Sebuah Sungai, Dua Masa

Oleh: Wuragil

Menolak “dirumahkan”, suku Tobelo Dalam memilih tinggal di hutan, di sisi sungai yang berbeda.

Perjalanan sudah hampir sampai ke ujung aspal ketika sebuah kubangan menghadang. Iful, sopir mobil sewaan yang membawa kami lima wartawan dari Jakarta yang ditemani kelompok konservasi Burung Indonesia, untuk pertama kalinya berpikir sejenak.

Sejak Sidangoli, Halmahera Barat, lebih dari 100 kilometer ke arah utara, ruas jalan yang berganti-ganti dari aspal mulus ke jalan kerikil dan berlubang memang dilibas seenak injakan pedalnya saja. Musik disetel keras-keras tanpa peduli kami yang duduk di jok belakang Isuzu Panther dieselnya harus berjuang keras biar tidak terpental-pental.

Hingga akhirnya kami sampai di ruas jalan ini. Menyimpang sedikit dari ruas jalan utama yang menyisir pantai barat Halmahera, mengarah ke punggung pegunungan, tepatnya memasuki kawasan penyangga untuk Taman Nasional Aketajawe, kami sudah beberapa langkah saja dari Kampung Kumu.

Kampung itu sejatinya adalah upaya pemerintah setempat “merumahkan” suku Tobelo yang masih tinggal di hutan dan hidup dengan berburu. Mereka biasa disebut suku Tobelo Dalam atau Tobelo Hutan. Merekalah yang kami tuju pada hari ketiga keberadaan kami di pulau terbesar Provinsi Kepulauan Maluku Utara, pertengahan April lalu.

Iful tampak sudah mematikan musik lagu lokal yang di-remix dengan dentuman nada-nada disko kesukaannya. Mobil ia mundurkan. Sebentar ia mencari-cari lumpur yang masih bisa dipijak ban off road mobilnya sebelum mencoba maju kembali. Roda-roda memang sempat terpeleset, tapi di sinilah Iful unjuk gigi. Ia tetap menginjak pedal gas meski ban belakang sudah ngesot ke kiri, hampir ke parit.

Lepas dari kubangan, Iful injak gas lagi membuat embusan angin dari kebun di kanan-kiri jalan langsung mengeringkan keringat cemas kami untuk turun dan mendorong mobil. Saat itu kami merasa beruntung; hari tidak hujan.

Kampung Kumu mulai dibangun selepas Lebaran tahun lalu dan berhenti begitu saja sejak Februari. Hanya ada 40 unit rumah berdinding kayu beratap seng di sini. Sebanyak 20 unit di setiap sisi jalannya yang belum sempat dibalut aspal.

Bayangkan sebuah pengembang perumahan di pinggiran Jakarta yang tidak bertanggung jawab, seperti itulah rupa kampung ini: sebagian rumah bukan dihuni manusia, tapi ilalang karena memang tidak beratap.

"Hanya 17 rumah yang ditempati," kata Sahril. Pria 30-an tahun ini bukanlah orang yang kami tuju. Sahril adalah penduduk kampung sebelah yang menempati satu rumah peruntukan itu untuk berjualan. Dia berpikir bisa menciptakan pelanggan baru di kampung baru itu.

"Tapi saya tidak lama lagi akan pulang," ujar Sahril. Rupanya masyarakat Tobelo Dalam belum bisa meninggalkan kebiasaannya untuk berburu ketimbang bertani dan menetap. "Orang di sini satu-dua hari tinggal di rumah, lalu pergi ke hutan lagi," katanya. Walhasil, warungnya sepi terus.

Itu sedikit kisah tentang Sahril. Orang yang ingin kami temui hari itu sebenarnya adalah Kahoho, kepala suku setempat. Sayang, tanya punya tanya, Kahoho ternyata sedang berburu sejak dua hari sebelumnya. Pesan bukannya belum disampaikan tentang keinginan kami untuk bertemu, melainkan rupanya Pak Tua sudah tak tertarik lagi dengan kedatangan “orang luar”. Berkantong-kantong barang upeti macam tembakau dan permen yang sudah kami siapkan pun tak lagi mampu mencuri hatinya.

Untunglah, Mezak, sang putra mahkota, ada di tempat. Cukuplah.
Lokasi kampung terletak hanya sepelemparan batu dari sebuah sungai besar bernama Tayawi. Di balik sungai itulah, di punggung pegunungan yang masih hijau dan rapat oleh tumbuhan, suku Tobelo bertebaran dalam pondok-pondok kayu beratap dedaunan moka-moka (sejenis palem).

"Mereka hidup sampai 10 kilometer ke dalam hutan," kata Atiti Kotango, pemandu kami yang sehari-harinya bekerja sebagai polisi hutan di Taman Nasional. Lewat kemampuannya berbahasa lokal, kami bisa berkomunikasi dengan Mezak dan yang lain.

Pagi itu, Sungai Tayawi cukup dangkal sehingga kami bisa menyeberanginya. Tidak mudah-mudah amat, memang, karena arus deras dan licin bebatuannya mampu melengahkan pijakan kaki. Salah injak, bisa terperosok dan basah hingga sepangkal paha.

Sementara kami harus ekstra hati-hati, warga setempat menyeberang layaknya di jalan aspal yang mulus. Yang ibu-ibu malah sambil menggendong anaknya di punggung. Waduh.

Sungai terseberangi, kami masuk mengikuti jalan setapak ke dalam hutan. Di sini medan berbatu diganti undakan-undakan yang harus dipanjat. Beberapa memang ada bekas injakan yang bisa membantu, tapi kali lain kami harus mencari-cari sulur dari pepohonan. Jujur saja, kami sempat berpikir aktivitas ini tak akan lagi dijumpai sejak kami mendatangi habitat burung bidadari di Sidangoli.

Untunglah, dalam tiga-empat kali panjatan kami sudah bisa mendapati “contoh” pondok suku Tobelo Dalam. Mereka menyebutnya pondokan yang lebih mirip pos jaga keamanan lingkungan, atau saung di tengah sawah itu, tempat tinggal. Bentuknya panggung dengan pagar di tiga sisinya. Tidak ada dinding, apalagi pintu dan jendela.

Selayang mata memandang hanya pepohonan dan hutan. Cuma dua pondok lain yang tertangkap mata. Itu pun satu di antaranya terpisahkan oleh lembah.

Kehadiran kami telah menarik perhatian penghuninya. Mereka semua berkumpul di pondok yang kami datangi. Samas Leonard Muntine, misionaris Gereja Diaspora, yang kebetulan juga ada di sana, mengungkapkan jumlah mereka kalau berkumpul semua ada 46 jiwa, terdiri dari sembilan keluarga.

Berkumpul bersama mereka serasa terlontar beberapa abad ke belakang. Sambil memamerkan tombak, Mezak dan beberapa kepala keluarga mencontohkan kebiasaan hidup mereka, seperti memasang jerat untuk celeng, menjelaskan teknik pengobatan dengan mengandalkan akar-akaran dan dedaunan, serta bagaimana kalau sekali-kali ingin makan ikan.

Kebanyakan dari mereka yang kami temui hari itu memang sudah mengenakan pakaian, tapi anak-anak masih ada yang telanjang. "Mereka pakai baju kalau ada bantuan," kata Sahril.

Meski telanjang, rambut dan kulit kotor, anak-anak itu juga bisa menemukan kebahagiaan. Mata yang jernih dan riang ketika mengulum permen begitu mempesona. Keceriaan mereka ketika memanjati sulur pohon dan bergelayut di sana, atau ketika ada yang menangis karena kakinya berdarah terantuk batu di sungai, tak membuat mereka beda dengan anak-anak lain di putaran waktu yang berbeda.

Mungkin itu juga yang membuat Kahoho dan sebagian yang lain memilih tidak perlu turun menyeberang sungai dan menempati rumah-rumah beratap seng di tepi jalan. O, iya, berbicara soal seng, Suku Tobelo yang terbiasa dengan suasana hutan juga tak biasa dengan bunyi hantaman hujan di atap seng.

Hari sudah jauh melompati jam makan siang. Langit pun perlahan tapi pasti semakin gelap. Hujan sepertinya sudah turun di puncak gunung. Setelah mencicipi ramuan obat vitalitas alami yang dibuat dari rebusan tali (sulur) tagutil dan kayu kuning oleh Mezak dan istrinya, kami segera pamit dan bergabung dengan Iful di dalam mobil.

Sayup-sayup saya masih mendengar seorang ibu yang berkata, "Seharusnya waktu datang tadi cuci muka dulu di Sungai Tayawi, jadi tidak hujan."

Sumber :www.korantempo.com