Pemberdayaan Perempuan di Sektor Ekowisata Sebagai Salah Satu Upaya Meningkatkan Peranan Serta Status Perempuan Secara Sosial, Budaya, dan Ekonomi di

Oleh: Diyah Bekti Ernawati

Abstrak
This research investigates the involvement of women in ecotourism destinations in Surakarta region as an alternative for improving their social, cultural and economic status and roles in societies. Primary data were collected using site observations and in-depth interviews, whereas secondary data were in a form of statistics and relevant information. Samples were selected using purposive sampling system in which respondents were determined based on several criteria purposed by the researchers. Findings indicate that women have been involved, to a certain extent, in ecotourism destinations in Surakarta region. There were two different groups of women who were involved i.e. high stratum and mid and lower stratum. The formmer was actively involved in any kinds of activities including decision making as they were the owners of the attractions. The latter, although has been involved, was pasive. The respondents mostly consider that being involved in ecotourism destinations means that they have more power in society and family. They believed that economically they were advantageous as they can contribute to the running of the family budget. Culturally, it was believed that by being involved they had more reponsibility in preserving local culture or identity.

Pendahuluan
Akhir-akhir ini, negara-negara berkembang seperti Indonesia mulai berpaling untuk lebih memberdayakan pengembangan wisata altematif sebagai upaya untuk mengantisipasi menurunnya kepopuleran pariwasata massal. Ekowisata sebagai salah satu wisata alternatif dianggap sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan karena dianggap bisa memberikan kesempatan kerja, kesempatan berusaha, serta meningkatkan pengembangan kemampuan berusaha (Scheyvens, 2000), serta memberikan kesempatan yang lebih besar untuk mengontrol penggunaan sumber daya alam di daerah tertentu sebagai salah satu aset kegiatan ekowisata (Ashley & Roe, 1997).

Ekowisata merupakan suatu kegiatan wisata yang yang memanfaatkan sumber-sumber alam atau daerah-daerah yang relatif belum berkembang (sekaligus dengan budaya aslinya) dengan bercirikan sebagai berikut: mempromosikan konservasi alam, memberikan dampak sesedikit mungkin terhadap lingkungan serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat (Ceballos-Lascurain, 1996). Walaupun secara umum definisi tersebut telah mencakup pemberdayaan masyarakat setempat dimana kegiatan ekowisata dilaksanakan, namun cara-cara bagaimana memberdayakan masyarakat setempat untuk meningkatkan status masyarakat secara sosial, budaya, serta ekonomis belum mendapatkan perhatian yang selayaknya dari para peneliti, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Terlebih lagi jika dipandang dari perspektif gender yang termasuk didalamnya pemberdayaan perempuan di bidang ekowisata.

Beberapa tahun terakhir ini, analisis persamaan gender di sektor pariwisata secara umum sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penelitian pariwisata (Lihat Kinnaird & Hall, 1994: edisi khusus Annals of Tourism Research 22(2)), begitu juga ekowisata dalam kaitannya sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal (Barkin, 1999; Linberg, 2002). Namun dampak negatif ekowisata dan wisata alternatif lainnya serta kemungkinan potensi ekowisata dalam pengembangan masyarakat daerah yang terbelakang masih sangat kurang (Scheyvens, 2000). Dalam konteks Indonesia umumnya dan Surakarta pada khususnya, beberapa penelitian potensi ekowisata dan model pemberdayaan dan peningkatan peran wanita di bidang pariwisata telah dilakukan (Samiati, 2002; Sugiarti, 1997). Namun, penelitian yang mengkhususkan pada pemberdayaan perempuan dibidang ekowisata utamanya untuk meningkatkan status sosial, budaya dan ekonomi secara terpadu belurn pernah dilakukan di lingkungan karesidenan Surakarta.

Disamping itu, dimasa krisis seperti saat ini, mengidentifikasi peran wanita di sektor ekowisata sebagai salah satu usaha pemberdayaan perempuan akan sangat bermanfaat untuk pembinaan ekowisata di Surakarta di masa yang akan datang, karena berberapa alasan, diantaranya adalah:

1. Untuk rneyakinkan bahwa keputusan kebijakan tentang pengembangan ekowisata masa depan merupakan cerminan dari pendapat para pelaku pariwisata, termasuk didalamnya adalah perempuan dan kelompok ini benar-benar mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya atas kebijakan pengembangan ekowisata di Indonesia pada umumnya dan Surakarta pada khususnya.

2. Untuk meyakinkan terlaksannya manajemen yang baik terhadap aset-aset ekowisata di Indonesia, seperti misalnya sumber alam, karena ekowisata memang didasarkan pada keberadaan sumber alam tersebut.

3. Untuk meyakinkan bahwa ekowisata mernberikan keuntungan secara ekonomis, sosial dan budaya terhadap semua pelaku ekowisata (stakeholders) termasuk didalamnya adalah perempuan.

Zeppel (1999) secara lebih luas mendefinisikan ekowisata sebagai suatu kegiatan wisata yang berdasar pada sumber daya alam yang berkelanjutan dengan memasukkan juga unsur-unsur dinamika sosial dan budaya, dimana wisatawan berinteraksi dengan masyarakat lokal di taman nasional dan daerah-daerah yang belum banyak dikembangkan. Padahal menurut Sri Agus (1999), kegiatan wisata budaya di Indonesia kebanyakan masih berjalan apa adanya karena dipengaruhi oleh rendahnya sumber daya manusia dalam merencanakan suatu paket wisata budaya. Hal ini lebih dipersulit dengan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pengaruh negatif pariwisata bagi lingkungannya. Akibatnya, interaksi antara wisatawan dan masyarakat lokal bisa memberikan dampak sosial dan budaya baik yang positif maupun negatif pada tataran individu, keluarga, serta masyarakat (Zeppel, 1999).Berdasarkan lingkup penelitian ini, beberapa tinjauan pustaka yang erat hubungannya dengan pemanfatan ekowisata untuk pemberdayaan masyarakat lokal dalm konteks ini adalah perempuan dari sudut sosial, budaya dan ekonomi akan dibahas secara singkat untuk memberikan gambaran secara umum sudut pembahasan masalah.

Scheyvens (2000:236) menyatakan bahwa ada empat dimensi yang perlu dibahas untuk menentukan apakah perempuan sudah diberdayakan dalam kegiatan ekowisata, di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Keempat dimensi tersebut meliputi pemberdayaan dilihat dari sudut ekonomi, sosial, psikologi serta politik (Scheyvens, 2000). Walaupun selama ini pembicaraan mengenai pemberdayaan masyarakat lokal terhadap kegiatan ekowisata lebih banyak difokuskan pada masalah ekonomi, dalam kenyataannya pembangunan ekowisata itu merupakan kegiatan yang multidimensional, tidak hanya semata masalah ekonomi saja.

Linberg (1999) menyatakan bahwa ekowisata mempunyai peran yang sangat besar dalam hal 'generating economic benefits' karena ekowisata, ikut membantu penciptaan lapangan kerja di daerah terpencil yang secara ekonomis belum mendatangkan keuntungan baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Meskipun kadang-kadang skalanya sangat kecil, tetap saja akan memberikan pengaruh yang cukup besar baik bagi individu maupun masyarakat. Lebih lanjut Linberg (1999) menyatakan bahwa studi tentang ekowisata di Australia telah membuktikan adanya pengaruh positif dari sudut ekonomi, meskipun tingkat keuntungannya sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Jika membicarakan masalah pemberdayaan ekonomi dari sudut pandang ekowisata, perlu kiranya dibicarakan sektor formal dan informal serta kesempatan berusaha yang tersedia, karena, kegiatan wisata yang sifatnya musiman memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi masyarakat lokal. Terlebih lagi, sering terjadi ketidak samaan pendapatan bagi orang-perorang yang dapat menimbulkan permasalahan (Wilkinson & Pratiwi, 1995). Scheyvens (2000) berpendapat bahwa, dalam hal pekerjaan formal, biasanya perempuan lokal tidak sering diikut sertakan dalam hal pembangunan fasilitas akomodasi ataupun Daerah Tujuan Wisata (DTW). Sebagai contoh, di Zimbabwe, pembangunan taman nasional mernberikan pengaruh terhadap dibangunnya fasilitas yang semakin baik, misalnya hotel serta jalan-jalan beraspal. Namun, dalam hal pekerjaan formal di bidang ekowisata tersebut, pekerja laki-laki masih mendominasi secara keseluruhan.

Disamping itu, kadang-kadang karena faktor norma sosial yang tidak memperbolehkan perempuan bekerja dalam sektor tertentu sangat berperan dalam lemahnya pemberdayaan perempuan di sektor ekowisata, seperti misalnya di Himalaya seorang guide harus seorang laki-laki, bukan perempuan. Dengan begitu kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi sudah terhambat oleh norma sosial yang berlaku di daerah tersebut.

Pemberdayaan secara sosial didefinisikan sebagai suatu situasi dimana rasa kesatuan dan integritas sebuah kelompok masyarakat menjadi semakin kuat (Scheyvens, 2000). Fungsi ekowisata sebagai faktor yang menunjang pemberdayaan sosial sangatlah penting, karena dengan dibangunnya 'community-based tourism' akan memberikan pengaruh dinamika sosial yang cukup kuat bagi kelompok masyarakat tersebut. Akibatnya, anggota masyarakat akan merasa diikut-sertakan dalam kegiatan ekowisata, yang berhasil. Pemberdayaan sosial yang bisa dilihat secara langsung dan tidak langsung dengan dilakukannya kegiatan ekowisata adalah semakin terbukanya kesempatan masyarakat setempat terhadap akses umum seperti misalnya air bersih, jalan yang semakin baik serta klinik-klinik kesehatan. Sedangkan dari perspektif budaya, Zeppel (1999) berpendapat bahwa ekowisata yang dikelola dengan baik juga memungkinkan untuk digunakan sebagai suatu sarana untuk mempertahankan keberadaan budaya asli penduduk setempat.

Pemberdayaan sosial yang memadai terhadap masyarakat setempat memungkinkan mereka mempunyai kekuatan politis terhadap pembangunan fasilitas umum atau pembangunan DTW ekowisata. Lebih jauh lagi mereka akan diikutsertakan dalam proses monitoring dan evaluasi terhadap suatu kegiatan serta semakin kuatnya lobi kelompok perrempuan terhadap kontrol sumber daya alam dan budaya.

Penelitian mengenai keterlibatan kaum perempuan yang telah dilakukan merujuk pada hal yang senada yaitu meskipun mereka telah dilibatkan secara aktif, posisi mereka selalu ada di bawah. Seperti yang dikatakan oleh Hall (1992:64) bahwa "...the most prominent tourist-related issues tend to be associated with the exploitation of women,... ". Disamping itu di beberapa negara berkembang hal yang sama juga terjadi seperi misalnya di Filipina dimana rekruiting untuk para pekerja wanita biasanya ditentukan oleh kaum pria dan pekerja wanita ditempatkan pada posisi yang tidak menguntungkan (lower position) (Chant, 1997). Beberapa ciri-ciri khusus mengenai pekerja wanita dibidang pariwisata diantaranya adalah (1) kaum perempuan jarang mendapatkan promosi pekerjaan sampai pada tingkatan supervisor dan manajemen; (2) kaum perempuan jarang sekali bisa mengembangkan karir di bidang pariwisata; dan (3) mereka jarang mendapatkan kesempatan untuk berkembang secara profesional sebagaimana partner mereka yang bisa mencapai posisi pekerjaan yang lebih tinggi.

Berangkat dari fenomena tersebut, kegiatan penelitian ini dirancang dengan maksud utamanya untuk menjembatani gap atau kesenjangan informasi yang terjadi di sektor-ekowisata, utamanya mengenai pemberdayaan perempuan, karena perempuan memang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan pariwisata meski untuk konteks Indonesia peran wanita dalam kegiatan pariwisata masih berkisar pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan domestik, seperti misalnya memasak (Satyawan & Utami, 2000). Sedangkan penyerapan tenaga kerja dibidang lain yang menuntut ketrampilan khusus masih didominasi oleh pria. Oleh karena itulah, kegiatan penelitian ini diadakan agar bisa diketahui apakah kegiatan ekowisata yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal baik secara sosial, ekonomi dan budaya di daerah Surakarta dan sekitarnya sudah tercapai.

Kegiatan pariwisata sebagai salah satu alternatif untuk mendapatkan penghasilan bagi masyarakat dan devisa bagi negara sudah tidak diragukan lagi, meskipun di Indonesia sektor ini mengalami pasang surut. Seperti misalnya sebelum krisis ekonomi pariwisata menjadi sektor andalan bagi pemerintah karena memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian negara. Meskipun mengalami penurunan sejak terjadinya krisis sekaligus ketidak-stabilan politik di Indonesia paling tidak 5 juta wisatawan manca dan lebih dari 100 juta perjalanan wisatawan domestik tetap merupakan faktor penggerak ekonomi yang cukup signifikan di Indonesia, juga di wilayah Surakarta. Dengan jumlah wisatawan mancanegara dan nusantara yang datang, maka sektor pariwisata tetap memberikan kesempatan kerja dan berusaha masyarakat Indonesia baik formal maupun tidak formal.

Untuk mengatasi penurunan jumlah wisatawan manca yang bersifat masal serta pemahaman pemerintah dan wisatawan terhadap dampak negatif pariwisata masal, akhir dekade ini telah dimulai kegiatan pariwisata yang mengarah pada Special Interest Tourism (SIT) yang ditandai dengan beberapa ciri khas diantaranya adalah berskala kecil, berkelanjutan, serta melibatkan masyarakat lokal sehingga memberikan dampak positif terhadap masyarakat sekitarnya. Keberadaan fasilitas untuk pariwisata masal seperti misalnya pembangunan kompleks, hotel di Nusa Dua, Bali ternyata akhirnya tidak memberikan pengaruh yang signifikan bagi masyarakat sekitamya karena sebagian besar yang bekerja di bidang hospitality tersebut adalah masyarakat dari luar daerah tersebut. Hal ini juga terjadi di Thailand (Phuket), dimana masyarakat lokal karena keterbatasan pendidikan dan pengetahuan serta kemampuan bahasa Inggris, kalah bersaing dengan pencari kerja dari luar wilayah Phuket (Thailand Tourism Authority, 2005). Meskipun begitu, usaha yang positif telah mulai dilakukan yaitu dengan dibukanya sebuah Spa and Salon berskala internasional yang melibatkan orang lokal dengan diberi pendidikan dan sertifikasi sehingga mereka bisa bekerja di sektor tersebut (Bangkok Post, 19 October 2005).

Dengan dikembangkannya SIT seperti misalnya Community-based ecotourism enterprises (Usaha ekowisata berbasis masyarakat) di Taman Nasional Gunung Halimun, akan memberikan manfaat ekonomis sebagai faktor pendorong utama, serta memberikan manfaat lain karena keterlibatan masyarakat lokal secara psikologis akan memberikan pengaruh kepercayaan diri yang besar bagi orang yang terlibat di dalamnya sekaligus akan memberikan rasa tanggung jawab yang besar terhadap kelangsungan kehidupan di lingkungannya (Environmental Sustainability) (Scheyvens, 2000). Proses pengembangan ekowisata tersebut disyaratkan melibatkan masyarakat setempat tidak hanya dalam proses inisiasi tetapi pada tahapan pelaksanaan seperti pembangunan ecolodge (penginapan yang memenuhi persyaratan kelestarian lingkungan) di Gunung Halimun sejak awal telah melibatkan masyarakat secara aktif. Meskipun praktek di lapangan menunjukkan beberapa kendala yang dialami oleh fasilitator, tetapi keterlibatan masyarakat setempat sangat membantu mengurangi problem yang diasosiasikan dengan pengembangan ekowisata. Di Surakarta, dan sekitarnya meskipun sangat terbatas jumlahnya, kegiatan yang mengarah ke konsep ekowisata telah dilaksanakan oleh para pelaku pariwisata. Oleh sebab itu perlu kiranya kita melihat sejauh mana keterlibatan kaum perempuan di sektor ini memberikan pengaruh baik secara sosial, budaya dan tentu saja secara, ekonomi.

Pembangunan pariwisata (ekowisata) di daerah Surakarta dan sekitarnya tidak bisa begitu saja dilepaskan dari tradisi kultural-historis yang menjadi pendukung konteks pembangunan wilayah tersebut. Seperti telah diketahui Surakarta merupakan pusat pengembangan budaya Jawa dengan adanya Karaton Surakarta Hadiningrat yang sudah barang tentu memberi nuansa kehidupan sosial budaya yang berbeda jika dibandingkan dengan konsep modern. Salah satunya adalah peran perempuan di dalam keluarga dan masyarakat.

Keterlibatan dan peran perempuan di sektor ekowisata
Keterlibatan perempuan di sektor pariwisata (ekowisata) nampaknya memang masih terbatas, data penelitian ini menunjukkan bahwa diantara obyek ekowisata yang bisa teridentifikasi di eks karesidenan Surakarta, kebanyakan telah melibatkan perempuan dalam proses produksinya. Penelitian ini melihat keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekowisata, dari dua sisi yaitu mereka, yang duduk sebagai pengambil keputusan (pemilik) serta mereka yang terlibat langsung dalam kegiatan ekowisata seperti misalnya produksi sovenir.

Meskipun secara kuantitatif jumlah perempuan yang terlibat dalam kegiatan ekowisata tidak terlalu banyak, karena sedikitnya jumlah obyek yang termasuk dalam kategori ekowisata, namun secara kualitatif cukup signifikan. Dari empat obyek ekowisata yang diteliti (Batik Masaran, Tea Plantation Kemuning, Batik Mojolaban, dan Batik Kayu Gentan) dua diantaranya dimanajeri (dimiliki) oleh perempuan. Dalam sudut pandangan sosial mereka ini termasuk dalam kategori strata atas dan mereka, memiliki keterlibatan yang menonjol dalam kegiatan pembangunan pariwisata dan ekowisata pada khususnya. Mereka sering terlibat secara aktif dan ikut serta mengkoordinir kegiatan¬kegiatan pariwisata dan memberikan bantuan baik secara moral maupun material. Mereka juga aktif melaksanakan kegiatan bisnisnya sampai ke Bali dan beberapa tempat di Indonesia serta memiliki jejaring yang cukup baik diantaranya dengan konsumen dan perbankan karena mereka memiliki akses untuk mendapatkan bantuan keuangan. Disamping itu kemampuan mereka dalam berorganisasi untuk mengembangkan usaha mereka bisa dikatakan cukup baik sehingga pelan namun pasti mereka mampu mengembangkan usaha mereka.

Nampaknya perempuan pada strata atas ini tidak memiliki masalah sama sekali dalam keterlibatannya dengan ekowisata karena kesempatan berkembang bagi mereka sama besarnya antara pria dan wanita seperti misalnya kesempatan untuk mendapatkan bantuan keuangan dari lembaga keuangan serta proses negosiasi harga dan sebagainya. Keduanya merasa bahwa mereka telah menunjukkan kemampuan yang maksimal dalam kegiatan ekowisata, meskipun masih perlu mendapatkan bimbingan dari pemerintah utamanya soal pemasaran dan manajemen ekowisata. Disamping itu masih kurangnya pemahaman mereka tentang konsep ekowisata perlu adanya pendekatan yang lebih proaktif dari beberapa pihak misalnya perguruan tinggi. Mereka berdua menganggap bahwa ekowisata hanya berhubungan dengan alam saja, padahal secara spesifik telah dikatakan bahwa ekowisata juga memasukkan unsur pelestarian seni dan budaya setempat guna mendukung kegiatan tersebut.

Karena jenis kegiatan ekowisata ini biasanya berskala kecil mereka mempekerjakan karyawan dengan jumlah bervariasi antara 3 sampai dengan 20 orang. Kadang– kadang pekerja musiman juga direkrut jika pesanan datang lebih banyak dan membutuhkan waktu yang cukup singkat. Sebagian pekerja yang terlibat di dalamnya adalah perempuan yang beberapa diantaranya menjadi informan penelitian ini. Keterlibatan mereka selalu ada hubungan kekerabatan atau pertetanggaan, sehingga dalam hal sumber daya manusia mereka tidak pernah kekurangan. Beberapa diantara pekerja melalui proses belajar di perusahaan tersebut, sehingga semakin lama mereka bekerja biasanya semakin mahir mereka dibidang produksi misalnya. Meski skalanya kecil kegiatan mereka sudah berlangsung lebih dari 10 tahun, bahkan tanpa menyadari bahwa kegiatan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai ekowisata, karena melibatkan masyarakat di sekitarnya juga bentuk pelestarian budaya lokal dalam bentuk karya seni. Karena selama ini mereka menganggap pengklasifikasian itu tidak begitu penting, yang penting proses produksi tetap berlangsung don memberi keuntungan ekonomis bagi pemilik dan pekerjanya.

Kebalikannya, kaum perempuan yang terlibat dalam proses produksi dan kegiatan ekowisata termasuk dalam kelompok menengah kebawah dan keterlibatannya belum kelihatan nyata utamanya untuk pengembangan ekowisata. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal misalnya mereka tidak memiliki akses yang cukup untuk berperan aktif dalam kegiatan ekowisata atau karena kesibukannya membantu ekonomi keluarga mereka tidak memiliki waktu luang yang cukup untuk berpartisipasi aktif.

Beberapa diantara mereka sudah bekerja lebih dari enam tahun dengan posisi yang sama, meskipun ada yang menyatakan bahwa selama ini mereka mendapatkan kesempatan belajar lebih banyak, sehingga pendapatan mereka semakin meningkat seiring dengan peningkatan ketrampilan mereka memproduksi barang atau jasa di lokasi ekowisata tersebut. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa keterlibatan perempuan di bidang ekowisata masih sangat terbatas dengan berbagai alasan seperti yang disebut diatas yaitu sosio-budaya, keterbatasan kemampuan dan keterbatasan waktu yang mereka punyai. Mereka merasa bekerja dengan keadaan yang sekarang sudah cukup baik, dibandingkan jika tidak bekerja atau tidak berpenghasilan. Hal ini merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh perempuan pada umumnya, yang menganggap bekerja berapapun pendapatannya lebih baik ketimbang tidak bekerja sama sekali.

Secara singkat bisa dirangkum bahwa untuk strata atas keterlibatan dan peran perempuan cukup tinggi dan mereka memiliki jaringan kerja yang cukup baik, mempekerjakan pekerja tetap minimal tiga atau empat orang, dengan modal yang terbatas. Sedangkan untuk strata menengah dan bawah, keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekowisata masih sangat terbatas hanya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya saja. Mereka biasanya tidak memiliki akses sama sekali terhadap kesempatan untuk pembangunan pariwisata (ekowisata) disamping tidak memiliki pengetahuan yang cukup dibidang tersebut. Nampaknya dunia pariwisata dan ekowisata pada umumnya, yang didominasi oleh kaum pria, sudah semestinya memikirkan untuk melibatkan perempuan sehingga akses untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan ekowisata bisa terbuka yang pada akhirnya memberikan nuansa yang tidak bias gender di dunia ekowisata di Indonesia.

Keterlibatan dan peran perempuan menunjang peran dan status secara sosial- dan budaya Secara umum perempuan bekerja dengan alasan tertentu, seperti misalnya untuk mencari tambahan penghasilan keluarga atau untuk alasan pribadi seperti meningkatkan peran dan status mereka dalam masyarakat. Dengan bekerja di sektor ekowisata, perempuan mendapatkan tambahan pengetahuan secara tidak langsung, seperti misalnya kemampuan (skills) memproduksi sesuai seperti batik kayu semakin meningkat. Seiring dengan meningkatnya kemampuan tersebut mereka secara sosial mempunyai 'bargaining power' yang lebih baik. Dengan bekerja mereka merasa memiliki nilai tambah (added value) di dalam masyarakat. Hal ini membuat mereka merasa lebih dihargai ketimbang hanya sebagai ibu rumah tangga biasa atau, sebagai perempuan yang tidak bekerja. Dengan keterlibatan di dunia pariwisata, dalam hal ini ekowisata, responden juga yakin bahwa masyarakat lebih menghargai sehingga lebih bisa berperanserta dalam kegiatan sosial di lingkungannya seperti misalnya Dasa Wisma atau, PKK serta lebih mempunyai kepercayaan diri karena merasa mempunyai kelebihan di banding dengan mereka yang tidak bekerja.

Disamping itu Scheyvens (2000) menyatakan bahwa dengan bekerja dan bergabung dalam kelompok, maka fungsi pemberdayaan sosial bisa meningkat. Rasa kesatuan dan persatuan karena terikat dalam kegiatan yang sama akan memberikan dinarnika sosial yang lebih tinggi yang pada gilirannya masing — masing individu merasa diikutsertakan dalam kegiatan ekonomi yang menghasilkan. Para perempuan inipun merasa bahwa mereka diperlakukan sesuai dengan kemampuannya bukan karena mereka perempuan. Secara umum responden menyatakan bahwa keterlibatan dalam pengembangan kemampuan di tempat bekerja memberikan suatu, kepuasan pada mereka sehingga bisa berproduksi secara lebih bagus dimasa yang akan datang. Dari dalam keluarga para perempuan ini menyatakan bahwa mereka mempunyai kesempatan yang sama dalam keluarga karena kebanyakan mereka diberi hak yang sama dalam mengambil keputusan — keputusan yang diambil dalam keluarga. Hal ini penting karena secara sosial budaya masyarakat Jawa menganggap perempuan posisinya lebih rendah dari kaum lelaki, sehingga mereka tidak diberi tanggung jawab yang besar baik di rumah maupun ditempat kerja. Sayangnya persepsi pekerja perempuan juga tidak jauh berbeda dengan pendapat para stakeholder pariwisata sehingga merekapun merasa baik — baik saja jika, diperlakukan tidak sama karena mereka perempuan. Meski begitu ada beberapa informan yang menyatakan bahwa kesempatan mereka untuk berkembang sama besamya dengan kaum pria. Hanya karena sudah ada pemisahan tugas misalnya perempuan membatik sedangkan pria membuat pola dan 'finishing' maka mereka bisa menerima pembagian ini dengan sukarela.

Para perempuan yang belum memiliki peluang untuk berperan serta dalam pengembangan ekowisata pada umumnya menyatakan keinginannya untuk mengembangkan kemampuan sehingga secara sosial mereka lebih dihargai. Keterlibatan tersebut bisa keterlibatan aktif maupun aspiratif. Pertama mereka menyatakan perlu ikut berperan serta memberikan atau meningkatkan kesadaran masyarakat umum tentang arti penting pariwisata/ekowisata dan mendorong mereka untuk lebih banyak terlibat di dalamnya karena pariwisata membuka peluang kesempatan kerja bagi kaum wanita. Kedua dipererlukan dorongan dan motivasi dari para stakeholder dibidang pariwisata agar keinginan perempuan untuk lebih terlibat dalam ekowisata difasilitasi sehingga keinginan tersebut bisa terwujud.

Dalam skala yang lebih luas, peningkatan status sosial dalam masyarakat karena, berperan serta dalam kegiatan ekowisata ada dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Yang pertama misalnya dengan bekerja mereka mendapatkan keuntungan ekonomis sehingga kehidupan keluarga akan terjamin, sedangkan pengaruh yang tidak langsung termasuk kesempatan mendapatkan akses yang lebih bagus terhadap fasilitas - fasilitas umum seperti misalnya sarana, air bersih, jalan yang semakin baik serta akses terhadap klinik — klinik kesehatan. Ekowisata yang efektif sebagai kegiatan yang berbasis masyarakat semestinya memberikan keuntungan bagi masyarakat, karena sebagian dari kegiatan mereka disisihkan untuk kegiatan konservasi alam jika kegiatan ekowisata melibatkan alam sebagai basis kegiatannya. Kegiatan ekowisata berbasis masyarakat di Taman Nasional Gunung Halimun misalnya menyisihkan sekitar 10% hasil keuntungan untuk konservasi alam.

Sayangnya, di daerah eks karesidenan Surakarta, kegiatan ekowisata belum ditata secara profesional seperti kasus di TNGH dimana kegiatan ekowisata masih bersifat informal dan dalam skala yang kecil. Sehingga hasil secara nyata belum. terlihat. Meskipun begitu pemerintah telah berusaha memberikan penyuluhan — penyuluhan sehubungan dengan pengembangan SIT termasuk didalamnya ekowisata, sehingga dimasa yang akan datang keinginan wisatawan untuk menikmati Special Interest Tourism bisa terwadahi dan memberikan kontribusi ekonomis, sosial dan budaya pada masyarakat lokal.

Dalam beberapa konteks sosial, perempuan kehilangan kesempatan mendapatkan keuntungan ekonomis karena norma sosial masyarakat setempat menganggap bahwa dengan bekerja di sektor ekowisata, mereka mendapatkan cap buruk di dalam masyarakat. Misalnya di daerah Himalaya (Lama, 1998) dan di Pangandaran, Jawa Barat (Wilkinson & Pratiwi, 1995) profesi guide biasanya adalah pria. Wanita yang berprofesi sebagai guide maka mereka akan dicap sebagai 'pelacur' yang hanya tertarik untuk berhubungan dengan wisatawan asing.

Keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekowisata juga bisa menguntungkan secara kultural. Misalnya dengan terlibat di dalamnya, para pekerja perempuan akan mulai mengenal hasil karya seni dan budaya serta kegiatan - kegiatan budaya yang mendukung ekowisata, karena seni dan budaya merupakan bagian tak terpisahkan dari ekowisata. Mereka merasa bahwa kegiatan di bidang ini membawa pandangan kearah budaya positif dan hal ini akan membawa kaum perempuan kearah pemberdayaan perempuan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perkembangan budaya. Di Panama, perempuan dianggap sebagai penjaga kemurnian budaya lokal, sehingga dengan kesadarn tinggi mereka akan tetap mempertahankan kemurnian budaya. Para responden mengatakan bahwa dengan bekerja di sektor ekowisata, mereka tambah mencintai budaya lokal seperti batik dan wayang kulit sebagai salah satu produk budaya lokal. Para responden juga mengharapkan agar mereka lebih sering dilibatkan dalam acara - acara budaya sehingga mereka, lebih bisa dikenal oleh masyarakat sehingga, peluang mereka untuk memproduksi hasil karya bisa lebih banyak serta memberikan peluang pekerjaan bagi perempuan lain di sektor ini.

Dalam konteks nasional, di Bali `Sua Bali' yang merupakan inisiatif yang didirikan oleh dan untuk perempuan, menetapkan bahwa setiap wisatawan yang datang ke desa mereka harus membayar $1 untuk mendukung kegiatan – kegiatan keagamaan dan budaya di desa tersebut disamping untuk membantu masyarakat yang mengalami masalah hidup seperti misalnya karena sakit (Mas dalam Scheyvens, 2000). Di masa yang akan datang perlu kiranya kegiatan ini diadopsi oleh ekowisata di eks karesidenan Surakarta agar masyarakat sekitar benar – benar bisa menikmati manfaat kegiatan ekowisata. Dalam konteks yang lebih abstrak, keterlibatan wanita dalam kegiatan ekowisata dalam jangka panjang bisa memberikan penghargaan yang lebih tinggi terhadap perempuan sehingga pemahaman masyarakat terhadap perempuan yang `stereotipe' bisa mulai bergeser.

Keterlibatan perempuan menunjang peran dan status perempuan secara ekonomis
Seperti yang dikatakan oleh Linberg (1999) bahwa kegiatan ekowisata memberikan peran yang sangat besar dalam hal 'generating economic benefits' hal itu tampak pada hasil penelitian ini. Sebagian besar informan menyatakan bahwa dengan mengusahakan dan bekerja dibidang ekowisata, secara umum mereka mendapatkan penghasilan yang cukup memadai. Meski hanya sebagai income tambahan dalam keluarga peran ekowisata ini sangat besar secara psikologis memberikan kenyamanan karena mendapatkan income tambahan sehingga keuangan keluarga bisa terbantu. Secara umum, pariwisata mengenal .'seasonality' dimana pada saat tertentu barang atau jasa yang ditawarkan juga akan mendapatkan pengaruh tersebut. Tetapi sebagian besar informan mengatakan bahwa selama ini pekerjaan mereka tidak begitu mengenal tinggi rendah. Mereka tetap terus bekerja dan mendapatkan penghasilan.

Responden juga menyatakan bahwa secara ekonomis memang telah menghasilkan, tetapi beberapa diantaranya menghendaki kenaikan gaji secara teratur, agar mereka bisa menyesuaikan dengan kebutuhan keluarga mereka. Dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa karena rata- rata perusahaan berskala kecil maka penentuan upah minimum tidak seperti perusahaan besar yang diatur oleh pemerintah. Penentuan jumlah gaji biasanya ditentukan oleh pemilik tanpa mendapat persetujuan dari para pekerja. Namun apa tenaga yang dikeluarkan telah sesuai dengan pendapatan.

Pendapatan mereka rata-rata hanya sebagai income tambahan dalam keluarga dan mereka menyatakan bahwa dengan mempunyai penghasilan sendiri mereka merasa mempunyai hal yang tidak jauh berbeda dengan suami/parner dalam mengambil keputusan dalam keluarga. Hal ini telah dibahas secara lebih luas dalam point B.2. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ekowisata memberikan manfaat ekonomis bagi penduduk lokal, meskipun satu diantara mereka berasal dari tempat lain (30 km dari tempat bekerja) tapi sekarang telah menetap disekitar tempat usaha tersebut.

Disamping itu Scheyvens (2000) menyatakan bahwa biasanya para perempuan ini tidak termasuk dalam pekerjaan formal dan ini juga sangat jelas dalam penelitian ini. Semua responden berkedudukan sebagai pekerja biasa tidak dengan kedudukan tertentu, meski ada satu yang berfungsi ganda yaitu sebagai pekerja bagian produksi sekaligus 'humas' karena dialah yang bertanggung jawab ketika ada klien dan pimpinannya tidak berada ditempat. Dengan adanya ekowisata di suatu empat, diharapkan perempuan lebih bias dilibatkan secara aktif tidak hanya sebagai \ pekerja saja tetapi peningkatan peran serta status mereka. Dalam hal 'formal employment' pengalaman di daerah lain menunjukkan bahwa perempuan biasanya tidak begitu dilirik sehingga seringkali menimbulkan permasalahan disekitar tempat tersebut. Suatu contoh terjadi di Zimbabwe, dimana dua hotel chain besar dibangun dan tenyata mereka tidak melibatkan perempuan lokal. Hal ini yang menyebabkan masyarakat setempat berburu binatang secara besar — besaran dengan asumsi bahwa jika tidak ada binatang yang bisa dilihat wisatawan tidak akan datang ketempat tersebut. Hal seperti ini sudah seharusnya dihindari dengan cara aktif melibatkan penduduk lokal termasuk didalamnya perempuan.

Peluang dan kendala yang dihadapi perempuan dalam keterlibatannya dengan ekowisata untuk meningkatkan status dan perannya dalam masyarakat.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa peluang dan kendala yang dihadapi oleh perempuan untuk bisa secara aktif terlibat dalam kegiatan ekowisata. Diantaranya adalah untuk kelompok strata atas memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok strata menengah dan bawah. Kesempatan untuk mengembangkan potensi pribadi cukup besar yang nantinya bermanfaat bagi kegiatan ekowisata dan perempuan yang terlibat di dalamnya. Secara umum mereka beranggapan bahwa peluang perlu ditingkatkan terutama oleh pemerintah untuk melibatkan mereka secara aktif dalam kegiatan riil seperti misalnya pameran pariwisata tingkat nasional dan internasional. Pengembangan jejaring juga cukup penting untuk dilakukan terutama atas bantuan pemerintah agar pemasaran produkl atau jasa bisa berkembang lebih luas.

Namun untuk kelompok yang satunya, kendala yang dihadapi lumayan besar, karena mereka memiliki keterbatasan akses baik untuk akses produksi dan jasa serta akses pemasaran. Oleh sebab itu perlu ditingkatkan support dari pemerintah, tidak hanya untuk pengembangan produk tetapi pemasaran serta peningkatan kemampuan (Skills) dengan cara training serta kursus sangatlah diperlukan. Hal ini akan meningkatkan kemampuan mereka dalam berproduksi sehingga kesejahteraan mereka akan lebih terjaga.

Disamping akses terhadap kesempatan untuk berkembang menuju keadaan yang lebih baik, keterbatasan dana, ketenagakerjaan, profesionalisme kerja dan kualitas produk ekowisata merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kendala yang dihadapi oleh mereka yang berada di strata menengah dan bawah. Dengan memberikan bantuan berupa training misalnya, para pekerja ekowisata bisa meningkatkan kemampuannya dibidang tersebut untuk selanjutnya dipakai sebagai pengembangan ekowisata di daerah eks karesidenan Surakarta. Lebih lanjut harus ada beberapa pihak yang membantu percepatan kemampuan mereka supaya lebih maju misalnya pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan pihak swasta yang mempunyai hubungan dengan ekowisata.

Hal yang lebih menguntungkan dalam konteks ekowisata di eks Karesidenan Surakarta adalah bahwa peluang untuk lebih terlibat dalam ekowisata terbuka lebar karena kaum lelaki yang nota bene biasanya merupakan kelompok yang dominan tidak keberatan istri atau pasangannya bekerja. Hal ini nampak dari pendapat responden yang menyatakan bahwa parner mereka tidak melarang ketika mereka ingin tetap kerja setelah menikah. Ini berarti bahwa peluangnya sangat besar. Dari kaum perempuan strata atas, nampak sekali bahwa mereka telah mempunyai kontrol yang cukup kuat terhadap usaha mereka. Di Belize, bahkan wanita telah mempunyai usaha 'ecolodge'sendiri yang suatu ketika bisa dikembangkan di Indonesia (Scheyvens, 2000). Saat ini di Taman Nasional Gunung Halimun 'small scale enterprises' telah mulai mengusahakan ekowisata, dengan bimbingan pemerintah dan LSM.

Simpulan
Dari hasil wawancara mendalam (in-depth interview), observasi dan kajian data sekunder, bisa disimpulkan bahwa keterlibatan perempuan di sektor ekowisata di eks karesidenan Surakarta dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, kelompok wanita yang terlibat dalam ekowisata terbagi menjadi dua strata yaitu strata atas dan menengah dan bawah. Dari kelompok strata atas, keterlibatan kaum perempuan sudah cukup tinggi. Hal ini bisa dilihat dari keaktifan mereka dalam kegiatan itu sendiri, serta tingkat keterlibatan mereka yang cukup tinggi dari kegiatan pariwisata baik tingkat regional maupun nasional. Kesempatan mereka berkembang juga cukup tinggi karena mereka mempunyai kesempatan yang sama untuk memanfaatkan resources yang ada untuk perkembangan usaha mereka.

Kelompok bawah dan menengah, meskipun mereka telah cukup aktif terlibat, namun kesempatan mereka berkembang terhambat oleh kurangnya kemampuan mereka secara profesionalisme, skill dan pengembangan manajerial. Mereka beranggapan bahwa dengan posisi mereka pada saat ini sudah cukup baik, dibandingkan dengan keadaan mereka jika tidak bekerja. Secara umum kedua kelompok strata perempuan ini merasa bahwa keterlibatan mereka di bidang pariwisata sudah memberikan manfaat secara sosial dan budaya dan ekonomis. Dari segi sosial dan budaya, dengan aktif bekerja mereka mempunyai kesempatan yang lebih baik dalam mengutarakan pendapat serta berperan serta dalam memberikan keputusan – keputusan dalam keluarga. Dari sisi sosial, mereka juga merasa lebih mempunyai peran dalam masyarakat baik dalam kelompok – kelompok wanita, maupun dalam rumah tangga mereka. Kegiatan mereka di bidang ekowisata juga memberikan peningkatan status mereka secara budaya. Seperti misalnya dengan aktif di bidang ekowisata, para perempuan menjadi semakin tahu bagaimana mempertahankan budaya lokal, diantaranya adalah produk kerajinan lokal. Hal ini tentu saja sesuai dengan fungsi dari ekowisata yang di dalamnya mencakup kegiatan kultural/budaya di dalam masyarakat disekitar daerah tujuan ekowisata. Dari segi ekonomis, sudah pasti mereka merasa mendapatkan manfaat yang baik dengan berperan serta dalam kegiatan ekowisata ini. Mereka mengatakan bahwa, meskipun pendapatan mereka tidak sangat tinggi tetapi sudah cukup membuat mereka bangga karena sebagai perempuan mereka telah memiliki penghasilan sendiri yang bisa membantu menghidupi keluarga.

Daftar Pustaka
Ashley, C. and Roe, D. (1997). Community Involvement in Wildlife Tourism: Strengths, Weaknesses and Challenges. London: Evaluating Eden Project, International Institute for Environment and Development.

Barkin, D. (1999). Ecotourism: A Tool for Sustainable Development. Available On-line:
http://www.greenbuilder.com/mader/Planeta/0596. Downloaded on 7/9/99

Ceballos-Lascurain, H. (1996). Tourism, Ecotourism and Protected Areas. Gland, Switzerland: IUCN (World Conservation Union)

Kinnaird, V. and Hall, D (Eds) (1994). Understanding Tourism Processes: A . gender-aware framework. Tourism Management Vol. 17(2), 95 - 102
Lama, W.B (1998). CMBT: Women and CBMT in the Himalaya, Submitted to Community-based Mountain Tourism Conference, as posted on the Montain Forum Discussion Archives on 05/08/99. Available Online:
http://www.mntforum.org/mntforum/archieve/document/discussion98/Cbmt/cbm t4/050898d. Diakses tanggal 23/10/03
Linberg, K. (2002). The Economic Impacts of Ecotourism. Available On-line: http://ecotour.csu.edu.auecotour/marl.htm. Downloaded on 3/25/02

Satyawan, A. dan Utami, T. (2000). Pengembangan Pariwisata dan Pengaruhnya terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Wanita: Studi di Kepulauan Karimun Jawa. Jurnal Cakra Wisata, Vol. l(l), 1- 13.

Scheyvens, R. (2000). Promoting Women's Empowerment Through Involvement in Ecotourism: Experiences from the Third World. Journal of Sustainable Tourism, Vol. 8(3). Pp. 232 – 249.

Tourism Thailand (2005) Bangkok Post. 19 October 2005.

Warto (2001) Kondisi empirik ketenagakerjaanbidang pariwisata di Surakarta. Laporan Penelitian, tidak diterbitkan, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Wilkinson, P. and Pratiwi, W (1995). Gender and tourism in an Indonesian village. Annals of Tourism Research 22(2), 283-299

Zeppel. H. (2000). Ecotourism and Indigenous Peoples. Available On-line: http://lorenz.mur.csu.edu.au.ecotour/ Downloaded on 3/1/2000.
__________
Diyah Bekti Ernawati (Dosen Sastra Inggris-UNS)

Sumber :perpustakaan.uns.ac.id