Pariwisata Budaya, Mengapa Tidak Sekarang?

Oleh: Roby Ardiwidjaja

Abstrak
The structure of all human activities drastically altered since the past century, cultural tourism is no exception. Evolving leisure patterns, short vacations, and the development of a massive tourism infrastructure has meant that many people tend to have authenticity experiences in a different culture and learn the similarities and differences of the human condition. Interaction between visitor and resident, it‘s a kind of new tourism paradigme. This condition has placed a heavy burden on the conservation community, since it is now the cultural heritage sources often the only impact on the tourist. Proper management of cultural tourism provide the conservation community into the sustainable development by placing the local communities achieve better socio-economic benefits. But when the process of culture development not carefully planned without the participation of social scientists, economists, and local communities involved, it is often leads to painful cultural dislocations that engender more problems than are solved. In any actual cases, Cultural tourism development in Indonesia shows the conservation community has been unable to develop convincing arguments that will lure politicians, development organizations and the private tourist industry to equitably share tourist revenues with conservation.

Gambaran Umum
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang menyimpan banyak tinggalan budaya, dalam bentuk ide, perilaku, ataupun materi. Keadaan ini tidak terlepas dari posisi strategis Nusantara yang terletak di jalur perdagangan dunia. Selain itu, tanah yang subur menjadikan Indonesia pusat perhatian berbagai kelompok manusia untuk menetap dan mengembangkan kebudayaan masing-masing. Dengan penduduk yang tersebar di sekitar 17 ribu pulau, Indonesia memperlihatkan kemajemukan masyarakat, bukan hanya secara horizontal tetapi juga secara vertikal. Pluralisme Indonesia ini tergambar dari jumlah 470 suku bangsa, 19 daerah hukum adat, dan tidak kurang dari 300 bahasa yang digunakan kelompok-kelompok masyarakatnya. Keanekaragaman ini makin diperkuat dengan peninggalan budaya masa lalu, seperti peninggalan arkeologi.

Inilah aset utama Indonesia yang jika dikelola dengan baik mampu menguatkan jati diri bangsa, dan juga dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan nasional, seperti pariwisata. Sebagai satu fenomena yang sangat kompleks, pariwisata dapat dipandang sebagai sistem yang melibatkan antara lain pelaku, proses penyelenggaraan, kebijakan, supply and demand, politik, sosial, dan budaya. Semua itu saling berinteraksi dengan erat.

Pendekatan
Pariwisata berkelanjutan pada awalnya muncul dari berbagai pertanyaan untuk mengembangkan pariwisata dalam suatu komunitas yang sekaligus melindungi segala aspek penting yang bisa menjadi daya tarik dalam lingkungan tersebut. Dengan pembangunan pariwisata yang bijaksana (smart tourism), aspek peningkatan kehidupan komunitas secara kualitas lebih didahulukan dibanding aspek ekonomi.

Salah satu bagian smart tourism yang giat dikembangkan adalah pariwisata budaya, selain ekowisata. Mengapa dimulai saat ini? Karena keinginan setiap orang selalu berubah setiap saat. Begitu juga keinginan wisatawan dalam mengunjungi sebuah tempat. Tujuan utamanya, jelas untuk memperoleh pengalaman unik yang bisa dilihat, dinikmati, dirasakan, dan sekaligus dipelajari. Soal fasilitas, sarana atau pemandangan alam satu tempat dengan lainnya mungkin tidak jauh berbeda. Namun, sejarah dan budaya tiap-tiap daerah tentu tidak akan sama. Beberapa negara dan daerah telah menyadari kekuatan aspek ini sebagai daya tarik wisata.

Pengertian
Di satu sisi, pariwisata budaya adalah perpaduan dua unsur—baik sebagai industri maupun sebagai sistem yang berkelanjutan—yang memberikan peluang bagi Indonesia. Artinya, pariwisata budaya dapat membangun upaya terpadu untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakat. Caranya adalah dengan mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan pemiliharaan sumber daya budaya secara berkelanjutan.

Di sisi lain, kerancuan terminologi tidak diharapkan terjadi, terutama dari unsur budaya. Banyak orang bicara tentang kebudayaan, tetapi pengertian yang digunakannya belum tentu sama. Ada orang yang menyebut kebudayaan dengan mengacu pada hasil karya manusia yang indah-indah. Dengan kata lain, pengertian itu lebih menjurus pada istilah kesenian. Beberapa yang lain menggunakan istilah kebudayaan untuk menyatakan ciri-ciri yang tampak pada sekelompok anggota masyarakat tertentu sehingga dapat digunakan untuk membedakannya dari kelompok lain. Ada pula yang menggunakan istilah kebudayaan untuk menyatakan tingkat kemajuan teknologi yang didukung tradisi tertentu. Lalu, apakah istilah kebudayaan yang dapat menjadi daya tarik pariwisata?

Kebudayaan merupakan hasil karya manusia dalam mempertahankan dan meningkatkan taraf hidup dan sebagai proses adaptasi dengan lingkungan. Sebagai sebuah sistem, kebudayaan perlu dilihat dari perwujudan kehidupan manusia yang terkait dengan ide, perilaku dan material.

Budaya manusia pada dasarnya memiliki ciri-ciri bawaan yang dapat dikelompokkan secara terstruktur, meliputi komponen living culture (sosial, ekonomi, politik, bahasa, religi, estetika dan mata pencaharian), wisdom and technology (mata pencaharian, kedamaian, kesenangan, bahasa, pendidikan, pengetahuan, dan teknologi), serta culture heritage (artifak, monumen, manuskrip, tradisi, dan seni).

Prinsip Pengembangan
Dalam mengembangkan pariwisata budaya Indonesia dalam era otonomi dan perubahan paradigmanya, beberapa hal utama perlu mendapat perhatian, yaitu keterpaduan penerapan antara prinsip sustainable development, sustainable tourism dan prinsip pengelolaan sumber daya budaya. Di samping itu, kita harus mampu menerjemahkan terminologi dan korelasi antara komponen budaya dan pariwisata dalam kerangka kesisteman.

Prinsip-prinsip yang menjadi dasar pengembangan pariwisata budaya harus berbasis masyarakat. Masyarakat harus dilibatkan pada seluruh kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pariwisata budaya. Kesadaran, apresiasi, dan kepedulian mereka terhadap perlindungan atas lingkungan kehidupan sosial budaya juga dibutuhkan.

Daya dukung lingkungan sosial dan budaya masyarakat, khususnya masyarakat lokal, terhadap dampak negatif pariwisata sangat diperlukan. Pendekatan pengelolaan pariwisata antara lain pada pembangunan sarana, tingkat kunjungan, dan kegiatan wisatawan di sebuah daerah tujuan misalnya, harus memperhatikan batas-batas yang mampu diterima oleh lingkungan sosial dan budaya masyarakatnya.

Daya dukung pariwisata bukan merupakan angka absolut, tapi sebuah rentang nilai yang berhubungan dengan tujuan pengelolaan di sebuah daerah tujuan yang bersifat unik di antaranya jenis kegiatan yang dapat dilakukan, kapan dilakukan, besaran dan komposisi kelompok, harapan pengunjung, dan ciri tempat itu sendiri.

Pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat perlu dirumuskan secara efektif dan terpadu. Pentingnya peningkatkan kualitas stakeholder (pemerintah/pemerintah daerah, swasta, masyarakat, termasuk wisatawan) melalui pendidikan dan latihan serta penelitian dan pengembangan pariwisata budaya secara terus-menerus merupakan keharusan.

Dalam hal ini, pendidikan dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman penyelenggaraan pariwisata budaya yang berkelanjutan dengan menanamkan kerangka pikir bahwa pengembangan pariwisata budaya tidak semata-mata untuk meningkatkan lapangan kerja, kesempatan usaha, serta perolehan devisa. Ada yang yang lebih penting lagi, yaitu mewujudkan pengetahuan dan pemahaman terhadap aspek multikultural yang dapat memperkuat ketahanan dan kesatuan bangsa.

Promosi yang ditujukan untuk memperkenalkan, mensosialisasikan, dan mengampanyekan aspek konservasi, restorasi, rekonstruksi nilai-nilai budaya diharapkan dapat meningkatkan dan mewujudkan kesadaran dan memperkaya informasi. Promosi semacam ini juga diharapkan bisa mengurangi benturan kepentingan antar-stakeholder terhadap prinsip multikultural dan berkelanjutan dalam pengembangan pariwisata budaya.

Pemantauan dan evaluasi diarahkan untuk mengawasi penyelenggaraan pariwisata budaya tetap mengacu pada prinsip yang ada serta dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Penyelenggaraan pariwisata budaya bisa berhasil jika proses pemantauan dan evaluasi dilaksanakan oleh stakeholder dengan cara partisipatif yang melibatkan seluruh pihak. Pemantauan dan evaluasi juga harus dilakukan secara periodik pada setiap tingkatan implementasi, dilakukan secara periodik pada setiap tingkatan implementasi, serta menggunakan alat ukur penyelenggaraan pariwisata budaya yang meliputi kelestarian lingkungan sosial dan budaya, penguatan kondisi sosial-budaya, dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Penutup
Disimpulkan bahwa dengan pariwisata budaya, Indonesia dapat memosisikan sebagai salah satu destinasi pariwisata kelas dunia yang memiliki keragaman budaya sesuai tema promosi. Sebagai catatan stakeholder, dengan sedikit memodifikasi penjelasan G. Keillor dalam pidatonya di White House tahun 1995 tentang pemahaman cultural tourism: "We need to think about cultural tourism because really there is no other kind of tourism. It‘s what tourism is...People don‘t come to .... say that Indonesia for our airports, people don‘t come to Indonesia for its hotels, or the recreation facilities....They come for our culture, or imagined -- they come here to see the real Indonesia."

Kepustakaan
Fletcher, John. 1996. “Heritage Tourism: Enhancing The Net Benefits of Tourism”. International Conference on Tourism and Heritge Management, Yogyakarta, Indonesia.

Inskeep, Edward. 1991. Tourism Planning. An Integrated and Sustainable Development Approach.

Keller, Peter. 2001. Management of Cultural Change in Tourism Regions and Communities.

Kementerian Lingkungan Hidup. Agenda 21 Tourism.

Koentjaraningrat. 1996. “Tourism As A People Matter in Indonesia”. International Conference on Tourism and Heritage Management, Yogyakarta, Indonesia.

Minnery, John, Myra P Gunawan, Michael Fagence, Darryl Low Choy. 1997. Planning Sustainable Tourism. ITB, Bandung.

Nurhayato Wiendu, 1996. “Interpreting Heritage for Tourism: Complexities and Contradictions”. International Conference on Tourism and Heritge Management,. Yogyakarta, Indonesia.

Sedyawati, Edi. 1996. “Potensial and Challenges of Tourism: Managing The National Cultural Heritage”. International Conference on Tourism and Heritge Management. Yogyakarta, Indonesia.

Spennemann, Dirk H.R. 2000. “Heritage Eco-Tourism In Macronesia: Expectation of Government Officials”. The Commonwealth Simposium.

Sustainable Tourism Development Guide for Local Planners. USM and the Envvironment Pubication, Spanyol, 1993.

The Fine Art Department of Thailand. 1999. Cultural System: For Quality Management, Bangkok, Thailand.
__________
Sumber: www.my-indonesia.info