Oleh Jatmiko
Pendahuluan
Sangiran terletak di sebelah utara kota Solo dan berjarak sekitar 15 Km. Situs Sangiran yang mempunyai luas sekitar 59, 2 km² (menurut Surat Keputusan Mendikbud 070/1997) ini secara administratif termasuk ke dalam dua wilayah pemerintahan, yaitu Kabupaten Sragen (Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan Kecamatan Plupuh) serta Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo), Provinsi Jawa Tengah.
Secara geo-stratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di bagian puncaknya sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik). Kondisi deformasi geologis seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro, dan Pohjajar (anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai di bagian utara, tengah dan selatan. Akibat dari kikisan aliran sungai tersebut maka menyebabkan lapisan-lapisan tanah tersingkap secara alamiah dan memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba dan hewan vertebrata).
Riwayat dan Latar Belakang
Sejarah atau riwayat penelitian di Situs Sangiran bermula dari laporan GHR. Von Koenigswald yang menemukan sejumlah alat serpih dari bahan batuan jaspis dan kalsedon di sekitar bukit Ngebung pada tahun 1934. Temuan alat-alat serpih yang kemudian terkenal dengan istilah “Sangiran Flakes-industry” tersebut diperkirakan berasal dari lapisan (seri) Kabuh Atas yang berusia Plestosen Tengah. Namun hasil pertanggalan tersebut banyak dikritik oleh para ahli karena temuan tersebut dihubungkan dengan konteks Fauna Trinil yang tidak autochton atau bukan dari hasil pengendapan primer.
Penelitian di situs ini menjadi semakin menarik dan berkelanjutan ketika pada tahun 1936 ditemukan fragmen fosil rahang bawah (mandibula) manusia purba Homo erectus yang kemudian disusul oleh temuan fosil-fosil lainnya.
Setelah masa pasca Koenigswald atau pada sekitar tahun 1960-an, penelitian terhadap fosil-fosil hominid dan paleotologis di situs ini kemudian diambil-alih oleh para peneliti dari Indonesia, antara lain T. Jacob dan S. Sartono, serta terus berkelanjutan sampai sekarang. Penelitian yang sangat spektakuler terjadi ketika Puslit Arkenas melakukan kerjasama penelitian dengan Museum National d‘Histoire Naturelle (MNHN), Perancis, melalui ekskavasi besar-besaran selama 5 tahap (tahun 1989 – 1993) di bukit Ngebung yang menghasilkan sejumlah temuan secara insitu dan pertanggalan absolut yang sangat menarik.
Penelitian Situs Sangiran semakin berkembang pesat dalam dekade lima tahun belakangan ini setelah Balar Yogya ikut berpartisipasi langsung dan melakukan program-program penelitian secara intensif dan terpadu.
Geo-Stratigrafi dan Pertanggalan Manusia Purba Homo Erectus Sangiran adalah sebuah situs paleontologis yang terlengkap di Indonesia dan cukup terkemuka di dunia. Keberadaan situs ini secara resmi telah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu situs warisan budaya dunia sejak bulan Desember 1996.
Dari sekitar 100 individu temuan fragmen fosil manusia purba yang didapatkan di Indonesia, hampir 65%-nya berasal dari Situs Sangiran dan mencakup sekitar 50 % dari populasi taxon Homo erectus di dunia. Pada umumnya fosil-fosil tersebut ditemukan secara kebetulan (temuan penduduk) dan dalam bentuk fragmenter; yaitu antara lain berupa tulang-tulang tengkorak, mandibula dan femur. Fosil-fosil tersebut ditemukan pada beberapa tempat atau lokasi utama di Pulau Jawa; yaitu antara lain di Pati Ayam, Sangiran, Ngandong dan Sambungmacan (Jawa Tengah) serta di daerah Trinil dan Perning (Jawa Timur).
Berdasarkan bentuk fisik dan lingkungan endapan asalnya, secara umum temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia dikategorikan menjadi 3 kelompok utama, yaitu kelompok Pithecanthropus Arkaik yang berasal dari Formasi Pucangan (Plestosen Bawah) yang ditaksir mempunyai usia antara 1,7-0,7 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah Meganthropus Palaeojavanicus dan Pithecanthropus Mojokertensis.
Kelompok kedua adalah jenis Pithecanthropus Klasik yang berasal dari Formasi Kabuh (Plestosen Tengah) yang mempunyai usia sekitar 800.000-400.000 tahun. Jenis kelompok ini (Homo Erectus) yang paling banyak ditemukan di Sangiran. Kelompok yang ketiga adalah Pithecanthropus Progresif yang berasal dari Formasi Notopuro (Plestosen Atas) dan mempunyai umur antara 400.000-100.000 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah temuan Homo Soloensis dari Ngandong dan Trinil.
Kepustakaan
Bartstra, GJ dan Basoeki, 1989, “Recent work on the Plistocene and the Palaeolithic of Java”, dalam Carrent Anthropology, Vol 30. No. 2.
Bemmelan, RW van, 1949, The Geology of Indonesia an Adjacent Archipelagoes, Den Haag: Martinus Nijhoff.
Hekeren, HR. Van, 1972, The Stone Age of Indonesia. Verhand van het Koninklijk Inst Voor Taal -, Land- end Volken. The Hague.
Jatmiko, 2001, Penelitian Artefak Manusia Purba di Situs Dayu (Sangiran), Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jakarta : LPA Bidang Prasejarah Puslit Arkenas.
Koeningswald, GHR van, 1936, Early Palaeolithic Stone Implements from Java, Singapore: Brill Rafles Museum.
Semah, Francois (et.al), 1990, “Mereka Menemukan Pulau Jawa”, dalam Buku Perjalanan 100 Th Pithecanthropus, Jakarta: Puslit Arkenas.
Widianto, Hary,1996, “Laporan Penelitian Sangiran: Penelitian tentang Manusia Purba, Budaya dan Lingkungan”, dalam BPA, No 46, Jakarta: Puslit Arkenas.
_______, 1997, “Situs Sangiran: Interpretasi Baru Berdasarkan Hasil Penelitian Terakhir”, dalam PIA VII, Cipanas, Jakarta: Puslit Arkenas.
_______, 2000, “Penelitian Situs Sangiran: Mencari Jejak Budaya Homo Erectus Arhaik dari Kala Plessen Bawah Tahap II”, dalam LPA, Yogyakarta: Balar Yogyakarta.
Widianto & Simanjuntak, 1995, “Laporan Penelitian Manusia Purba, Budaya dan Lingkungan Sangiran”, dalam LPA, Jakarta: Puslit Arkeologi.
__________
Jatmiko adalah Peneliti/Arkeolog Prasejarah pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PUSLIT ARKENAS).
Sumber : http://indoarchaeology.com
Foto : http://www.sragentrading.com
Pendahuluan
Sangiran terletak di sebelah utara kota Solo dan berjarak sekitar 15 Km. Situs Sangiran yang mempunyai luas sekitar 59, 2 km² (menurut Surat Keputusan Mendikbud 070/1997) ini secara administratif termasuk ke dalam dua wilayah pemerintahan, yaitu Kabupaten Sragen (Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan Kecamatan Plupuh) serta Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo), Provinsi Jawa Tengah.
Secara geo-stratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di bagian puncaknya sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik). Kondisi deformasi geologis seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro, dan Pohjajar (anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis situs ini mulai di bagian utara, tengah dan selatan. Akibat dari kikisan aliran sungai tersebut maka menyebabkan lapisan-lapisan tanah tersingkap secara alamiah dan memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba dan hewan vertebrata).
Riwayat dan Latar Belakang
Sejarah atau riwayat penelitian di Situs Sangiran bermula dari laporan GHR. Von Koenigswald yang menemukan sejumlah alat serpih dari bahan batuan jaspis dan kalsedon di sekitar bukit Ngebung pada tahun 1934. Temuan alat-alat serpih yang kemudian terkenal dengan istilah “Sangiran Flakes-industry” tersebut diperkirakan berasal dari lapisan (seri) Kabuh Atas yang berusia Plestosen Tengah. Namun hasil pertanggalan tersebut banyak dikritik oleh para ahli karena temuan tersebut dihubungkan dengan konteks Fauna Trinil yang tidak autochton atau bukan dari hasil pengendapan primer.
Penelitian di situs ini menjadi semakin menarik dan berkelanjutan ketika pada tahun 1936 ditemukan fragmen fosil rahang bawah (mandibula) manusia purba Homo erectus yang kemudian disusul oleh temuan fosil-fosil lainnya.
Setelah masa pasca Koenigswald atau pada sekitar tahun 1960-an, penelitian terhadap fosil-fosil hominid dan paleotologis di situs ini kemudian diambil-alih oleh para peneliti dari Indonesia, antara lain T. Jacob dan S. Sartono, serta terus berkelanjutan sampai sekarang. Penelitian yang sangat spektakuler terjadi ketika Puslit Arkenas melakukan kerjasama penelitian dengan Museum National d‘Histoire Naturelle (MNHN), Perancis, melalui ekskavasi besar-besaran selama 5 tahap (tahun 1989 – 1993) di bukit Ngebung yang menghasilkan sejumlah temuan secara insitu dan pertanggalan absolut yang sangat menarik.
Penelitian Situs Sangiran semakin berkembang pesat dalam dekade lima tahun belakangan ini setelah Balar Yogya ikut berpartisipasi langsung dan melakukan program-program penelitian secara intensif dan terpadu.
Geo-Stratigrafi dan Pertanggalan Manusia Purba Homo Erectus Sangiran adalah sebuah situs paleontologis yang terlengkap di Indonesia dan cukup terkemuka di dunia. Keberadaan situs ini secara resmi telah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu situs warisan budaya dunia sejak bulan Desember 1996.
Dari sekitar 100 individu temuan fragmen fosil manusia purba yang didapatkan di Indonesia, hampir 65%-nya berasal dari Situs Sangiran dan mencakup sekitar 50 % dari populasi taxon Homo erectus di dunia. Pada umumnya fosil-fosil tersebut ditemukan secara kebetulan (temuan penduduk) dan dalam bentuk fragmenter; yaitu antara lain berupa tulang-tulang tengkorak, mandibula dan femur. Fosil-fosil tersebut ditemukan pada beberapa tempat atau lokasi utama di Pulau Jawa; yaitu antara lain di Pati Ayam, Sangiran, Ngandong dan Sambungmacan (Jawa Tengah) serta di daerah Trinil dan Perning (Jawa Timur).
Berdasarkan bentuk fisik dan lingkungan endapan asalnya, secara umum temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia dikategorikan menjadi 3 kelompok utama, yaitu kelompok Pithecanthropus Arkaik yang berasal dari Formasi Pucangan (Plestosen Bawah) yang ditaksir mempunyai usia antara 1,7-0,7 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah Meganthropus Palaeojavanicus dan Pithecanthropus Mojokertensis.
Kelompok kedua adalah jenis Pithecanthropus Klasik yang berasal dari Formasi Kabuh (Plestosen Tengah) yang mempunyai usia sekitar 800.000-400.000 tahun. Jenis kelompok ini (Homo Erectus) yang paling banyak ditemukan di Sangiran. Kelompok yang ketiga adalah Pithecanthropus Progresif yang berasal dari Formasi Notopuro (Plestosen Atas) dan mempunyai umur antara 400.000-100.000 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah temuan Homo Soloensis dari Ngandong dan Trinil.
Kepustakaan
Bartstra, GJ dan Basoeki, 1989, “Recent work on the Plistocene and the Palaeolithic of Java”, dalam Carrent Anthropology, Vol 30. No. 2.
Bemmelan, RW van, 1949, The Geology of Indonesia an Adjacent Archipelagoes, Den Haag: Martinus Nijhoff.
Hekeren, HR. Van, 1972, The Stone Age of Indonesia. Verhand van het Koninklijk Inst Voor Taal -, Land- end Volken. The Hague.
Jatmiko, 2001, Penelitian Artefak Manusia Purba di Situs Dayu (Sangiran), Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jakarta : LPA Bidang Prasejarah Puslit Arkenas.
Koeningswald, GHR van, 1936, Early Palaeolithic Stone Implements from Java, Singapore: Brill Rafles Museum.
Semah, Francois (et.al), 1990, “Mereka Menemukan Pulau Jawa”, dalam Buku Perjalanan 100 Th Pithecanthropus, Jakarta: Puslit Arkenas.
Widianto, Hary,1996, “Laporan Penelitian Sangiran: Penelitian tentang Manusia Purba, Budaya dan Lingkungan”, dalam BPA, No 46, Jakarta: Puslit Arkenas.
_______, 1997, “Situs Sangiran: Interpretasi Baru Berdasarkan Hasil Penelitian Terakhir”, dalam PIA VII, Cipanas, Jakarta: Puslit Arkenas.
_______, 2000, “Penelitian Situs Sangiran: Mencari Jejak Budaya Homo Erectus Arhaik dari Kala Plessen Bawah Tahap II”, dalam LPA, Yogyakarta: Balar Yogyakarta.
Widianto & Simanjuntak, 1995, “Laporan Penelitian Manusia Purba, Budaya dan Lingkungan Sangiran”, dalam LPA, Jakarta: Puslit Arkeologi.
__________
Jatmiko adalah Peneliti/Arkeolog Prasejarah pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PUSLIT ARKENAS).
Sumber : http://indoarchaeology.com
Foto : http://www.sragentrading.com