Oleh: Prioyulianto Hutomo
Museum
Akhir-akhir ini di tanah air kita, terutama setelah era sentralisasi berakhir dan digantikan dengan era desentralisasi, muncul gejala meningkatnya minat sebagian masyarakat dan pemerintah daerah untuk mendirikan museum. "Semangat" ini, di satu sisi, sangat menggembirakan terutama menambah jumlah museum yang ada. Namun di sisi lain, semangat mendirikan museum, secara umum, tidak dilandasi oleh pengertian bahwa mendirikan sebuah museum berarti "mendirikan" pula sebuah institusi pendidikan. Museum dan pendidikan sama dengan dua sisi mata uang, tidak dapat dipisahkan.
Museum dan pendidikan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan tercermin dalam berbagai definisi museum sebagai salah satu tujuan:
1. A building to house collections of objects for inspections, study, and enjoyment. (Douglas A. Allen);
2. ....any permanent institution which conserves and displays for purposes of study, education, and enjoyment collections of objects of cultural or scientific significance (International Council of Museums);
3. A permanent, educational, non profit institution with catalogued collections in art, science, or history, with exhibitions open to the public (G.E. Burcaw);
4. A permanent, public, educational institution which cares for collections system-atically (definisi G.E. Burcaw yang lebih singkat);
5. "Museums of whatever kind all have the same task--to study, preserve, and exhibit objects of cultural value for the good of the community as a whole (UNESCO).
Berbagai definisi di atas, sangat jelas menyiratkan bahwa terdapat nilai dasar yang menjadi fondasi museum yaitu, melalui pendidikan, masyarakat disadarkan akan tingginya nilai yang dikandung dalam koleksi museum dan memberi mereka kesempatan untuk memperluas wawasan.
Namun, seperti telah dikemukakan terdahulu, kesadaran para pengelola museum berkaitan dengan kenyataan bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari sebuah museum masih sangat kurang. Para pengelola masih banyak yang berorientasi untuk mencapai beberapa tujuan museum, seperti yang tercantum dalam definisi, secara bersamaan dengan menggunakan sebagian besar sumber daya yang dimiliki. Tujuan atau tugas pendidikan yang sangat penting, yang diemban oleh museum, belum menjadi prioritas. Orientasi ini perlu diubah. Pendidikan untuk segala usia perlu digalakkan dengan sasaran utamanya adalah siswa sekolah.
Saat ini peluang guna mendukung perubahan strategi itu telah tersedia. Pemerintah telah mencanangkan dua puluh persen dari jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk sektor pendidikan--termasuk pendidikan di luar sekolah. Pertanyaannya, siapkah museum memanfaatkan peluang ini guna meningkatkan fungsi pendidikannya melalui penciptaan kegiatan-kegiatan edukasi (educational programs)?
Pendidikan
Kegiatan-kegiatan edukasi di museum, secara umum, diperuntukkan bagi anak-anak termasuk siswa sekolah (children and museum education) dan masyarakat umum atau yang dikenal dengan istilah adult learning in museums (Alberta Museums Association, 1990). Dua sasaran umum ini, terutama kegiatan yang disebut pertama, masih dapat dibagi-bagi lagi, misalnya berdasarkan jenjang pendidikan siswa (SD, SMP, SMU).
Bentuk-bentuk aktivitasnya pun bermacam-macam. Siswa sekolah akan mendapatkan paket edukasi (teaching kit); koleksi keliling (traveling study collections); kelas budaya (cultural class); bercerita (story telling); slide berseri (slides series); taman bermain yang berhubungan dengan koleksi (collections playground); atau aktivitas khusus untuk para guru (educators program). Sedangkan untuk masyarakat umum dapat berupa aktivitas yang diperuntukkan bagi keluarga (family workshop atau family day); bagi perorangan maupun kelompok (community workshop atau open house). Atau bagi kedua segmen di atas, museum dapat membentuk suatu komunitas bagi penggemar museum, misalnya himpunan pencinta museum.
Setiap museum dapat membuat aktivitas-aktivitas yang mendidik seperti contoh di atas. Tetapi sebaiknya dimulai dahulu untuk satu sasaran, misalnya siswa sekolah dasar, sehingga lebih terfokus. Materi perlu dirancang sebaik mungkin dan diarahkan untuk mengembangkan tiga area pembelajaran secara bersamaan: kognitif, berkaitan dengan daya pikir; afektif, berhubungan dengan emosi; dan psikomotorik, berhubungan dengan gerakan fisik.
Desain materi harus berupa aktivitas yang menumbuhkan rasa ingin tahu; dengan kata lain, materi yang diberikan dapat mengarahkan siswa untuk bertanya, mencari jawaban atas pertanyaannya, dan menciptakan pertanyaan baru (Allison G. and Sue McCoy, 1985: 60-70) serta memperoleh pengetahuan baru. Aktivitas tersebut selayaknya dilakukan tanpa meninggalkan unsur bermain. Patut diingat bahwa dunia anak-anak adalah dunia bermain.
Menurut para pakar pendidikan, bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara berulang demi kesenangan (Piaget, 1951) dan sasaran lain yang ingin dicapai; bermain merupakan "tali" yang merupakan untaian serat dan benang-benang yang terjalin menjadi satu. Menurut Hughes (1999) belajar dan bekerja merupakan hal yang berbeda dari bermain. Bermain, harus mempunyai tujuan, tidak ada unsur paksaan, menyenangkan, mengembangkan imajinasi, dan dilakukan dengan aktif.
Melalui permainan (play and games), diharapkan anak akan memperoleh beberapa manfaat, di antaranya bermasyarakat, mengenal diri sendiri, imajinasi dapat bertumbuh, menahan gejolak emosi, memperoleh kegembiraan, dan belajar taat pada aturan (Zulkifli, 2001; Andang Ismail, 2006). Dengan demikian bentuk-bentuk aktivitas bagi siswa haruslah berbentuk permainan edukatif. Permainan edukatif (Andang Ismail, 2006) adalah suatu kegiatan yang menyenangkan dan dapat merupakan cara yang mendidik. Permainan edukatif dapat meningkatkan kemampuan berfikir, berbahasa, serta bergaul dengan orang lain. Selain itu, anak dapat menguatkan anggota badan, menjadi lebih terampil, dan menumbuhkan serta mengembangkan kepribadiannya.
Permainan edukatif dapat dirancang oleh para pengelola museum. Program edukatif dapat dipilih dari salah satu contoh yang telah disebutkan terdahulu (paket edukasi, bercerita, membuat slide berseri, dan sebagainya).
Dalam merancang program-program edukasi, pengelola museum perlu melibatkan para ahli pendidikan, guru-guru, ahli psikologi anak, bahkan orang tua siswa. Dengan keterlibatan mereka, diharapkan dapat diciptakan aktivitas edukasi di museum yang sesuai dengan jenjang pendidikan siswa dan sesuai dengan tingkatan perkembangannya.
Kesimpulan
Museum dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Definisi tentang museum selalu mencantumkan pendidikan (juga penelitian) sebagai salah satu tujuan atau misi yang diemban oleh sebuah museum.
Jumlah museum yang semakin bertambah (saat ini kira-kira berjumlah 228 museum) tidak dibarengi dengan kesadaran para pengelola museum bahwa pendidikan merupakan misi yang penting. Sehingga, masih banyak museum yang belum memiliki program-program pendidikan yang terarah. Contoh program edukasi di museum, terutama di museum-museum di luar negeri dapat dijadikan ide; atau bahkan ditiru dengan catatan disesuaikan dengan kondisi di tanah air. Selain itu, keterlibatan para pakar pendidikan dan guru merupakan keharusan.
Referensi
Alberta Museums Association. 1990. Standard Practices Handbook for Museums. Edmonton: Canada.
Burcaw, G. Ellis. 1983. Introduction to Museum Work. Nashville: AASLH.
Grinder, Alison and E. sue McCoy. 1985. The Good Guide. Scottsdale: Ironwood.
Hughes. 1999. Children, Play, and Development. New York: Wiley & Sons.
Ismail, Andang. 2006. Education Games. Yogyakarta: Pilar Media.
Mudyahardjo, Redja. 2006. Pengantar Pendidikan: Studi Awal tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Zulkifli. 2001. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
_________
Sumber: www.museum-indonesia.net
Foto : http://berwisata.com
Museum
Akhir-akhir ini di tanah air kita, terutama setelah era sentralisasi berakhir dan digantikan dengan era desentralisasi, muncul gejala meningkatnya minat sebagian masyarakat dan pemerintah daerah untuk mendirikan museum. "Semangat" ini, di satu sisi, sangat menggembirakan terutama menambah jumlah museum yang ada. Namun di sisi lain, semangat mendirikan museum, secara umum, tidak dilandasi oleh pengertian bahwa mendirikan sebuah museum berarti "mendirikan" pula sebuah institusi pendidikan. Museum dan pendidikan sama dengan dua sisi mata uang, tidak dapat dipisahkan.
Museum dan pendidikan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan tercermin dalam berbagai definisi museum sebagai salah satu tujuan:
1. A building to house collections of objects for inspections, study, and enjoyment. (Douglas A. Allen);
2. ....any permanent institution which conserves and displays for purposes of study, education, and enjoyment collections of objects of cultural or scientific significance (International Council of Museums);
3. A permanent, educational, non profit institution with catalogued collections in art, science, or history, with exhibitions open to the public (G.E. Burcaw);
4. A permanent, public, educational institution which cares for collections system-atically (definisi G.E. Burcaw yang lebih singkat);
5. "Museums of whatever kind all have the same task--to study, preserve, and exhibit objects of cultural value for the good of the community as a whole (UNESCO).
Berbagai definisi di atas, sangat jelas menyiratkan bahwa terdapat nilai dasar yang menjadi fondasi museum yaitu, melalui pendidikan, masyarakat disadarkan akan tingginya nilai yang dikandung dalam koleksi museum dan memberi mereka kesempatan untuk memperluas wawasan.
Namun, seperti telah dikemukakan terdahulu, kesadaran para pengelola museum berkaitan dengan kenyataan bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari sebuah museum masih sangat kurang. Para pengelola masih banyak yang berorientasi untuk mencapai beberapa tujuan museum, seperti yang tercantum dalam definisi, secara bersamaan dengan menggunakan sebagian besar sumber daya yang dimiliki. Tujuan atau tugas pendidikan yang sangat penting, yang diemban oleh museum, belum menjadi prioritas. Orientasi ini perlu diubah. Pendidikan untuk segala usia perlu digalakkan dengan sasaran utamanya adalah siswa sekolah.
Saat ini peluang guna mendukung perubahan strategi itu telah tersedia. Pemerintah telah mencanangkan dua puluh persen dari jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk sektor pendidikan--termasuk pendidikan di luar sekolah. Pertanyaannya, siapkah museum memanfaatkan peluang ini guna meningkatkan fungsi pendidikannya melalui penciptaan kegiatan-kegiatan edukasi (educational programs)?
Pendidikan
Kegiatan-kegiatan edukasi di museum, secara umum, diperuntukkan bagi anak-anak termasuk siswa sekolah (children and museum education) dan masyarakat umum atau yang dikenal dengan istilah adult learning in museums (Alberta Museums Association, 1990). Dua sasaran umum ini, terutama kegiatan yang disebut pertama, masih dapat dibagi-bagi lagi, misalnya berdasarkan jenjang pendidikan siswa (SD, SMP, SMU).
Bentuk-bentuk aktivitasnya pun bermacam-macam. Siswa sekolah akan mendapatkan paket edukasi (teaching kit); koleksi keliling (traveling study collections); kelas budaya (cultural class); bercerita (story telling); slide berseri (slides series); taman bermain yang berhubungan dengan koleksi (collections playground); atau aktivitas khusus untuk para guru (educators program). Sedangkan untuk masyarakat umum dapat berupa aktivitas yang diperuntukkan bagi keluarga (family workshop atau family day); bagi perorangan maupun kelompok (community workshop atau open house). Atau bagi kedua segmen di atas, museum dapat membentuk suatu komunitas bagi penggemar museum, misalnya himpunan pencinta museum.
Setiap museum dapat membuat aktivitas-aktivitas yang mendidik seperti contoh di atas. Tetapi sebaiknya dimulai dahulu untuk satu sasaran, misalnya siswa sekolah dasar, sehingga lebih terfokus. Materi perlu dirancang sebaik mungkin dan diarahkan untuk mengembangkan tiga area pembelajaran secara bersamaan: kognitif, berkaitan dengan daya pikir; afektif, berhubungan dengan emosi; dan psikomotorik, berhubungan dengan gerakan fisik.
Desain materi harus berupa aktivitas yang menumbuhkan rasa ingin tahu; dengan kata lain, materi yang diberikan dapat mengarahkan siswa untuk bertanya, mencari jawaban atas pertanyaannya, dan menciptakan pertanyaan baru (Allison G. and Sue McCoy, 1985: 60-70) serta memperoleh pengetahuan baru. Aktivitas tersebut selayaknya dilakukan tanpa meninggalkan unsur bermain. Patut diingat bahwa dunia anak-anak adalah dunia bermain.
Menurut para pakar pendidikan, bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara berulang demi kesenangan (Piaget, 1951) dan sasaran lain yang ingin dicapai; bermain merupakan "tali" yang merupakan untaian serat dan benang-benang yang terjalin menjadi satu. Menurut Hughes (1999) belajar dan bekerja merupakan hal yang berbeda dari bermain. Bermain, harus mempunyai tujuan, tidak ada unsur paksaan, menyenangkan, mengembangkan imajinasi, dan dilakukan dengan aktif.
Melalui permainan (play and games), diharapkan anak akan memperoleh beberapa manfaat, di antaranya bermasyarakat, mengenal diri sendiri, imajinasi dapat bertumbuh, menahan gejolak emosi, memperoleh kegembiraan, dan belajar taat pada aturan (Zulkifli, 2001; Andang Ismail, 2006). Dengan demikian bentuk-bentuk aktivitas bagi siswa haruslah berbentuk permainan edukatif. Permainan edukatif (Andang Ismail, 2006) adalah suatu kegiatan yang menyenangkan dan dapat merupakan cara yang mendidik. Permainan edukatif dapat meningkatkan kemampuan berfikir, berbahasa, serta bergaul dengan orang lain. Selain itu, anak dapat menguatkan anggota badan, menjadi lebih terampil, dan menumbuhkan serta mengembangkan kepribadiannya.
Permainan edukatif dapat dirancang oleh para pengelola museum. Program edukatif dapat dipilih dari salah satu contoh yang telah disebutkan terdahulu (paket edukasi, bercerita, membuat slide berseri, dan sebagainya).
Dalam merancang program-program edukasi, pengelola museum perlu melibatkan para ahli pendidikan, guru-guru, ahli psikologi anak, bahkan orang tua siswa. Dengan keterlibatan mereka, diharapkan dapat diciptakan aktivitas edukasi di museum yang sesuai dengan jenjang pendidikan siswa dan sesuai dengan tingkatan perkembangannya.
Kesimpulan
Museum dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Definisi tentang museum selalu mencantumkan pendidikan (juga penelitian) sebagai salah satu tujuan atau misi yang diemban oleh sebuah museum.
Jumlah museum yang semakin bertambah (saat ini kira-kira berjumlah 228 museum) tidak dibarengi dengan kesadaran para pengelola museum bahwa pendidikan merupakan misi yang penting. Sehingga, masih banyak museum yang belum memiliki program-program pendidikan yang terarah. Contoh program edukasi di museum, terutama di museum-museum di luar negeri dapat dijadikan ide; atau bahkan ditiru dengan catatan disesuaikan dengan kondisi di tanah air. Selain itu, keterlibatan para pakar pendidikan dan guru merupakan keharusan.
Referensi
Alberta Museums Association. 1990. Standard Practices Handbook for Museums. Edmonton: Canada.
Burcaw, G. Ellis. 1983. Introduction to Museum Work. Nashville: AASLH.
Grinder, Alison and E. sue McCoy. 1985. The Good Guide. Scottsdale: Ironwood.
Hughes. 1999. Children, Play, and Development. New York: Wiley & Sons.
Ismail, Andang. 2006. Education Games. Yogyakarta: Pilar Media.
Mudyahardjo, Redja. 2006. Pengantar Pendidikan: Studi Awal tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Zulkifli. 2001. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
_________
Sumber: www.museum-indonesia.net
Foto : http://berwisata.com