Pariwisata Budaya dan Peran Serta Masyarakat

Oleh: Ratna Suranti
I. Pendahuluan

Dari sejumlah definisi “Cultural Tourism” atau Pariwisata Budaya atau “Wisata Budaya” yang ada, tidaklah terlalu mudah untuk menentukan definisi mana yang paling tepat untuk digunakan terutama bila dikaitkan dengan kepariwisataan Indonesia. Sebelum menilik pada keterkaitan antara kata “pariwisata” dan “budaya”, ada baiknya kita telaah terlebih dahulu masing-masing kata tersebut.

Kata pariwisata atau dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan tourism sering kali diasosiasikan sebagai rangkaian perjalanan (wisata, tours/traveling) seseorang atau sekelompok orang (wisatawan, tourist/s) ke suatu tempat untuk berlibur, menikmati keindahan alam dan budaya (sightseeing), bisnis, mengunjungi kawan atau kerabat, dan berbagai tujuan lainnya. Organisasi pariwisata sedunia, World Tourism Organization (WTO), mendefinisikan pariwisata (tourism) sebagai “activities of person traveling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes”. Sedangkan Jafar Jafari mengartikan sebagai: “ is a composite of activities, services, and industries that delivers a travel experience, namely, transportation, accommodation, eating and drinking establishment, shop, entertainment, activity facilities, and other hospitality services available for individual or groups that are traveling away from home. It encompasses all providers of visitor and visitor-related services”. Selanjutnya secara definitif, Mcintosh mengungkapkan pariwisata sebagai “the sum of the phenomenon and relationships arising from the interaction of tourists, business, host government and host communities in the process of attracting and hosting this tourist and other visitor. … Tourist is a composite of activities, services, and industries that deliver travel experiences”.

Sumber lainnya menyebut bahwa pada dasarnya wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang di luar tempat tinggalnya, bersifat sementara, untuk berbagai tujuan selain untuk mencari nafkah. Sementara pariwisata disebut sebagai fenomena perjalanan manusia secara perorangan atau kelompok dengan berbagai macam tujuan asalkan bukan untuk mencari nafkah atau menetap. Dari beberapa definisi tersebut, diperoleh gambaran bahwa pariwisata merupakan suatu bidang yang bersifat multidimensi, melibatkan dan bersinggungan dengan banyak sektor dan pelaku. Secara sepintas, kata wisata dan pariwisata tampak mempunyai makna yang sama, tetapi jika ditinjau lebih rinci tampak ada makna yang lebih luas pada kata pariwisata dibandingkan dengan wisata.

Kata budaya atau kebudayaan adalah kata yang sudah sangat sering digunakan atau didengar dalam berbagai kesempatan, tetapi makna yang diberikan pada kata tersebut tidak selalu jelas dan sama. Sebagian orang mendefinisikan kebudayaan sebagai segala sesuatu yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia; sebagian lagi menganggap kebudayaan sebagai adat istiadat dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tradisi atau kebiasaan lama; sementara itu ada juga yang menganggap kebudayaan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan kesenian. Kata budaya dan kebudayaan pada dasarnya memiliki makna yang sama, yakni simbol-simbol yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang dipelajarinya dalam kehidupannya sebagai warga suatu masyarakat.

Sebagai simbol-simbol, kebudayaan ini mempunyai wujud yang konkret, setengah konkret dan abstrak, atau dapat dikatakan bahwa menurut perwujudannya kebudayaan dapat dipahami dalam tiga aspek, yaitu aspek material, perilaku, dan ide. Dalam bentuk material mencakup antara lain, peralatan hidup, arsitektur, pakaian, makanan olahan, hasil-hasil teknologi, dan lain-lain. Dalam wujud perilaku mencakup kegiatan ritual perkawinan, upacara-upacara keagamaan atau kematian, seni pertunjukan, keterampilan membuat barang-barang kerajinan, dan lain-lain. Dalam wujud ide mencakup antara lain sistem keyakinan, pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-norma.

Pada kenyataannya, kunjungan terhadap obyek atau peristiwa budaya tampaknya sudah selalu menjadi bagian dari sebuah perjalanan wisata, sehingga sulit untuk membedakan wisata budaya dengan wisata alam misalnya, atau wisata-wisata lain yang umum, biasa, dan banyak dilakukan orang. Adakah perjalanan wisata yang dilakukan orang atau sekelompok orang tanpa bersentuhan dengan berbagai aspek yang terkait dengan kebudayaan? Bukankah aktivitas perjalanan--yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang--itu sendiri sebenarnya sudah merupakan peristiwa budaya, setidaknya bagi orang atau kelompok yang bersangkutan? Bukankah interaksi yang terjadi antara manusia pengunjung (guest) dan yang dikunjungi (host) juga sudah merupakan bagian dari peristiwa budaya? Salah satu sumber dari sejumlah tulisan mengenai pariwisata budaya menyebutkan bahwa pada akhir tahun 1970-an, ketika para pakar pemasaran dan peneliti kepariwisataan mendapati adanya orang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan semata-mata hanya untuk memahami secara mendalam obyek atau peristiwa budaya di suatu tempat tertentu, pada akhirnya barulah dikenali adanya pariwisata budaya yang secara jelas dapat dikategorikan sebagai salah satu produk kepariwisataan (Tighe, 1986 dalam McKercher, 2002). Disebutkan juga bahwa pada awalnya produk tersebut dipandang sebagai suatu kegiatan khusus yang diminati oleh sejumlah kecil pelaku perjalanan berpengalaman untuk mendapatkan sesuatu yang berbeda dari sekedar pengalaman berlibur yang biasa mereka dapatkan, dan pada sekitar tahun 1990-an pariwisata budaya tersebut sudah dikenal sebagai aktivitas pasar masal dengan nilai jual yang tinggi.

Uraian tersebut memberikan kejelasan bagi kita bahwa wisata budaya sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru sama sekali walaupun pada kenyataannya wisata semacam ini tidak atau belum selalu dinyatakan secara eksplisit, karena umumnya merupakan bagian dari wisata alam, sebagai bentuk wisata umum yang paling banyak ditemui. Wisata semacam ini juga belum ditelaah secara mendalam, baik oleh kalangan kepariwisataan maupun kebudayaan di Indonesia, padahal sudah diketahui bersama bahwa hakikat pariwisata Indonesia bertumpu pada keunikan dan kekhasan budaya dan alam, serta hubungan antarmanusia. Selain itu, tampaknya wisata budaya perlu dibedakan dengan pariwisata budaya. Jika wisata budaya adalah aktivitas perjalanan temporal yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dari tempat di mana dia atau mereka tinggal ke suatu tempat lain dengan tujuan untuk menyaksikan atau menikmati situs purbakala, tempat bersejarah, museum, upacara adat tradisional, upacara keagamaan, pertunjukan kesenian, festival, dan lain sebagainya, maka pariwisata budaya mencakup bukan hanya perjalanan dan aktivitas menikmati saja, tetapi juga aktivitas lain yang dilakukan oleh pihak lain yang terkait dengan para wisatawan tersebut. Termasuk di dalamnya berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tetap berlangsungnya atraksi budaya sebagai sumber daya yang bersifat unik, terbatas, dan tidak terbarukan.

Adanya interaksi yang terjadi, baik antara manusia sebagai pengunjung, dengan manusia dan obyek budaya yang dikunjungi, maka pembahasan tulisan ini tidak hanya terbatas pada wisata budaya tapi sudah mencakup pariwisata budaya. Sementara manusia yang berinteraksi di sini dapat mencakup kalangan yang sangat luas, yaitu: manusia sebagai pengunjung; manusia yang dikunjungi yang terkait erat bahkan merupakan bagian dari obyek budaya yang dikunjungi, baik tangible maupun intangible; termasuk juga manusia yang berperan sebagai pendukung prasarana dan sarana pariwisata tersebut. Selain itu, dalam konteks pariwisata budaya, perlu disadari bahwa makna istilah ini dapat dipandang baik sebagai proses maupun sebagai produk. Sebagai proses, pariwisata budaya merupakan aktivitas pertukaran informasi dan simbol-simbol budaya antara wisatawan sebagai tamu dengan masyarakat yang didatangi sebagai tuan rumah. Dalam pengertian inilah, pariwisata memberikan sumbangan bagi dialog antar budaya dan sekaligus sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan saling pengertian dan perdamaian. Pariwisata budaya sebagai proses, khususnya proses pertukaran ide, juga memberikan sumbangan bagi tumbuhnya ide-ide kreatif. Hal ini mudah dipahami karena kreativitas biasanya tumbuh karena munculnya pikiran-pikiran alternatif yang umumnya datang dari luar. Dalam arti kedua, pariwisata budaya dapat dipandang sebagai produk, yaitu atraksi-atraksi wisata yang ditawarkan kepada wisatawan, khususnya jenis wisata yang memuat informasi atau mengandung pesan-pesan yang bersifat budaya. Seperti sudah dikemukakan, atraksi-atraksi wisata ini dapat berupa peninggalan-peninggalan sejarah, pertunjukan kesenian, ritual keagamaan, pertunjukan keterampilan, dan lain-lain, yang sedikit banyak telah dikemas untuk dapat dinikmati oleh wisatawan. Melalui kemasan tersebut diharapkan wisatawan dapat memperoleh pengalaman kebudayaan dengan cara melihat sesuatu yang dirasa unik, berbeda, mengesankan, dan berbagai sensasi yang dibutuhkan untuk memperkaya kebutuhan spiritualnya. Daya tarik inilah yang menyebabkan wisatawan bersedia untuk mengeluarkan biaya sebagai kompensasinya. Dalam pengertian inilah, pariwisata memperoleh arti yang paling umum dipahami oleh masyarakat, yaitu sebagai suatu aktivitas yang diarahkan untuk mendapatkan keuntungan atau meningkatkan pendapatan.

II. Peran Serta Masyarakat
Berdasarkan studi yang pernah dilakukan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003, diperoleh kesimpulan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengembangan daerah tujuan wisata (DTW) di Indonesia masih rendah. Hal ini antara lain disebabkan karena tidak adanya ketentuan yang jelas dan rinci tentang pelibatan masyarakat dalam pengembangan DTW. Sejauh ini, kebijakan tentang peran serta masyarakat dalam pengembangan pariwisata, termasuk pariwisata budaya, hanya berisi himbauan agar masyarakat diikutsertakan dalam upaya pengembangan tersebut tanpa adanya penjelasan persyaratan, tata cara, dan tahap-tahap pelaksanaannya. Selanjutnya, disebutkan juga bahwa hambatan dan keterbatasan utama yang dihadapi untuk mewujudkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan daerah tujuan wisata adalah tradisi politik dan budaya Indonesia yang kurang mendukung, kondisi perekonomian yang kurang baik, kurangnya keahlian di bidang kepariwisataan, kurangnya saling pengertian antara pihak-pihak yang terlibat, kualitas sumber daya manusia yang rendah, dan keterbatasan modal masyarakat. Adapun faktor-faktor yang turut mempengaruhi keberhasilan suatu program pelibatan masyarakat dalam pengembangan DTW adalah: dialog dengan umpan balik dari masyarakat; kejujuran dan keterbukaan; pelibatan dari awal; dan komitmen terhadap masyarakat.

Dalam studi tersebut, dikemukakan juga bahwa pariwisata merupakan sektor yang paling menyentuh seluruh aspek masyarakat, baik dalam bidang bisnis, pelayanan pemerintah, lingkungan alam (dan budaya), serta masyarakat lokal. Lebih jauh, hasil studi tersebut mendapati bahwa jika masyarakat lokal dilibatkan sejak awal dan diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya, maka mereka akan lebih bersemangat dalam mendukung upaya pengembangan pariwisata, dan pada akhirnya mereka akan dengan sukarela mendukung kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pariwisata, seperti membagi informasi tentang pariwisata di daerahnya. Sebagai masukan, studi tersebut juga merincikan tahapan persiapan dan perencanaan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan peran serta dan motivasi keterlibatan masyarakat dalam pengembangan DTW, sehingga diperoleh kejelasan keterlibatan mereka, baik pada tahap pelaksanaan, pengambilan keputusan, maupun pemantauan/pengendalian. Dengan demikian diharapkan akan muncul rasa memiliki dan tanggung jawab dalam diri masyarakat terhadap pengembangan pariwisata, termasuk pariwisata budaya di daerahnya.

III. Pariwisata Budaya Berkelanjutan (Sustainable Cultural Tourism)
Telah disadari bahwa praktik-praktik pariwisata, yang melihat kebudayaan (juga alam), terutama sebagai sumber komoditi, ternyata membawa dampak yang tidak selalu positif. Dampak positif yang biasanya langsung dan segera dapat dirasakan adalah dalam segi keuntungan ekonomi, tetapi sesungguhnya keuntungan tersebut hanya merupakan keuntungan jangka pendek. Yang dirasakan kemudian adalah dampak buruknya, yaitu terhadap ekspresi dan eksistensi budaya yang dijadikan sumber komoditi itu.

Pariwisata yang menekankan pendekatan ekonomi cenderung memberikan peranan utama pada pemerintah atau pemilik modal, dan tujuannya juga ditentukan dan terutama untuk kepentingan mereka. Peranan masyarakat sangat rendah sehingga mereka cenderung tampak patuh dan tidak punya inisiatif karena lebih ditempatkan sebagai obyek daripada sebagai subyek. Sebagai akibatnya, adat-istiadat, nilai-nilai, dan norma-norma menjadi semakin terkikis. Ritual-ritual suci menjadi semakin dangkal dan pertunjukan-pertunjukan seni semakin tidak berjiwa. Masyarakat menjadi apatis dan kesejahteraan mereka pun tidak mengalami perbaikan.

Sebenarnya, hal-hal demikian tidak perlu terjadi khususnya di Indonesia. Bersama dengan 179 negara lainnya, Indonesia telah menandatangani kesepakatan Agenda 21 Global dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992. Agenda 21 merupakan program aksi untuk mengantisipasi perkembangan abad 21, yaitu dengan cara menuangkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan, sebagai upaya untuk menggeser konsep pembangunan yang lebih banyak berorientasi pada pembangunan di bidang ekonomi. Lebih lanjut, diharapkan agar semua pihak baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat harus lebih memikirkan pembangunan berkelanjutan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, melakukan pembangunan yang seimbang antara pembangunan ekonomi dan kondisi sosial dengan memperhatikan faktor lingkungan. Lebih khusus lagi, Committee on Monuments and Sites (ICOMOS) telah menerbitkan The International Cultural Tourism Charter di Meksiko pada tahun 1999, yang berisi seruan dan himbauan untuk menyelamatkan pusaka budaya yang berbentuk bangunan atau situs. Charter yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Deklarasi Pariwisata Alam dan Budaya Indonesia. Dilakukannya penerjemahan tersebut antara lain dimaksudkan agar pemanfaatan pusaka budaya untuk pariwisata dapat dibatasi dan diberi rambu-rambu agar upaya untuk menjaga kelestarian pusaka budaya yang ada di seluruh dunia dapat juga dilaksanakan di Indonesia.

Tumbuhnya model pariwisata budaya yang berkesinambungan atau sustainable cultural-tourism (SCT) tampak sebagai reaksi terhadap dampak negatif dari pariwisata yang terlalu menekankan tujuan ekonomi. Gagasan tentang SCT ini pada dasarnya bertujuan agar eksistensi kebudayaan yang ada selalu diupayakan untuk tetap lestari. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa masyarakat pemilik adalah pihak yang seharusnya lebih berperan dalam pelestarian tersebut. Dengan model yang baru ini, peranan utama dikembalikan kepada masyarakat lokal dan lembaga-lembaga non-pemerintah yang memiliki perhatian terhadap kelestarian warisan budaya. Di luar mereka ini, pemerintah daerah juga ikut ambil bagian, khususnya menyangkut upaya pemanfaatan aset-aset pariwisata untuk meninkatkan pendapatan asli daerah.

Dalam situasi transisi ini, muncul persoalan-persoalan yang berkaitan dengan klaim atas sumber-sumber pariwisata yang mempunyai potensi menguntungkan. Di daerah-daerah tertentu yang memiliki pengalaman dalam pengelolaan obyek wisata budaya yang melibatkan peranan masyarakat lokal (di Bali misalnya), persoalan pemanfaatan obyek budaya untuk tujuan wisata dapat dikelola dengan cukup baik. Tetapi, di beberapa daerah lain (di Jawa misalnya), pemanfaatan obyek budaya untuk tujuan wisata tampak menjadi arena konflik kepentingan. Usaha untuk melakukan rekonsiliasi telah dilakukan tetapi belum sepenuhnya memuaskan. Hal ini dapat dipahami sebagai akibat dari adanya perubahan sikap yang datang secara tiba-tiba, seperti adanya klaim dari masyarakat setempat terhadap sejumlah warisan budaya yang semula dikuasai sepenuhnya oleh negara, kemudian dianggap sebagai “warisan” milik mereka juga. Pihak pemerintah sendiri tampak belum siap untuk mengantisipasi tuntutan yang datang secara tiba-tiba dan tidak diduga sebelumnya.

Kondisi demikian juga tidak semestinya terjadi, karena pembangunan kepariwisataan Indonesia sudah mengarah pada pembangunan berbasis masyarakat. Pembangunan pariwisata harus mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan agar masyarakat mampu berperan serta secara aktif untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Usaha pariwisata harus mengedepankan kepentingan masyarakat sehingga masyarakat dapat mengambil bagian dalam pengelolaan sumber daya dan obyek wisata atau DTW. Kepariwisataan yang berbasis masyarakat hendaknya terkait dengan usaha bisnis lokal, pembangunan masyarakat, serta pelestarian warisan alam dan budaya. Hal tersebut sudah sejalan dengan kode etik pariwisata dunia yang pada dasarnya memiliki keterkaitan dengan pengaturan pelestarian lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat setempat, perencanaan yang berorientasi pada perlindungan sumber daya alam dan budaya, hak asasi manusia, hak dan kewajiban para pelaku pariwisata, pelestarian warisan budaya, dan globalisasi.

Memang belum semua masalah dapat diatasi, tetapi arah pariwisata Indonesia sudah jelas. Arah itu disebutkan dalam pernyataan misi tentang pengembangan kebudayaan dan pariwisata yang antara lain dirumuskan sebagai berikut:

1. Pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengembangan kebudayaan dan pariwisata nasional.
2. Perlindungan kebudayaan sebagai upaya melestarikan warisan budaya bangsa.
3. Pengembangan produk pariwisata yang berwawasan lingkungan, bertumpu pada kebudayaan, peninggalan budaya dan pesona alam lokal yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global.

IV. Penutup
Pengelolaan SCT di Indonesia tampaknya diarahkan pada dua sasaran utama, yaitu: (1) menjaga keanekaragaman budaya melalui usaha pelestarian sumber daya budaya, dan (2) mengembangkan sumber daya budaya tertentu untuk dimanfaatkan bagi tujuan wisata. Dua sasaran tersebut mengesankan adanya kontradiksi antara satu dengan lainnya karena di satu pihak diarahkan untuk menjaga kelestarian sementara di pihak lain diarahkan untuk tujuan eksploitasi. Jika menilik pada kenyataan, usaha-usaha yang hanya menekankan pada satu sasaran saja sering kali menjadi tidak realistis. Selain itu, kekayaan budaya hanya akan memberi arti penting bila dapat dirasakan kemanfaatannya bagi masyarakat banyak. Kelestarian warisan budaya memang merupakan aspirasi ideal yang harus diakomodasikan, tetapi perubahan yang diakibatkan oleh faktor alam dan tuntutan zaman, juga merupakan sesuatu yang tidak dapat dicegah sepenuhnya. Untuk itu, diperlukan adanya keseimbangan antar kedua sasaran tersebut. Kelestarian adalah sesuatu yang relatif. Apa yang menjadi substansi dari model pariwisata budaya berkelanjutan bukanlah berarti bahwa usaha pariwisata harus menjamin kelestarian budaya sepanjang masa, tetapi upaya tersebut hendaknya diarahkan untuk menjamin kelestarian yang lebih lama. Dengan memberi peran utama kepada masyarakat setempat, sasaran SCT diharapkan dapat tercapai. Jika model SCT ini dapat diterapkan dengan baik di Indonesia, ada harapan bahwa pariwisata Indonesia dapat mempertahankan keunggulannya untuk bersaing dengan pariwisata negeri lain. Keunggulan itu terdapat pada keanekaragaman yang tidak hanya dimiliki dari segi kebudayaan, tetapi juga keanekaragaman sumber daya alam, hayati, dan kombinasi dari semua itu.

Daftar Pustaka
A. Buku dan Publikasi Terbatas
Adhisakti, Laretna T.. 2004. Peran Lembaga-Lembaga yang Menangani Obyek Budaya sebagai Aset Pariwisata. Jakarta.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2004. Paradigma Wisata Budaya yang Lestari. Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1985. Naskah Akademik Bahan Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1992. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan.

Direktorat Jenderal Kebudayaan. 2000. Strategi Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.

McKercher, Bob and Hilary du Cros. 2002. Cultural Tourism: The Partnership Between Tourism and Cultural Heritage Management. New York: The Haworth Hospitality Press.

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2003. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kepariwisataan. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

______. 2003. Kajian Peningkatan Peran Serat Masyarakat dalam Pengembangan Daerah Tujuan Wisata. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bekerjasama dengan Kelompok Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan, LPPM ITB.

_______. 2004. Deklarasi Pariwisata Alam dan Budaya Indonesia, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta.

Rahardjo, Supratikno. 2004. Menelusuri Budaya Pariwisata di Indonesia. Jakarta.

Rahardjo, Supratikno dan Ratna Suranti. 2004. The Management of Huge Space of Cultural Tourism. Jakarta.

Sekretariat Negara. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan. Jakarta: Sekretariat Negara.

B. Website
http://www.kompas.com.
__________
Tulisan ini disampaikan pada Workshop Wisata Budaya bagi Kelompok Masyarakat Provinsi DKI Jakarta, pada tanggal 12 Juli 2005, dan pernah dimuat di www.my-indonesia.info.