnya setuju dengan apa yang disebut dengan ‘prinsip‘ penyerahan pajak antarpemerintah yang memperhatikan efisiensi pasar, efisiensi administrasi, dan kecukupan pendapatan.

Efisiensi pasar. Suatu perekonomian pasar dapat diharapkan untuk memaksimalisasi pendapatan dan kesejahteraan apabila semua sumber daya (misalnya tenaga kerja dan modal) bebas bergerak melewati batas-batas yurisdiksi tanpa adanya distorsi yang muncul dari struktur pajak. Jika pajak pemerintahan daerah terhadap faktor-faktor produksi (seperti modal) berubah-ubah, faktor¬faktor ini dapat merelokasi ke yurisdiksi dimana pajaknya lebih rendah sehingga menghasilkan keputusan pasar yang tidak efisien. Untuk mengurangi perilaku inefisiensi, pemerintah daerah seharusnya memungut pajak, untuk memperluas kemungkinan, dari faktor-faktor produksi yang tidak berpindah (immobile) seperti properti.

Efisiensi administrasi. Aturan umum dalam mengevaluasi kebijakan pajak di berbagai tingkat pemerintahan adalah bahwa ‘pajak yang baik‘ harus relatif mudah dikelola dan dikumpulkan. Efisiensi dalam administrasi pajak merupakan peningkatan secara umum ketika tingkat pemerintahan dalam mengumpulkan pajak memiliki pengetahuan yang luas mengenai basis pajak (tax base). Sebagai contoh, pemerintah daerah yang mempunyai pengetahuan yang luas mengenai nilai basis pajak properti daerah dan dapat lebih mudah mengelola basis pajak properti daerah. Sebaliknya, basis pajak perusahaan mungkin dapat didistribusikan ke beberapa yurisdiksi dan kemudian efisiensi dapat meningkat pada saat pajak dipungut oleh pemerintahan yang lebih tinggi.

Kecukupan pendapatan. Di semua tingkat pemerintahan, hasil pajak harus mencukupi kebutuhan pemerintah. Pada umumnya, instrumen pajak digunakan untuk mencapai tujuan kebijakan tertentu (misalnya redistribusi dan stabilisasi) harus diserahkan kepada tingkat pemerintahan yang bertanggung jawab atas kebijakan tersebut. Sebagai contoh pajak progresif harus dipungut oleh pemerintah pusat untuk memenuhi perannya dalam redistribusi pendapatan. Penyerahan pajak ke pemerintah daerah idealnya harus dapat menghasilkan pendapatan yang mencukupi, sehingga ”...setidaknya pemerintah daerah terkaya...membiayai dari sumber pendapatan mereka sendiri yang menghasilkan pelayanan secara lokal yang memberikan manfaat besar bagi penduduk daerah” (Byrd, 1993). Transfer fiskal antarpemerintah dapat digunakan untuk memberikan kompensasi bagi perbedaan kapasitas fiskal di antara pemerintah daerah.

3.2.2. Ongkos Pengguna (Biaya Tambahan)
Ongkos pengguna (seringkali disamakan dengan biaya pengguna) adalah pembayaran secara sukarela bagi pembelian barang/jasa yang dijual atau disewakan oleh pemerintah. Ongkos pengguna merupakan versi sektor publik dari suatu harga pasar—tidak ada yang harus membayar, tetapi anda terkecuali dalam pelayanan atau memperoleh izin apabila anda tidak ingin membayarnya. Hal ini berbeda dari suatu pajak yang wajib dibayar berdasarkan pemegang basis pajak, misalnya jika anda memiliki pendapatan kena pajak (basis pajak), anda membayar pajak pendapatan; apabila anda tidak mempunyai pendapatan kena pajak (bukan basis pajak), anda tidak harus membayar pajak. Ongkos pengguna termasuk, misalnya, biaya atas penggunaan tanah pemerintah, karcis masuk lahan pemerintah/daerah wisata dan izin-izin yang tidak berhubungan dengan peraturan. Beberapa pakar keuangan publik memberikan pendapatnya bahwa bagi pemerintah daerah,”...aturan pertama...harus dimana pun yang memungkinkan adanya biaya” (Byrd, 1993). Pernyataan ini didasarkan pada biaya potensial untuk meningkatkan efisiensi pemberian pelayanan.

3.2.3. Transfer Antarpemerintah
Hampir semua negara memberikan semacam bentuk transfer antarpemerintah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pada kenyataannya, di banyak negara berkembang, transfer merupakan sumber pendapatan utama bagi pemerintah daerah. Secara umum, transfer antarpemerintah diambil sebagai alasan dalam mengefisiensikan atau menyetarakan kapasitas fiskal pemerintah daerah. Sebagai contoh, pada kasus efisiensi, transfer dapat memberikan kompensasi bagi pemerintah daerah dalam lintas batas biaya/manfaat terhadap nonpenduduk. Ketidakhadiran transfer semacam ini atau intervensi yang lain (misalnya pemerintah yang lebih tinggi menyediakan pelayanan secara langsung) maka pemerintah daerah mungkin tidak dapat memberikan pelayanan yang efisien. Transfer antarpemerintah dapat dibedakan ke dalam dua kategori: bersyarat dan tidak bersyarat.

Bersyarat. Bantuan bersyarat diperlukan jika pemerintah penerima menggunakan bantuan untuk tujuan-tujuan tertentu. Bantuan dapat sesuai ataupun tidak sesuai. Suatu bantuan yang sesuai dimana pemerintah penerima membagi biaya pada program-program yang dijalankan; bantuan yang tidak sesuai tidak menunjukkan persyaratan ini. Baik bantuan yang sesuai maupun tidak sesuai dapat berbentuk dua hal: formula dan proyek. Dalam bantuan formula, distribusi dana ke pemerintah yang memenuhi syarat secara umum dibuat menurut formula yang diarahkan secara legislatif dan administratif. Elemen formula dapat mencakup tekanan-tekanan kebutuhan, misalnya pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Sedangkan, bantuan proyek didistribusikan melalui kebijakan pemberi bantuan untuk proyek-proyek tertentu. Hal tersebut mungkin saja tidak didasarkan pada basis kompetitif (competitive basis). Transfer-transfer yang dinegosiasikan, meskipun bersyarat dan memenuhi kesesuaian, kurang transparan bila dibandingkan dengan transfer yang didukung oleh formula.

Tidak bersyarat. Di beberapa negara, dana transfer pemerintah pusat ke pemerintah daerah melalui sistem yang dapat dijelaskan sebagai ”pembagian pajak” atau ”pembagian pendapatan”. Keduanya tidak membutuhkan serangkaian bantuan fiskal. Pembagian pendapatan merupakan pembagian pendapatan pemerintah pusat yang didistribusikan melalui formula sesuai undang¬undang atau negosiasi dengan pemerintah daerah. Pembagian pajak adalah suatu distribusi pendapatan dari pajak pemerintah pusat tertentu kepada pemerintah daerah yang didasarkan pada daerah asal pengumpulan pajak secara nasional. Distribusi tersebut dapat didasarkan pada formula yang sesuai dengan undang-undang atau negosiasi dengan pemerintah daerah. Negosiasi dapat meningkatkan isu-isu mengenai akuntabilitas dan transparansi.

3.2.4. Pinjaman
Secara teoritis, semua tingkat pemerintah dapat meminjam uang untuk membiayai kegiatan¬kegiatan pemerintah tertentu, khususnya pengeluaran-pengeluaran infrastruktur. Tetapi, tidak semua pemerintah pusat membolehkan pemerintah daerahnya meminjam uang. Meskipun demikian, pemerintah daerah perlu meminjam untuk beberapa alasan, umumnya untuk memberikan kemampuan mereka dalam meneruskan masa depan pajak proyek-proyek infrastruktur berskala besar dibanding dengan membebankan biaya kepada pembayar pajak saat ini (yang tidak menerima semua manfaat dari pengeluaran). Perhatian utama dalam hal pinjaman pemerintah daerah adalah apa yang disebut dengan ”masalah moral hazard” yang berhubungan dengan pemerintah daerah dan dapat menciptakan tanggung jawab fiskal yang tidak terencana bagi pemerintah pusat. Namun demikian, menurut Bank Dunia, ”...literatur akademik dan pengalaman negara. . .tidak menunjukkan suatu hubungan yang merugikan antara desentralisasi kewenangan meminjam dan kemampuan pemerintah pusat untuk memelihara disiplin fiskal dan stabilitas makroekonomi. Kemudian, kuncinya adalah rancangan desentralisasi fiskal itu sendiri, khususnya rancangan kerangka peraturan mengenai kewengangan meminjam yang mana yang didesentralisasikan” (World Bank, 1999).

4. Desentralisasi Fiskal dan Pariwisata
Kegiatan pariwisata mampu menghasilkan milyaran dolar dari perolehan pajak, secara kolektif di banyak negara di dunia. Di sisi pengeluaran anggaran, kegiatan pariwisata membutuhkan pemerintah untuk: 1) memperluas pelayanan yang sudah diberikan kepada perekonomian daerah, misalnya infrastruktur dan keamanan masyarakat; dan 2) pada beberapa kasus melakukan pengeluaran bagi pariwisata, misalnya stadion olahraga.

Pariwisata muncul di daerah tujuan yang menarik bagi pengunjung-pengunjung dari luar daerah. Para pengunjung ini termasuk yang melakukan perjalanan bisnis, sebagai contoh, konvensi dan pameran perdagangan, sebagaimana halnya dengan pelancong datang untuk melihat dan beristirahat di pantai atau mendaki gunung. Setiap pelancong yang memiliki perbedaan permintaan akan tetapi hampir sama dengan kaum pendatang pada umumnya, datang ke daerah tujuan dan mendorong permintaan akan pengeluaran pemerintah (dan juga bagi pengeluaran sektor swasta). Dalam konteks desentralisasi fiskal, pertanyaan yang muncul adalah pada tingkat pemerintahan yang mana, pemerintah harus bertanggung jawab atas pengeluaran yang mempengaruhi pariwisata dan bagaimana pengeluaran-pengeluaran tersebut dibiayai?

Tulisan ini menfokuskan pada tiga pengeluaran spesifik yang merepresentasikan fungsi utama pemerintah dan kritis dalam pembangunan pariwisata yang berkesinambungan. Hal itu adalah: 1) transportasi, khususnya jalan; 2) pengelolaan sumber daya alam; dan 3) penyediaan air bersih dan sanitasi.

Jalan. Jalan merupakan komponen kritis dari infrastruktur suatu negara jika dikaitkan dengan sektor pariwisata. Jalan memberikan akses bagi para pelancong ke daerah-daerah yang memiliki daya tarik alam, budaya, dan wisata. Hal itu mengubungkan wisatawan dengan bandar udara, stasiun kereta, dan fasilitas transportasi publik lainnya. Jalan juga akan mendorong penduduk sekitar daerah wisata untuk menyediakan pelayanan bagi para pengunjung. Keberadaan eksternalitas dapat menjelaskan peran pemerintah dalam sektor transportasi. Teori desentralisasi memberikan pembenaran yang kuat bagi desentralisasi tanggung jawab terhadap jalan disamping tetap memelihara peran pemerintah pusat.

Tanggung jawab pengeluaran. Ketika jalan sangat bermanfaat bagi para pengguna lokal, teori desentralisasi—khususnya prinsip tambahan, menyarankan bahwa pemerintah daerah harus bertanggung jawab terhadap hal tersebut. Kebutuhan-kebutuhan penduduk dapat menjadi masukan dalam proses pengambilan keputusan apabila perencanaan, implementasi, konstruksi dan pemeliharaan diserahkan kepada daerah. Desentralisasi ke tingkat lokal juga harus meningkatkan akuntabilitas dan transparansi, khususnya jika melibatkan kontraktor dan pekerja lokal. Apabila pemerintah daerah tidak mempunyai kapasitas untuk menyediakan jalan daerah, tingkat pemerintahan yang lebih tinggi atau pemerintah pusat dapat bekerja untuk meningkatkan kapasitas tersebut. Pemerintahan yang lebih tinggi atau pemerintah pusat juga dapat membantu meningkatkan kemampuan teknis dalam pembangunan jalan untuk proyek-proyek daerah yang menuntut permintaan teknis. Badan¬badan internasional dan lembaga donor bilateral juga dapat memainkan peranannya dalam menambah kemampuan teknis pemerintah daerah.

Jika terjadi lintas batas antaryurisdiksi yang signifikan atau manfaat besar yang didapat oleh nonpenduduk (seperti manfaat yang didapat oleh para wisatawan yang meminta jalan yang lebih lebar dan baik), tingkat pemerintahan yang lebih tinggi harus bertanggung jawab terhadap jalan. Pemerintah pusat juga memiliki peran yang penting dalam menentukan standar nasional bagi konstruksi yang menyangkut lebar jalan dan penyesuaian yang tergantung pada volume lalu lintas dan kendaraan-kendaraan berat.

Pendapatan. Pemerintah daerah dapat membiayai jalan dengan menggunakan sumber pendapatan sendiri seperti ongkos pengguna (misalnya tol), pajak khusus (misalnya pajak bensin), atau pajak umum. Pemerintah daerah juga dapat meminjam dari pasar modal untuk membiayai jalan. Sumber pendapatan lain adalah transfer antarpemerintah dari pemerintahan yang lebih tinggi ke pemerintahan yang lebih rendah. Suatu cara alternatif lain dalam membiayai jalan adalah apa yang disebut dengan ”pembiayaan informal” dimana penduduk/pengusaha lokal memberikan kontribusi waktu, uang, dan ahli-ahli teknik untuk membangun jalan secara swadaya.

Pengelolaan sumber daya alam. Di beberapa negara, kunci utama dalam menarik wisatawan adalah bagian dari lingkungan alam, misalnya taman nasional, konservasi hewan, hutan hujan, daerah pantai, dan laut. Tahun Ekoturisme Internasional, akan meningkatkan daya tarik pariwisata difokuskan pada sumber daya semacam ini dan pengelolaannya. Keberadaan eksternalitas menjelaskan intervensi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. Teori desentralisasi juga memberikan pembenaran bagi desentralisasi fiskal sebagian, tetapi tidak semuanya, pengeluaran¬pengeluaran yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam.
Tanggung jawab pengeluaran. Menentukan tingkat pemerintahan yang mana yang harus bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya alam tergantung pada alam dari sumber daya tersebut. Apabila, contohnya, taman lokal yang menguntungkan penduduk lokal maka hal itu merupakan tanggung jawab pemerintah lokal. Namun demikian, kebanyakan daya tarik wisata tidak hanya taman lokal yang kecil tetapi ”harta karun” nasional dan regional. Pada saat yurisdiksi daerah berada dalam daerah sumber daya tersebut (misalnya taman nasional), prinsip tambahan tidak dapat dijalankan karena manfaat yang melewati batas¬batas daerah. Jika pemerintah daerah bertanggung jawab penuh untuk mengelola sumber daya, mereka mungkin tidak akan mempertimbangkan manfaat lintas batas dalam keputusan-keputusan anggaran, dengan cara demikian akan menyebabkan pembiayaan yang kecil dari perspektif nasional secara keseluruhan. Lebih lanjut, pemerintah daerah mungkin tidak mempunyai kapasitas dalam mengelola sumber daya alam. Meskipun demikian, pemerintah (atau masyarakat) daerah dapat ikut terlibat dalam melindungi sumber daya alam. Untuk mendorong keterlibatan pemerintah dan masyarakat daerah, pemerintah pusat, begitu juga badan-badan internasional dan lembaga donor, dapat memfasilitasi dan membangun kapasitas organisasi daerah dan partisipasi masyarakat yang efektif dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan sumber daya. Alternatif lainnya, ada kemungkinan yang signifikan bagi perusahaan-perusahaan swasta dan NGO lokal untuk memberikan kontribusi dalam melindungi dan memperbaiki sumber daya alam.

Pembiayaan. Ongkos pengguna dapat digunakan untuk membiayai perlindungan dan perbaikan sumber daya alam ketika pemanfaatan sumber daya tersebut dilakukan secara sukarela dan nonpenduduk dapat dikecualikan. Pajak yang ”khusus” bagi pengelolaan sumber daya alam juga dapat dipungut. Sebagai contoh, pajak akomodasi hotel di taman nasional dapat diperuntukkan bagi perlindungan dan perbaikan sumber daya alam (hampir sama dengan ”ongkos pengguna”). Jalan lainnya adalah jika manfaat sumber daya tersebut dirasakan secara nasional, anggaran tahunan yang tepat dari pemerintah pusat dapat diarahkan pada pengelolaan dan perbaikan sumber daya alam.

Pen yediaan air bersih dan sanitasi. Sehubungan dengan sumber daya alamnya, suatu negara akan mengalami kesulitan dalam menarik wisatawan terkecuali negar tersebut mempunyai penyediaan air bersih yang mencukupi dan pelayanan sanitasi yang dapat diterima. Keberadaan eksternalitas lingkungan dan kesehatan yang positif menggambarkan peran pemerintah dalam menyediakan pelayanan air bersih dan sanitasi. Teori desentralisasi memberikan pembenaran yang kuat terhadap desentralisasi tanggung jawab penyediaan air bersih dan sanitasi kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, sementara masih tetap mempertahankan peran pemerintah pusat.

Tanggung jawab pengeluaran. Penerapan prinsip tambahan menyatakan bahwa tingkat pemerintahan yang lebih rendah mampu untuk menyediakan pelayanan air bersih dan sanitasi yang cukup. Tingkat pemerintahan ini mampu mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan penduduk secara lebih baik dan menilai kondisi persediaan air dan sanitasi daerah. Tingkat pemerintahan yang lebih rendah yang mampu menyediakan air bersih dan sanitasi belum tentu adalah pemerintah lokal, karena berkaitan dengan adanya skala ekonomi dan pada beberapa kasus juga terdapat kapasitas lokal yang tidak mencukupi. Apakah pemerintah daerah memiliki fungsi tanggung jawab pelayanan air bersih dan sanitasi atau tidak, tergantung dari ukuran pemerintah daerah. Sebagai contoh, beberapa pemerintah kota yang besar mungkin dapat memberikan pelayanan air bersih dan sanitasi yang efisien. Meskipun demikian, apabila kapasitas pemerintah daerah tidak cukup untuk memberikan pelayanan air bersih dan sanitasi, tingkat pemerintahan yang lebih tinggi harus mengambil tanggung jawab tersebut.

Terdapat juga kemungkinan yang cukup besar bagi partisipasi perusahaan swasta dan NGO daerah pada beberapa aspek penyediaan air bersih (misalnya proyek irigrasi skala kecil). Dan juga terdapat peran pemerintah pusat dalam, contohnya, mengatur hak-hak atas air dan membuat standar lingkungan nasional.

Pendapatan. Ongkos pengguna merupakan cara yang paling efisien untuk membiayai pelayanan penyediaan air bersih dan sanitasi pada saat konsumen dapat membayar pada setiap tingkat dan jenis pelayanan yang mereka kehendaki. Struktur ongkos pengguna yang digunakan untuk mendukung operasi dan pemeliharaan penting untuk menentukan keadilan dan efisiensi. Contohnya, di banyak negara maju, khususnya di daerah yang memiliki kelangkaan air—suatu increasing block tariff (IBT) sering digunakan untuk meningkatkan efisiensi penyediaan air bersih dengan mengurangi pemborosan penggunaan air. Harga air IBT berada pada tingkat awal yang rendah kemudian meningkat sesuai dengan volume penggunaan air. Hal yang sama juga dapat ditemukan di negara-negara berkembang, namun demikian, banyak rumah tangga tidak memiliki alat meter penggunaan air sehingga pengenaan IBT tidak dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air.

Sehubungan dengan eskternalitas kesehatan dan lingkungan yang luas berkaitan dengan penyediaan air bersih dan sanitasi, jika ongkos pengguna dibebankan, subsidi akan diberikan kepada meraka yang tidak mampu membayar pelayanan air bersih dan sanitasi yang cukup.
Alternatif lain selain ongkos pengguna untuk membiayai penyediaan air bersih dan sanitasi adalah perolehan pajak pemerintah daerah secara umum, dengan didasarkan pada formula transfer bersayarat dari pemerintah pusat yang ditujukan bagi perbedaan-perbedaan kapasitas fiskal.

6. Penutup
Desentralisasi fiskal berimplikasi pada isu-isu yang secara umum berkaitan degnan pariwisata. Pengeluaran dan penerimaan pemerintah memiliki peranan yang cukup besar dalam meningkatkan sektor pariwisata daerah. Pendekatan yang diambil dalam tulisan ini adalah: 1) menjelaskan pengertian mengenai desentralisasi fiskal; 2) memberikan masukan kerangka konseptual bagi penyerahan pengeluaran dan pendapatan kepada tingkat pemerintahan yang berbeda; dan 3) menetapkan kerangka desentralisasi ini untuk memilih pengeluaran yang berhubungan dengan sektor pariwisata.

Kerangka desentralisasi yang dijelaskan sebelumnya memberikan beebrapa petunjuk yang berkaitan dengan desentralisasi fiskal. Alokasi tanggung jawab pengeluaran antarpemerintah yang efisien terjadi ketika tingkat pemerintahan yang lebih rendah mampu diserahkan tanggung jawab untuk melakukan hal tersebut. Hal ini dikenal dengan prinsip tambahan (principle of subsidiarity). Namun demikian, terdapat sejumlah faktor yang muncul dari kapasitas pemerintah daerah. Faktor¬faktor tersebut adalah: skala ekonomi, adanya lintas batas (spillovers), dan disparitas fiskal diantara tingkat pemerintahan daerah. Ketika beberapa atau semua faktor tersebut muncul, tingkat pemerintahan yang lebih tinggi dapat melakukan subsidi dalam pemberian pelayanan melalui transfer antarpemerintah atau dengan secara langsung bertanggung jawab memberikan pelayanan. Lebih lanjut pemerintahan subnasional—khususnya pemerintah daerah—mungkin tidak memiliki kapasitas untuk mengelola pemberian pelayanan. Pemerintah pusat menggunakan (dan sudah menggunakan) ketidakmampuan kapasitas pemerintah daerah sebagai alasan untuk tetap mendominasi pemberian pelayanan. Membangun kapasitas pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan merupakan tujuan penting bagi berbagai badan internasional dan lembaga-lembaga donor.

Desentralisasi fiskal diterapkan pada isu-isu yang berhubungan dengan pengeluaran sektor pariwisata: 1) transportasi, khususnya jalan; 2) pengelolaan sumber daya alam; 3) penyediaan air bersih dan sanitasi. Telah ditunjukkan bahwa penyerahan pemberian pelayanan antarpemerintah dapat terjadi dalam berbagai bentuk, tergantung pada kondisi pelayanan. Juga dapat diperlihatkan ketiga jenis instrumen pendapatan dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran yang berkaitan dengan pariwisata, namun sekali lagi tergantung pada kondisi pengeluaran.

Referensi
Bahl, Roy dan McMullen, Neil. 2000. ”Aturan-Aturan Implementasi Desentralisasi Fiskal (Implementation Rules).” IRIS

Boediono. 2002. “Kebijakan Pengelolaan Keuangan Negara dalam rangka Pelaksanaan Azas

Desentralisasi Fiskal.” Disampaikan pada Rakor PAN Tingkat Nasional Tahun 2002. Jakarta Brodjonegoro, Bambang. 2002. ”Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah.” Jakarta

Byrd, Richard. 1993. ”Threading the Fiscal Labyrinth: Some Issues in Fiscal Decentralization.”

National Tax Journal
Dethier, Jean-Jacques. 2000. “Some Remarks in Fiscal Decentralization and Governance.” Paper presented at Conference on Decentralization Sequencing, Jakarta

Musgrave, Richard A. 1959. “The Theory of Public Finance.” McGraw-Hill, New York Oates, Wallace. 1972. “Fiscal Federalism.” Harcourt-Brace-Javanovich, New York City

Sidik, Machfud. 2002. “Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan

Desentralisasi Fiskal (Antara Teori dan Aplikasinya di Indonesia).” Yogyakarta

World Bank. 1999. ”Decentralization Borrowing Powers.” Prem Notes, No 19.

http://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/What.htm

World Trade Organization. 1998. “Tourism Taxation in Asia and the Pacific.” World Tourism Organization, Madrid

Sumber :pkai.org