Oleh: Widodo Prasetyo
Dengan nukilan pasal kesepuluh "Gurindam Dua Belas" di atas, saya mengajak Anda menyelami budaya Melayu Pulau Penyengat yang merupakan cikal bakal bahasa lisan Melayu Riau, yang tak lain juga cikal bakal bahasa Indonesia.
Ya, di pulau seluas 240 hektare dengan panjang dua kilometer dan lebar kurang dari satu kilometer itulah Raja Ali Haji si pencipta "Gurindam Dua Belas" pada tahun 1808 dilahirkan oleh seorang ibu bernama Encik Hamidah. Ayahnya bernama Tengku Haji Ahmad. Di pulau itu pulalah, dia meninggal pada tahun 1873. Berkat karya-karyanya, Raja Ali Haji mendapat penghargaan pemerintah RI sebagai pahlawan nasional bidang bahasa Indonesia dengan Nomor 089/TK/2004 pada tanggal 4 November 2004.
"Gurindam Dua Belas" merupakan karya yang digolongkan sebagai puisi didaktik karena berisikan nasehat dan petunjuk untuk kehidupan yang diridai Allah dengan sandaran ilmu tasawuf. Maka, Pemkot Tanjungpinang pun menerbitkan sebuah buku sebagai buah tangan religius dari pulau itu. Selain gurindam, Raja Ali Haji juga menulis sejumlah karya sastra, di antaranya Bustanul Katibin, Samratul Muhimmati (Thamarat al-Muhammad), Kitab Pengetahuan Bahasa, dan Syair Awai.
Pulau Penyengat terletak di bagian barat Pulau Bintan yang dipisahkan oleh sebuah selat. Untuk menuju pulau itu, kita dapat menggunakan perahu motor kecil yang tersedia cukup banyak di Pelabuhan Pinang, Kota Tanjungpinang. Dengan ongkos Rp 4.000 sekali jalan, jurumudi perahu akan membawa Anda sampai di pulau berpenduduk sekitar 2.071 jiwa atau 450 kepala keluarga (KK) itu dalam waktu 10-15 menit.
Ada perasaan ngeri juga saat perahu yang bermuatan maksimal 30 orang itu membelah selat. Kadang-kadang ombak bergulung setinggi tempat duduk penumpang. Agar tidak terfokus pada gulungan ombak yang kadang membelokkan arah perahu, saya lalu berbincang-bincang dengan sang jurumudi bernama Darmizi (40) mengenai perairan di situ. Lelaki itu bilang, air laut di kawasan itu tergolong tenang dan jarang memakan korban. Namun, daerah itu dangkal sehingga kapal feri atau kapal berpenumpang besar tidak bisa merapat di Pelabuhan Masjid Pulau Penyengat.
Menjejakkan kaki di pulau yang masuk ke dalam wilayah Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Tanjungpinang, kita akan disambut warga asli dengan keramahannya. Kita pun akan digoda dengan suasana lingkungan yang asri. Udara bersih dengan angin semilir mengembuskan kesejukan. Tidak berhawa panas layaknya daerah dekat laut.
Kenapa bisa begitu? Selidik punya selidik, banyak pepohonan dengan berbagai jenis tanaman perdu tetap dipertahankan penduduk setempat, meski berisiko rumah atau perkampungan mereka layaknya terkepung pohon. Di sisi lain, Bukit Pulau Penyengat tetap dibiarkan hijau. Sampah pun tak terlihat menyembul di sekitar pantai yang mengelilingi kelurahan tersebut.
Ada hal lain yang unik. Warga desa di sana tak seorang pun yang memiliki kendaraan roda empat. Untuk berkeliling seluruh kampung warga lebih suka menggunakan kendaraan roda dua yakni motor atau pun motor yang dimodifikasi dengan becak dengan tempat duduk penumpang di samping sopir. Kenapa? Sejumlah penduduk mengatakan kendaraan roda empat tidak terlalu berguna di pulau tersebut. Alasan lain, kendaraan roda empat akan memakan badan jalan yang memang tak begitu lebar. Kalau dua becak motor saling berpapasan, salah satunya harus menyingkir terlebih dulu.
Meski demikian, warga Pulau Penyegat tidak ketingalan dalam soal pendidikan dan kesehatan. Di pulau itu terdapat satu SD dan Puskemas, sementara bagi yang ingin melanjutkan sekolah harus ke Tanjungpinang atau Pekanbaru. Anak-anak Pulau Penyengat sejak kecil sudah terbiasa menaiki perahu dengan mengayuh dayung untuk pergi ke luar desa, pulang balik untuk menuntut ilmu.
Lengkap
Pulau kecil itu memang eksotis sebagai tempat "wisata" yang begitu lengkap. Kalau ingin mendekatkan diri dengan Allah, Anda bisa beribadat di Masjid Raya Sultan Riau Penyengat yang dibangun pada 1832 dengan konstruksi dari putih telur. Tak hanya itu, di tempat tersebut kita bisa melihat bukti-bukti sejarah kemasyhuran Kerajaan Riau yang konon memiliki kekuasaan hingga Pahang, Johor, dan Singapura. Lihat misalnya sisa-sisa sejarah penjajahan Belanda, tempat berziarah Makam Engku Puteri atau Raja Hamidah, Makam Raja Haji Fisabilillah, Istana Raja Ali, makam Raja Jakfar, Makam Raja Abdurrahman, Gedung Mesiu, dan Bukit Kursi yang memiliki meriam di penjuru pulau.
Kalau ingin menikmati sunset, cukuplah naik ke Bukit Penyengat. Dari tempat yang paling tinggi itu kita akan bisa melihat ke segala penjuru laut yang mengelilingi pulau tersebut. Indah betul dan sangat luar biasa. Kalau beruntung, Anda masih bisa melihat meriam peninggalan Belanda di beberapa bagian bukit. Itu jadi bukti sejarah bahwa penjajah pun sebetulnya berusaha mempertahankan daerah itu selamanya.
Kalau memiliki waktu luang lebih, bisa saja Anda mengunjungi tempat-tempat itu dengan berjalan kaki. Namun, untuk menelisik semua bagian, satu hari penuh pun mungkin belum cukup. Sebab, jarak antar tempat satu dengan tempat yang lain relatif melelahkan kalau dicapai hanya dengan berjalan kaki.
Tapi tak perlu risau, becak motor siap mengantar ke mana pun Anda pergi dengan membayar Rp 20.000 sekali jalan. Sudah begitu dapat bonus pula. Apa? Sang sopir dengan ramah akan menceritakan sejarah tempat-tempat itu dan lokasi yang patut dikunjungi tanpa memungut biaya tambahan.
Tak ada hotel atau penginapan di pulau itu. Meski demikian, penduduk setempat bersedia menampung para pelancong atau perziarah untuk bermalam beberapa hari bahkan beberapa bulan. Ya, di saat bulan Ramadan seperti ini, atau pada Hari Raya Idul Fitri pulau itu penuh sesak oleh pengunjung baik dari Indonesia, Johor, Pahang, maupun Singapura. Sementara, kalau bulan-bulan biasa, ada pula wisatawan dari Amerika yang singgah beberapa bulan di pulau itu, menyatu dengan penduduk.
"Kalau ada hotel atau penginapan, warga takut ikut terbawa arus pergaulan dari budaya lain," kata Raja Haji Abdurrahman pengurus Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat.
Warga daerah itu memang terlihat sangat religius. Seperti sore itu, ketika matahari telah merambat di ufuk barat dan semburat merah terlihat di sela-sela menara Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat, lantunan azan berkumandang dari situ. Setelah itu, semua orang (tua, muda, anak, orang tua, laki-laki, dan perempuan berbondong-bondong ke masjid). Nuansa religius, ketenangan, dan ketentraman terasa benar ketika berada di pulau itu.
"Kalau boleh, saya ingin tinggal di pulau ini paling tidak satu bulan," kata Hermanto wartawan harian Waspada yang bersama beberapa wartawan dan ratusan mahasiswa mengikuti Pelayaran Kebangsaan VI, beberapa waktu lalu.
Cerita Rakyat
Tidak ada catatan tertulis mengenai asal mula nama pulau tersebut. Namun berdasarkan cerita rakyat setempat, nama "penyengat" berasal dari sebangsa hewan serangga yang memiliki sengat. Dalam buku "Salasilah Pulau Penyengat Indera Sakti" yang disusun Lukmannulhakim Putra dan diterbitkan pada 2000 yang banyak dijual pedagang asongan di daerah itu, jenis hewan penyengat tersebut adalah serangga Ropalidia spp, Vespa Auraria, dan Provespa Anomala.
Alkisah, dahulu pulau itu banyak dikunjungi banyak pelaut untuk mengambil air minum. Pada saat mengambil air itulah, para pelaut diserang oleh ratusan serangga berbisa, sehingga tubuh mereka bengkak-bengkak. Binatang yang memiliki senjata sengat itu kemudian dijuluki penyengat, dan pulau itu dinamakan Pulau penyengat.
"Binatang tersebut bersarang di dalam tanah. Ukurannya sekepalan tangan. Sekarang penduduk jarang menemui serangga semacam itu," jelas Raja Haji Abdurrahman.
Orang Tanjungpinang seringkali menyebut daerah kepulauan itu dengan Penyengat Indera Sakti. Nama ini muncul setelah pulau itu menjadi pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau pada awal abad ke-19. Dalam catatan sejarah, pulau itu memiliki peran penting sejarah kekuasaan Imperium Melayu di bagian selatan Semenanjung Tanah Melayu atau Semenanjung Malaysia.
Pada awalnya, Pulau Penyengat itu hanya sebuah tempat persinggahan armada pelayaran yang mengarungi perairan Pulau Bintan, Selat Malaka, dan sekitarnya. Namun pada tahun 1719 Masehi, meletus perang saudara memperebutkan takhta Kerajaan Johor antara keturunan Sultan Mahmudsyah yang dipimpin puteranya yakni Raja Kecil melawan keturunan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah yang dipimpin Tengku Sulaiman. Perang itu dimenangkan Tengku Sulaiman.
Sultan Mahmud -ada pula yang menyebut dengan Sultan Mahmudsyah - sultan Riau yang memerintah pada tahun 1761-1812, menjadikan Pulau Penyengat sebagai maskawin pernikahannya dengan Raja Hamidah (anak Raja Haji). Pulau itu diserahkan kepada Raja Hamidah agar digunakan sebagai tempat kediaman sang puteri bersama saudara-saudaranya yang merupakan keturunan Bugis. Dalam pekembangannya, Raja Hamidah kemudian menjadi permaisuri dan memiliki kewenangan sebagai pemegang rengelia kerajaan (perangkat adat penobatan para sultan). Dengan kedudukan itu, Pulau Penyengat menjadi makin berperan dalam Kerajaan Riau, yang selanjutnya tumbuh sebagai pemukiman baru.
__________
Sumber: gaya.suaramerdeka.com/index.php?id=40
Foto : http://farm4.static.flickr.com
Dengan Bapak jangan durhaka, supaya Allah tidak murka
Dengan Ibu hendaklah hormat, supaya badan dapat selamat
Dengan anak janganlah lalai, supaya boleh naik ke tengah balai
Dengan kawan hendaklah adil, supaya tangannya jadi kepil
Sumpah Pemuda 1928 menegaskan bahwa bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan. Sejak itu bahasa yang berakar pada bahasa Melayu tersebut diakui sebagai bahasa pengantar resmi kenegaraan RI. Namun, tahukah Anda, siapa pencipta bahasa Melayu yang juga menjadi akar bahasa masyarakat Melayu -yang saat ini- tersebar di negara Malaysia dan Singapura itu?Dengan nukilan pasal kesepuluh "Gurindam Dua Belas" di atas, saya mengajak Anda menyelami budaya Melayu Pulau Penyengat yang merupakan cikal bakal bahasa lisan Melayu Riau, yang tak lain juga cikal bakal bahasa Indonesia.
Ya, di pulau seluas 240 hektare dengan panjang dua kilometer dan lebar kurang dari satu kilometer itulah Raja Ali Haji si pencipta "Gurindam Dua Belas" pada tahun 1808 dilahirkan oleh seorang ibu bernama Encik Hamidah. Ayahnya bernama Tengku Haji Ahmad. Di pulau itu pulalah, dia meninggal pada tahun 1873. Berkat karya-karyanya, Raja Ali Haji mendapat penghargaan pemerintah RI sebagai pahlawan nasional bidang bahasa Indonesia dengan Nomor 089/TK/2004 pada tanggal 4 November 2004.
"Gurindam Dua Belas" merupakan karya yang digolongkan sebagai puisi didaktik karena berisikan nasehat dan petunjuk untuk kehidupan yang diridai Allah dengan sandaran ilmu tasawuf. Maka, Pemkot Tanjungpinang pun menerbitkan sebuah buku sebagai buah tangan religius dari pulau itu. Selain gurindam, Raja Ali Haji juga menulis sejumlah karya sastra, di antaranya Bustanul Katibin, Samratul Muhimmati (Thamarat al-Muhammad), Kitab Pengetahuan Bahasa, dan Syair Awai.
Pulau Penyengat terletak di bagian barat Pulau Bintan yang dipisahkan oleh sebuah selat. Untuk menuju pulau itu, kita dapat menggunakan perahu motor kecil yang tersedia cukup banyak di Pelabuhan Pinang, Kota Tanjungpinang. Dengan ongkos Rp 4.000 sekali jalan, jurumudi perahu akan membawa Anda sampai di pulau berpenduduk sekitar 2.071 jiwa atau 450 kepala keluarga (KK) itu dalam waktu 10-15 menit.
Ada perasaan ngeri juga saat perahu yang bermuatan maksimal 30 orang itu membelah selat. Kadang-kadang ombak bergulung setinggi tempat duduk penumpang. Agar tidak terfokus pada gulungan ombak yang kadang membelokkan arah perahu, saya lalu berbincang-bincang dengan sang jurumudi bernama Darmizi (40) mengenai perairan di situ. Lelaki itu bilang, air laut di kawasan itu tergolong tenang dan jarang memakan korban. Namun, daerah itu dangkal sehingga kapal feri atau kapal berpenumpang besar tidak bisa merapat di Pelabuhan Masjid Pulau Penyengat.
Menjejakkan kaki di pulau yang masuk ke dalam wilayah Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Tanjungpinang, kita akan disambut warga asli dengan keramahannya. Kita pun akan digoda dengan suasana lingkungan yang asri. Udara bersih dengan angin semilir mengembuskan kesejukan. Tidak berhawa panas layaknya daerah dekat laut.
Kenapa bisa begitu? Selidik punya selidik, banyak pepohonan dengan berbagai jenis tanaman perdu tetap dipertahankan penduduk setempat, meski berisiko rumah atau perkampungan mereka layaknya terkepung pohon. Di sisi lain, Bukit Pulau Penyengat tetap dibiarkan hijau. Sampah pun tak terlihat menyembul di sekitar pantai yang mengelilingi kelurahan tersebut.
Ada hal lain yang unik. Warga desa di sana tak seorang pun yang memiliki kendaraan roda empat. Untuk berkeliling seluruh kampung warga lebih suka menggunakan kendaraan roda dua yakni motor atau pun motor yang dimodifikasi dengan becak dengan tempat duduk penumpang di samping sopir. Kenapa? Sejumlah penduduk mengatakan kendaraan roda empat tidak terlalu berguna di pulau tersebut. Alasan lain, kendaraan roda empat akan memakan badan jalan yang memang tak begitu lebar. Kalau dua becak motor saling berpapasan, salah satunya harus menyingkir terlebih dulu.
Meski demikian, warga Pulau Penyegat tidak ketingalan dalam soal pendidikan dan kesehatan. Di pulau itu terdapat satu SD dan Puskemas, sementara bagi yang ingin melanjutkan sekolah harus ke Tanjungpinang atau Pekanbaru. Anak-anak Pulau Penyengat sejak kecil sudah terbiasa menaiki perahu dengan mengayuh dayung untuk pergi ke luar desa, pulang balik untuk menuntut ilmu.
Lengkap
Pulau kecil itu memang eksotis sebagai tempat "wisata" yang begitu lengkap. Kalau ingin mendekatkan diri dengan Allah, Anda bisa beribadat di Masjid Raya Sultan Riau Penyengat yang dibangun pada 1832 dengan konstruksi dari putih telur. Tak hanya itu, di tempat tersebut kita bisa melihat bukti-bukti sejarah kemasyhuran Kerajaan Riau yang konon memiliki kekuasaan hingga Pahang, Johor, dan Singapura. Lihat misalnya sisa-sisa sejarah penjajahan Belanda, tempat berziarah Makam Engku Puteri atau Raja Hamidah, Makam Raja Haji Fisabilillah, Istana Raja Ali, makam Raja Jakfar, Makam Raja Abdurrahman, Gedung Mesiu, dan Bukit Kursi yang memiliki meriam di penjuru pulau.
Kalau ingin menikmati sunset, cukuplah naik ke Bukit Penyengat. Dari tempat yang paling tinggi itu kita akan bisa melihat ke segala penjuru laut yang mengelilingi pulau tersebut. Indah betul dan sangat luar biasa. Kalau beruntung, Anda masih bisa melihat meriam peninggalan Belanda di beberapa bagian bukit. Itu jadi bukti sejarah bahwa penjajah pun sebetulnya berusaha mempertahankan daerah itu selamanya.
Kalau memiliki waktu luang lebih, bisa saja Anda mengunjungi tempat-tempat itu dengan berjalan kaki. Namun, untuk menelisik semua bagian, satu hari penuh pun mungkin belum cukup. Sebab, jarak antar tempat satu dengan tempat yang lain relatif melelahkan kalau dicapai hanya dengan berjalan kaki.
Tapi tak perlu risau, becak motor siap mengantar ke mana pun Anda pergi dengan membayar Rp 20.000 sekali jalan. Sudah begitu dapat bonus pula. Apa? Sang sopir dengan ramah akan menceritakan sejarah tempat-tempat itu dan lokasi yang patut dikunjungi tanpa memungut biaya tambahan.
Tak ada hotel atau penginapan di pulau itu. Meski demikian, penduduk setempat bersedia menampung para pelancong atau perziarah untuk bermalam beberapa hari bahkan beberapa bulan. Ya, di saat bulan Ramadan seperti ini, atau pada Hari Raya Idul Fitri pulau itu penuh sesak oleh pengunjung baik dari Indonesia, Johor, Pahang, maupun Singapura. Sementara, kalau bulan-bulan biasa, ada pula wisatawan dari Amerika yang singgah beberapa bulan di pulau itu, menyatu dengan penduduk.
"Kalau ada hotel atau penginapan, warga takut ikut terbawa arus pergaulan dari budaya lain," kata Raja Haji Abdurrahman pengurus Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat.
Warga daerah itu memang terlihat sangat religius. Seperti sore itu, ketika matahari telah merambat di ufuk barat dan semburat merah terlihat di sela-sela menara Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat, lantunan azan berkumandang dari situ. Setelah itu, semua orang (tua, muda, anak, orang tua, laki-laki, dan perempuan berbondong-bondong ke masjid). Nuansa religius, ketenangan, dan ketentraman terasa benar ketika berada di pulau itu.
"Kalau boleh, saya ingin tinggal di pulau ini paling tidak satu bulan," kata Hermanto wartawan harian Waspada yang bersama beberapa wartawan dan ratusan mahasiswa mengikuti Pelayaran Kebangsaan VI, beberapa waktu lalu.
Cerita Rakyat
Tidak ada catatan tertulis mengenai asal mula nama pulau tersebut. Namun berdasarkan cerita rakyat setempat, nama "penyengat" berasal dari sebangsa hewan serangga yang memiliki sengat. Dalam buku "Salasilah Pulau Penyengat Indera Sakti" yang disusun Lukmannulhakim Putra dan diterbitkan pada 2000 yang banyak dijual pedagang asongan di daerah itu, jenis hewan penyengat tersebut adalah serangga Ropalidia spp, Vespa Auraria, dan Provespa Anomala.
Alkisah, dahulu pulau itu banyak dikunjungi banyak pelaut untuk mengambil air minum. Pada saat mengambil air itulah, para pelaut diserang oleh ratusan serangga berbisa, sehingga tubuh mereka bengkak-bengkak. Binatang yang memiliki senjata sengat itu kemudian dijuluki penyengat, dan pulau itu dinamakan Pulau penyengat.
"Binatang tersebut bersarang di dalam tanah. Ukurannya sekepalan tangan. Sekarang penduduk jarang menemui serangga semacam itu," jelas Raja Haji Abdurrahman.
Orang Tanjungpinang seringkali menyebut daerah kepulauan itu dengan Penyengat Indera Sakti. Nama ini muncul setelah pulau itu menjadi pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau pada awal abad ke-19. Dalam catatan sejarah, pulau itu memiliki peran penting sejarah kekuasaan Imperium Melayu di bagian selatan Semenanjung Tanah Melayu atau Semenanjung Malaysia.
Pada awalnya, Pulau Penyengat itu hanya sebuah tempat persinggahan armada pelayaran yang mengarungi perairan Pulau Bintan, Selat Malaka, dan sekitarnya. Namun pada tahun 1719 Masehi, meletus perang saudara memperebutkan takhta Kerajaan Johor antara keturunan Sultan Mahmudsyah yang dipimpin puteranya yakni Raja Kecil melawan keturunan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah yang dipimpin Tengku Sulaiman. Perang itu dimenangkan Tengku Sulaiman.
Sultan Mahmud -ada pula yang menyebut dengan Sultan Mahmudsyah - sultan Riau yang memerintah pada tahun 1761-1812, menjadikan Pulau Penyengat sebagai maskawin pernikahannya dengan Raja Hamidah (anak Raja Haji). Pulau itu diserahkan kepada Raja Hamidah agar digunakan sebagai tempat kediaman sang puteri bersama saudara-saudaranya yang merupakan keturunan Bugis. Dalam pekembangannya, Raja Hamidah kemudian menjadi permaisuri dan memiliki kewenangan sebagai pemegang rengelia kerajaan (perangkat adat penobatan para sultan). Dengan kedudukan itu, Pulau Penyengat menjadi makin berperan dalam Kerajaan Riau, yang selanjutnya tumbuh sebagai pemukiman baru.
__________
Sumber: gaya.suaramerdeka.com/index.php?id=40
Foto : http://farm4.static.flickr.com