Oleh : Tim Wacana Nusantara
Mahisa Anabrang dan Pamalayu
Pada tahun 1275 Kertanagara raja Singhasari mengirim pasukan untuk menaklukkan Kerajaan Dharmasraya di pulau Sumatra. Pengiriman pasukan ini terkenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu. Baik Nagarakretagama ataupun Pararaton sama sekali tidak menyebutkan siapa nama komandan ekspedisi ini. Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan nama komandan Ekspedisi Pamalayu tersebut, yaitu Mahisa Anabrang, yang artinya ialah “kerbau yang menyeberang”. Terdapat kemungkinan bahwa ini bukan nama asli, atau pengarang kidung tersebut juga tidak mengetahui dengan pasti siapa nama asli sang komandan.
Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin Mahisa Anabrang memperoleh keberhasilan. Nagarakretagama mencatat Melayu masuk ke dalam daftar jajahan Singhasari selain Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura. Pasukan Pamalayu kembali ke Jawa tahun 1293 dengan membawa dua orang putri bernama Dara Jingga dan Dara Petak, semula untuk dipersembahkan kepada Kertanagara. Namun Kertanagara telah tewas setahun sebelumnya akibat pemberontakan Jayakatwang. Menantu Kertanagara yang bernama Raden Wijaya telah berhasil mengalahkan Jayakatwang dan mendirikan Kerajaan Majapahit, sehingga ia yang menerima persembahan tersebut.
Mahisa Anabrang dalam pemberontakan Rangga Lawe
Mendengar kegagalan pasukan Majapahit dalam mengatasi pemberontakan Rangga Lawe, Sri Kertarajasa akhirnya memutuskan untuk mengambil alih pimpinan. Sri Kertarajasa akhirnya bergerak ke Wirakrama dengan membawa pasukan sebanyak sepuluh ribu prajurit. Pada saat itu Mahisa Anabrang ditugaskan oleh Lembu Sora untuk memimpin pasukan dari arah timur, dan langsung terlibat dalam pertempuran.
Perkelahian sengit akhirnya terjadi antara Mahisa Anabrang dengan Rangga Lawe, dalam perkelahian tiu akhirnya Rangga Lawe berhasil memukul pasukan Mahisa Anabrang. Dalam pertempuran ini Mahisa Anabrang kehilangan kudanya karena tertikam oleh Rangga Lawe, namun dianya berhasil meloloskan diri dari serangan Rangga Lawe.
Terlepas dari maut dalam pertempuran pertama, akhirnya Mahisa Anabrang memutuskan untuk mencegat pasukan Rangga Lawe di tepi Sungai Tambak Beras. Untuk kedua kalinya Rangga Lawe bertemu lagi dengan Mahisa Anabrang, pertempuran kali ini terjadi di Sungai tambak Beras. Pertemuan kedua ini merupakan rencana yang disusun oleh Kebo Anabrang guna mencegat perjalanan Rangga Lawe. Kebo Anabrang pada saat itu merasa sedih hatinya melihat pasukan Majapahit, di usak-asik oleh paskan pimpinan Rangga Lawe. Kebo Anabrang pada saat itu melakukan rendam badan bersama kuda barunya agar badannya merasa sehat segar kembali. Pada saat itu Rangga Lawe melihat Kebo Anabrang dan secara cepat, Rangga Lawe menyerang Kebo Anabrang, namun Kebo Anabrang berhasil menghidar dan menceburkan badannya ke dalam air.
Dalam pertempuran itu kebo Anabrang berhasil menikam kuda Rangga Lawe (Kuda Nila Ambara), dan Rangga Lawe sendiri akhirnya jatuh ke dalam air. Diakatakan dalam Kidung Rangga Lawe bahwa ikan-ikan kelebekan, air mencurat bagai hujan akibat perang tanding dalam air Kebo Anabrang dan Ranggalawe. Mereka berdua bergulat, saling membanting satu sama lain, dan saling menangkis. Dalam pergulatan di dalam air tersebut Rangga Lawe akhirnya terdesak oleh serangan kemampuan Kebo Anabrang, pada saat itu kepala Rangga Lawe di tekan kedalam air, ketika muncul lagi ke atas permuakaan air, Rangga Lawe telah kehabisan napas (mati).
Lembu Sora yang menyaksikan pergulatan tersbeut , menaruh beals kasihan kepada Rangga Lawe. Tak disangka akhirnya ia turun ke dalam air untuk menusuk Kebo Anabrang dari belakang. Dengan seketika Kebo Anabrang mati terkena tikaman Lembu Sora di Sungai Tambak Beras. Kematian keduanya membuat kedua belah pihak sedih dan merasa kecewa atas peristiwa ini. Sang Prabu sendiri merasa kecewa atas banyaknya pasukan yang gugur dalam pertempuran termasuk ksatrianya Kebo Anabrang.
Identifikasi Kebo Anabrang dengan Adwayabrahma
Mahisa Anabrang kembali ke Jawa pada tahun 1293 dengan membawa dua orang putri Melayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Menurut Pararaton, Raden Wijaya mengambil Dara Petak sebagai istri dan menyerahkan Dara Jingga kepada seorang “dewa” (sira alaki dewa), yang berarti seorang bangsawan. Dara Jingga kemudian melahirkan seorang putra bernama Tuhan Janaka yang kemudian menjadi raja Melayu bergelar Mantrolot Warmadewa. Bila nama ini adalah nama lain dari Adityawarman yang memang kemudian menjadi raja di Sumatera, maka dapat dianggap bahwa Adityawarman adalah anak dari Dara Jingga.
Nama ayah Adityawarman adalah Adwayawarman menurut prasasti Kuburajo atau Adwayadwaja menurut prasasti Bukit Gombak. Gelar yang hampir serupa ialah Dyah Adwayabrahma, juga terdapat dalam prasasti Padangroco, sebagai salah seorang pengawal arca Amoghapasa yang dibawa ke Sumatra tahun 1286. Tertulis dalam prasasti bahwa Adwayabrahma yang menjabat rakryan mahamantri, suatu jabatan tinggi bagi bangsawan kerabat raja. Demikianlah terdapat anggapan bahwa tokoh Adwayabrahma ini adalah tokoh yang sama dengan Mahisa Anabrang komandan Pamalayu. Mahisa Anabrang adalah pahlawan penakluk Melayu, sehingga cukup wajar bila Raden Wijaya menyerahkan Dara Jingga kepadanya sebagai penghargaan. Namun demikian, dugaan bahwa pemimpin Pamalayu adalah dengan pemimpin rombongan Amoghapasa masih memerlukan bukti tambahan yang memperkuatnya.
Identifikasi Kebo Anabrang dengan Indrawarman
Menurut sumber dari Batak, nama komandan pasukan Singhasari yang dikirim untuk menaklukkan Sumatra adalah Indrawarman. Tokoh ini kemudian menolak mengakui kedaulatan Majapahit sebagai kelanjutan Singhasari. Indrawarman kemudian mendirikan Kerajaan Silo di Simalungun. Pada tahun 1339 datang pasukan Majapahit dipimpin Adityawarman dalam rangka pelaksanaan Sumpah Palapa. Adityawarman sebagai wakil raja Majapahit berhasil menaklukkan Silo. Indrawarman diberitakan tewas oleh serangan tersebut. Menurut legenda, Indrawarman tidak pernah kembali ke Jawa, sehingga sulit untuk menyamakannya dengan tokoh Mahisa Anabrang yang kembali ke Jawa tahun 1293.
Sumber
Marwati, Djoened Poesponegoro, dkk . 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Muljana, Slamet . 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Muljana, Slamet . 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Muljana, Slamet . 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
Muljana, Slamet . 1983. Pemugaran Persada Sejarah leluhur Majapahit”. Jakarta: Inti Idayu Press
…………………………………………..” Mahisa Anabrang”. [Online]. Terdapat di. http://id.wikipedia.org/wiki/Mahisa_Anabrang [17-0709]
http://www.wacananusantara.org/5/452/kebo-anabrang---mahisa-anabrang
Mahisa Anabrang dan Pamalayu
Pada tahun 1275 Kertanagara raja Singhasari mengirim pasukan untuk menaklukkan Kerajaan Dharmasraya di pulau Sumatra. Pengiriman pasukan ini terkenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu. Baik Nagarakretagama ataupun Pararaton sama sekali tidak menyebutkan siapa nama komandan ekspedisi ini. Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan nama komandan Ekspedisi Pamalayu tersebut, yaitu Mahisa Anabrang, yang artinya ialah “kerbau yang menyeberang”. Terdapat kemungkinan bahwa ini bukan nama asli, atau pengarang kidung tersebut juga tidak mengetahui dengan pasti siapa nama asli sang komandan.
Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin Mahisa Anabrang memperoleh keberhasilan. Nagarakretagama mencatat Melayu masuk ke dalam daftar jajahan Singhasari selain Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura. Pasukan Pamalayu kembali ke Jawa tahun 1293 dengan membawa dua orang putri bernama Dara Jingga dan Dara Petak, semula untuk dipersembahkan kepada Kertanagara. Namun Kertanagara telah tewas setahun sebelumnya akibat pemberontakan Jayakatwang. Menantu Kertanagara yang bernama Raden Wijaya telah berhasil mengalahkan Jayakatwang dan mendirikan Kerajaan Majapahit, sehingga ia yang menerima persembahan tersebut.
Mahisa Anabrang dalam pemberontakan Rangga Lawe
Mendengar kegagalan pasukan Majapahit dalam mengatasi pemberontakan Rangga Lawe, Sri Kertarajasa akhirnya memutuskan untuk mengambil alih pimpinan. Sri Kertarajasa akhirnya bergerak ke Wirakrama dengan membawa pasukan sebanyak sepuluh ribu prajurit. Pada saat itu Mahisa Anabrang ditugaskan oleh Lembu Sora untuk memimpin pasukan dari arah timur, dan langsung terlibat dalam pertempuran.
Perkelahian sengit akhirnya terjadi antara Mahisa Anabrang dengan Rangga Lawe, dalam perkelahian tiu akhirnya Rangga Lawe berhasil memukul pasukan Mahisa Anabrang. Dalam pertempuran ini Mahisa Anabrang kehilangan kudanya karena tertikam oleh Rangga Lawe, namun dianya berhasil meloloskan diri dari serangan Rangga Lawe.
Terlepas dari maut dalam pertempuran pertama, akhirnya Mahisa Anabrang memutuskan untuk mencegat pasukan Rangga Lawe di tepi Sungai Tambak Beras. Untuk kedua kalinya Rangga Lawe bertemu lagi dengan Mahisa Anabrang, pertempuran kali ini terjadi di Sungai tambak Beras. Pertemuan kedua ini merupakan rencana yang disusun oleh Kebo Anabrang guna mencegat perjalanan Rangga Lawe. Kebo Anabrang pada saat itu merasa sedih hatinya melihat pasukan Majapahit, di usak-asik oleh paskan pimpinan Rangga Lawe. Kebo Anabrang pada saat itu melakukan rendam badan bersama kuda barunya agar badannya merasa sehat segar kembali. Pada saat itu Rangga Lawe melihat Kebo Anabrang dan secara cepat, Rangga Lawe menyerang Kebo Anabrang, namun Kebo Anabrang berhasil menghidar dan menceburkan badannya ke dalam air.
Dalam pertempuran itu kebo Anabrang berhasil menikam kuda Rangga Lawe (Kuda Nila Ambara), dan Rangga Lawe sendiri akhirnya jatuh ke dalam air. Diakatakan dalam Kidung Rangga Lawe bahwa ikan-ikan kelebekan, air mencurat bagai hujan akibat perang tanding dalam air Kebo Anabrang dan Ranggalawe. Mereka berdua bergulat, saling membanting satu sama lain, dan saling menangkis. Dalam pergulatan di dalam air tersebut Rangga Lawe akhirnya terdesak oleh serangan kemampuan Kebo Anabrang, pada saat itu kepala Rangga Lawe di tekan kedalam air, ketika muncul lagi ke atas permuakaan air, Rangga Lawe telah kehabisan napas (mati).
Lembu Sora yang menyaksikan pergulatan tersbeut , menaruh beals kasihan kepada Rangga Lawe. Tak disangka akhirnya ia turun ke dalam air untuk menusuk Kebo Anabrang dari belakang. Dengan seketika Kebo Anabrang mati terkena tikaman Lembu Sora di Sungai Tambak Beras. Kematian keduanya membuat kedua belah pihak sedih dan merasa kecewa atas peristiwa ini. Sang Prabu sendiri merasa kecewa atas banyaknya pasukan yang gugur dalam pertempuran termasuk ksatrianya Kebo Anabrang.
Identifikasi Kebo Anabrang dengan Adwayabrahma
Mahisa Anabrang kembali ke Jawa pada tahun 1293 dengan membawa dua orang putri Melayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Menurut Pararaton, Raden Wijaya mengambil Dara Petak sebagai istri dan menyerahkan Dara Jingga kepada seorang “dewa” (sira alaki dewa), yang berarti seorang bangsawan. Dara Jingga kemudian melahirkan seorang putra bernama Tuhan Janaka yang kemudian menjadi raja Melayu bergelar Mantrolot Warmadewa. Bila nama ini adalah nama lain dari Adityawarman yang memang kemudian menjadi raja di Sumatera, maka dapat dianggap bahwa Adityawarman adalah anak dari Dara Jingga.
Nama ayah Adityawarman adalah Adwayawarman menurut prasasti Kuburajo atau Adwayadwaja menurut prasasti Bukit Gombak. Gelar yang hampir serupa ialah Dyah Adwayabrahma, juga terdapat dalam prasasti Padangroco, sebagai salah seorang pengawal arca Amoghapasa yang dibawa ke Sumatra tahun 1286. Tertulis dalam prasasti bahwa Adwayabrahma yang menjabat rakryan mahamantri, suatu jabatan tinggi bagi bangsawan kerabat raja. Demikianlah terdapat anggapan bahwa tokoh Adwayabrahma ini adalah tokoh yang sama dengan Mahisa Anabrang komandan Pamalayu. Mahisa Anabrang adalah pahlawan penakluk Melayu, sehingga cukup wajar bila Raden Wijaya menyerahkan Dara Jingga kepadanya sebagai penghargaan. Namun demikian, dugaan bahwa pemimpin Pamalayu adalah dengan pemimpin rombongan Amoghapasa masih memerlukan bukti tambahan yang memperkuatnya.
Identifikasi Kebo Anabrang dengan Indrawarman
Menurut sumber dari Batak, nama komandan pasukan Singhasari yang dikirim untuk menaklukkan Sumatra adalah Indrawarman. Tokoh ini kemudian menolak mengakui kedaulatan Majapahit sebagai kelanjutan Singhasari. Indrawarman kemudian mendirikan Kerajaan Silo di Simalungun. Pada tahun 1339 datang pasukan Majapahit dipimpin Adityawarman dalam rangka pelaksanaan Sumpah Palapa. Adityawarman sebagai wakil raja Majapahit berhasil menaklukkan Silo. Indrawarman diberitakan tewas oleh serangan tersebut. Menurut legenda, Indrawarman tidak pernah kembali ke Jawa, sehingga sulit untuk menyamakannya dengan tokoh Mahisa Anabrang yang kembali ke Jawa tahun 1293.
Sumber
Marwati, Djoened Poesponegoro, dkk . 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Muljana, Slamet . 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Muljana, Slamet . 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Muljana, Slamet . 2005. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
Muljana, Slamet . 1983. Pemugaran Persada Sejarah leluhur Majapahit”. Jakarta: Inti Idayu Press
…………………………………………..” Mahisa Anabrang”. [Online]. Terdapat di. http://id.wikipedia.org/wiki/Mahisa_Anabrang [17-0709]
http://www.wacananusantara.org/5/452/kebo-anabrang---mahisa-anabrang