Jejak-Jejak Istana Kesultanan Melayu Kutaringin

Sekilas Istana Pangeran Adipati Mangkubumi yang terletak di Jalan Paku Negara, Pangkalan Bun sama seperti bangunan tradisional di Kalimantan Tengah (Kalteng) lainnya. Sebab, istana tersebut berbentuk panggung dengan struktur pendukung utama dari bahan kayu, baik dinding maupun lantainya.

Seluruh bagian Istana terbuat dari papan kayu ulin. Sedangkan untuk bagian atap terbuat dari sirap kayu.

Berbeda dengan bentuk rumah tradisional Kalteng, istana yang dulu digunakan sebagai rumah pribadi Pangeran Adipati Mangkubumi ini terbentuk sebagai perkembangan dari bentuk bangunan tradisional Pulau Jawa (limasan).

Ini bisa dilihat dari bangunan induk di mana di bagian belakang dan depan ruang utama dibuat ruang pertemuan seperti balai pertemuan.

Rumah ini, kalau dirunut dari depan, terdiri dari pendopo atau semacam balai pertemuan, bangunan induk, di mana terdapat dua kamar di bagian barat dan di pojok bagian timur.

Kemudian, agak masuk ke dalam terdapat rumah pembantu, yang terakhir dapur dan gudang.
Di rumah ini juga terdapat ruang makan khusus dan kamar khusus bagi anak gadis. Bangunannya merupakan satu kesatuan dengan satu bubungan atap. Meskipun tiap bangunan memiliki bentuk berbeda-beda. Bentuk atap bangunan induk adalah bentuk limasan, sedangkan bentuk atap bangunan balai pertemuan adalah gabungan bentuk pelana dan jurai. Bangunan untuk pembantu berbentuk jurai dan bentuk atap bangunan dapur berbentuk atap pelana.

Selain itu, terdapat perbedaan ketinggian antara bangunan yang satu dengan bangunan yang lain. Oleh sebab itu, bentuk arsitektur rumah ini bisa dikatakan sebagai perpaduan antara arsitektur rumah Betang, unsur arsitektur rumah Banjar, dan rumah Jawa.

Dengan tinggi panggung 1,4 meter dari permukaan tanah, rumah ini disangga oleh tiang utama berbentuk bulat sebanyak 30 tiang dan 14 tiang berbentuk segi empat yang ditancapkan langsung ke tanah. Sekilas terlihat bangunan ini masih kokoh dan lumayan terawat. Sayang, bangunan rumah yang sesungguhnya masih utuh ini sekarang dalam kondisi memprihatinkan.

Salah satu keturunan dari Pangeran Adipati Mangkubumi H. Gusti Muhammad Yusuf mengatakan rumah tersebut dahulu ditempati oleh dua putri Pangeran Ratu Anum Kesumayuda, yakni Ratu Kuning (Ratu Adipati Mangkubumi) dan Ratu Intan (Ratu Prabu).

Rumah tersebut telah diserahkan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalteng dan dijadikan cagar budaya.

Disebabkan dimakan waktu, rumah tersebut direhabilitasi oleh Dinas P dan K Kalteng dengan mengganti papan lantai, plafon, dan tiang bawah rumah.

Namun, hasilnya tidak memuaskan. Karena pelaksana rehabilitasi rumah mengganti papan kayu ulin dengan jenis kayu yang usianya jauh lebih muda dan tekstur masih basah karena tidak dijemur terlebih dahulu.

Sehingga banyak papan kayu ulin yang berjamur dan lebih cepat lapuk.

"Mereka tidak memperhatikan aspek sejarahnya, jadi ketika memilih kayu tidak sesuai dengan yang sebenarnya," kata Yusuf. Ia juga menuturkan istana yang dimiliki neneknya tersebut sudah tiga kali kehilangan barang-barang bersejarah.

"Ada 17 keris yang hilang, emas, dan peti juga benda-benda sejarah lainnya," tuturnya sedih.
Ia mengaku sudah lama melaporkan pada pihak berwajib, tapi hingga kini benda-benda bersejarahnya tidak ditemukan juga.

Bahkan, salah satu peti yang berhasil ia temukan sampai di daerah Kumpai Batu, Kecamatan Arut Selatan. Kini, di bekas rumah pribadi Pangeran Adipati Mangkubumi (Ratu Kuning) hanya tersisa beberapa benda bersejarah. Salah satunya cermin berhias yang mejanya terbuat dari marmer dan beberapa perkakas rumah tangga lainnya, seperti tempayan dan bak mandi untuk calon pengantin pada saat itu.

Tempat tidur yang dulu digunakan oleh keluarga Pangeran Adipati Mangkubumi juga masih ada di rumah bersejarah tersebut. Tidak hanya itu, tikar yang digunakan sebagai alas di pendopo ketika mengadakan pertemuan juga masih dalam kondisi bagus. Di beberapa tempat juga masih terdapat peninggalan berupa lampu mirip lampu petromaks.

Uniknya, di dalam salah satu ruangan juga dibuat tangga menuju loteng tempat menyimpan barang-barang. Tidak seperti rumah pribadi seorang pangeran lainnya, rumah ini tidak memiliki banyak hiasan. Bahkan terkesan polos, baik dilihat dari ruangan luar maupun bagian ruangan dalam.

Tidak ada ukiran-ukaran atau lukisan yang bisa dilihat. Satu-satunya unsur hiasan hanya terlihat di bagian pintu yang diberi cat warna kuning keemasan, hijau, dan biru. Itu pun hanya berupa ukiran sulur-suluran yang berfungsi sebagai penghias dan keindahan.

Untuk unsur bangunan lainnya, dibuat polos tanpa ukiran sedikit pun. Lantainya yang terbuat dari papan kayu ulin merupakan hasil serutan menggunakan peralatan sederhana. Sehingga, antara satu papan dengan papan lainnya tidak sama. Sayang, penjaga rumah pribadi Pangeran Adipati Mangkubumi Abdurrahman tidak banyak mengetahui seluk beluk dan makna dari konstruksi bangunan yang dibuat sedemikian rupa.

Rumah yang dahulu didiami oleh Pangeran Adipati Mangkubumi dan anaknya ini diperkirakan telah dibangun sejak 1850.

Rumah tersebut warisan dari Pangeran Adipati Mangkubumi yang berasal dari warisan orang tuanya, yakni Pangeran Ratu Anom Kesumayuda.

Rumah tersebut jelas memiliki nilai historis bagi Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), baik perkembangan kabupaten tersebut maupun dalam konteks perjuangan nasional melawan Belanda.

Bahkan, pada masa revolusi, rumah kediaman tersebut digunakan sebagai tempat persembunyian para pejuang dari tahun 1945 sampai 1949.

Karena diyakini Pemerintah Belanda sebagai tempat persembunyian pejuang, rumah kediaman Pangeran Adipati Mangkubumi selalu diblokir.

Peninggalan lainnya adalah tempat pemandian yang jaraknya tidak jauh dari rumah pribadi Pangeran Adipati Mangkubumi. Menurut Yusuf, tempat pemandian tersebut tidak pernah kekeringan sejak dijadikan sebagai tempat pemandian anak-anak pangeran Adipati Mangkubumi dan keluarganya. Sebab, lanjutnya, di tempat itu terdapat sumber mata air. Namun, pada 2002 pemandian tersebut mulai mengalami kekeringan seperti tempat pemandian lainnya.

Menurut Yusuf, kekeringan terjadi setelah Dinas P dan K dan Pemkab Kobar merehabilitasi tempat pemandian. Rehabilitasi yang dilakukan sampai dua kali itu justru menimbulkan tempat tersebut kehilangan kesan sejarahnya. Sebab, rehabilitasi dilakukan dengan merombak bentuk aslinya.

Awalnya, pemandian tersebut cukup luas dan airnya pun bening. Namun, proses rehabilitasi justru dilakukan dengan memperkecil bentuk tempat pemandian yang sebenarnya. Selain itu, pemasangan siring yang terbuat dari papan kayu ulin tidak berlapis-lapis. Bahkan, pemasangannya pun tidak memperhatikan kondisi tanah dan kemiringan tanah. Akibatnya, pasir dari balik siring masuk dan mengendap dalam pemandian.

"Lama kelamaan kan pemandian mengering karena endapan pasirnya menumpuk dan dangkal," kata Yusuf.

Yusuf sangat menyayangkan dana yang dikeluarkan untuk rehabilitasi mencapai Rp50 juta, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

"Akhirnya mubazir aja," kata Yusuf.

Tempat pemandian yang dahulu digunakan anak dan keluarga Pangeran Adipati Mangkubumi, kini seperti terabaikan dan tidak terawat. Bahkan, air yang semula bening, kini berwarna kehijau-hijauan dan tidak terawat. Sangat disayangkan, salah satu situs sejarah Kerajaan Kutaringin ini diabaikan oleh Pemkab Kobar. Padahal, rumah dan pemandian yang memiliki nilai sejarah tersebut telah masuk salah satu cagar budaya di Kobar.

Sumber : http://www.lampungpost.com