TAK banyak yang bisa saya bayangkan saat kaki menjejakkan Bandara Juanda, Surabaya, Jawa Timur, selain sebuah ibu kota provinsi yang padat aktivitas penduduk urban. Nyatanya bayangan ruwetnya Jakarta tak pernah terbukti, bahkan di kota besar seperti Surabaya.
"Mungkin karena jalan-jalannya enggak pas jam sibuk di tengah kota, jadi enggak ketemu macet," ujar Diane Laurentia, asisten MICE Manager Hotel Mercure Grand Miramar, saat saya dan beberapa rekan wartawan mengikuti inspeksi di sana dua pekan lalu.
Pembangunan di kota itu tampak begitu pesat. Proyek konstruksi di mana-mana. Tapi memang bukan jalanan macet atau konstruksi mal ala Jakarta yang ingin saya cari, melainkan keindahan menawan yang membuat napas tertahan dan pandangan mata tak beranjak. Seperti deretan gedung kuno di kawasan kota tua.
Peninggalan Belanda
Satu hal yang cukup membantu adalah lokasi tempat kami menginap di Hotel Ibis Rajawali yang terletak di kota tua Surabaya yang sarat sejarah.
Julangan bangunan-bangunan peninggalan masa kolonial Belanda mengelilingi pandangan di sana. Kemegahan gedung-gedung masa lalu dengan pintu-pintu tinggi memikat hati meski tak semuanya masih berfungsi.
Banyak bangunan di kawasan utara Surabaya itu dilengkapi papan informasi di depannya, yang memberitahukan bahwa bangunan termasuk dalam cagar budaya pelestarian arsitektur sesuai peraturan daerah.
Pejalan kaki di kawasan ini pun mulai dimanja dengan jalur trotoar selebar kira-kira 4 meter di tepi jalan utama, termasuk di depan hotel, meski masih putus-sambung karena pembangunannya masih berlangsung.
Sekelompok orang berwajah Melayu keluar dari hotel saat saya juga hendak keluar, menikmati sore di Jembatan Merah yang jaraknya tak sampai 500 meter dari pintu masuk hotel. "Tamu dari Malaysia. Banyak yang suka ke sini untuk belanja di Pusat Grosir Jembatan Merah," cetus Saiful Malik, front office manager hotel, menjawab rasa ingin tahu saya tentang mereka.
Pusat grosir itu terletak hanya di seberang hotel, di lokasi tewasnya pemimpin pasukan Inggris Jenderal Mallaby yang dikirim ke Surabaya setelah Perang Dunia II untuk melucuti tentara Jepang.
Kampung Arab
Selain gedung-gedung lawas di kawasan kota tua, beberapa rumah tinggal penduduk juga tampil cantik dengan gaya 'jadul'-nya. Beberapa rumah di jalan-jalan kecil di kawasan Kampung Arab masih berfasad asli dengan lebar muka 5-6 meter.
Tatanan bukaannya simetris, sebuah pintu di tengah bidang dan dua jendela di setiap sisinya. Keaslian bangunan tampak dari lubang udara di atas pintu dan konsol yang dibuat dari besi bermotif lengkung, atau keriting, beberapa rekan arsitek menyebutnya. Beberapa fasad tampak asli, tapi mayoritas telah dirombak habis-habisan. Sayang.
Jalan kecil di Kampung Arab ini merupakan jalur masuk ke Masjid Sunan Ampel, salah satu tujuan wisata religi di Surabaya. Dari Jalan Nyamplungan yang merupakan jalan raya, perjalanan berlanjut dengan berjalan kaki menelusuri gang kecil, Jalan Ampel Kembang. Lebarnya tak lebih dari 3 meter dan membelah permukiman padat penduduk.
Jalan ini berujung pada Jalan Ampel Suci, sebuah lorong beratap seperti pasar. Di dua sisinya terhampar para pedagang yang menawarkan beragam barang. Dari keperluan ibadah seperti baju-baju gamis, tasbih, kopiah, sampai aksesori, parfum, bahkan air zamzam dari Arab.
Ziarah
Ujung lorong Ampel Suci adalah pelataran Masjid Sunan Ampel. Di sana juga terdapat makam Sunan Ampel, salah satu Wali Songo, yang biasa dikunjungi warga peziarah. Makam itu, bersama makam istri dan beberapa pengikutnya, dibatasi gerbang masuk serupa gapura.
Penjaga di mulut gerbang tak segan mengingatkan pengunjung perempuan agar mengenakan kerudung saat memasuki permakaman. Mereka juga menyiapkan kain kerudung untuk dipinjamkan kepada pengunjung, tanpa biaya.
Pelataran makam yang ditutup konblok dibagi dua dengan batas pagar besi.
Satu untuk peziarah laki-laki, satu lagi untuk perempuan. Suasananya sejuk dan hening meski dengungan doa dari puluhan peziarah yang duduk bersila di sekeliling makam membahana.
"Setiap hari selalu ada yang ke sini. Ya saya sih berdoa saja, enggak ada yang khusus," tutur seorang ibu yang duduk di sisi utara makam. Dia masih tampak khusyuk berdoa saat saya menyentuh lengannya untuk berpamitan.
Sembahyang
Ziarah lain di Surabaya bisa berlanjut ke tepi Pantai Kenjeran. Sayang, kawasan wisata di sana yang dinamai Ken Park--singkatan dari Kenjeran Park--begitu kering. Rumput liar, cat bangunan mengelupas, pepohonan mati. Beberapa sudut dijadikan tempat berduaan.
Tetapi di kawasan inilah berdiri Sanggar Agung. Sebuah bangunan ibadah bergaya Tionghoa, berhias tulisan China dengan nyala lilin-lilin raksasa setinggi manusia. Umat Buddha dan Konghucu beribadah di sana. Tak jarang wisatawan mengunjunginya untuk berekreasi.
Di balik dinding altar depan terhampar panorama lautan Selat Madura berbingkai patung Dewi Kwan Im, yang diyakini sebagai dewi cinta kasih. Sang dewi berdiri di atas gapura dengan total tinggi sekitar 20 meter, diapit dua anak dan dua pasang dewa. Mereka dijunjung sepasang naga.
Komposisi panorama nan agung yang disempurnakan debur ombak di laut lepas. Sesaat napas saya pun tertahan dan pandangan mata enggan beranjak. Sampai seorang perempuan muda berkacamata menyentuh bahu saya, berujar, "Permisi Mbak, saya mau sembahyang." Dia memegang beberapa batang hio yang sudah dinyalakan dan karena saya menghalanginya persis di depan hio lo, tempat hio ditancapkan.(Dok.mi/OL-5)
Sumber : http://www.mediaindonesia.com
"Mungkin karena jalan-jalannya enggak pas jam sibuk di tengah kota, jadi enggak ketemu macet," ujar Diane Laurentia, asisten MICE Manager Hotel Mercure Grand Miramar, saat saya dan beberapa rekan wartawan mengikuti inspeksi di sana dua pekan lalu.
Pembangunan di kota itu tampak begitu pesat. Proyek konstruksi di mana-mana. Tapi memang bukan jalanan macet atau konstruksi mal ala Jakarta yang ingin saya cari, melainkan keindahan menawan yang membuat napas tertahan dan pandangan mata tak beranjak. Seperti deretan gedung kuno di kawasan kota tua.
Peninggalan Belanda
Satu hal yang cukup membantu adalah lokasi tempat kami menginap di Hotel Ibis Rajawali yang terletak di kota tua Surabaya yang sarat sejarah.
Julangan bangunan-bangunan peninggalan masa kolonial Belanda mengelilingi pandangan di sana. Kemegahan gedung-gedung masa lalu dengan pintu-pintu tinggi memikat hati meski tak semuanya masih berfungsi.
Banyak bangunan di kawasan utara Surabaya itu dilengkapi papan informasi di depannya, yang memberitahukan bahwa bangunan termasuk dalam cagar budaya pelestarian arsitektur sesuai peraturan daerah.
Pejalan kaki di kawasan ini pun mulai dimanja dengan jalur trotoar selebar kira-kira 4 meter di tepi jalan utama, termasuk di depan hotel, meski masih putus-sambung karena pembangunannya masih berlangsung.
Sekelompok orang berwajah Melayu keluar dari hotel saat saya juga hendak keluar, menikmati sore di Jembatan Merah yang jaraknya tak sampai 500 meter dari pintu masuk hotel. "Tamu dari Malaysia. Banyak yang suka ke sini untuk belanja di Pusat Grosir Jembatan Merah," cetus Saiful Malik, front office manager hotel, menjawab rasa ingin tahu saya tentang mereka.
Pusat grosir itu terletak hanya di seberang hotel, di lokasi tewasnya pemimpin pasukan Inggris Jenderal Mallaby yang dikirim ke Surabaya setelah Perang Dunia II untuk melucuti tentara Jepang.
Kampung Arab
Selain gedung-gedung lawas di kawasan kota tua, beberapa rumah tinggal penduduk juga tampil cantik dengan gaya 'jadul'-nya. Beberapa rumah di jalan-jalan kecil di kawasan Kampung Arab masih berfasad asli dengan lebar muka 5-6 meter.
Tatanan bukaannya simetris, sebuah pintu di tengah bidang dan dua jendela di setiap sisinya. Keaslian bangunan tampak dari lubang udara di atas pintu dan konsol yang dibuat dari besi bermotif lengkung, atau keriting, beberapa rekan arsitek menyebutnya. Beberapa fasad tampak asli, tapi mayoritas telah dirombak habis-habisan. Sayang.
Jalan kecil di Kampung Arab ini merupakan jalur masuk ke Masjid Sunan Ampel, salah satu tujuan wisata religi di Surabaya. Dari Jalan Nyamplungan yang merupakan jalan raya, perjalanan berlanjut dengan berjalan kaki menelusuri gang kecil, Jalan Ampel Kembang. Lebarnya tak lebih dari 3 meter dan membelah permukiman padat penduduk.
Jalan ini berujung pada Jalan Ampel Suci, sebuah lorong beratap seperti pasar. Di dua sisinya terhampar para pedagang yang menawarkan beragam barang. Dari keperluan ibadah seperti baju-baju gamis, tasbih, kopiah, sampai aksesori, parfum, bahkan air zamzam dari Arab.
Ziarah
Ujung lorong Ampel Suci adalah pelataran Masjid Sunan Ampel. Di sana juga terdapat makam Sunan Ampel, salah satu Wali Songo, yang biasa dikunjungi warga peziarah. Makam itu, bersama makam istri dan beberapa pengikutnya, dibatasi gerbang masuk serupa gapura.
Penjaga di mulut gerbang tak segan mengingatkan pengunjung perempuan agar mengenakan kerudung saat memasuki permakaman. Mereka juga menyiapkan kain kerudung untuk dipinjamkan kepada pengunjung, tanpa biaya.
Pelataran makam yang ditutup konblok dibagi dua dengan batas pagar besi.
Satu untuk peziarah laki-laki, satu lagi untuk perempuan. Suasananya sejuk dan hening meski dengungan doa dari puluhan peziarah yang duduk bersila di sekeliling makam membahana.
"Setiap hari selalu ada yang ke sini. Ya saya sih berdoa saja, enggak ada yang khusus," tutur seorang ibu yang duduk di sisi utara makam. Dia masih tampak khusyuk berdoa saat saya menyentuh lengannya untuk berpamitan.
Sembahyang
Ziarah lain di Surabaya bisa berlanjut ke tepi Pantai Kenjeran. Sayang, kawasan wisata di sana yang dinamai Ken Park--singkatan dari Kenjeran Park--begitu kering. Rumput liar, cat bangunan mengelupas, pepohonan mati. Beberapa sudut dijadikan tempat berduaan.
Tetapi di kawasan inilah berdiri Sanggar Agung. Sebuah bangunan ibadah bergaya Tionghoa, berhias tulisan China dengan nyala lilin-lilin raksasa setinggi manusia. Umat Buddha dan Konghucu beribadah di sana. Tak jarang wisatawan mengunjunginya untuk berekreasi.
Di balik dinding altar depan terhampar panorama lautan Selat Madura berbingkai patung Dewi Kwan Im, yang diyakini sebagai dewi cinta kasih. Sang dewi berdiri di atas gapura dengan total tinggi sekitar 20 meter, diapit dua anak dan dua pasang dewa. Mereka dijunjung sepasang naga.
Komposisi panorama nan agung yang disempurnakan debur ombak di laut lepas. Sesaat napas saya pun tertahan dan pandangan mata enggan beranjak. Sampai seorang perempuan muda berkacamata menyentuh bahu saya, berujar, "Permisi Mbak, saya mau sembahyang." Dia memegang beberapa batang hio yang sudah dinyalakan dan karena saya menghalanginya persis di depan hio lo, tempat hio ditancapkan.(Dok.mi/OL-5)
Sumber : http://www.mediaindonesia.com