Oleh: Prof. Dr. Paham Ginting
Setiap bidang ilmu dan pengetahuan yang senantiasa dikembangkan harus merupakan sesuatu yang permanen. Untuk itu, setiap disiplin ilmu, termasuk teori pemasaran dituntut untuk mengenali secara cepat dan cermat fenomena baru tersebut dan melakukan prediksi seakurat mungkin.
Dalam dua dekade terakhir ini, telah terjadi perubahan-perubahan mendasar yang turut mempengaruhi kehidupan dunia bisnis dan tata perdagangan dunia. Sejumlah pergeseran yang sudah tampak jelas bagi kita adalah pergeseran dari ekonomi industri menjadi knowledge-based economy, dari input-driven growth ke innovation-driven growth, dari scarcity of resources ke abundance of knowledge (Thurow, 1999), dari diminishing returns ke increasing returns, dari stability ke discontinuous change, dari perfecting the known ke imperfectly seizing the unknown (Prahalad, 1998) dan dari red ocean strategy ke blue ocean strategy (Kim dan Mouborgne, 2005).
Dalam dekade milenium baru, berdasarkan catatan-catatan di atas, ada satu fenomena yang tetap menarik perhatian dari berbagai kajian disiplin ilmu, kalangan bisnis maupun pemerintah, yaitu “globalisasi”. Banyak catatan tentang fenomena peradaban kontemporer ini. Bagi sebagian kalangan, globalisasi terkadang sering diplesetkan sebagai gombalisasi, yakni sesuatu yang tidak ada apa-apanya. Berbagai pihak menganggap sebagai masa depan yang penuh harapan; sebagian lagi cenderung meramalkan sebagai masa depan yang penuh ketidakpastian; bahkan sering dikatakan bahwa yang pasti itu adalah ketidakpastian itu sendiri.
Bagi kaum akademisi, globalisasi dianggap sebagai fenomena yang sangat menarik untuk dicermati, karena dewasa ini terlihat dengan jelas berlangsungnya proses transformasi global (D. Held et al., 1999) yang makin nyata dalam bidang politik, tatanan teritorial kenegaraan, budaya, dan ekonomi. Pengintegrasian pasar barang, jasa, investasi, serta jaringan dan organisasi berbasis ilmu pengetahuan semakin tampak (knowledge network and competency of organization), baik inter, intra-firms maupun across the nations. Barang dan jasa itu dirancang, dibuat dan dipasarkan ke seluruh penjuru dunia dengan melalui tatanan mata rantai produksi yang dinamis dan mampu melampaui batas negara (cross-border dynamic valuechain) serta lintas perusahaan. Kotter (1996) mengingatkan adanya perubahan dahsyat sistem ekonomi makro dalam bentuk globalisasi pasar dan kompetisi. Hal ini ditandai oleh arus investasi, industri, teknologi informasi, dan individual consumers yang melampaui lintas batas geografis dan negara. Untuk itu, agar tetap kompetitif negara dituntut mampu memberikan merek pada dirinya sendiri dan menawarkan sesuatu yang berbeda (unik) (Gobe, 2006). Sehingga, memisahkannya dari persaingan menjadi sesuatu hal yang harus dilakukan (Ohmae, 1995 dan 2005).
Akselerasi globalisasi terus meningkat seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi, transportasi, dan komunikasi. Paradigma ekonomi pun pada gilirannya bergeser dari ekonomi industri menuju era ekonomi informasi dan dari era manufaktur menuju era mentofacture (Marquardt, 1994). Implikasi perubahan ini jelas sampai pada sendi-sendi kehidupan manusia dalam berbangsa, seperti diingatkan oleh Don Tapscot (1996). Lebih lanjut Tapscot memperkirakan bahwa era informasi ini akan terfokus pada selusin tema ekonomi baru, yaitu: 1) kemunculan produk berbasis pengetahuan; 2) digitalisasi; 3) virtualisasi; 4) molecularization; 5) networking; 6) disintermediation; 7) industri berada dalam satu atap; 8) industri berbasis inovasi; 9) batas antara produsen dan konsumen semakin kabur; 10) immediacy; 11) globalisasi; dan 12) merebaknya isu perpecahan masyarakat.
Kini, munculannya information superhighway dan digital economy di negara-negara maju telah mendorong lahirnya Manajemen Generasi Kelima (The 5th Generation Management), seperti disimpulkan oleh Savage (1996) yang merupakan karakteristik terkini fenomena globalisasi. Manajemen generasi kelima ditandai oleh beberapa hal. Yang paling menonjol adalah pentingnya membangun daya saing melalui knowledge creating organization and knowledge network sebagaimana diungkapkan oleh Nonaka dan Takeuchi (1996). Intinya, daya saing sebuah badan usaha sangat ditentukan oleh bagaimana organisasi itu dapat mentransformasikan data untuk dianalisis sehingga menjadi informasi, dan informasi diberi penilaian (judgement) hingga menjadi ide, lalu ide tersebut diberi konteks, sehingga menjadi pengetahuan (knowledge). Dari pengetahuan inilah daya saing organisasi dapat diwujudkan. Pada akhirnya, barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan yang unggul akan selalu bertumpu pada strategi yang berbasis sumberdaya (resource-based) dan knowledge-based. Hal inilah yang disinggung oleh Hamel (2000) yang akan terus mendorong perusahaan melakukan continous improvement. Hanya ide-ide non-linearlah yang akan bertahan di masa yang akan datang.
Sesungguhnya, konsep strategi bersaing (C. Eden, 1998) dapat dikonfigurasikan menurut dua model, yakni model preskriptif dan model deskriptif. Dalam dua model inilah mazhab-mazhab strategi seperti Planning School, Cultural School, Environmental School, Entrepreneurial School, dan Positioning School (Mintzberg dkk, 1998) dikelompokkan. Secara konseptual, penjelasan konsep strategi bersaing bisa dilihat dari beberapa pendekatan, yakni model rationalistic, evolutionaire, dan processual (Kees Van Der Heijden, 1996).
Pendekatan resource-based yang dimotori oleh Selznick dan dikembangkan oleh Hamel Prahalad, pada akhirnya membuahkan konsep distinctive competencies yang muaranya memunculkan konsep kompetensi inti (core competence). Konsep inilah yang menjadi basis daya saing dan menjadikan perusahaan bisa bertahan untuk jangka panjang. Karena itu, untuk membuat hidup dan berkembangnya sebuah aspirasi bukanlah perkara mudah, sebab perlu dilihat habits for survival-nya (Arie de Geus, 1997).
Pada kesempatan ini, akan diulas tentang fenomena globalisasi dan strategi bersaing, melalui pendekatan terkini, yakni Resources Based Strategy sebagai penyempurnaan dari Market Based Strategy, sehingga diharapkan kita mampu mencermati globalisasi yang penuh dengan misteri. Dengan demikian, kita pada gilirannya dapat melakukan penataan ulang strategi pemasaran pariwisata Indonesia.
Dalam uraian-uraian berikut ini, kita akan membahas lima misteri globalisasi, evolusi teori pemasaran pariwisata, perkembangan teori kepuasan wisatawan, kualitas kepariwisataan hingga Tourism Satisfaction Approach, dilanjutkan pemaparan tentang potret kinerja pariwisata Indonesia, diakhiri dengan gagasan mengenai penataan ulang strategi pemasaran pariwisata Indonesia, dan model Tourism Satisfaction (Toursat).
Lima Misteri Globalisasi
Dewasa ini, persaingan sudah beralih dari perebutan pangsa pasar (market share) menuju perebutan pangsa peluang (opportunity share). Dalam kaitan ini, Garry Hamel dan C.K. Prahalad (1993) mengindikasikan adanya dua aspek yang menyebabkan mengapa suatu organisasi bisnis gagal bersaing. Pertama, banyak organisasi yang gagal untuk keluar dari kungkungan masa lampau (escape from the past), yakni kemampuan meninggalkan paradigma lama dalam menyiasati strategi bisnis saat ini. Kedua, banyak organisasi yang gagal pula untuk menerawang masa depan (invent the future), yakni menciptakan masa depan dengan proses pembelajaran kolektif (collective learning) yang mampu mengintegrasikan kompetensi inti yang bersifat sangat unik atau distinktif, baik intra maupun antar perusahaan (distinctive core competencies). Yang terakhir ini sangat berguna untuk merebut opportunity share.
Tidak diragukan bahwa globalisasi telah membawa dampak yang luar biasa bagi tata kehidupan manusia. Di antara pakar yang mencatatnya adalah Jeffrey Sachs dalam tulisannya bertajuk “International Economics: Unlocking the Mysteries of Globalization”, dimuat dalam Foreign Policy Journal, Spring 1998. Sachs mempertanyakan empat hal pokok yang intinya ingin mengungkap dan memecahkan misteri seputar globalisasi. Pertama, apakah globalisasi dapat mendongkrak perekonomian dunia secara lebih cepat, mengingat empat per lima penduduk dunia (sekitar 4,5 milyar orang) masih tinggal di negara-negara berkembang. Ataukah globalisasi justru akan meruntuhkan perekonomian dunia menjadi semakin terpuruk?
Kedua, apakah globalisasi akan meningkatkan atau justru mengurangi stabilitas perekonomian mikro? Apakah keruntuhan tiba-tiba perekonomian pasar yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya seperti yang terjadi belakangan ini, yakni Meksiko pada tahun 1994 dan di Asia pada tahun 1997, merupakan indikasi retaknya proses globalisasi? Apakah perubahan ini masih dapat dikelola; atau dengan kata lain, apakah benturan keras dalam mewujudkan kesejahteraan dunia masih dapat dihindari?
Ketiga, apakah globalisasi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dunia, sehingga kesenjangan antarnegara atau antarmasyarakat dunia dapat dikurangi? Bila mungkin, apakah pengurangan kesenjangan ini berimplikasi positif bagi pekerja yang kurang terampil di negara yang sudah maju; atau justru hal ini menjadikan tarik-menarik kekuatan pasar semakin meningkat.
Keempat, ini yang paling relevan dengan perbincangan hari ini, bagaimanakah lembaga pemerintah di tingkat lokal, nasional, maupun internasional menyesuaikan diri terhadap perubahan besar tersebut; dan yang lebih penting, apa tanggung jawab masing-masing lembaga pemerintah dalam menghadapi globalisasi yang mengandung misteri tersebut?
Selain empat pertanyaan atau misteri yang dikemukakan Sachs, misteri kelima yang perlu kita cermati dalam konteks Indonesia adalah: apakah globalisasi akan mengantarkan Indonesia mampu bersaing dalam memasuki milenium baru ini atau justru akan terlempar dari kancah persaingan pemasaran global?
Pertanyaan yang lebih konkret adalah: bagaimanakah Indonesia menyikapi datangnya globalisasi yang penuh dengan misteri tersebut? Hari ini kita akan membahas masalah ini dari perspektif manajemen pemasaran pariwisata, khususnya melalui paradigma atau pendekatan baru, yakni Tourism Satisfaction Strategy.
Pada dekade terakhir ini, kita dihadapkan pada dua fenomena paradoksal. Pertama, catatan keberhasilan kawasan Asia-Pasifik seperti yang pernah diungkapkan John Naisbitt (1996) dalam Megatrend Asia; G. Yip (1998) yang menjelaskan daya saing perusahaan di Asia; ataupun Kanter (1996) tentang Asian Miracle dan tentang World Class. Kedua, berbeda dengan ramalan tersebut, negara-negara seperti Indonesia, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan tidak terkecuali Jepang tidak dapat terhindar dari dampak globalisasi. Fenomena ini benar-benar bertolak belakang dengan fenomena pertama tadi, sehingga kita patut mempertanyakan: apakah globalisasi mencerahkan Asia di pentas internasional?
Indonesia merupakan negara di Asia yang paling menderita sepanjang sejarah krisis sejak Perang Dunia II. Pada tahun 1998 yang lalu, diperkirakan terjadi pertumbuhan negatif yakni minus 15,1% dengan inflasi lebih dari 75%. Pada waktu itu, nilai rupiah jatuh menjadi 6 kali lebih rendah dari Rp 2.400,- per dolar AS pada tahun 1996 lalu menjadi lebih dari Rp 10.000,- per dolar AS pada pertengahan tahun 1998. Bahkan pada tahun 1998, rupiah pernah menyentuh titik terendah, yakni satu dollar AS mendekati Rp 20.000,-. Akibat depresiasi rupiah ini adalah merosotnya peringkat Indonesia dari negara berpendapatan US $ 1.000 per kapita menjadi $ 260 per kapita. Pada waktu itu, paling sedikit ada 1.200 perusahaan gulung tikar dan angka pengangguran mencapai 40 juta orang.
Kemudian, kita mempertanyakan kembali di mana posisi Indonesia di tengah misteri globalisasi? Apakah globalisasi akan membawa negeri kita ke arah yang lebih maju atau sebaliknya, membawa Indonesia ke arus pusara globalisasi dengan dominasi para pelaku dari negeri lain. Namun, pertanyaan yang lebih tepat adalah bagaimana agar Indonesia mampu memecahkan misteri globalisasi dengan menjadi pelaku yang aktif dalam pemasaran global, bukan sekadar obyek yang menjadi sarana para pemain dari mancanegara.
Implementasinya bagi negara adalah bahwa untuk berkompetisi pemerintah tidak harus menerapkan pajak yang rendah, memberikan insentif besar bagi pengusaha dan pebisnis, atau menekan gaji buruh sekecil mungkin. Hal tersebut hanya akan menciptakan samudera merah (penuh dengan kompetisi) yang pada akhirnya hanya akan merugikan daerah itu sendiri dan mengorbankan penduduk daerah yang menjadi tenaga kerja. Mari hindari persaingan (kompetisi) yang akan berakibat pada tindakan yang merugikan. Ciptakan samudera biru (Blue Ocean Strategy) ruang pasar yang belum terjelajahi, ciptakan permintaan, dan peluang pertumbuhan yang sangat menguntungkan. Bangun image baru bagi Indonesia.
Perkembangan Teori Kepuasan Wisatawan, Kualitas Kepariwisataan, Hingga Tourism Satisfaction Approach
Teori kepuasan wisatawan diadopsi dari teori kepuasan pelanggan (costumer satisfaction) yang didasarkan pada paradigma diskonfirmasi (disconfirmation paradigm) oleh Oliver (1980). Menurut pandangan teori ini, kepuasan pelanggan ditentukan oleh dua variabel kognitif. Yakni harapan pra-pembelian (prepurchase expectations), yaitu keyakinan tentang kinerja yang diantisipasi dari suatu produk dan “disconfirmation”, yaitu perbedaan antara harapan pra-pembelian dan persepsi purna-pembelian (postpurchase perception).
Pada tahun 1990-an, Pawitra mengemukakan bahwa manfaat kepuasan pelanggan dapat diperoleh pada tingkat makro maupun mikro. Pada tingkat makro, kepuasan pelanggan memberikan manfaat berupa indikator ekonomi nasional. Oleh karena itu, kepuasan pelanggan merupakan nilai dasar yang penting bagi pemerintah dan masyarakat karena dapat menunjukkan kualitas hidup rakyat negara yang bersangkutan. Lazimnya, disediakan suatu ukuran nasional berupa indeks, yang mengukur bagaimana perusahaan dan industri memuaskan para pelanggannya. Indeks kepuasan konsumen ini mengukur kualitas dari perspektif pelanggan. Pada tingkatan mikro, kepuasan pelanggan dapat digunakan sebagai indikator kemampuan berlaba perusahaan, khususnya sebagai pertimbangan dasar dalam perencanaan program pemasaran. Konsep kepuasan pelanggan juga dapat digunakan sebagai dasar dari pengembangan model pelbagai perilaku pembeli. Dan kepuasan pelanggan juga dapat berfungsi sebagai pedoman untuk mengarahkan seluruh organisasi ke arah pemenuhan kebutuhan pelanggan, sehingga menjadi sumber dari keunggulan daya saing berkelanjutan. Juga tidak kalah pentingnya bahwa kepuasan pelanggan ini dapat menjadi piranti dalam berbagai tujuan.
Kepuasan adalah persepsi yang dirasakan seseorang terhadap suatu objek atau kegiatan. Kepuasan wisatawan adalah persepsi yang dirasakan wisatawan saat melaksanakan wisatanya dan setelah melakukan wisatanya. Kepuasan mengandung persepsi umum yang berkembang pada seorang wisatawan tentang sebuah produk wisata yang dibeli atau jasa wisata setelah pembeliannya (Ginting, 2005).
Ada dua landasan teoritis studi pemasaran pariwisata, yakni: pertama, teori perilaku konsumen tentang kepuasan pelanggan, dan kedua, teori pertukaran dan paradigma pemasaran pariwisata.
Perlu dibicarakan terlebih dahulu teori pertama, yaitu teori perilaku konsumen tentang kepuasan pelanggan. Dari perspektif psikologi kepuasan pelanggan dapat dibagi dua yakni, model kognitif dan model afektif. Model kognitif adalah suatu cara penilaian pelanggan terhadap produk dan jasa yang dilandaskan pada perbedaan antara dua kumpulan kombinasi atribut yang dipandang gayut untuk individu dan persepsinya tentang kombinasi dari atribut yang sebenarnya. Sedangkan model afektif adalah cara penilaian pelanggan individual tentang produk dan jasa tidak semata-mata atas perhitungan rasional, namun berdasarkan pada kebutuhan subjektif, aspiratif, dan pengalaman (Pawitra, 1993).
Kepuasan wisatawan tergantung pada nilai kinerja produk wisata yang dirasakan secara relatif terhadap harapan wisatawan. Jika kinerja produk wisata lebih rendah dari harapan wisatawan, berarti wisatawan kecewa. Jika kinerja produk wisata dapat memenuhi harapan wisatawan, maka wisatawan merasa puas. Jika kinerja produk wisata melebihi harapan wisatawan, maka wisatawan tidak hanya merasa puas, tapi juga merasa menyenangkan. Perusahaan wisata yang baik adalah perusahaan yang dapat menyenangkan wisatawan dengan mempromosikan apa yang dapat mereka berikan, kemudian memberikan lebih dari yang dijanjikan (Ginting, 2005).
Harapan wisatawan didasarkan pada pengalamannya, saran dari teman-teman, dan mungkin dari promosi atau informasi pemasar maupun pesaing. Para pemasar harus hati-hati memberikan harapan dengan promosi atau informasi kepada wisatawan. Bila mereka memberikan harapan terlalu rendah, mungkin dapat memuaskan wisatawan, tapi akan gagal menambah wisatawan baru. Jika mereka memberikan harapan terlalu tinggi, wisatawan akan dikecewakan.
Perusahaan berusaha memberikan kepuasan yang lebih tinggi secara relatif dibandingkan dengan pesaing, dan ini bukan berarti memaksimalkan kepuasan wisatawan. Suatu perusahaan selalu dapat menaikkan kepuasan dengan menekan harga atau meningkatkan pelayanan. Tapi, hal ini akan mengakibatkan penurunan keuntungan perusahaan. Tujuan perusahaan adalah untuk menghasilkan nilai pelanggan secara menguntungkan. Nilai pelanggan adalah perbedaan antara benefit yang diperoleh pelanggan dari produk dan biaya untuk memperoleh produk tersebut.
Kemudian dibicarakan teori kedua, yaitu teori pertukaran dan paradigma pemasaran pariwisata. Teori pertukaran termasuk salah satu konsep inti pemasaran (Kotler et al., 1999). Pemasaran pertukaran terjadi ketika orang memutuskan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan melalui suatu pertukaran. Pertukaran ini dilakukan sebagai tindakan terhadap penerimaan suatu hasrat tertentu dari seseorang dengan menawarkan sesuatu sebagai imbalan kepada orang lain. Teori pertukaran ini terlihat ketika wisatawan memutuskan untuk mengunjungi suatu daerah wisata. Dengan harapan, wisatawan dapat menikmati kepariwisataan yang ada di daerah tersebut dengan membawa sejumlah uang.
Kotler et al. (1999) menjelaskan lebih rinci bahwa kebutuhan manusia (need) adalah suatu pernyataan kekurangan dari beberapa kepuasan dasar, sedangkan keinginan (want) adalah hasrat untuk kepuasan yang lebih spesifik dari kebutuhan yang lebih mendalam lagi. Sementara itu, permintaan adalah keinginan untuk produk spesifik (yang ditawarkan) yang didukung oleh kemampuan daya beli dan keinginan untuk membeli.
Paradigma pemasaran pariwisata di dalam suatu pertukaran paling tidak harus memuaskan dua bagian, yakni pelaku bisnis pariwisata dan wisatawan. Setiap bagian harus mempunyai sesuatu yang bernilai dengan yang lain, yaitu bahwa pelaku bisnis menawarkan jasa dan produknya yang bernilai bagi wisatawan, dan wisatawan mempunyai daya beli yang bernilai bagi pelaku bisnis pariwisata. Setiap bagian ini harus bebas menerima atau menolak tawaran satu dengan yang lain. Suatu hal yang penting bahwa setiap bagian itu harus dapat mengomunikasikan dan menyampaikan nilai-nilai yang dimiliki masing-masing sehingga memungkinkan terjadi suatu pertukaran. Jika mereka setuju, kita menyimpulkan bahwa tindakan pertukaran membuat mereka lebih baik (minimal tidak lebih buruk) karena mereka bebas menolak atau menerima tawaran masing-masing. Dalam pengertian ini, produsen menghasilkan nilai, pertukaran menghasilkan nilai, dan inilah yang memungkinkan orang mengonsumsi pariwisata.
Pendekatan kepuasan pariwisata (tourism satisfaction approach) adalah satu model yang digunakan dalam mengukur kepuasan wisatawan terhadap satu kawasan wisata. Model ini telah digunakan untuk mengukur kepuasan wisatawan asing yang berkunjung ke Sumatra Utara (Ginting, 2005). Model ini menghasilkan satu strategi pemasaran pariwisata Sumatra Utara yang disebut “Strategi Tiga Serangkai Pariwisata”. Strategi ini disesuaikan dengan adat budaya Batak Karo Sumatra Utara, yakni “Merga Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu”. Rakut Sitelu berarti Tiga Serangkai yakni Kalimbubu, Senina, dan Anak Beru. Filosofi budaya adat ini mengatakan:
“Mehamat Er Kalimbubu, Metami Er Anak Beru, Metenget Er Senina”. Hal ini berarti Kalimbubu harus dihormati dengan sopan dan santun, karena dia dapat menentukan segalanya bahkan disebut (Dibata Ni Idah). Pengertian Metami Er Anak Beru adalah Anak beru harus, diarahkan, dimotivasi, dan dikendalikan dengan penuh kasih dan sayang. Pengertian Metenget Er Senina adalah waspada terhadap Senina. Senina ini harus diperhatikan dan diwaspadai dengan daya saing. Karena Senina ini adalah sebagai pesaing yang berlomba dalam merebut hati Kalimbubu dan Anak Beru.
Dalam tingkatan pemasaran makro, tiga serangkai tersebut adalah konsumen, pelaku bisnis, dan pemerintah. Pada tingkat pemasaran mikro, tiga serangkai tersebut adalah pelanggan, karyawan, dan pengusaha. Dengan demikian, pemerintah dan pengusaha harus dapat meningkatkan daya saingnya masing-masing. Pemerintah meningkatkan daya saingnya untuk bersaing dengan negara lain, pengusaha juga harus meningkatkan daya saingnya untuk bersaing dengan perusahaan yang lain, baik di dalam maupun di luar negeri. Persaingan di sini dalam arti persaingan sehat, yakni efisiensi dan kinerja yang baik.
Potret Kinerja Pemasaran Pariwisata Indonesia
Setelah menguraikan fenomena dan lima misteri globalisasi, dilanjutkan dengan perkembangan teori kepuasan wisatawan, kualitas kepariwisataan hingga tourism satisfaction approach, marilah kita lihat kinerja pemasaran pariwisata Indonesia hingga beberapa tahun terakhir ini.
Perkembangan Kunjungan Wisatawan Asing ke Indonesia 1990–2005
Gambaran penerimaan devisa dari wisatawan asing juga tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Terlihat sejak tahun 1996 penerimaan devisa kita terus mengalami penurunan.
Menata Ulang Strategi Pemasaran Pariwisata Indonesia
Setelah melihat gambaran sekilas mengenai potret kinerja pemasaran pariwisata Indonesia, kita perlu memahami lebih mendalam mengenai visi, kebijakan dan strategi pemerintah, serta strategic marketing dalam kaitannya dengan pemasaran pariwisata Indonesia.
Sejalan dengan era otonomi daerah yang sedang digalakkan dan adanya promosi pariwisata dengan “Visit Indonesia Year 2008”, pemerintah ingin memiliki visi yang menginginkan agar Indonesia menjadi negara tujuan wisata yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di kawasan Asia Tenggara. Sementara misi yang diemban sektor pariwisata adalah sebagai penggerak utama dan pendobrak hambatan pariwisata di luar negeri dengan mematuhi aturan main sistem globalisasi pariwisata, AFTA, APEC, dan WTO, serta mengamankan kebijakan pariwisata nasional melalui penataan ulang strategi pemasaran pariwisata Indonesia dan kualitas pariwisata yang unggul.
Bila kita mencermati visi dan misi tersebut, belum tergambar secara jelas visi dan misi yang mengedepankan Indonesia menjadi negara tujuan wisata yang berbasiskan pada sumber daya, bukan hanya sumber daya alam, tetapi yang lebih penting adalah berbasis ilmu pengetahuan melalui proses pembelajaran (learning) yang dinamis agar dapat menciptakan kompetensi inti yang baik pada tingkat makro (country‘s level) hingga tingkat perusahaan (firm‘s level). Karena itu, ditawarkan dalam konteks ini suatu penataan ulang dengan visi baru yang bertumpu pada pendayagunaan sumber daya (resource based approach), sekaligus membangun mental model dan system thinking berbisnis dan berbangsa yang tangguh melalui semangat kompetisi dan kooperasi intra dan antar organisasi pariwisata, serta melalui jaringan yang kokoh dalam pemasaran pariwisata dengan berbasis pada knowledge and skill.
Penataan ulang strategi pemasaran pariwisata tersebut, bukan ditekankan pada pemanfaatan sumber daya alam semata, tetapi merupakan pengintegrasian antara sumber daya yang sifatnya tangible, intangible, dan human resources dalam semangat “collective learning”.
Menegakkan semangat collective learning ini perlu dimulai dari tingkatan makro (pemerintah) sebagai inisiator, change creator (Kotler, et al., 1999), maupun fasilitator (Porter, 1995) hingga tataran mikro (pelaku bisnis).
Kebijakan teknis operasional pemasaran pariwisata dengan landasan daya saing adalah melalui keunggulan komparatif dan keungulan kompetitif di pasar yang berbasis sumber daya alam. Kebijakan ini, menurut hemat saya, perlu ditata ulang dengan mengubah landasan daya saing berupa keunggulan berbasis sumber daya (resources based advantage), baik sumber daya berwujud (tangible) maupun tak berwujud (intangible).
Melihat kinerja pemasaran pariwisata Indonesia beberapa dasawarsa terakhir ini, memang masih jauh dari yang diharapkan. Langkah-langkah gencar yang dilakukan hanya terbatas pada promosi pariwisata dan penguatan jaringan pemasaran pariwisata sebagai alat untuk penyebaran informasi pariwisata Indonesia. Kini, sudah waktunya untuk memikirkan grand strategy marketing termasuk di dalamnya pendekatan kepuasan pariwisata (tourism satisfaction approach) sebagai upaya terpadu untuk menjangkau pasar global.
Penutup
Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya unggulan (comparative advantage) seperti keindahan alam, kekayaan flora dan fauna, serta keramahan masyarakat dan keunikan budaya daerahnya, serta masih banyak lagi lainnya yang merupakan aset bersifat tangible sebagai cikal bakal untuk mewujudkan strategi pemasaran pariwisata dengan menggunakan model tourism satisfaction approach. Keunggulan kepemilikan sumber daya alam ini sebagai aset yang tangible ini harus dipadukan dengan aset yang intangible, seperti teknologi, kultur, dan reputasi serta sumber daya manusia dengan superioritas skill dan knowledge. Hanya dengan perpaduan ketiganya, yaitu melalui suatu “collective learning” akan dapat diciptakan suatu keunggulan bersaing pada tingkat makro (negara) maupun mikro (badan usaha) dalam rangka membangun “strategic marketing” berdasarkan keunggulan bersaing yang diciptakan.
Sejalan dengan gelombang pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah di mana kewenangan untuk mengembangkan daya saing perlu dimulai pada tingkat kabupaten/kota, maka konsep serupa yang pernah diterapkan di Jepang, yaitu “One Village One Product” perlu dimodifikasi ke dalam gerakan “Satu Kabupaten Satu Keunggulan Bersaing”. Konsep tersebut intinya ialah mempersiapkan infrastruktur yang kuat, daya kohesi dan interkoneksitas antar-kabupaten. Dengan demikian dapat dimulai dipetakan (geographical mapping) daya saing inti untuk setiap kabupaten/kota, yang seyogianya kesemua hal tersebut harus dibangun sebagai dasar untuk membentuk collective learning antar-kabupaten/kota. Hal ini dapat meniadakan semangat kedaerahan yang hanya memperebutkan wilayah yang memiliki sumber daya alam, bahkan dapat meniadakan keinginan memisahkan diri dari Indonesia, karena masih banyak produk-produk unggulan yang dapat dikaitkan dengan keunggulan yang berbasis pada knowledge.
Negara tetangga seperti Singapura merupakan contoh negara yang tidak memiliki sumber daya alam namun memiliki daya saing no. 2 dunia. Demikian juga Jepang dan Korea. Masih banyak contoh wilayah yang gersang dan penuh gurun yang tandus di Australia dapat menjadikan daerah tujuan wisata yang menarik dengan keindahan pantainya, seperti Pantai Gold Coast yang begitu bersih dan panjang, dan dapat menciptakan produk-produk berbasis knowledge, seperti mobil amphibi yang dapat menelusuri pantai yang begitu indah, demikian pula dengan olah raga surfing di Gold Coast, dan sebagainya.
Semoga dengan kebangkitan ekonomi Indonesia setelah krisis ini, kita dapat bergabung dengan negara-negara yang sedang dan sudah membangun pariwisata yang berbasis knowledge. Upaya ini semua akan sia-sia apabila peningkatan human capacity melalui pendidikan dasar, menengah, dan tinggi tidak kita pikirkan. Perbaikan strategi pemasaran pariwisata yang bertumpu pada resource-based mudah-mudahan dapat mengangkat bangsa ini keluar dari krisis. Sambil menata kembali masalah intern Indonesia, dengan kegiatan pemasaran pariwisata Indonesia, maka devisa dapat ditingkatkan sebagai salah satu upaya penyembuh krisis Indonesia.
Daftar Pustaka
De Geus, Arie, (1997), The Living Company, Harvard Business School Press, Massachusetts.
Eden, Colin & Ackermann, Fran, (1998), Making Strategy, Sage Publication.
Ginting, Paham, (2007), “Perencanaan Pemasaran Pariwisata”, Makalah disampaikan pada tanggal 24 Oktober 2007 di Hotel Dharma Deli, Medan.
Ginting, Paham, (2005), Pemasaran Pariwisata: Studi Empiris tentang Kepuasan dan Kunjungan Berkelanjutan Pariwisata Sumatera Utara, USU Press, Medan.
Ginting, Paham, (2007), “Teknis Analisis Perencanaan Pemasaran Pariwisata”, Makalah disampaikan pada tanggal 25 Oktober 2007 di Hotel Dharma Deli, Medan.
Ginting, Paham, (2002), “Kepuasan Pengguna Perpustakaan sebagai Indikator Kualitas Jasa Perpustakaan”, Makalah disampaikan pada tanggal 28 Augustus 2002 dalam Seminar Pustakawan Indonesia, Perpustakaan Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Medan.
Gobe, Marc, (2005), Emotional Branding, Penerbit Erlangga, Jakarta.
------ , (2006), Citizen Brand, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Hamel, Gary, (2000), Leading The Revolution, Harvard Business School Press, Massachusetts.
Hamel G. and C.K. Prahalad (1993), Competing for the Future, New York.
Held, David, et al., (1999), Global Transformations, Polity Press, Cambridge.
Kim, C. W., Mauborgne R., 2005, Blue Ocean Strategy, Penerbit Serambi, Jakarta.
Kotler P., et al. (1997), Marketing of Nation, Free Press New York.
Marquardt, M. J. & Angus R. (1994), The Global Learning Organization, R. D. Irwin, New York.
Mintzberg, et al., (1998), Strategy Safari, The Free Press.
Moss Kanter E., (1995), World Class, Simon – Schuster New York.
Nonaka I. & Takeuchi H., (1996), The Knowledge Creating Company: How Japanese Companies Create The Dinamic of Innovation, Oxford Univ. Press, New York.
Naisbitt, J., (1996), Megatrend ASIA Nicholas – Braley, London.
Ohmae, Kenichi, (1995), Borderless World, New York.
------ , (2005), The Next Global Stage, Penerbit Indeks, Jakarta.
Pawitra, Teddy, (1993), Kepuasan Pelanggan sebagai Keunggulan Daya Saing: Konsep, Pengukuran, dan Implikasi Stratejik, Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya, Jakarta.
------, (1995), Manajemen Pemasaran: Masa Lampau, Kini, dan Mendatang, Manajemen Usahawan Indonesia, Lembaga Manajemen–UI, Jakarta.
Prahalad C. K., (1998), Managing Discotinuities: The Emerging Chalanges, Research Technology Management Institute, USA.
Savage C. M., (1996), The 5th Generation Management, Butterworth Heinemann, New York.
Situmorang, Syafrizal Helmi, (2007), “Regional Branding: Strategi Memasarkan Daerah, Wahana Hijau, Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah”, Volume 2, Nomor 3, April 2007, SPs USU, Medan.
Tapscot, D. (1996), The Digital Economy, Mc.Graw Hill, New York.
Thurow, L., (1999), Building Wealth: The New Rules for Individuals, Companies, and Nations in A Knowledge Based Economy, Harper Collins, New York.
Van der Heijden, (1996), Scenarios: The Art of Strategic Coversation, John Wiley & Sons, West Sussex.
Yip G., (1992), Total Global Strategy: Managing for Worldwide Competitive Advantage, New Jersey, NY.,Prentice-Hall Inc.
__________
Prof. Dr. Paham Ginting adalah Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.
Tulisan ini ditulis dalam rangka Pengukuhan Guru Besar yang disampaikan di hadapan Rapat Terbuka, Senat Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan. Dan pernah dimuat di http:www.usu.ac.id.
Setiap bidang ilmu dan pengetahuan yang senantiasa dikembangkan harus merupakan sesuatu yang permanen. Untuk itu, setiap disiplin ilmu, termasuk teori pemasaran dituntut untuk mengenali secara cepat dan cermat fenomena baru tersebut dan melakukan prediksi seakurat mungkin.
Dalam dua dekade terakhir ini, telah terjadi perubahan-perubahan mendasar yang turut mempengaruhi kehidupan dunia bisnis dan tata perdagangan dunia. Sejumlah pergeseran yang sudah tampak jelas bagi kita adalah pergeseran dari ekonomi industri menjadi knowledge-based economy, dari input-driven growth ke innovation-driven growth, dari scarcity of resources ke abundance of knowledge (Thurow, 1999), dari diminishing returns ke increasing returns, dari stability ke discontinuous change, dari perfecting the known ke imperfectly seizing the unknown (Prahalad, 1998) dan dari red ocean strategy ke blue ocean strategy (Kim dan Mouborgne, 2005).
Dalam dekade milenium baru, berdasarkan catatan-catatan di atas, ada satu fenomena yang tetap menarik perhatian dari berbagai kajian disiplin ilmu, kalangan bisnis maupun pemerintah, yaitu “globalisasi”. Banyak catatan tentang fenomena peradaban kontemporer ini. Bagi sebagian kalangan, globalisasi terkadang sering diplesetkan sebagai gombalisasi, yakni sesuatu yang tidak ada apa-apanya. Berbagai pihak menganggap sebagai masa depan yang penuh harapan; sebagian lagi cenderung meramalkan sebagai masa depan yang penuh ketidakpastian; bahkan sering dikatakan bahwa yang pasti itu adalah ketidakpastian itu sendiri.
Bagi kaum akademisi, globalisasi dianggap sebagai fenomena yang sangat menarik untuk dicermati, karena dewasa ini terlihat dengan jelas berlangsungnya proses transformasi global (D. Held et al., 1999) yang makin nyata dalam bidang politik, tatanan teritorial kenegaraan, budaya, dan ekonomi. Pengintegrasian pasar barang, jasa, investasi, serta jaringan dan organisasi berbasis ilmu pengetahuan semakin tampak (knowledge network and competency of organization), baik inter, intra-firms maupun across the nations. Barang dan jasa itu dirancang, dibuat dan dipasarkan ke seluruh penjuru dunia dengan melalui tatanan mata rantai produksi yang dinamis dan mampu melampaui batas negara (cross-border dynamic valuechain) serta lintas perusahaan. Kotter (1996) mengingatkan adanya perubahan dahsyat sistem ekonomi makro dalam bentuk globalisasi pasar dan kompetisi. Hal ini ditandai oleh arus investasi, industri, teknologi informasi, dan individual consumers yang melampaui lintas batas geografis dan negara. Untuk itu, agar tetap kompetitif negara dituntut mampu memberikan merek pada dirinya sendiri dan menawarkan sesuatu yang berbeda (unik) (Gobe, 2006). Sehingga, memisahkannya dari persaingan menjadi sesuatu hal yang harus dilakukan (Ohmae, 1995 dan 2005).
Akselerasi globalisasi terus meningkat seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi, transportasi, dan komunikasi. Paradigma ekonomi pun pada gilirannya bergeser dari ekonomi industri menuju era ekonomi informasi dan dari era manufaktur menuju era mentofacture (Marquardt, 1994). Implikasi perubahan ini jelas sampai pada sendi-sendi kehidupan manusia dalam berbangsa, seperti diingatkan oleh Don Tapscot (1996). Lebih lanjut Tapscot memperkirakan bahwa era informasi ini akan terfokus pada selusin tema ekonomi baru, yaitu: 1) kemunculan produk berbasis pengetahuan; 2) digitalisasi; 3) virtualisasi; 4) molecularization; 5) networking; 6) disintermediation; 7) industri berada dalam satu atap; 8) industri berbasis inovasi; 9) batas antara produsen dan konsumen semakin kabur; 10) immediacy; 11) globalisasi; dan 12) merebaknya isu perpecahan masyarakat.
Kini, munculannya information superhighway dan digital economy di negara-negara maju telah mendorong lahirnya Manajemen Generasi Kelima (The 5th Generation Management), seperti disimpulkan oleh Savage (1996) yang merupakan karakteristik terkini fenomena globalisasi. Manajemen generasi kelima ditandai oleh beberapa hal. Yang paling menonjol adalah pentingnya membangun daya saing melalui knowledge creating organization and knowledge network sebagaimana diungkapkan oleh Nonaka dan Takeuchi (1996). Intinya, daya saing sebuah badan usaha sangat ditentukan oleh bagaimana organisasi itu dapat mentransformasikan data untuk dianalisis sehingga menjadi informasi, dan informasi diberi penilaian (judgement) hingga menjadi ide, lalu ide tersebut diberi konteks, sehingga menjadi pengetahuan (knowledge). Dari pengetahuan inilah daya saing organisasi dapat diwujudkan. Pada akhirnya, barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan yang unggul akan selalu bertumpu pada strategi yang berbasis sumberdaya (resource-based) dan knowledge-based. Hal inilah yang disinggung oleh Hamel (2000) yang akan terus mendorong perusahaan melakukan continous improvement. Hanya ide-ide non-linearlah yang akan bertahan di masa yang akan datang.
Sesungguhnya, konsep strategi bersaing (C. Eden, 1998) dapat dikonfigurasikan menurut dua model, yakni model preskriptif dan model deskriptif. Dalam dua model inilah mazhab-mazhab strategi seperti Planning School, Cultural School, Environmental School, Entrepreneurial School, dan Positioning School (Mintzberg dkk, 1998) dikelompokkan. Secara konseptual, penjelasan konsep strategi bersaing bisa dilihat dari beberapa pendekatan, yakni model rationalistic, evolutionaire, dan processual (Kees Van Der Heijden, 1996).
Pendekatan resource-based yang dimotori oleh Selznick dan dikembangkan oleh Hamel Prahalad, pada akhirnya membuahkan konsep distinctive competencies yang muaranya memunculkan konsep kompetensi inti (core competence). Konsep inilah yang menjadi basis daya saing dan menjadikan perusahaan bisa bertahan untuk jangka panjang. Karena itu, untuk membuat hidup dan berkembangnya sebuah aspirasi bukanlah perkara mudah, sebab perlu dilihat habits for survival-nya (Arie de Geus, 1997).
Pada kesempatan ini, akan diulas tentang fenomena globalisasi dan strategi bersaing, melalui pendekatan terkini, yakni Resources Based Strategy sebagai penyempurnaan dari Market Based Strategy, sehingga diharapkan kita mampu mencermati globalisasi yang penuh dengan misteri. Dengan demikian, kita pada gilirannya dapat melakukan penataan ulang strategi pemasaran pariwisata Indonesia.
Dalam uraian-uraian berikut ini, kita akan membahas lima misteri globalisasi, evolusi teori pemasaran pariwisata, perkembangan teori kepuasan wisatawan, kualitas kepariwisataan hingga Tourism Satisfaction Approach, dilanjutkan pemaparan tentang potret kinerja pariwisata Indonesia, diakhiri dengan gagasan mengenai penataan ulang strategi pemasaran pariwisata Indonesia, dan model Tourism Satisfaction (Toursat).
Lima Misteri Globalisasi
Dewasa ini, persaingan sudah beralih dari perebutan pangsa pasar (market share) menuju perebutan pangsa peluang (opportunity share). Dalam kaitan ini, Garry Hamel dan C.K. Prahalad (1993) mengindikasikan adanya dua aspek yang menyebabkan mengapa suatu organisasi bisnis gagal bersaing. Pertama, banyak organisasi yang gagal untuk keluar dari kungkungan masa lampau (escape from the past), yakni kemampuan meninggalkan paradigma lama dalam menyiasati strategi bisnis saat ini. Kedua, banyak organisasi yang gagal pula untuk menerawang masa depan (invent the future), yakni menciptakan masa depan dengan proses pembelajaran kolektif (collective learning) yang mampu mengintegrasikan kompetensi inti yang bersifat sangat unik atau distinktif, baik intra maupun antar perusahaan (distinctive core competencies). Yang terakhir ini sangat berguna untuk merebut opportunity share.
Tidak diragukan bahwa globalisasi telah membawa dampak yang luar biasa bagi tata kehidupan manusia. Di antara pakar yang mencatatnya adalah Jeffrey Sachs dalam tulisannya bertajuk “International Economics: Unlocking the Mysteries of Globalization”, dimuat dalam Foreign Policy Journal, Spring 1998. Sachs mempertanyakan empat hal pokok yang intinya ingin mengungkap dan memecahkan misteri seputar globalisasi. Pertama, apakah globalisasi dapat mendongkrak perekonomian dunia secara lebih cepat, mengingat empat per lima penduduk dunia (sekitar 4,5 milyar orang) masih tinggal di negara-negara berkembang. Ataukah globalisasi justru akan meruntuhkan perekonomian dunia menjadi semakin terpuruk?
Kedua, apakah globalisasi akan meningkatkan atau justru mengurangi stabilitas perekonomian mikro? Apakah keruntuhan tiba-tiba perekonomian pasar yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya seperti yang terjadi belakangan ini, yakni Meksiko pada tahun 1994 dan di Asia pada tahun 1997, merupakan indikasi retaknya proses globalisasi? Apakah perubahan ini masih dapat dikelola; atau dengan kata lain, apakah benturan keras dalam mewujudkan kesejahteraan dunia masih dapat dihindari?
Ketiga, apakah globalisasi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dunia, sehingga kesenjangan antarnegara atau antarmasyarakat dunia dapat dikurangi? Bila mungkin, apakah pengurangan kesenjangan ini berimplikasi positif bagi pekerja yang kurang terampil di negara yang sudah maju; atau justru hal ini menjadikan tarik-menarik kekuatan pasar semakin meningkat.
Keempat, ini yang paling relevan dengan perbincangan hari ini, bagaimanakah lembaga pemerintah di tingkat lokal, nasional, maupun internasional menyesuaikan diri terhadap perubahan besar tersebut; dan yang lebih penting, apa tanggung jawab masing-masing lembaga pemerintah dalam menghadapi globalisasi yang mengandung misteri tersebut?
Selain empat pertanyaan atau misteri yang dikemukakan Sachs, misteri kelima yang perlu kita cermati dalam konteks Indonesia adalah: apakah globalisasi akan mengantarkan Indonesia mampu bersaing dalam memasuki milenium baru ini atau justru akan terlempar dari kancah persaingan pemasaran global?
Pertanyaan yang lebih konkret adalah: bagaimanakah Indonesia menyikapi datangnya globalisasi yang penuh dengan misteri tersebut? Hari ini kita akan membahas masalah ini dari perspektif manajemen pemasaran pariwisata, khususnya melalui paradigma atau pendekatan baru, yakni Tourism Satisfaction Strategy.
Pada dekade terakhir ini, kita dihadapkan pada dua fenomena paradoksal. Pertama, catatan keberhasilan kawasan Asia-Pasifik seperti yang pernah diungkapkan John Naisbitt (1996) dalam Megatrend Asia; G. Yip (1998) yang menjelaskan daya saing perusahaan di Asia; ataupun Kanter (1996) tentang Asian Miracle dan tentang World Class. Kedua, berbeda dengan ramalan tersebut, negara-negara seperti Indonesia, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan tidak terkecuali Jepang tidak dapat terhindar dari dampak globalisasi. Fenomena ini benar-benar bertolak belakang dengan fenomena pertama tadi, sehingga kita patut mempertanyakan: apakah globalisasi mencerahkan Asia di pentas internasional?
Indonesia merupakan negara di Asia yang paling menderita sepanjang sejarah krisis sejak Perang Dunia II. Pada tahun 1998 yang lalu, diperkirakan terjadi pertumbuhan negatif yakni minus 15,1% dengan inflasi lebih dari 75%. Pada waktu itu, nilai rupiah jatuh menjadi 6 kali lebih rendah dari Rp 2.400,- per dolar AS pada tahun 1996 lalu menjadi lebih dari Rp 10.000,- per dolar AS pada pertengahan tahun 1998. Bahkan pada tahun 1998, rupiah pernah menyentuh titik terendah, yakni satu dollar AS mendekati Rp 20.000,-. Akibat depresiasi rupiah ini adalah merosotnya peringkat Indonesia dari negara berpendapatan US $ 1.000 per kapita menjadi $ 260 per kapita. Pada waktu itu, paling sedikit ada 1.200 perusahaan gulung tikar dan angka pengangguran mencapai 40 juta orang.
Kemudian, kita mempertanyakan kembali di mana posisi Indonesia di tengah misteri globalisasi? Apakah globalisasi akan membawa negeri kita ke arah yang lebih maju atau sebaliknya, membawa Indonesia ke arus pusara globalisasi dengan dominasi para pelaku dari negeri lain. Namun, pertanyaan yang lebih tepat adalah bagaimana agar Indonesia mampu memecahkan misteri globalisasi dengan menjadi pelaku yang aktif dalam pemasaran global, bukan sekadar obyek yang menjadi sarana para pemain dari mancanegara.
Implementasinya bagi negara adalah bahwa untuk berkompetisi pemerintah tidak harus menerapkan pajak yang rendah, memberikan insentif besar bagi pengusaha dan pebisnis, atau menekan gaji buruh sekecil mungkin. Hal tersebut hanya akan menciptakan samudera merah (penuh dengan kompetisi) yang pada akhirnya hanya akan merugikan daerah itu sendiri dan mengorbankan penduduk daerah yang menjadi tenaga kerja. Mari hindari persaingan (kompetisi) yang akan berakibat pada tindakan yang merugikan. Ciptakan samudera biru (Blue Ocean Strategy) ruang pasar yang belum terjelajahi, ciptakan permintaan, dan peluang pertumbuhan yang sangat menguntungkan. Bangun image baru bagi Indonesia.
Perkembangan Teori Kepuasan Wisatawan, Kualitas Kepariwisataan, Hingga Tourism Satisfaction Approach
Teori kepuasan wisatawan diadopsi dari teori kepuasan pelanggan (costumer satisfaction) yang didasarkan pada paradigma diskonfirmasi (disconfirmation paradigm) oleh Oliver (1980). Menurut pandangan teori ini, kepuasan pelanggan ditentukan oleh dua variabel kognitif. Yakni harapan pra-pembelian (prepurchase expectations), yaitu keyakinan tentang kinerja yang diantisipasi dari suatu produk dan “disconfirmation”, yaitu perbedaan antara harapan pra-pembelian dan persepsi purna-pembelian (postpurchase perception).
Pada tahun 1990-an, Pawitra mengemukakan bahwa manfaat kepuasan pelanggan dapat diperoleh pada tingkat makro maupun mikro. Pada tingkat makro, kepuasan pelanggan memberikan manfaat berupa indikator ekonomi nasional. Oleh karena itu, kepuasan pelanggan merupakan nilai dasar yang penting bagi pemerintah dan masyarakat karena dapat menunjukkan kualitas hidup rakyat negara yang bersangkutan. Lazimnya, disediakan suatu ukuran nasional berupa indeks, yang mengukur bagaimana perusahaan dan industri memuaskan para pelanggannya. Indeks kepuasan konsumen ini mengukur kualitas dari perspektif pelanggan. Pada tingkatan mikro, kepuasan pelanggan dapat digunakan sebagai indikator kemampuan berlaba perusahaan, khususnya sebagai pertimbangan dasar dalam perencanaan program pemasaran. Konsep kepuasan pelanggan juga dapat digunakan sebagai dasar dari pengembangan model pelbagai perilaku pembeli. Dan kepuasan pelanggan juga dapat berfungsi sebagai pedoman untuk mengarahkan seluruh organisasi ke arah pemenuhan kebutuhan pelanggan, sehingga menjadi sumber dari keunggulan daya saing berkelanjutan. Juga tidak kalah pentingnya bahwa kepuasan pelanggan ini dapat menjadi piranti dalam berbagai tujuan.
Kepuasan adalah persepsi yang dirasakan seseorang terhadap suatu objek atau kegiatan. Kepuasan wisatawan adalah persepsi yang dirasakan wisatawan saat melaksanakan wisatanya dan setelah melakukan wisatanya. Kepuasan mengandung persepsi umum yang berkembang pada seorang wisatawan tentang sebuah produk wisata yang dibeli atau jasa wisata setelah pembeliannya (Ginting, 2005).
Ada dua landasan teoritis studi pemasaran pariwisata, yakni: pertama, teori perilaku konsumen tentang kepuasan pelanggan, dan kedua, teori pertukaran dan paradigma pemasaran pariwisata.
Perlu dibicarakan terlebih dahulu teori pertama, yaitu teori perilaku konsumen tentang kepuasan pelanggan. Dari perspektif psikologi kepuasan pelanggan dapat dibagi dua yakni, model kognitif dan model afektif. Model kognitif adalah suatu cara penilaian pelanggan terhadap produk dan jasa yang dilandaskan pada perbedaan antara dua kumpulan kombinasi atribut yang dipandang gayut untuk individu dan persepsinya tentang kombinasi dari atribut yang sebenarnya. Sedangkan model afektif adalah cara penilaian pelanggan individual tentang produk dan jasa tidak semata-mata atas perhitungan rasional, namun berdasarkan pada kebutuhan subjektif, aspiratif, dan pengalaman (Pawitra, 1993).
Kepuasan wisatawan tergantung pada nilai kinerja produk wisata yang dirasakan secara relatif terhadap harapan wisatawan. Jika kinerja produk wisata lebih rendah dari harapan wisatawan, berarti wisatawan kecewa. Jika kinerja produk wisata dapat memenuhi harapan wisatawan, maka wisatawan merasa puas. Jika kinerja produk wisata melebihi harapan wisatawan, maka wisatawan tidak hanya merasa puas, tapi juga merasa menyenangkan. Perusahaan wisata yang baik adalah perusahaan yang dapat menyenangkan wisatawan dengan mempromosikan apa yang dapat mereka berikan, kemudian memberikan lebih dari yang dijanjikan (Ginting, 2005).
Harapan wisatawan didasarkan pada pengalamannya, saran dari teman-teman, dan mungkin dari promosi atau informasi pemasar maupun pesaing. Para pemasar harus hati-hati memberikan harapan dengan promosi atau informasi kepada wisatawan. Bila mereka memberikan harapan terlalu rendah, mungkin dapat memuaskan wisatawan, tapi akan gagal menambah wisatawan baru. Jika mereka memberikan harapan terlalu tinggi, wisatawan akan dikecewakan.
Perusahaan berusaha memberikan kepuasan yang lebih tinggi secara relatif dibandingkan dengan pesaing, dan ini bukan berarti memaksimalkan kepuasan wisatawan. Suatu perusahaan selalu dapat menaikkan kepuasan dengan menekan harga atau meningkatkan pelayanan. Tapi, hal ini akan mengakibatkan penurunan keuntungan perusahaan. Tujuan perusahaan adalah untuk menghasilkan nilai pelanggan secara menguntungkan. Nilai pelanggan adalah perbedaan antara benefit yang diperoleh pelanggan dari produk dan biaya untuk memperoleh produk tersebut.
Kemudian dibicarakan teori kedua, yaitu teori pertukaran dan paradigma pemasaran pariwisata. Teori pertukaran termasuk salah satu konsep inti pemasaran (Kotler et al., 1999). Pemasaran pertukaran terjadi ketika orang memutuskan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan melalui suatu pertukaran. Pertukaran ini dilakukan sebagai tindakan terhadap penerimaan suatu hasrat tertentu dari seseorang dengan menawarkan sesuatu sebagai imbalan kepada orang lain. Teori pertukaran ini terlihat ketika wisatawan memutuskan untuk mengunjungi suatu daerah wisata. Dengan harapan, wisatawan dapat menikmati kepariwisataan yang ada di daerah tersebut dengan membawa sejumlah uang.
Kotler et al. (1999) menjelaskan lebih rinci bahwa kebutuhan manusia (need) adalah suatu pernyataan kekurangan dari beberapa kepuasan dasar, sedangkan keinginan (want) adalah hasrat untuk kepuasan yang lebih spesifik dari kebutuhan yang lebih mendalam lagi. Sementara itu, permintaan adalah keinginan untuk produk spesifik (yang ditawarkan) yang didukung oleh kemampuan daya beli dan keinginan untuk membeli.
Paradigma pemasaran pariwisata di dalam suatu pertukaran paling tidak harus memuaskan dua bagian, yakni pelaku bisnis pariwisata dan wisatawan. Setiap bagian harus mempunyai sesuatu yang bernilai dengan yang lain, yaitu bahwa pelaku bisnis menawarkan jasa dan produknya yang bernilai bagi wisatawan, dan wisatawan mempunyai daya beli yang bernilai bagi pelaku bisnis pariwisata. Setiap bagian ini harus bebas menerima atau menolak tawaran satu dengan yang lain. Suatu hal yang penting bahwa setiap bagian itu harus dapat mengomunikasikan dan menyampaikan nilai-nilai yang dimiliki masing-masing sehingga memungkinkan terjadi suatu pertukaran. Jika mereka setuju, kita menyimpulkan bahwa tindakan pertukaran membuat mereka lebih baik (minimal tidak lebih buruk) karena mereka bebas menolak atau menerima tawaran masing-masing. Dalam pengertian ini, produsen menghasilkan nilai, pertukaran menghasilkan nilai, dan inilah yang memungkinkan orang mengonsumsi pariwisata.
Pendekatan kepuasan pariwisata (tourism satisfaction approach) adalah satu model yang digunakan dalam mengukur kepuasan wisatawan terhadap satu kawasan wisata. Model ini telah digunakan untuk mengukur kepuasan wisatawan asing yang berkunjung ke Sumatra Utara (Ginting, 2005). Model ini menghasilkan satu strategi pemasaran pariwisata Sumatra Utara yang disebut “Strategi Tiga Serangkai Pariwisata”. Strategi ini disesuaikan dengan adat budaya Batak Karo Sumatra Utara, yakni “Merga Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu”. Rakut Sitelu berarti Tiga Serangkai yakni Kalimbubu, Senina, dan Anak Beru. Filosofi budaya adat ini mengatakan:
“Mehamat Er Kalimbubu, Metami Er Anak Beru, Metenget Er Senina”. Hal ini berarti Kalimbubu harus dihormati dengan sopan dan santun, karena dia dapat menentukan segalanya bahkan disebut (Dibata Ni Idah). Pengertian Metami Er Anak Beru adalah Anak beru harus, diarahkan, dimotivasi, dan dikendalikan dengan penuh kasih dan sayang. Pengertian Metenget Er Senina adalah waspada terhadap Senina. Senina ini harus diperhatikan dan diwaspadai dengan daya saing. Karena Senina ini adalah sebagai pesaing yang berlomba dalam merebut hati Kalimbubu dan Anak Beru.
Dalam tingkatan pemasaran makro, tiga serangkai tersebut adalah konsumen, pelaku bisnis, dan pemerintah. Pada tingkat pemasaran mikro, tiga serangkai tersebut adalah pelanggan, karyawan, dan pengusaha. Dengan demikian, pemerintah dan pengusaha harus dapat meningkatkan daya saingnya masing-masing. Pemerintah meningkatkan daya saingnya untuk bersaing dengan negara lain, pengusaha juga harus meningkatkan daya saingnya untuk bersaing dengan perusahaan yang lain, baik di dalam maupun di luar negeri. Persaingan di sini dalam arti persaingan sehat, yakni efisiensi dan kinerja yang baik.
Potret Kinerja Pemasaran Pariwisata Indonesia
Setelah menguraikan fenomena dan lima misteri globalisasi, dilanjutkan dengan perkembangan teori kepuasan wisatawan, kualitas kepariwisataan hingga tourism satisfaction approach, marilah kita lihat kinerja pemasaran pariwisata Indonesia hingga beberapa tahun terakhir ini.
Perkembangan Kunjungan Wisatawan Asing ke Indonesia 1990–2005
Gambaran penerimaan devisa dari wisatawan asing juga tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Terlihat sejak tahun 1996 penerimaan devisa kita terus mengalami penurunan.
Menata Ulang Strategi Pemasaran Pariwisata Indonesia
Setelah melihat gambaran sekilas mengenai potret kinerja pemasaran pariwisata Indonesia, kita perlu memahami lebih mendalam mengenai visi, kebijakan dan strategi pemerintah, serta strategic marketing dalam kaitannya dengan pemasaran pariwisata Indonesia.
Sejalan dengan era otonomi daerah yang sedang digalakkan dan adanya promosi pariwisata dengan “Visit Indonesia Year 2008”, pemerintah ingin memiliki visi yang menginginkan agar Indonesia menjadi negara tujuan wisata yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di kawasan Asia Tenggara. Sementara misi yang diemban sektor pariwisata adalah sebagai penggerak utama dan pendobrak hambatan pariwisata di luar negeri dengan mematuhi aturan main sistem globalisasi pariwisata, AFTA, APEC, dan WTO, serta mengamankan kebijakan pariwisata nasional melalui penataan ulang strategi pemasaran pariwisata Indonesia dan kualitas pariwisata yang unggul.
Bila kita mencermati visi dan misi tersebut, belum tergambar secara jelas visi dan misi yang mengedepankan Indonesia menjadi negara tujuan wisata yang berbasiskan pada sumber daya, bukan hanya sumber daya alam, tetapi yang lebih penting adalah berbasis ilmu pengetahuan melalui proses pembelajaran (learning) yang dinamis agar dapat menciptakan kompetensi inti yang baik pada tingkat makro (country‘s level) hingga tingkat perusahaan (firm‘s level). Karena itu, ditawarkan dalam konteks ini suatu penataan ulang dengan visi baru yang bertumpu pada pendayagunaan sumber daya (resource based approach), sekaligus membangun mental model dan system thinking berbisnis dan berbangsa yang tangguh melalui semangat kompetisi dan kooperasi intra dan antar organisasi pariwisata, serta melalui jaringan yang kokoh dalam pemasaran pariwisata dengan berbasis pada knowledge and skill.
Penataan ulang strategi pemasaran pariwisata tersebut, bukan ditekankan pada pemanfaatan sumber daya alam semata, tetapi merupakan pengintegrasian antara sumber daya yang sifatnya tangible, intangible, dan human resources dalam semangat “collective learning”.
Menegakkan semangat collective learning ini perlu dimulai dari tingkatan makro (pemerintah) sebagai inisiator, change creator (Kotler, et al., 1999), maupun fasilitator (Porter, 1995) hingga tataran mikro (pelaku bisnis).
Kebijakan teknis operasional pemasaran pariwisata dengan landasan daya saing adalah melalui keunggulan komparatif dan keungulan kompetitif di pasar yang berbasis sumber daya alam. Kebijakan ini, menurut hemat saya, perlu ditata ulang dengan mengubah landasan daya saing berupa keunggulan berbasis sumber daya (resources based advantage), baik sumber daya berwujud (tangible) maupun tak berwujud (intangible).
Melihat kinerja pemasaran pariwisata Indonesia beberapa dasawarsa terakhir ini, memang masih jauh dari yang diharapkan. Langkah-langkah gencar yang dilakukan hanya terbatas pada promosi pariwisata dan penguatan jaringan pemasaran pariwisata sebagai alat untuk penyebaran informasi pariwisata Indonesia. Kini, sudah waktunya untuk memikirkan grand strategy marketing termasuk di dalamnya pendekatan kepuasan pariwisata (tourism satisfaction approach) sebagai upaya terpadu untuk menjangkau pasar global.
Penutup
Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya unggulan (comparative advantage) seperti keindahan alam, kekayaan flora dan fauna, serta keramahan masyarakat dan keunikan budaya daerahnya, serta masih banyak lagi lainnya yang merupakan aset bersifat tangible sebagai cikal bakal untuk mewujudkan strategi pemasaran pariwisata dengan menggunakan model tourism satisfaction approach. Keunggulan kepemilikan sumber daya alam ini sebagai aset yang tangible ini harus dipadukan dengan aset yang intangible, seperti teknologi, kultur, dan reputasi serta sumber daya manusia dengan superioritas skill dan knowledge. Hanya dengan perpaduan ketiganya, yaitu melalui suatu “collective learning” akan dapat diciptakan suatu keunggulan bersaing pada tingkat makro (negara) maupun mikro (badan usaha) dalam rangka membangun “strategic marketing” berdasarkan keunggulan bersaing yang diciptakan.
Sejalan dengan gelombang pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah di mana kewenangan untuk mengembangkan daya saing perlu dimulai pada tingkat kabupaten/kota, maka konsep serupa yang pernah diterapkan di Jepang, yaitu “One Village One Product” perlu dimodifikasi ke dalam gerakan “Satu Kabupaten Satu Keunggulan Bersaing”. Konsep tersebut intinya ialah mempersiapkan infrastruktur yang kuat, daya kohesi dan interkoneksitas antar-kabupaten. Dengan demikian dapat dimulai dipetakan (geographical mapping) daya saing inti untuk setiap kabupaten/kota, yang seyogianya kesemua hal tersebut harus dibangun sebagai dasar untuk membentuk collective learning antar-kabupaten/kota. Hal ini dapat meniadakan semangat kedaerahan yang hanya memperebutkan wilayah yang memiliki sumber daya alam, bahkan dapat meniadakan keinginan memisahkan diri dari Indonesia, karena masih banyak produk-produk unggulan yang dapat dikaitkan dengan keunggulan yang berbasis pada knowledge.
Negara tetangga seperti Singapura merupakan contoh negara yang tidak memiliki sumber daya alam namun memiliki daya saing no. 2 dunia. Demikian juga Jepang dan Korea. Masih banyak contoh wilayah yang gersang dan penuh gurun yang tandus di Australia dapat menjadikan daerah tujuan wisata yang menarik dengan keindahan pantainya, seperti Pantai Gold Coast yang begitu bersih dan panjang, dan dapat menciptakan produk-produk berbasis knowledge, seperti mobil amphibi yang dapat menelusuri pantai yang begitu indah, demikian pula dengan olah raga surfing di Gold Coast, dan sebagainya.
Semoga dengan kebangkitan ekonomi Indonesia setelah krisis ini, kita dapat bergabung dengan negara-negara yang sedang dan sudah membangun pariwisata yang berbasis knowledge. Upaya ini semua akan sia-sia apabila peningkatan human capacity melalui pendidikan dasar, menengah, dan tinggi tidak kita pikirkan. Perbaikan strategi pemasaran pariwisata yang bertumpu pada resource-based mudah-mudahan dapat mengangkat bangsa ini keluar dari krisis. Sambil menata kembali masalah intern Indonesia, dengan kegiatan pemasaran pariwisata Indonesia, maka devisa dapat ditingkatkan sebagai salah satu upaya penyembuh krisis Indonesia.
Daftar Pustaka
De Geus, Arie, (1997), The Living Company, Harvard Business School Press, Massachusetts.
Eden, Colin & Ackermann, Fran, (1998), Making Strategy, Sage Publication.
Ginting, Paham, (2007), “Perencanaan Pemasaran Pariwisata”, Makalah disampaikan pada tanggal 24 Oktober 2007 di Hotel Dharma Deli, Medan.
Ginting, Paham, (2005), Pemasaran Pariwisata: Studi Empiris tentang Kepuasan dan Kunjungan Berkelanjutan Pariwisata Sumatera Utara, USU Press, Medan.
Ginting, Paham, (2007), “Teknis Analisis Perencanaan Pemasaran Pariwisata”, Makalah disampaikan pada tanggal 25 Oktober 2007 di Hotel Dharma Deli, Medan.
Ginting, Paham, (2002), “Kepuasan Pengguna Perpustakaan sebagai Indikator Kualitas Jasa Perpustakaan”, Makalah disampaikan pada tanggal 28 Augustus 2002 dalam Seminar Pustakawan Indonesia, Perpustakaan Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Medan.
Gobe, Marc, (2005), Emotional Branding, Penerbit Erlangga, Jakarta.
------ , (2006), Citizen Brand, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Hamel, Gary, (2000), Leading The Revolution, Harvard Business School Press, Massachusetts.
Hamel G. and C.K. Prahalad (1993), Competing for the Future, New York.
Held, David, et al., (1999), Global Transformations, Polity Press, Cambridge.
Kim, C. W., Mauborgne R., 2005, Blue Ocean Strategy, Penerbit Serambi, Jakarta.
Kotler P., et al. (1997), Marketing of Nation, Free Press New York.
Marquardt, M. J. & Angus R. (1994), The Global Learning Organization, R. D. Irwin, New York.
Mintzberg, et al., (1998), Strategy Safari, The Free Press.
Moss Kanter E., (1995), World Class, Simon – Schuster New York.
Nonaka I. & Takeuchi H., (1996), The Knowledge Creating Company: How Japanese Companies Create The Dinamic of Innovation, Oxford Univ. Press, New York.
Naisbitt, J., (1996), Megatrend ASIA Nicholas – Braley, London.
Ohmae, Kenichi, (1995), Borderless World, New York.
------ , (2005), The Next Global Stage, Penerbit Indeks, Jakarta.
Pawitra, Teddy, (1993), Kepuasan Pelanggan sebagai Keunggulan Daya Saing: Konsep, Pengukuran, dan Implikasi Stratejik, Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya, Jakarta.
------, (1995), Manajemen Pemasaran: Masa Lampau, Kini, dan Mendatang, Manajemen Usahawan Indonesia, Lembaga Manajemen–UI, Jakarta.
Prahalad C. K., (1998), Managing Discotinuities: The Emerging Chalanges, Research Technology Management Institute, USA.
Savage C. M., (1996), The 5th Generation Management, Butterworth Heinemann, New York.
Situmorang, Syafrizal Helmi, (2007), “Regional Branding: Strategi Memasarkan Daerah, Wahana Hijau, Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah”, Volume 2, Nomor 3, April 2007, SPs USU, Medan.
Tapscot, D. (1996), The Digital Economy, Mc.Graw Hill, New York.
Thurow, L., (1999), Building Wealth: The New Rules for Individuals, Companies, and Nations in A Knowledge Based Economy, Harper Collins, New York.
Van der Heijden, (1996), Scenarios: The Art of Strategic Coversation, John Wiley & Sons, West Sussex.
Yip G., (1992), Total Global Strategy: Managing for Worldwide Competitive Advantage, New Jersey, NY.,Prentice-Hall Inc.
__________
Prof. Dr. Paham Ginting adalah Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.
Tulisan ini ditulis dalam rangka Pengukuhan Guru Besar yang disampaikan di hadapan Rapat Terbuka, Senat Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan. Dan pernah dimuat di http:www.usu.ac.id.