Oleh : Sobana Hardjasaputra
I. Pendahuluan
Tema seminar “Ngaguar Budaya Sunda Pikeun Mulangkeun Jati Diri Ki Sunda” (“Mengungkap Budaya Sunda Untuk Mengembalikan Jati Diri Ki Sunda”), sangatlah tepat. Tema itu mengandung makna, bahwa kini jati diri Ki Sunda cenderung luntur. Memang sekarang budaya Sunda seolah-olah terserabut dari akarnya oleh pengaruh budaya lain (budaya deungeun). Banyak orang Sunda yang seolah-olah kehilangan atau lupa akan jati dirinya. Hal itu menyebabkan kondisi Ki Sunda saat ini sering dibahas, baik dalam forum diskusi dan seminar, maupun dalam mass media.
Berbicara mengenai jati diri Ki Sunda dengan tujuan untuk mengembalikan ke asalnya, berarti harus membicarakan masa awal eksistensi Ki Sunda, karena jatidiri Ki Sunda dapat diketahui dengan memahami eksistensi Ki Sunda di masa lampau. Sumber-sumber yang relevan menunjukkan – secara tersurat atau tersirat --, jati diri itu tercermin dalam budaya kekuasaan, budaya kepemimpinan, dan budaya hidup pribadi dan bermasyarakat. Budaya itu mencerminkan pula sifat dan sikap Ki Sunda. Dalam budaya-budaya itulah adanya unsur-unsur jati diri Ki Sunda. Dengan kata lain, berbicara jati diri Ki Sunda berarti harus ngaguar sejarah Sunda. Perlu dikemukakan, bahwa tradisi (penulisan) sejarah di Indonesia sampai dengan pertengahan abad ke-20, berorientasi kepada sejarah orang besar (tokoh pemerintahan dan politik). Kiprah rakyat (orang kecil/wong cilik) tidak terekam dalam sejarah secara eksplisit. Oleh karena itu, Ki Sunda dalam pembicaraan ini punterutama diwakili oleh kaum elit (golongan ménak), khususnya elit politik (elitbirokrasi).
II. Gambaran Jati Diri Ki Sunda
2.1 Akar Jati Diri Ki Sunda
Secara historis, akar jati diri Ki Sunda berada pada masa kerajaan. Sejumlah sumber sejarah menunjukkan, bahwa Ki Sunda mulai muncul dalam panggung sejarah ditandai oleh berdirinya kerajaan pertama di Tatar Sunda, yaitu Kerajaan Tarumanagara. Kerajaan itu didirikan oleh Jayasingawarman alias Maharesi Rajadirajaguru pada pertengahan abad ke-4. Ia memerintah tahun 358 – 382 M.).
Eksistensi Kerajaan Tarumanagara berlangsung selama lebih-kurang tiga setengah abad (pertengahan abad ke-4 s.d. akhir abad ke-7), diperintah oleh 13 orang raja secara berkesinambungan. Raja yang paling terkenal adalah Purnawarman, raja Tarumanagara ketiga (395 – 434 M.). Ketika Kerajaan Tarumanagara diperintah oleh Maharaja Tarusbawa, raja ke- 13 atau raja Tarumanagara terakhir (669 – 723 M.), pamor Tarumanagara sudah menurun. Untuk meningkatkan kembali citra dan kebesaran kerajaan seperti pada jaman Purnawarman, Maharaja Tarusbawa mengubah nama kerajaannya menjadi Kerajaan Sunda (tahun 670 M.). Informasi itu setidaknya mengandung dua arti.
Pertama, raja-raja Tarumanagara boleh jadi keturunan orang Sunda. Kedua, Maharaja Tarusbawa adalah pendiri Kerajaan Sunda, tetapi kerajaan itu merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran, karena Maharaja Tarusbawa memindahkan pusat pemerintahan dari daerah pantai ke Pakuan (Pakuan Pajajaran) di daerah pedalaman. Hampir seiring dengan kemunculan Kerajaan Sunda, di Tatar Sunda berdiri pula Kerajaan Galuh yang diproklamasikan oleh Wretikandayun. Tahun 612 M.
Wretikandayun mewarisi tahta Kerajaan Kendan (Kerajaan Kendan berlokasi di daerah Nagreg sekarang. Wretikandayun menggantikan ayahnya, yaitu Sang Kandiawan (Rajaresi Dewaraja), raja Kendan yang ketiga) bawahan Tarumanagara. Akan tetapi, Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan. Ia mendirikan ibukota baru dengan nama Galuh (tempat itu sekarang bernama Karangkamulyan). Lemahnya pamor Tarumanagara mendorong Wretikandayun untuk melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan tersebut, Hal itu disebabkan Wretikandayun memiliki hubungan keluarga dengan raja-raja Tarumanagara, khususnya keturunan Maharaja Kertawarman, raja Tarumanagara ke-8 (561 – 628 M.). Selain karena faktor hubungan keluarga, hal itu terjadi pula karena Maharaja Tarusbawa miliki sifat suka berdamai.
Hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Galuh terus berlangsung dengan baik, bahkan untuk beberapa waktu lamanya, kedua kerajaan itu bersatu menjadi Kerajaan Sunda-Galuh. Hal itu terjadi mulai tahun 723 M. ketika Kerajaan Sunda/Pajajaran diperintah oleh Maharaja Tarusbawa, dan Kerajaan Galuh diperintah oleh Sanjaya (723 – 732 M.). Maharaja Tarusbawa mewariskan tahta Kerajaan Sunda kepada Sanjaya selaku menantunya. Perpaduan Kerajaan Sunda-Galuh setidaknya berlangsung sampai dengan akhir abad ke-15.
Pusat kerajaan itu berpindah-pindah, dari Pakuan Pajajaran ke Galuh, dari Galuh ke Kawali, kemudian pindah lagi ke Pakuan Pajajaran (ketika pusat kerajaan berada di Pakuan Pajajaran, pemerintahan di Galuh terus berlangsung. Hal itu berarti terjadi dualisme pemerintahan, yaitu adanya pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran dan pemerintahan Kerajaan Sunda-Galuh). Pusat kerajaan berada di Galuh diduga berlangsung hingga tahun 739 M., akhir masa pemerintahan Rahiyang Tamperan, putra Sanjaya. Pada masa pemerintahan putra Tamperan, yaitu Rahiyang Banga (739 – 766 M.), pusat pemerintahan pindah lagi ke Pakuan Pajajaran. Sejak pemerintahan Linggadewata (1311 –1333 M.) sampai dengan awal pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482 M.), Kerajaan Sunda-Galuh dikendalikan dari Keraton Surawisesa di Kawali.
Selama pusat kerajaan berada di Kawali, kerajaan tersebut mengalami kejayaan, diperintah oleh 7 orang raja secara berkesinambungan. Raja-raja yang terkenal antara lain Prabu Maharaja (Ia adalah raja Sunda yang gugur dalam “Perang Bubat” tahun1357 M) alias Linggabuana (1350 – 1357), Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475) (Waktu itu penyebaran agama Islam dari Cirebon mulai masuk ke daerah Galuh), dan Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521 M.). Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, pusat pemerintahan pindah lagi ke Pakuan Pajajaran. Hal itu berlangsung sampai pemerintahan Nusiya Mulya (1567 – 1579).
Tahun 1579 pemerintahan Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh akibat gerakan pasukan Banten dalam rangka penyebaran agama Islam. Setelah kejadian itu, Kerajaan Galuh berdiri sendiri dan berlangsung hingga akhir abad ke-16 (Batas-batas wilayah Kerajaan Galuh waktu itu adalah : Sumedang batas sebelah utara). Mulai kira-kira tahun 1580, Kerajaan Galuh diperintah oleh Prabu Sanghiyang Cipta di Galuh, putra Prabu Haurkuning7), dilanjutkan oleh Prabu Galuh Cipta Permana sampai akhir abad ke-16. Ia berkedudukan di Gara Tengah (Cineam).
Sampai dengan akhir abad ke-16, boleh jadi jati diri Ki Sunda mengakar cukup kuat, karena belum terpengaruh atau terganggu oleh budaya luar. Pengaruh dari luar baru terjadi sejak Mataram menguasai Galuh. Tahun 1595 Galuh jatuh ke dalam kekuasaan Mataram di bawah pemerintahan Senopati (1586 – 1601). Pemerintahan di Galuh dijalankan oleh Adipati Panaekan yang diangkat oleh penguasa Mataram menjadi Bupati Wedana Galuh. Berdasarkan jabatan dan gelar adipati pada diri Adipati Panaekan, diduga sejak itulah Galuh menjadi sebuah kabupaten, yaitu sebagai kabupaten vassal Mataram.
Perubahan status Galuh dari kerajaan menjadi kabupaten merupakan salah satu pengaruh Mataram (Jawa) terhadap kehidupan Ki Sunda. Pengaruh budaya Mataram yang cukup kuat terhadap Ki Sunda adalah feodalisme. Pengaruh itu terutama terjadi melalui bahasa, sehingga dalam bahasa Sunda terjadi undak-usuk (tingkatan) bahasa Huruf Jawa (Cacarakan) disosialisasikan dengan efektip dalam kehidupan di Tatar Sunda, sehingga sampai sekarang pun masih ada orang Sunda yang menganggap, bahwa Cacarakan adalah huruf Sunda). Dalam eksistensi Ki Sunda masa selanjutnya, perpaduan budaya Sunda dan budaya Jawa, disadari atau pun tidak, menjadi jati diri Ki Sunda.
2.2 Unsur-Unsur Jati Diri Ki Sunda
Telah disebutkan (pada uraian pendahuluan), bahwa jati diri Ki Sunda dapat dipahami melalui budaya kekuasaan dan kepemimpinan Ki Sunda di masa kerajaan, yang menunjukkan karakter pemiliknya. Beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara (Prasasti Tugu, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, dan Prasasti Cidangiang) menginformasikan tentang keagungan Purnawarman. Ia memiliki kekuasaan besar dan gagah berani. Oleh karena itu ia memiliki kharisma dan wibawa sangat besar, sehingga pemerintahannya berlangsung berdasarkan konsep otoritas-kharismatik.
Meskipun kekuasaan raja bersifat absolut, tetapi dalam menjalankan kepemimpinannya, ia adalah raja yang memiliki sifat-sifat baik, yait u bijaksana, jujur, kesatria, dermawan, dan hormat kepada para pangeran (pejabat tinggi kerajaan). Kebesaran, wibawa, dan kekuasaan Purnawarman dinyatakan dalam Prasasti Tugu dan Cidangiang, bahwa Purnawarman adalah “panji sekalian raja”. Sifat-sifat tersebut merupakan “akar” dari unsur-unsur jati diri Ki Sunda, karena sifat-sifat itu diwarisi oleh raja-raja Sunda berikutnya, termasuk raja-raja Galuh. Para pejabat tinggi bawahan raja pun kiranya menyerap sifat dan sikap raja melalui hubungan “kawula-gusti”.
Sumber-sumber sejarah yang akurat, antara lain prasasti, menyatakan bahwa Kerajaan Sunda dan Galuh dalam eksistensinya mengalami kejayaan. Kehidupan kerajaan dan masyarakatnya mengalami kesejahteraan. Hal itu terjadi berkat kepemimpinan yang baik dari raja-raja pada umumnya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, baik dalam menjalankan pemerintahan maupun dalam mengayomi masyarakat. Kekuasaan raja banyak ditujukan untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, raja disenangi oleh rakyat dan menjadi panutan. Raja-raja Sunda yang memerintah silih berganti, meninggalkan nama yang wangi (citra yang baik), sehingga muncul julukan “siliwangi” bagi raja-raja Sunda.
Meskipun raja-raja Sunda memiliki kekuasaan absolut, tetapi mereka pun memiliki dan menerapkan sikap demokratis. Misalnya, Indrawarman, raja Tarumanagara kelima (455 – 515 M.) dan Sanjaya, raja Sunda-Galuh (723 – 732 M.), tidak mengharuskan (memaksa) rakyatnya untuk memluk agama/ajaran yang dianut oleh raja/keluarga kerajaan. Dalam menentukan batas wilayah kerajaan, Sanjaya melakukannya melalui musyawarah. Candrawarman, raja Tarumanagara keenam (515 – 535 M.), menyerahkan kembali pemerintahan beberapa daerah kekuasaannya kepada keturunan raja-raja daerah yang bersangkutan.
Bahwa sifat demokratis telah terdapat dalam budaya kekuasaan dan kepemimpinan Sunda masa kerajaan, ditunjukkan dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Naskah itu antara lain berisi ajaran kesusilaan (moral) dan gambaran birokrasi Kerajaan Sunda. Bagian awal naskah itu memuat dasar ajaran “Sanghyang Sasanakreta” (cara mencapai kesejahteraan), yaitu ajaran untuk melangsungkan pemerintahan. Dalam ajaran itu antara lain disebutkan bahwa “Siapa (penguasa) yang hendak menegakkan Sasanakreta, agar dapat lama hidup, lama berjaya, ternak berkembang biak, tanaman subur, selalu unggul dalam perang, sumbernya terletak pada orang banyak (rakyat)”. Disebutkan pula, bahwa apabila raja teguh dalam tugasnya sebagai penguasa, maka akan sejahteralah kerajaannya.
Ajaran tersebut rupanya dilaksanakan oleh raja-raja Sunda. Hal itu antara lain ditunjukkan oleh Prasasti Kawali – yang bertuliskan huruf Sunda -- peninggalan Prabu Wastukancana atau Prabu Raja Wastu (1371 – 1475). Dalam Prasasti Kawali I antara lain dinyatakan “….. parebu raja wastu mangadeg di kuta kawali ….. nu najur sagala desa …..” (“….. Prabu Raja Wastu bertahta di kota Kawali ….. yang mensejahterakan seluruh negeri …..”). Melalui prasasti itu, ia juga berwasiat kepada para penerusnya agar “membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia” (“pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya di buana”). Dalam Prasasti Kawali II, Prabu Wastukancana juga berwasiat agar “membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang” (“pakena kereta bener pakeun nanjeur na juritan”).
Data tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan raja-raja Sunda pada umumnya termasuk ke dalam tipe pemimpin ideal, seperti disebutkan dalam naskah Carita Parahiyangan. Secara garis besar, tipe raja yang ideal menurut naskah itu adalah raja yang taat menjalankan ajaran agama, memelihara tradisi leluhur, menghormati pemimpin agama, memakmurkan negeri, mensejahterakan dan menenteramkan kehidupan rakyat.
Sifat dan sikap raja-raja Sunda tersebut, pada dasarnya terus terpelihara, paling tidak sampai dengan abad ke-19. Meskipun sejak akhir abad ke-16 kehidupan di Tatar Sunda mendapat pengaruh budaya luar (pengaruh Mataram, Belanda, dan pengaruh budaya asing lainnya), tetapi jati diri Ki Sunda pada masa kerajaan padasarnya diwarisi oleh para bupati Sunda umumnya pada masa kolonial. Hal itu ditunjukkan oleh sejumlah sumber sejarah yang cukup akurat, baik secara tersurat maupun secara tersirat.
Itulah gambaran jati diri Ki Sunda yang pada hakekatnya mengacu pada sifat dan sikap yang baik. Sifat dan sikap itu pula yang menjadi pandangan hidup Ki Sunda, seperti tercermin dalam sejumlah ungkapan tradisional. Ungkapan itu menunjukan pandangan hidup Ki Sunda tentang sikap manusia :
a) Manusia secara pribadi.
b) Hubungan pribadi dengan masyarakat (kehidupan bermasyarakat).
c) Sikap manusia yang mengacu pada alam.
d) Hubungan manusia dengan Tuhan.
e) Sikap manusia dalam mengejar kemajuan.
Contoh ungkapan-ungkapan dimaksud antara lain sebagai berikut :
a) Pandangan hidup manusia secara pribadi.
• Kudu hadé gogog hadé tagog (Harus baik budi bahasa dan tingkah laku)
• Teu busik bulu salambar (Pendirian yang kuat)
b) Pandangan hidup mengenai hubungan pribadi dengan masyarakat.
• Silih asih, silih asah, silih asuh
(Saling mengasihi, saling bantu, saling jaga untuk kebaikan)
• Ulah nyieun pucuk ti girang (Jangan mencari-cari bibit permusuhan)
c) Sikap manusia yang mengacu pada alam
• Manuk hiber ku jangjangna, jalma hirup ku akalna
(Setiap mahluk memiliki cara untuk melangsungkan kehidupannya)
d) Pandangan hidup mengenai hubungan manusia dengan Tuhan.
• Mulih ka jati mulang ka asal (Kematian itu bermakna berasal dari Tuhan,
kembali kepada Tuhan).
e) Sikap manusia dalam mengejar kemajuan.
• Ulah puraga tamba kadenda (Melakukan suatu pekerjaan harus sungguhsungguh,
jangan asal-asalan).
• Kudu tungkul ka jukut, tanggah ka sadapan (Dalam menghadapi suatu
urusan/pekerjaan harus konsentrasi, jangan tergoda oleh hal lain).
Ungkapan-ungkapan tersebut berasal dari masa lampau, kemudian diserap secara turun-temurun. Oleh karena itu, makna ungkapan-ungkapan itu pun merupakan unsur atau bagian dari jati diri Ki Sunda.
III. Penutup
Secara historis, jati diri Ki Sunda berakar dari masa lampau yang bertitik tolak dari masa kerajaan. Jati diri itu ditunjukkan oleh karakter yang tercermin dalam budaya kekuasaan, budaya kepemimpinan, dan budaya hidup pribadi dan bermasyarakat.
Masa kerajaan di Tatar Sunda berlangsung sangat lama, lebih-kurang 13 abad (pertengahan abad ke-4 s.d. akhir abad ke-16). Oleh karena itu, jati diri Ki Sunda mengakar dengan kuat. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah Ki Sunda, jati diri itu cenderung berangsur-angsur luntur, bahkan sekarang banyak orang Sunda yang terkesan kehilangan jati diri.
Kondisi tersebut kiranya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, akibat pengaruh budaya lain (budaya deungeun). Unsur-unsur budaya lain, khususnya budaya barat, makin lama makin masuk dan meresap dalam kehidupan Ki Sunda, akibat perkembangan teknologi, antara lain media elektronik (televisi dan lain-lain).
Dampaknya, “tontonan menjadi tuntunan”.
Kedua, dari contoh-contoh kasus yang terjadi, terkesan adanya sikap yang cenderung kebablasan dalam mengartikan kemerdekaan dan reformasi. Kemerdekaan diartikan sebagai kebebasan, dan reformasi diterapkan pula terhadap jati diri (reformasi jati diri).
Ketiga, secara umum, sekarang ini hampir tidak ada pemimpin yang benarbenar dapat menjadi panutan. Sejak Indonesia merdeka, lepas dari belenggu penjajahan sampai sekarang, Ki Sunda belum memiliki pemimpin yang menduduki jabatan tertinggi di tingkat nasional. Pemimpin Ki Sunda di tingkat daerah, terkesan kurang memelihara jati diri Ki Sunda khususnya dan budaya Sunda umumnya.
Keempat, bangsa kita, termasuk Ki Sunda, umumnya kurang memiliki kesadaran sejarah. Padahal sejarah berisi akumulasi pengalaman penting manusia, yang maknanya baik untuk dipetik sebagai bahan pelajaran. Oleh karena itu, pikeun mulangkeun deui (untuk mengembalikan lagi) jati diri Ki Sunda, maka Ki Sunda harus mau belajar dari sejarah, dalam arti belajar dari pengalaman dan memahami makna kejadian/peristiwa yang telah terjadi dalam kehidupan Ki Sunda khususnya dan kehidupan bangsa Indonesia umumnya.
Gentra Galuh, Edisi III/Oktober/2007
*) Penulis adalah sejarawan dan pustakawan pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Makalah disampaikan dalam seminar bertema ‘Ngaguar Budaya Sunda Pikeun Mulangkeun Jati Diri Ki Sunda”. Seminar diselenggarakan oleh Yayasan Wawangi Sunda bekerjasama dengan Pamanahan (Paguyuban Mahasiswa Tanah Pasundan, KPM Galuh Rahayu Yogyakarta, tanggal 25 September 2003 di Kampus UGM
Sumber Acuan
Alisjahbana, Samiati. 1954. A Preliminary Study of Class Structure Among the Sundanese in the Priangan. Master Thesis. Cornell University.
Atja. 1981. Carita Parahiyangan; Transkripsi, Terjemahan dan Komentar. Bandung : Poyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
--------. 1981. Sanghiang Siksa Kanda Ng Karesian. Bandung : Poyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Berg, L.W.C. van den. 1902. De Inlandsche Rangen en Titels op Java en Madoera. ‘s-Gravenhage : Martinus Nijhoff.
Danasasmita, Saleh et al. 1983/1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Jilid ke-2 dan ke-3. Bandung : Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat.
--------. 1985. Siliwangi Sebagai Pangkal Silsilah Kebangsawanan. Makalah pada Seminar Sejarah dan Tradisi tentang Prabu Siliwangi. Bandung.
--------. 1987. Sewaka Dharma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat dari Galunggung. Bandung : Proyek Sundanologi.
Deenik, A.C. 1929. Aanvulingen op Babad Pasoendan Djeung Ringkesan Babad Hindia Belanda. Groningen : Wolters.
Ekadjati, Edi S. 1997. Wawacan Sajarah Galuh. Bandung : EFEO. Hardjasaputra, A. Sobana. 1985.
Bupati-Bupati Priangan; Kedudukan dan Peranannya Pada Abad Ke-19. Tesis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
--------. 2003 Budaya Kekuasaan Sunda; Analisis Historis. Makalah dalam seminar dengan tema “Sunda dan Budaya Kekuasaan”. Bandung : IAIN Sunan Gunung Jati.
Jawa Barat. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I. 1993. Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung.
Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Ménak Priangan 1800 – 1942. Bandung : Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
Mayer, L.Th. 1889. Soerat Kandoengan Boeat Goenanja Segala Prijajie-Prijajie jang Memegang Pekerdjaan di Tanah Gouvernemennan di Poelo Djawa dan Madoera. I.
Semarang : Van Dorp.
Rusyana, Yus. 1985. Carita Pantun tentang Prabu Siliwangi dan Tedak Pakuan. Makalah pada Seminar Sejarah dan Tradisi tentang Prabu Siliwangi. Bandung.
Sutaarga, Moh. Amir. 1984. Prabu Siliwangi. Jakarta :Pustaka Jaya.
Warnaen, Suwarsi et al. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin Dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung : Depdikbud. Dirjen Kebudayaan. Bagian Proyek Sundanologi.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/1/169/jati-diri-ki-sunda-dalam-perspektif-sejarah
I. Pendahuluan
Tema seminar “Ngaguar Budaya Sunda Pikeun Mulangkeun Jati Diri Ki Sunda” (“Mengungkap Budaya Sunda Untuk Mengembalikan Jati Diri Ki Sunda”), sangatlah tepat. Tema itu mengandung makna, bahwa kini jati diri Ki Sunda cenderung luntur. Memang sekarang budaya Sunda seolah-olah terserabut dari akarnya oleh pengaruh budaya lain (budaya deungeun). Banyak orang Sunda yang seolah-olah kehilangan atau lupa akan jati dirinya. Hal itu menyebabkan kondisi Ki Sunda saat ini sering dibahas, baik dalam forum diskusi dan seminar, maupun dalam mass media.
Berbicara mengenai jati diri Ki Sunda dengan tujuan untuk mengembalikan ke asalnya, berarti harus membicarakan masa awal eksistensi Ki Sunda, karena jatidiri Ki Sunda dapat diketahui dengan memahami eksistensi Ki Sunda di masa lampau. Sumber-sumber yang relevan menunjukkan – secara tersurat atau tersirat --, jati diri itu tercermin dalam budaya kekuasaan, budaya kepemimpinan, dan budaya hidup pribadi dan bermasyarakat. Budaya itu mencerminkan pula sifat dan sikap Ki Sunda. Dalam budaya-budaya itulah adanya unsur-unsur jati diri Ki Sunda. Dengan kata lain, berbicara jati diri Ki Sunda berarti harus ngaguar sejarah Sunda. Perlu dikemukakan, bahwa tradisi (penulisan) sejarah di Indonesia sampai dengan pertengahan abad ke-20, berorientasi kepada sejarah orang besar (tokoh pemerintahan dan politik). Kiprah rakyat (orang kecil/wong cilik) tidak terekam dalam sejarah secara eksplisit. Oleh karena itu, Ki Sunda dalam pembicaraan ini punterutama diwakili oleh kaum elit (golongan ménak), khususnya elit politik (elitbirokrasi).
II. Gambaran Jati Diri Ki Sunda
2.1 Akar Jati Diri Ki Sunda
Secara historis, akar jati diri Ki Sunda berada pada masa kerajaan. Sejumlah sumber sejarah menunjukkan, bahwa Ki Sunda mulai muncul dalam panggung sejarah ditandai oleh berdirinya kerajaan pertama di Tatar Sunda, yaitu Kerajaan Tarumanagara. Kerajaan itu didirikan oleh Jayasingawarman alias Maharesi Rajadirajaguru pada pertengahan abad ke-4. Ia memerintah tahun 358 – 382 M.).
Eksistensi Kerajaan Tarumanagara berlangsung selama lebih-kurang tiga setengah abad (pertengahan abad ke-4 s.d. akhir abad ke-7), diperintah oleh 13 orang raja secara berkesinambungan. Raja yang paling terkenal adalah Purnawarman, raja Tarumanagara ketiga (395 – 434 M.). Ketika Kerajaan Tarumanagara diperintah oleh Maharaja Tarusbawa, raja ke- 13 atau raja Tarumanagara terakhir (669 – 723 M.), pamor Tarumanagara sudah menurun. Untuk meningkatkan kembali citra dan kebesaran kerajaan seperti pada jaman Purnawarman, Maharaja Tarusbawa mengubah nama kerajaannya menjadi Kerajaan Sunda (tahun 670 M.). Informasi itu setidaknya mengandung dua arti.
Pertama, raja-raja Tarumanagara boleh jadi keturunan orang Sunda. Kedua, Maharaja Tarusbawa adalah pendiri Kerajaan Sunda, tetapi kerajaan itu merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran, karena Maharaja Tarusbawa memindahkan pusat pemerintahan dari daerah pantai ke Pakuan (Pakuan Pajajaran) di daerah pedalaman. Hampir seiring dengan kemunculan Kerajaan Sunda, di Tatar Sunda berdiri pula Kerajaan Galuh yang diproklamasikan oleh Wretikandayun. Tahun 612 M.
Wretikandayun mewarisi tahta Kerajaan Kendan (Kerajaan Kendan berlokasi di daerah Nagreg sekarang. Wretikandayun menggantikan ayahnya, yaitu Sang Kandiawan (Rajaresi Dewaraja), raja Kendan yang ketiga) bawahan Tarumanagara. Akan tetapi, Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan. Ia mendirikan ibukota baru dengan nama Galuh (tempat itu sekarang bernama Karangkamulyan). Lemahnya pamor Tarumanagara mendorong Wretikandayun untuk melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan tersebut, Hal itu disebabkan Wretikandayun memiliki hubungan keluarga dengan raja-raja Tarumanagara, khususnya keturunan Maharaja Kertawarman, raja Tarumanagara ke-8 (561 – 628 M.). Selain karena faktor hubungan keluarga, hal itu terjadi pula karena Maharaja Tarusbawa miliki sifat suka berdamai.
Hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Galuh terus berlangsung dengan baik, bahkan untuk beberapa waktu lamanya, kedua kerajaan itu bersatu menjadi Kerajaan Sunda-Galuh. Hal itu terjadi mulai tahun 723 M. ketika Kerajaan Sunda/Pajajaran diperintah oleh Maharaja Tarusbawa, dan Kerajaan Galuh diperintah oleh Sanjaya (723 – 732 M.). Maharaja Tarusbawa mewariskan tahta Kerajaan Sunda kepada Sanjaya selaku menantunya. Perpaduan Kerajaan Sunda-Galuh setidaknya berlangsung sampai dengan akhir abad ke-15.
Pusat kerajaan itu berpindah-pindah, dari Pakuan Pajajaran ke Galuh, dari Galuh ke Kawali, kemudian pindah lagi ke Pakuan Pajajaran (ketika pusat kerajaan berada di Pakuan Pajajaran, pemerintahan di Galuh terus berlangsung. Hal itu berarti terjadi dualisme pemerintahan, yaitu adanya pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran dan pemerintahan Kerajaan Sunda-Galuh). Pusat kerajaan berada di Galuh diduga berlangsung hingga tahun 739 M., akhir masa pemerintahan Rahiyang Tamperan, putra Sanjaya. Pada masa pemerintahan putra Tamperan, yaitu Rahiyang Banga (739 – 766 M.), pusat pemerintahan pindah lagi ke Pakuan Pajajaran. Sejak pemerintahan Linggadewata (1311 –1333 M.) sampai dengan awal pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482 M.), Kerajaan Sunda-Galuh dikendalikan dari Keraton Surawisesa di Kawali.
Selama pusat kerajaan berada di Kawali, kerajaan tersebut mengalami kejayaan, diperintah oleh 7 orang raja secara berkesinambungan. Raja-raja yang terkenal antara lain Prabu Maharaja (Ia adalah raja Sunda yang gugur dalam “Perang Bubat” tahun1357 M) alias Linggabuana (1350 – 1357), Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475) (Waktu itu penyebaran agama Islam dari Cirebon mulai masuk ke daerah Galuh), dan Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521 M.). Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, pusat pemerintahan pindah lagi ke Pakuan Pajajaran. Hal itu berlangsung sampai pemerintahan Nusiya Mulya (1567 – 1579).
Tahun 1579 pemerintahan Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh akibat gerakan pasukan Banten dalam rangka penyebaran agama Islam. Setelah kejadian itu, Kerajaan Galuh berdiri sendiri dan berlangsung hingga akhir abad ke-16 (Batas-batas wilayah Kerajaan Galuh waktu itu adalah : Sumedang batas sebelah utara). Mulai kira-kira tahun 1580, Kerajaan Galuh diperintah oleh Prabu Sanghiyang Cipta di Galuh, putra Prabu Haurkuning7), dilanjutkan oleh Prabu Galuh Cipta Permana sampai akhir abad ke-16. Ia berkedudukan di Gara Tengah (Cineam).
Sampai dengan akhir abad ke-16, boleh jadi jati diri Ki Sunda mengakar cukup kuat, karena belum terpengaruh atau terganggu oleh budaya luar. Pengaruh dari luar baru terjadi sejak Mataram menguasai Galuh. Tahun 1595 Galuh jatuh ke dalam kekuasaan Mataram di bawah pemerintahan Senopati (1586 – 1601). Pemerintahan di Galuh dijalankan oleh Adipati Panaekan yang diangkat oleh penguasa Mataram menjadi Bupati Wedana Galuh. Berdasarkan jabatan dan gelar adipati pada diri Adipati Panaekan, diduga sejak itulah Galuh menjadi sebuah kabupaten, yaitu sebagai kabupaten vassal Mataram.
Perubahan status Galuh dari kerajaan menjadi kabupaten merupakan salah satu pengaruh Mataram (Jawa) terhadap kehidupan Ki Sunda. Pengaruh budaya Mataram yang cukup kuat terhadap Ki Sunda adalah feodalisme. Pengaruh itu terutama terjadi melalui bahasa, sehingga dalam bahasa Sunda terjadi undak-usuk (tingkatan) bahasa Huruf Jawa (Cacarakan) disosialisasikan dengan efektip dalam kehidupan di Tatar Sunda, sehingga sampai sekarang pun masih ada orang Sunda yang menganggap, bahwa Cacarakan adalah huruf Sunda). Dalam eksistensi Ki Sunda masa selanjutnya, perpaduan budaya Sunda dan budaya Jawa, disadari atau pun tidak, menjadi jati diri Ki Sunda.
2.2 Unsur-Unsur Jati Diri Ki Sunda
Telah disebutkan (pada uraian pendahuluan), bahwa jati diri Ki Sunda dapat dipahami melalui budaya kekuasaan dan kepemimpinan Ki Sunda di masa kerajaan, yang menunjukkan karakter pemiliknya. Beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara (Prasasti Tugu, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, dan Prasasti Cidangiang) menginformasikan tentang keagungan Purnawarman. Ia memiliki kekuasaan besar dan gagah berani. Oleh karena itu ia memiliki kharisma dan wibawa sangat besar, sehingga pemerintahannya berlangsung berdasarkan konsep otoritas-kharismatik.
Meskipun kekuasaan raja bersifat absolut, tetapi dalam menjalankan kepemimpinannya, ia adalah raja yang memiliki sifat-sifat baik, yait u bijaksana, jujur, kesatria, dermawan, dan hormat kepada para pangeran (pejabat tinggi kerajaan). Kebesaran, wibawa, dan kekuasaan Purnawarman dinyatakan dalam Prasasti Tugu dan Cidangiang, bahwa Purnawarman adalah “panji sekalian raja”. Sifat-sifat tersebut merupakan “akar” dari unsur-unsur jati diri Ki Sunda, karena sifat-sifat itu diwarisi oleh raja-raja Sunda berikutnya, termasuk raja-raja Galuh. Para pejabat tinggi bawahan raja pun kiranya menyerap sifat dan sikap raja melalui hubungan “kawula-gusti”.
Sumber-sumber sejarah yang akurat, antara lain prasasti, menyatakan bahwa Kerajaan Sunda dan Galuh dalam eksistensinya mengalami kejayaan. Kehidupan kerajaan dan masyarakatnya mengalami kesejahteraan. Hal itu terjadi berkat kepemimpinan yang baik dari raja-raja pada umumnya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, baik dalam menjalankan pemerintahan maupun dalam mengayomi masyarakat. Kekuasaan raja banyak ditujukan untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, raja disenangi oleh rakyat dan menjadi panutan. Raja-raja Sunda yang memerintah silih berganti, meninggalkan nama yang wangi (citra yang baik), sehingga muncul julukan “siliwangi” bagi raja-raja Sunda.
Meskipun raja-raja Sunda memiliki kekuasaan absolut, tetapi mereka pun memiliki dan menerapkan sikap demokratis. Misalnya, Indrawarman, raja Tarumanagara kelima (455 – 515 M.) dan Sanjaya, raja Sunda-Galuh (723 – 732 M.), tidak mengharuskan (memaksa) rakyatnya untuk memluk agama/ajaran yang dianut oleh raja/keluarga kerajaan. Dalam menentukan batas wilayah kerajaan, Sanjaya melakukannya melalui musyawarah. Candrawarman, raja Tarumanagara keenam (515 – 535 M.), menyerahkan kembali pemerintahan beberapa daerah kekuasaannya kepada keturunan raja-raja daerah yang bersangkutan.
Bahwa sifat demokratis telah terdapat dalam budaya kekuasaan dan kepemimpinan Sunda masa kerajaan, ditunjukkan dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Naskah itu antara lain berisi ajaran kesusilaan (moral) dan gambaran birokrasi Kerajaan Sunda. Bagian awal naskah itu memuat dasar ajaran “Sanghyang Sasanakreta” (cara mencapai kesejahteraan), yaitu ajaran untuk melangsungkan pemerintahan. Dalam ajaran itu antara lain disebutkan bahwa “Siapa (penguasa) yang hendak menegakkan Sasanakreta, agar dapat lama hidup, lama berjaya, ternak berkembang biak, tanaman subur, selalu unggul dalam perang, sumbernya terletak pada orang banyak (rakyat)”. Disebutkan pula, bahwa apabila raja teguh dalam tugasnya sebagai penguasa, maka akan sejahteralah kerajaannya.
Ajaran tersebut rupanya dilaksanakan oleh raja-raja Sunda. Hal itu antara lain ditunjukkan oleh Prasasti Kawali – yang bertuliskan huruf Sunda -- peninggalan Prabu Wastukancana atau Prabu Raja Wastu (1371 – 1475). Dalam Prasasti Kawali I antara lain dinyatakan “….. parebu raja wastu mangadeg di kuta kawali ….. nu najur sagala desa …..” (“….. Prabu Raja Wastu bertahta di kota Kawali ….. yang mensejahterakan seluruh negeri …..”). Melalui prasasti itu, ia juga berwasiat kepada para penerusnya agar “membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia” (“pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya di buana”). Dalam Prasasti Kawali II, Prabu Wastukancana juga berwasiat agar “membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang” (“pakena kereta bener pakeun nanjeur na juritan”).
Data tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan raja-raja Sunda pada umumnya termasuk ke dalam tipe pemimpin ideal, seperti disebutkan dalam naskah Carita Parahiyangan. Secara garis besar, tipe raja yang ideal menurut naskah itu adalah raja yang taat menjalankan ajaran agama, memelihara tradisi leluhur, menghormati pemimpin agama, memakmurkan negeri, mensejahterakan dan menenteramkan kehidupan rakyat.
Sifat dan sikap raja-raja Sunda tersebut, pada dasarnya terus terpelihara, paling tidak sampai dengan abad ke-19. Meskipun sejak akhir abad ke-16 kehidupan di Tatar Sunda mendapat pengaruh budaya luar (pengaruh Mataram, Belanda, dan pengaruh budaya asing lainnya), tetapi jati diri Ki Sunda pada masa kerajaan padasarnya diwarisi oleh para bupati Sunda umumnya pada masa kolonial. Hal itu ditunjukkan oleh sejumlah sumber sejarah yang cukup akurat, baik secara tersurat maupun secara tersirat.
Itulah gambaran jati diri Ki Sunda yang pada hakekatnya mengacu pada sifat dan sikap yang baik. Sifat dan sikap itu pula yang menjadi pandangan hidup Ki Sunda, seperti tercermin dalam sejumlah ungkapan tradisional. Ungkapan itu menunjukan pandangan hidup Ki Sunda tentang sikap manusia :
a) Manusia secara pribadi.
b) Hubungan pribadi dengan masyarakat (kehidupan bermasyarakat).
c) Sikap manusia yang mengacu pada alam.
d) Hubungan manusia dengan Tuhan.
e) Sikap manusia dalam mengejar kemajuan.
Contoh ungkapan-ungkapan dimaksud antara lain sebagai berikut :
a) Pandangan hidup manusia secara pribadi.
• Kudu hadé gogog hadé tagog (Harus baik budi bahasa dan tingkah laku)
• Teu busik bulu salambar (Pendirian yang kuat)
b) Pandangan hidup mengenai hubungan pribadi dengan masyarakat.
• Silih asih, silih asah, silih asuh
(Saling mengasihi, saling bantu, saling jaga untuk kebaikan)
• Ulah nyieun pucuk ti girang (Jangan mencari-cari bibit permusuhan)
c) Sikap manusia yang mengacu pada alam
• Manuk hiber ku jangjangna, jalma hirup ku akalna
(Setiap mahluk memiliki cara untuk melangsungkan kehidupannya)
d) Pandangan hidup mengenai hubungan manusia dengan Tuhan.
• Mulih ka jati mulang ka asal (Kematian itu bermakna berasal dari Tuhan,
kembali kepada Tuhan).
e) Sikap manusia dalam mengejar kemajuan.
• Ulah puraga tamba kadenda (Melakukan suatu pekerjaan harus sungguhsungguh,
jangan asal-asalan).
• Kudu tungkul ka jukut, tanggah ka sadapan (Dalam menghadapi suatu
urusan/pekerjaan harus konsentrasi, jangan tergoda oleh hal lain).
Ungkapan-ungkapan tersebut berasal dari masa lampau, kemudian diserap secara turun-temurun. Oleh karena itu, makna ungkapan-ungkapan itu pun merupakan unsur atau bagian dari jati diri Ki Sunda.
III. Penutup
Secara historis, jati diri Ki Sunda berakar dari masa lampau yang bertitik tolak dari masa kerajaan. Jati diri itu ditunjukkan oleh karakter yang tercermin dalam budaya kekuasaan, budaya kepemimpinan, dan budaya hidup pribadi dan bermasyarakat.
Masa kerajaan di Tatar Sunda berlangsung sangat lama, lebih-kurang 13 abad (pertengahan abad ke-4 s.d. akhir abad ke-16). Oleh karena itu, jati diri Ki Sunda mengakar dengan kuat. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah Ki Sunda, jati diri itu cenderung berangsur-angsur luntur, bahkan sekarang banyak orang Sunda yang terkesan kehilangan jati diri.
Kondisi tersebut kiranya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, akibat pengaruh budaya lain (budaya deungeun). Unsur-unsur budaya lain, khususnya budaya barat, makin lama makin masuk dan meresap dalam kehidupan Ki Sunda, akibat perkembangan teknologi, antara lain media elektronik (televisi dan lain-lain).
Dampaknya, “tontonan menjadi tuntunan”.
Kedua, dari contoh-contoh kasus yang terjadi, terkesan adanya sikap yang cenderung kebablasan dalam mengartikan kemerdekaan dan reformasi. Kemerdekaan diartikan sebagai kebebasan, dan reformasi diterapkan pula terhadap jati diri (reformasi jati diri).
Ketiga, secara umum, sekarang ini hampir tidak ada pemimpin yang benarbenar dapat menjadi panutan. Sejak Indonesia merdeka, lepas dari belenggu penjajahan sampai sekarang, Ki Sunda belum memiliki pemimpin yang menduduki jabatan tertinggi di tingkat nasional. Pemimpin Ki Sunda di tingkat daerah, terkesan kurang memelihara jati diri Ki Sunda khususnya dan budaya Sunda umumnya.
Keempat, bangsa kita, termasuk Ki Sunda, umumnya kurang memiliki kesadaran sejarah. Padahal sejarah berisi akumulasi pengalaman penting manusia, yang maknanya baik untuk dipetik sebagai bahan pelajaran. Oleh karena itu, pikeun mulangkeun deui (untuk mengembalikan lagi) jati diri Ki Sunda, maka Ki Sunda harus mau belajar dari sejarah, dalam arti belajar dari pengalaman dan memahami makna kejadian/peristiwa yang telah terjadi dalam kehidupan Ki Sunda khususnya dan kehidupan bangsa Indonesia umumnya.
Gentra Galuh, Edisi III/Oktober/2007
*) Penulis adalah sejarawan dan pustakawan pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Makalah disampaikan dalam seminar bertema ‘Ngaguar Budaya Sunda Pikeun Mulangkeun Jati Diri Ki Sunda”. Seminar diselenggarakan oleh Yayasan Wawangi Sunda bekerjasama dengan Pamanahan (Paguyuban Mahasiswa Tanah Pasundan, KPM Galuh Rahayu Yogyakarta, tanggal 25 September 2003 di Kampus UGM
Sumber Acuan
Alisjahbana, Samiati. 1954. A Preliminary Study of Class Structure Among the Sundanese in the Priangan. Master Thesis. Cornell University.
Atja. 1981. Carita Parahiyangan; Transkripsi, Terjemahan dan Komentar. Bandung : Poyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
--------. 1981. Sanghiang Siksa Kanda Ng Karesian. Bandung : Poyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Berg, L.W.C. van den. 1902. De Inlandsche Rangen en Titels op Java en Madoera. ‘s-Gravenhage : Martinus Nijhoff.
Danasasmita, Saleh et al. 1983/1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Jilid ke-2 dan ke-3. Bandung : Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat.
--------. 1985. Siliwangi Sebagai Pangkal Silsilah Kebangsawanan. Makalah pada Seminar Sejarah dan Tradisi tentang Prabu Siliwangi. Bandung.
--------. 1987. Sewaka Dharma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat dari Galunggung. Bandung : Proyek Sundanologi.
Deenik, A.C. 1929. Aanvulingen op Babad Pasoendan Djeung Ringkesan Babad Hindia Belanda. Groningen : Wolters.
Ekadjati, Edi S. 1997. Wawacan Sajarah Galuh. Bandung : EFEO. Hardjasaputra, A. Sobana. 1985.
Bupati-Bupati Priangan; Kedudukan dan Peranannya Pada Abad Ke-19. Tesis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
--------. 2003 Budaya Kekuasaan Sunda; Analisis Historis. Makalah dalam seminar dengan tema “Sunda dan Budaya Kekuasaan”. Bandung : IAIN Sunan Gunung Jati.
Jawa Barat. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I. 1993. Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung.
Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Ménak Priangan 1800 – 1942. Bandung : Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
Mayer, L.Th. 1889. Soerat Kandoengan Boeat Goenanja Segala Prijajie-Prijajie jang Memegang Pekerdjaan di Tanah Gouvernemennan di Poelo Djawa dan Madoera. I.
Semarang : Van Dorp.
Rusyana, Yus. 1985. Carita Pantun tentang Prabu Siliwangi dan Tedak Pakuan. Makalah pada Seminar Sejarah dan Tradisi tentang Prabu Siliwangi. Bandung.
Sutaarga, Moh. Amir. 1984. Prabu Siliwangi. Jakarta :Pustaka Jaya.
Warnaen, Suwarsi et al. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin Dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung : Depdikbud. Dirjen Kebudayaan. Bagian Proyek Sundanologi.
Sumber :
http://www.wacananusantara.org/1/169/jati-diri-ki-sunda-dalam-perspektif-sejarah