Semarang nan Cemerlang


Oleh: Taufik Darusman

Kota pelabuhan ini hanya 50 menit terbang atau lima jam berkereta api dari Jakarta, namun mayoritas wisatawan yang mengunjungi Jawa Tengah cenderung untuk terjun langsung ke Yogya atau Solo tanpa memperhitungkan sisi utara Jawa Tengah yang sarat situs wisata yang sangat menarik.

Solo, Yogyakarta, Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Keempat lokasi Semarang (dengan Kota Lama-nya), Ambarawa, dan Gedong Songo juga berlokasi di propinsi yang sama, namun amat jarang wisatawan berwawasan konvensional dengan sengaja—dan secara terencana—menyisihkan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut. Betapa kelirunya mereka, karena sesungguhnya dalam tempo 36 jam saja Anda dapat menelusuri Semarang dan sekitarnya untuk menyerap secara garis besar kekayaan alam dan budaya kawasan itu yang tiada taranya.

Caranya?
Lepas landas dari bandara Soekarno-Hatta dengan Garuda Indonesia pada jam enam pagi dan tiba di Semarang beberapa menit sebelum jam tujuh di bandara Ahmad Yani. Perjalanan taksi di pagi hari memakan tidak lebih dari 30 menit menuju salah satu hotel berbintang di Simpang Lima untuk check-in dan sarapan. Sekitar jam 9, dari hotel ambil taksi atau menyewa mobil ke Kota Lama.

Hal ini wajib, dan tidak bisa tidak, dikunjungi turis. Jalan-jalan di kawasan ini (luasnya sekitar 30 hektar) menampung sejumlah rumah tua yang atapnya berbentuk segitiga peninggalan abad ke-15 dan ke-16. Berjalan kaki di kawasan ini, bagi mereka yang memiliki apresiasi terhadap segala hal menyangkut estetika dan masa lalu, dapat merupakan pengalaman yang mencerahkan jiwa dan hati. Memang, umumnya gedung-gedung di sini tidak terurus—bahkan mendekati ambang keruntuhan—namun dengan sedikit imajinasi Anda dapat membayangkan suasana di sini yang tenang-damai dan sejuk 50-100 tahun lalu. Katakanlah, suasana kota-kota di Eropa di masa lampau.

Kota Lama menganut nuansa sejarah yang kuat; ia memiliki potensi yang besar sebagai kawasan tujuan wisata bila saja ia dipelihara dengan baik dengan memugar sejumlah gedung yang sebenarnya masih kokoh namun menuntut perhatian.

Di Kota Lama pula terdapat Gereja ‘Blenduk‘ dengan dua menara dan dua lantai. Dibangun pada 1750 berbentuk rumah panggung Jawa, gereja Kristen tertua di Jawa Tengah itu mengalami perombakan total pada 1787 berkat kreativitas dua arstitek Belanda, yang memberikannya sentuhan gaya arsitektur neo-klasik. Kubahnya yang berlapis logam mendorong masyarakat setempat untuk menjulukinya sebagai ‘Gereja Blenduk‘.

Di atas areal seluas sekitar 400 m2 bangunan heksagonal dengan dua menara lonceng ini menonjol di antara gedung-gedung tua yang umumnya tidak terawat kendati terdapat juga yang sudah direnovasi dan kini dihuni beberapa perusahaan swasta.

Interior gereja ini mencolok justru karena kesederhanannya, yang pada gilirannya menciptakan kemegahan. Dua hal yang menarik perhatian adalah sejumlah jendela yang menggunakan kaca patri (stained glass) dan orgel kuno yang digerakkan dengan pompa.

(Hanya ada dua orgel semacam ini di Indonesia, yang satu lagi terdapat di GPIB Immanuel, Gambir, Jakarta Pusat.)

Di antara sekitar 100 bangunan kuno yang dilindungi Pemerintah Kota Semarang, tampaknya Gereja Blenduk yang paling terawat dengan baik.

30 Menit dengan mobil dari Kota Lama membawa Anda ke Masjid Agung, yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Nopember 2006. Dibangun di atas lahan seluas kurang lebih 10 hektar, bangunan induknya berluaskan hampir 8000 m2 dengan gaya arsitektur terpadu Jawa, Arab, dan Yunani.

Masjid senilai Rp 200 miliar ini (sejatinya Rp 30 miliar) mampu menampung 6.000 jamaah di atas permukaan seluas 7500 m2 yang dapat dilindungi enam payung raksasa yang bisa dibuka-tutup secara mekanis. Di sisi kanan terdapat auditorium yang mampu menampung 2.000 jamaah; pada sayap kiri terdapat perpustakaan modern serta ruang perkantoran.

Masjid Agung, yang masa pembangunannya menyita empat tahun, adalah tempat ibadah yang juga didesain sebagai objek wisata religi. Sebuah wisma penginapan dengan kapasitas 23 kamar tersedia, memungkinkan para peziarah bermalam di situ.

Daya tarik lain dari masjid ini adalah Menara Al Husna atau Al Husna Tower yang berketinggian 99 m. Lantai 2 dan 3 ditempati Museum Kebudayaan Islam; pada lantai 18 terdapat Kafe Muslim yang dapat berputar 360 derajat. Menara pandang terdapat pada lantai 19 yang dilengkapi dengan lima teropong yang memungkinkan Anda menyisir kota Semarang secara visual.

Bila Anda sejenak berdiri pada jarak tertentu dari bangunan itu, Anda akan kagum atas karya anak bangsa kita yang berhasil menciptakan kemegahan arsitektural ini. Sediakan paling sedikit satu jam untuk menikmati ketenangan yang dipancarkan oleh suasana bersih dan teduh dalam kompleks masjid ini. Banyak pula bagian yang menuntut perhatian, seperti detail dari sejumlah ornamen bangunan yang terpasang dengan rapi.

Pada saat Anda selesai mengunjungi Kota Lama dan Masjid Agung, makan siang tiba namun itu dapat dilakukan di hotel atau di sejumlah rumah makan di sekitar Simpang Lima (katakanlah "Sudirman/Thamrin"nya Semarang dengan karakteristik kota tersebut yang khas). Bila Anda bukan termasuk tipe petualang kuliner, bersantaplah di hotel dan bersiap diri untuk mengunjungi Gedung Lawang Sewu.

Andaikan gedung megah bergaya art deco ini dirawat dengan upaya yang cukup saja, apalagi baik, ia bukan tidak mungkin akan menjadi pusat perhatian dalam skala nasional, bahkan internasional. Terletak di hadapan Monumen Tugu Muda, bangunan "ber-pintu seribu" karya dua arsitek Belanda pada akhir 1890an ini memang monumental, kokoh dan indah. Tidak banyak gedung di Indonesia, bahkan di mana pun, yang memiliki sekaligus tiga predikat tersebut.

Dua menara kembar pada pintu gerbang menyambut pengunjung ke gedung yang memanjang ke belakang, di mana terdapat kebun yang lapang. Di dalam bekas kantor jawatan kereta api Belanda ini (kemudian berturut-turut kantor Kodam IV Diponegoro, Kantor PT Kereta Api Indonesia dan terakhir Kanwil DeperHub) terdapat beberapa jendela dengan kaca patri yang mengagumkan bukan saja karena indah tetapi juga ketahanannya selama satu abad lebih.

"Gedung Lawang Sewu termasuk salah satu dari 102 gedung kuno bersejarah yang dilindungi Pemerintah Kota Semarang," Walikota Semarang Sukawi mengatakan kepada majalah ini.
"Kami sedang berusaha bekerja sama dengan pihak ketiga untuk membuat gedung-gedung kuno di kota ini menarik bagi wisatawan."

Namun tampaknya diperlukan lebih dari suatu SK untuk menjaga agar kondisi bangunan itu tidak akan lebih parah di masa mendatang.

Mendekati sore hari, luangkanlah waktu untuk ke Bandungan yang terletak di daerah pegunungan. Perjalanan ke sana mengingatkan Anda pada rute Ciawi—Puncak, yang sarat dengan tikungan tajam dan tanjakan terjal dan merupakan neraka bagi mobil buatan tahun dekade 80an. Tapi semua itu akan terbukti sepadan dengan apa yang Anda akan nikmati kemudian: pemandangan indah dan udara bersih ketika Anda bersantap malam sebelum kembali ke hotel di Semarang untuk mengakhiri fase pertama dari kunjungan ke Semarang dan sekitarnya.

Berangkatlah di pagi hari, sekitar jam 6.30, untuk menuju kawasan Gedong Songo (Sembilan Bangunan dalam bahasa Jawa), sekitar satu jam dari Semarang, di mana terdapat sembilan candi. Ketika pertama kali ditemukan oleh Gubernur Jenderal Sir George Raffles dari Inggris pada 1740an, kawasan itu berjudul Gedong Pitu (Tujuh Bangunan) karena hanya terdapat tujuh candi. Di kemudian hari ditemukan dua candi lagi sehingga nama kawasan itu berubah. Jumlah candi di situ sembilan, namun yang masih utuh adalah lima sedangkan sisa empat merupakan puing.

Jarak satu candi dari yang lain cukup berarti, sehingga banyak pengunjung memilih untuk menjelajahi kawasan tersebut dengan menunggang kuda yang disediakan oleh penduduk lokal berjiwa bisnis. Mereka yang berusia muda dan memiliki waktu tak terbatas cenderung mengarungi tempat itu secara berkelompok dengan santai.

Kawasan itu terletak sekitar 1,200 m di atas permukaan laut (DPL) di lereng Gunung Unggaran; Anda dapat membayangkan bagaimana bersih dan murninya udara di situ. Hutan pinus yang lebat dan sejumlah ladang sayur milik penduduk setempat memperkaya pengalaman nyaman Anda selama di situ. Sebagai bentuk ketaatan kepada norma-norma dunia pariwisata, sejumlah kedai makan terdapat di situ untuk melayani kebutuhan Anda akan energi yang nyaris terkuras habis setelah berjalan kaki mencapai empat candi saja (lupakan hasrat mulia Anda untuk mencapai seluruh sembilan candi kecuali hal itu dilakukan dengan menunggangi kuda).

Menuju ke Semarang untuk kemudian mencapai Ambarawa memakan waktu, bergantung pada kesibukan lalu-lintas, sekitar dua jam. Namun kisaran 120 menit itu akan cepat berlalu karena sepanjang jalan Anda disuguhi pemandangan yang indah dengan udara yang sejuk dan bersih. Penggunaan AC mobil selama perjalanan tidak disarankan demi kenikmatan diri akan sajian alam.

Museum kereta api Ambarawa sejatinya adalah sebuah stasiun kereta api yang dibangun kekuasaan kolonial Belanda pada 1873. Stasiun KA ini digunakan untuk mengangkut serdadu mereka dari Kedungjati hingga akhir dari masa penjajahan pada 1947 Sejak itu Ambarawa merupakan stasiun KA sipil, yang sekitar 30 tahun kemudian disulap menjadi sebuah museum perkeretaapian yang mengandung puluhan lokomotif buatan Jerman dalam suatu kawasan seluas hampir 130,000 m2. Meskipun sudah puluhan tahun di bawah terik matahari dan siraman hujan, mereka tetap tampak tegar dan berwibawa. Di sini kita boleh bangga karena upaya perawatan ‘kuda-kuda besi‘ itu berhasil dengan baik.

Enam dekade sejak penjajahan berakhir, sisa-sisa bernuansa Belanda masih tetap menonjol. Gedung utamanya bahkan masih mempertahankan prasasti Belanda yang dipasang lebih dari seabad lalu. Yang juga menarik adalah peralatan kantor kuno seperti mesin tulis dan telegram. Museum ini merupakan salah satu tujuan wisata favorit turis domestik maupun asing.

"Minggu lalu beberapa rombongan turis dari Amerika dan Jerman ke sini. Saya berhasil menjual baju kaos dan suvenir-suvenir lainnya dalam jumlah banyak," kata Rahman, warga lokal yang menyerupai orang Bali namun berbicara dengan logat Betawi.

Anda akan betah berlama-lama di sini karena stasiun KA itu memiliki veranda yang amat luas bagi manusia bermondar-mandir seraya mengagumi sejumlah saksi sejarah dari besi. Sebuah kafetaria yang menyuguhkan makanan gurih—dan terpenting, kopi panas yang lezat—dengan latar belakang panorama pegunungan akan menghalangi niat Anda untuk meninggalkan tempat tersebut.

Dari Ambarawa Anda dapat mencapai kota Semarang dalam kurang dari 90 menit. Ini memberikan Anda waktu yang memadai untuk makan siang dan beristirahat sebelum menuju ke bandara untuk mengambil pesawat Garuda kembali ke Jakarta dengan jadwal keberangkatan jam 17.00.

Di dalam pesawat Anda akan merenungkan kembali 36 jam yang mengesankan di Semarang itu, dan menyadari bahwa masih banyak lagi lokasi di sekitarnya yang patut Anda kunjungi sebagai seorang turis yang serius. Klenteng Sam Po Kong, Masjid Demak, Pasar Johar, Kampung Kulitan dan kebun binatang yang masih dalam perkembangan; itu baru menyebut beberapa tempat saja. Dan pada saat itu juga Anda memutuskan untuk tinggal lebih lama di Semarang pada lain kesempatan, dan kesempatan-kesempatan lain berikutnya lagi.

Sumber : http://garudamagazine.com