Menikmati Wisata Budaya di Kuching

Oleh: Sujud Swastoko

Benarkah hanya dalam waktu sehari kita bisa menikmati nuansa budaya dari tujuh suku yang ada di Sarawak, Malaysia Timur? Walaupun negara bagian Malaysia itu memiliki luas 124.000 kilometer persegi dengan populasi 2,3 juta penduduk, ternyata dalam waktu sehari kita bisa menikmati kekhasan budaya etniknya di "Kampung Budaya Sarawak". Kita bisa menikmati musik suku Bidayuh saat masuk ke rumah adat, menikmati rumah panjang dari suku Iban (Dayak), bahkan ikut berburu "babi" dengan cara menyumpit seperti yang dilakukan suku Penan.

Kota Kuching - Kota Kuching di Sarawak memiliki keunikan dengan kekhasan budaya etnik yang dipertahankan. Kota ini mempunyai Sungai Kuching yang menambah keindahan kota.

Senin sore, pertengahan Mei lalu, Malaysia Airlines yang membawa 15 wartawan dari Jakarta mendarat di Kuching International Airport. Wartawan yang diundang Malaysia Tourism Promotion Board (MTPB) dijemput Margareth, pemandu wisata. Rombongan langsung di bawa ke "Saddad" food garden & restaurant untuk menikmati santap malam, sebelum beristirahat di Crowne Plaza Riverside Kuching yang letaknya berdekatan dengan Sungai Kuching. Pada malam hari selepas pukul sepuluh malam, sepanjang pinggir sungai itu berubah menjadi lokasi yang menyenangkan, seperti café tenda yang ada di Jakarta. Pengunjungnya didominasi para wisatawan, baik asing maupun domestik.

Kuching, kota yang berada di Sarawak bagian barat itu, menampilkan diri sebagai kota kecil yang benar-benar kental dengan nuansa etniknya. "Pemerintah Malaysia sangat menghargai kekhasan budaya dan juga kepercayaan penduduknya," kata Margareth. Tidak mengherankan bila sepanjang jalan di kota Kuching, toko-toko, restoran, nama perusahaan dan gedung-gedung, selain ditulis dengan Bahasa Inggris dan Melayu, juga ditulis dalam aksara Cina.

Demikian pula, mudah dijumpai tempat ibadah seperti masjid, gereja, atau kelenteng, walaupun sebenarnya Malaysia adalah negara Islam. Demikian pula terdapat restoran yang menjual makanan dan minuman bagi turis. Deputi Menteri Pariwisata Malaysia, Dato‘ Ahmad Zahid Hamidi, mengatakan, "Memang ini negara Islam, tetapi kami juga harus menghargai tamu-tamu (wisatawan mancanegara) termasuk dalam hal makanan. Jadi jangan heran banyak turis dari Barat yang bisa bertahan lama di sini," katanya.

Penghargaan terhadap budaya itu benar-benar diwujudkan, bahkan dijadikan potensi wisata yang menarik bagi wisatawan. Seperti bangunan masjid tertua yang dibangun tahun 1852 masih dipertahankan, kelenteng Tua Pek Kong yang dibangun sekitar 1843 sampai sekarang masih digunakan untuk sembahyang. Demikian pula bangunan-bangunan peninggalan Inggris masih dirawat dan dilestarikan dengan baik.

Untuk menjaga kekhasan etnis, Kuching memiliki dua walikota, yaitu Walikota Kuching Utara yang didominasi orang Melayu yang mayoritas muslim, dan Walikota Kuching Selatan yang didominasi keturunan Cina yang mayoritas Kristen. Kedua kota itu setiap tahun berlomba dalam penataan lingkungan dan kebersihan. Kedua-duanya menggunakan kucing sebagai simbol. Dan, memang kucing menjadi hewan istimewa, bahkan pemerintah kota Kuching memiliki museum kucing yang di dalamnya bisa kita dapatkan replika berbagai jenis kucing dan informasi maupun benda-benda yang terkait dengan kucing.

Kampung Budaya
Satu lokasi yang menarik untuk dikunjungi di Kuching adalah "Sarawak Cultural Village" atau Kampung Budaya Sarawak. Dengan latar belakang pegunungan yang hijau, di perkampungan seluas 17,5 acre atau sekitar tujuh hektare ini terdapat tujuh rumah tradisional, yaitu dari Suku Bidayuh, Iban, Penan, Orang Ulu, Melanau, Melayu, dan Cina.

Konsep perkampungan ini sebenarnya mirip dengan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang menampilkan rumah-rumah adat dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia (27 provinsi saat dibangun). Namun, terdapat perbedaan dalam hal kemasannya. Perkampungan Budaya Sarawak dibangun dengan memperhatikan faktor lingkungan (alam) yang berusaha sedekat mungkin dengan kondisi aslinya. Rumah-rumah adat dibuat di pinggir danau, dengan pohon-pohon yang membuat kita benar-benar merasa berada di sebuah pedalaman.

Untuk masuk ke lokasi, setiap pengunjung dewasa dikenai biaya 45 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 115.000, sedangkan anak-anak dikenai tarif setengahnya. Setelah membayar kita akan mendapatkan sebuah stiker bulat warna oranye yang harus ditempelkan di dada kiri. Selain itu, pengunjung juga mendapatkan sebuah paspor yang di dalamnya berisi peta, informasi tentang kampung-kampung yang akan dikunjungi, dan halaman untuk stempel dari masing-masing kampung (rumah adat).

Setelah meniti jembatan bambu sepanjang 50 meter, sampailah kita di rumah adat Bidayuh. Tabuhan gendang dan tarian tiga perempuan suku Bidayuh dengan pakaian adat warna merah menyala, menyambut para tamu saat memasuki rumah adat. Sajian musik dan tari menjadi kekhasan bagi suku ini sebagai ucapan selamat datang. Kita bisa foto bersama para penari ini sebagai kenangan.

Orang-orang Bidayuh atau yang biasa disebut orang Dayak Darat, mempunyai populasi 8,4 persen dari jumlah penduduk di Sarawak. Mereka tinggal di rumah adat (rumah panjang) yang berada di lereng pegunungan, dekat dengan sungai di Sarawak Barat. Rumah mereka dibuat dari papan dan bambu dengan atap rumbia.

Di dalam rumah panjang kita bisa menikmati aktivitas keseharian penghuninya. Para lelaki bekerja atau berburu, dan kadang mereka harus berperang, sedangkan kaum perempuan tinggal di rumah dengan membuat gula-gula, menggiling padi, dan membuat kerajinan tangan dari bambu. Rumah panjang ini dihuni oleh beberapa keluarga dengan kepala suku mendapat ruang tersendiri.

Keluar dari rumah Bidayuh, menapaki jalan kayu selebar satu meter, kita menjumpai rumah suku Iban yang dikenal juga dengan nama Dayak Laut. Memasuki rumah panjang yang dibangun sekitar 20 tahun lalu, kita menyaksikan ruangan yang besar dengan beberapa bilik. Suku ini sangat menghargai kepahlawanan. Setiap prajurit yang mampu membunuh musuh, dia akan mendapat penghargaan sebagai pahlawan dan disambut dengan tari-tarian adat.

Di bilik kepala suku, terdapat tengkorak yang digantung (sekarang sudah tidak ada lagi) dengan rumbai-rumbai yang menunjukkan sebagai tempat kepala suku. Perempuan suku ini pandai memasak makanan dan membuat tenunan kain. Aktivitas mereka dapat disaksikan saat kita mengunjungi rumah panjang, sambil duduk santai di lantai kayu yang telah diberi anyaman rotan. Suasananya nyaman karena letak rumah panjang yang berada di pinggir danau, dan suhu udara tidak terlalu panas di siang itu.

Berjalan beberapa puluh meter dari kediaman suku Iban, tampak orang Penan yang hanya menggunakan penutup aurat (pakaian keseharian mereka), sedang menguliti kayu berdiameter sekitar 10 centimeter dan panjang dua meter, lalu menjemurnya. Suku Penan merupakan kelompok nomaden, yang hidupnya tidak menetap di satu tempat, sehingga rumah mereka juga kecil-kecil.

Orang Penan ahli dalam menyumpit untuk berburu maupun berperang. Anak sumpit yang dibuat dari kayu atau bambu itu dibubuhi racun sehingga benar-benar mematikan. Saat mengunjungi rumah adat (seperti gubuk), kita bisa mencoba sumpit mereka dan menggunakannya untuk membidik "babi" (gambar babi dari gabus yang diletakkan sekitar 25 meter dari gubuk). Suku ini biasanya berdekatan dengan sungai dan rumah panjang.

Kita juga bisa menyaksikan adat dan budaya suku lainnya, yaitu Orang Ulu yang mempunyai populasi 5,5 persen dari penduduk Sarawak. Rumah panjang dibangun di dekat sungai, dan mereka pandai bercocok tanam. Kemudian suku Melanau yang jumlahnya 5,8 persen dari total populasi penduduk Sarawak, mempunyai keahlian dalam membuat makanan dari sagu. Kita bisa menyaksikan bagaimana mereka membuat makanan tersebut, dan bisa mencicipi makanan yang dibuatnya. Rumah panjang suku Melanau letaknya sangat tinggi dibanding rumah suku lain. Kita harus menaiki tangga sekitar enam meter untuk masuk rumah. Namun untuk pengolahan sagu, mereka membuat tempat sendiri.

Hal yang menarik adalah dijumpainya rumah adat Cina. Mereka keturunan dari suku Hakka atau Foochow, yang melakukan migrasi ke Sarawak awal tahun 1900-an. Mereka berkebun, dalam bertani menggunakan mesin, dan tidur di atas dipan, berbeda dengan suku lain yang tidur di atas lantai.
Setelah puas menikmati rumah adat dan menyaksikan kebiasaan penghuninya, kita bisa menyaksikan pertunjukan budaya (tarian) di theatre yang dimulai pukul 11.30 waktu setempat dan sore pada pukul 16.00. Berbagai tarian dari suku-suku yang ada di Sarawak ditampilkan di ruangan ber-AC dengan lighting system yang bagus.

Paket Wisata
Menikmati pesona wisata di Kuching memang tidak cukup sehar. Sarawak Tourism Board menyediakan berbagai paket wisata, seperti untuk tiga hari dua malam, kita bisa menikmati keindahan dan budaya kota Kuching saat tiba pada hari pertama. Hari kedua, setelah sarapan kita bisa mengunjungi Semenggoh Wildlife Centre (Orang utan), kemudian siang hingga sore ke Kampung Budaya Sarawak. Hari ketiga, bisa menikmati sisi-sisi lain kota Kuching.

Bahkan, bila waktunya cukup panjang, sekitar tiga hari dua malam, kita bisa melakukan wisata yang mengesankan dengan cara tinggal di rumah panjang suku Iban. Kita akan disambut tarian dan bisa menginap di perkampungan suku tersebut.

Fasilitas di Kuching bagi wisatawan sebenarnya sangat memadai. Terdapat lebih dari lima hotel bintang empat dan lima, belasan hotel bintang dua dan tiga. Demikian pula untuk tempat makan, cukup banyak restoran yang menyajikan makanan, baik untuk Melayu maupun makanan ala Barat.

Sumber :www.suarapembaruan.com