Pemberdayaan Masyarakat Seni Tradisi dalam Industri Pariwisata Budaya


Oleh: Triono Saputro
Pengantar
Tulisan ini disusun sebagai bahan untuk seminar “Pariwisata Seni Budaya Memberdayakan Masyarakat Seni Tradisi”, yang diselenggarakan oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia tanggal 24 Agustus 2005. Tujuan seminar adalah untuk menggali, menghimpun dan membahas pemikiran, pengalaman mutakhir, serta merumuskan langkah-langkah strategis dan taktis dalam memberdayakan masyarakat seni tradisi dengan jalan menggeser peran mereka dari sekedar sebagai penyedia menuju peran sebagai pemilik dan pengelola peristiwa dan artefak kesenian bagi industri pariwisata budaya.

Dalam seminar tersebut diundang beberapa pembicara yang memang dalam profesi kesehariannya bergelut dengan penelitian, pelestarian, dan pengembangan seni tradisi. Penulis adalah satu-satunya pembicara yang awam di bidang seni tradisi, karena profesi penulis adalah konsultan dan pengajar di bidang manajemen. Hanya kebetulan saja selama beberapa tahun terakhir, penulis “mengamati” kondisi manajemen organisasi-organisasi seni tradisi. Oleh karena itu, penulis akan menyampaikan pandangan-pandangan terhadap upaya pemberdayaan seni tradisi dalam lingkungan industri pariwisata budaya, ditinjau dari aspek bisnis dan manajemen.

Seni Tradisi sebagai Komoditas Pariwisata Budaya
Menurut yang penulis baca dan dengar sebagai orang awam, seni tradisi dapat berwujud sebagai (1) seni tradisi ritual untuk upacara-upacara keagamaan dan adat, dan (2) seni tradisi yang dikemas khusus untuk dinikmati masyarakat luas maupun wisatawan (arts for mart) (Permas et.al, 2003). Kedua bentuk seni tradisi tersebut, saat ini memang masih ada dan ternyata dapat hidup berdampingan. Masing-masing bentuk memiliki habitat, pendukung, dan aturan main sendiri, yang tidak perlu dipertentangkan dan dicampuradukkan. Kalau masing-masih bentuk seni tradisi dapat berkembang di habitatnya masing-masing dan tidak saling bertentangan, terdapat potensi sinergi yang baik antar keduanya. Dalam tulisan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pengembangan seni tradisi sebagai suatu komoditas pariwisata budaya, yang dapat melestarikan seni tradisi itu sendiri maupun dapat meningkatkan kesejahteraan para pelakunya. Komersialisasi seni tradisi karena tuntutan ekonomi telah menjadi suatu realitas di masyarakat. Penanganan komersialisasi seni tradisi dengan baik berpotensi membawa dampak positif bagi seni tradisi yang menjadi komoditas itu sendiri maupun para pihak-pihak yang terkait, seperti halnya berbagai tari klasik, musik klasik, maupun opera yang dikelola dan dibisniskan secara baik di negara-negara maju. Walaupun demikian tidak bisa ditolak pula adanya realitas bahwa komersialisasi seni tradisi juga berakibat pada pendangkalan dan pelecehan terhadap seni tradisi itu sendiri.

Proses Bisnis Pariwisata Budaya
Karena sebagai komoditas (mata dagangan), maka seni tradisi pun perlu tunduk pada hukum ekonomi dan bisnis. Untuk mengetahui lebih lanjut posisi seni tradisi dalam industri pariwisata budaya, kita perlu memahami proses bisnis pariwisata budaya.

Pada umumnya, paket pariwisata budaya dijual oleh travel biro atau hotel sebagai produser atau event organizer. Mereka yang “memproduksi dan menjual” karya seni tradisi kepada para wisatawan sebagai customer. Mereka juga “membeli” karya seni tradisi dari para seniman atau organisasi seni tradisi. Karya seni tradisi ini biasanya tidak dijual sendiri, tetapi dikemas dan digabung dengan paket lainnya (misalnya paket transportasi, akomodasi, pariwisata alam, dan sebagainya) untuk dijadikan paket pariwisata budaya yang terintegrasi.

Produser atau event organizer pada umumnya memulai dengan melakukan “penelitian” akan kebutuhan dan selera para wisatawan dalam menikmati/membeli karya seni tradisi. Di sisi lain, mereka juga melakukan “penelitian” terhadap karya-karya seni tradisi yang potensial sehingga dapat dikemas dan dijual kepada wisatawan. Proses selanjutnya adalah mendesain paket pariwisata budaya, di dalamnya termasuk paket seni tradisi. Setelah desain selesai, mereka mulai melakukan proses pembelian (seleksi, pemesanan, negosiasi, dan kontrak) karya seni tradisi dari para seniman seni tradisi. Desain paket pariwisata budaya dipromosikan dan dijual kepada para wisatawan. Proses berikutnya adalah pelaksanaan delivery (penyampaian) paket pariwisata budaya yang melibatkan para seniman seni tradisi.

Struktur Persaingan dalam Industri Pariwisata Budaya
Berdasarkan pemahaman terhadap proses bisnis industri pariwisata budaya di atas, selanjutnya dapat digambarkan struktur persaingan dalam industri pariwisata budaya dengan menggunakan pendekatan Porter (1984).

Dalam situasi seperti ini harga dari seni tradisi yang dihasilkan masyarakat sangat ditentukan posisi tawar (bargaining power) mereka terhadap produser/event organizer yang membeli produknya. Semakin rendah posisi tawar masyarakat seni tradisi tersebut, semakin rendah harga yang mereka terima. Di samping itu, dengan semakin rendah posisi tawar, pihak pembeli (produser/event organizer) akan semakin leluasa “mengatur” karya seni dijual masyarakat seni tradisi.

Di pihak lain, kita juga perlu memahami bahwa produser/event organizer juga menghadapi hal yang sama dengan pembelinya (biro perjalanan atau wisatawan). Mereka masih harus berhadapan dengan produser-produser pesaingnya, dengan pendatang-pendatang baru, dan dengan produk substitusi dari wisata budaya (jenis wisata lain, televisi, internet, CD, kaset, dan sebagainya).

Tingkat harga sangat dipengaruhi oleh posisi tawar mereka terhadap pembeli dan pemasoknya. Di samping itu, mereka akan menghadapi tekanan dan ancaman dari persaingan antarseniman/organisasi seni tradisi, produk substitusi (karya seni tradisi di televisi, internet, CD, kaset, dan sebagainya), dan ancaman pendatang baru di bidang seni tradisi. Semakin tinggi tekanan dan ancaman akan semakin menekan keuntungan yang diperoleh (harga jual atau meningkatkan biaya). Untuk menghadapi tekanan dan ancaman tersebut, mereka dapat dengan terpaksa menurunkan harga jual atau menambah biaya untuk meningkatkan mutu karyanya, padahal harga jual tidak dapat dinaikkan.
Posisi Tawar Masyarakat Seni Tradisi dalam Industri Pariwisata Budaya
Untuk menilai sejauhmana posisi tawar masyarakat seni tradisi, kita perlu mengetahui profil organisasi seni tradisi di tanah air. Kebetulan pada bulan Mei–November 2003, Lembaga Manajemen PPM bekerja sama dengan Yayasan Seni Taratak, Jambi, telah melakukan penelitian tentang praktek manajemen di 58 organisasi-organisasi seni di Indonesia dan secara khusus dengan melakukan observasi manajemen terhadap 27 organisasi seni di 10 provinsi di Indonesia (Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Jambi, Sumatra Barat, Lampung, Jawa Barat, Jakarta, YogYakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). Sebelum itu, Lembaga Manajemen PPM pada periode tahun 2000 – 2001 telah melakukan pengamatan mendalam di beberapa organisasi seni tradisi di Bali, Yogyakarta, Solo, Bandung, Jambi, dan Padang.

Dari hasil penelitian tersebut maupun pengamatan tersebut dapat diketahui bahwa posisi tawar masyarakat seni tradisi relatif lemah dibandingkan dengan para produser sebagai pembelinya. Hal ini disebabkan beberapa faktor yakni:

1. Jumlah produser relatif sedikit dibandingkan jumlah seniman seni tradisi, dengan kondisi finansial yang umumnya jauh lebih baik dibandingkan seniman seni tradisi.

2. Jumlah seniman atau organisasi seni tradisi banyak dan satu sama lain saling bersaing secara frontal (kurang bersatu dan kurang kompak), bahkan sering bersaing dengan cara banting harga.
3. Karya seni yang dihasilkan oleh seniman atau organisasi seni tradisi pada umumnya relatif sama, sedikit sekali yang memiliki karya sangat unik yang sulit sekali ditiru seniman lain.

4. Produser dengan mudah berpindah dari satu seniman ke seniman lain tanpa mengurangi kualitas paket wisata budaya mereka.

5. Produser memiliki informasi relatif lengkap mengenai seni tradisi di suatu wilayah maupun tentang pasar wisata budaya.

6. Seniman seni tradisi sangat kurang memiliki informasi tentang pasar dan industri pariwisata budaya.

Selain itu seniman atau masyarakat seni tradisi juga kurang mampu bersaing dengan produk-produk substitusinya seperti paket pertunjukan seni populer, pertunjukan dangdut, acara seni tradisi di televisi, CD/VCD/DVD/kaset tentang seni tradisi. Produk substitusi tersebut sering menang bersaing melawan produk seni tradisi, karena lebih market oriented yakni didesain, dikembangkan, dijual, dan disampaikan sesuai dengan kebutuhan dan selera publik yang menjadi pasarnya. Adapun seni tradisi sering tampil sesuai bentuk aslinya ataupun kalau disesuaikan dilakukan dengan seadanya, yang sering tidak cocok dengan kebutuhan dan selera pasar.

Strategi Pemberdayaan Masyarakat Seni Tradisi dalam Industri Pariwisata Budaya
Peningkatan posisi tawar dan daya saing menjadi sangat penting bagi eksistensi dan perkembangan seni tradisi dan masyarakat pendukungnya. Selain untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, posisi tawar dan daya saing yang tinggi sangat diperlukan oleh masyarakat seni tradisi untuk lebih leluasa menghasilkan produk yang lebih menurut mereka lebih baik dan menangkal upaya eksploitasi, penjarahan, dan pelecehan oleh pihak-pihak yang kurang memiliki kepedulian pada seni tradisi. Dengan posisi tawar yang tinggi, masyarakat seni tradisi memiliki kekuatan untuk “mendidik” para pembeli atau para konsumennya dalam hal apresiasi yang tepat terhadap seni tradisi.

Dari aspek bisnis, ada beberapa pilihan strategi peningkatan posisi tawar dan daya saing bagi masyarakat seni tradisi dalam industri pariwisata budaya antara lain:

1. Mengembangkan dan memasarkan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan selera setiap segmen pasar yang dilayani.

2. Secara kontinu mengembangkan dan memasarkan produk yang unik dengan fungsi dan manfaat yang sulit ditiru oleh produk-produk substitusi.

3. Meningkatkan pelayanan kepada pembeli atau user, kalau diperlukan diberikan secara customized.

4. Melakukan integrasi ke hilir, yakni menjadi produser atau event organizer.

5. Melakukan kerja sama atau koalisi untuk menghadapi kekuatan pembeli, pemasok, atau produk substitusi.

Salah satu aturan dianggap sukses dalam bisnis adalah apabila melayani kebutuhan dan selera konsumen konsumen secara lebih baik dibandingkan pesaing, sehingga dapat diperoleh pelanggan yang loyal. Demikian pula, masyarakat seni tradisi perlu mengetahui dan memahami secara jelas mengenai kebutuhan dan selera konsumennya, mengembangkan produk, menyampaikan produk, dan memberikan pelayanan sesuai kebutuhan dan selera konsumen. Jika diperlukan dapat dijual produk dan diberikan pelayanan dengan kualitas yang melebihi harapan konsumen.

Masyarakat seni tradisi juga perlu secara kreatif dan inovatif menghasilkan produk-produk baru berbasis seni tradisi (produk seni tradisi yang benar-benar baru, modifikasi, atau peningkatan dari produk yang ada). Dalam dunia bisnis dikenal hukum law of deminishing return, yakni suatu produk makin lama akan makin kurang diminati karena ada perubahan kebutuhan dan selera pasar serta munculnya produk-produk pesaing yang lebih baik. Suatu produk memiliki product life cycle, yakni masa lahir, tumbuh, dewasa, tua, dan mati. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat seni tradisi untuk selalu melakukan inovasi. Seni tradisi itu sendiri dalam sejarah dan kenyataannya memang terus mengalami perubahan. Diyakini bahwa karya seni tradisi saat ini adalah hasil inovasi atau perubahan dari karya seni tradisi sebelumnya.

Banyak pihak yang berkepentingan terhadap seni tradisi berkeinginan agar seni tradisi tidak sekedar menjadi obyek penderita tapi menjadi subyek bahagia, tidak sekedar pemasok tetapi juga pemilik, produser, dan pemasar, tidak menjadi price taker tapi menjadi price maker, dan sebagainya. Hal ini bisa dilakukan jika dari kelompok masyarakat seni tradisi muncul suatu kemampuan untuk melakukan integrasi ke hilir yakni menjadi produser yang handal, sehingga terjalin koordinasi dan integrasi yang kuat antara sektor pasokan dengan sektor produksi maupun sektor pemasaran dan distribusi.

Organisasi-organisasi seni tradisi komersial yang dapat bertahan bahkan berkembang, pada umumnya sedikit banyak telah menerapkan strategi-strategi di atas. Dapat disebut misalnya Saung Angklung Mang Udjo, Bandung, dalang-dalang terkenal di Jawa, grup-grup campursari di Yogyakarta, grup-grup bajidoran dan jaipongan di Jawa Barat, dan lain-lain.

Suatu kerja sama atau koalisi dalam bentuk asosiasi atau konsorsium di antara para pelaku bisnis, juga terbukti ampuh untuk meningkatkan posisi tawar dan mendapatkan sinergi. Masyarakat seni tradisi rupanya perlu juga memikirkan untuk bekerja sama, membentuk koalisi, sehingga lebih ada persatuan, lebih kompak, dalam menghadapi pihak-pihak lain.

Strategi-strategi tersebut relatif mudah untuk dipahami dan dibuat action plan nya. Namun, implementasinya jauh lebih rumit dan sulit sehingga keberhasilannya sangat tergantung pada kondisi dan kemampuan masyarakat seni tradisi untuk berubah. Diperlukan banyak persyaratan untuk dapat menerapkan strategi tersebut, antara lain:

1. Adanya perubahan paradigma berpikir dari production oriented ke market oriented dan service oriented.

2. Adanya upaya untuk menguasai informasi tentang bisnis dalam industri pariwisata budaya.

3. Adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan network dan lobby di industri pariwisata budaya.

4. Adanya komitmen dan kemampuan untuk menerapkan konsep-konsep manajemen profesional (tidak harus manajemen Barat) secara tepat guna.

5. Adanya keinginan yang kuat dan upaya untuk mengikutsertakan SDM yang memiliki kompetensi di bidang bisnis dan manajemen.

6. Munculnya entrepreneur-entrepreneur di bidang seni tradisi, untuk mewujudkan visi pemberdayaan seni tradisi menjadi kenyataan.

Agar beberapa persyaratan tersebut lebih mudah dipenuhi, diperlukan pula dukungan pemerintah dan masyarakat luas untuk menciptakan lingkungan makro (politik, keamanan, regulasi, ekonomi, gaya hidup, sosial budaya, dan teknologi) yang mendukung. Rekayasa-rekayasa kebijakan pemerintah yang melindungi, membela, dan mendukung pemberdayaan masyarakat seni tradisi saat ini sangat diperlukan.

Daftar Pustaka
Permas, A., C. Hasibuan-Sedyono, L.H. Pranoto, dan T. Saputro 2003 Manajemen Organisasi Seni Pertunjukan. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.

Porter, M.E. (1993). Strategi Bersaing. Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing. Jakarta: Penerbit Erlangga.
__________
Triono Saputro tulisan ini disampaikan dalam seminar "Pariwisata Seni Budaya Memberdayakan Masyarakat Seni Tradisi", Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia tanggal 24 Agustus 2005

Source: http://www.budpar.go.id/page.php?ic=541&id=150
Fota : http://asiaaudiovisualrb09noorhidayah.files.wordpress.com