Wawasan Budaya untuk Pemberdayaan Pengetahuan dan Teknologi Etnik/Lokal

Oleh : Heddy Shri Ahimsa-Putra

‘Every human being knows his own world better than any outsider (including the ex-pert who makes policy)‘

‘Those who are the objects of policy should have the opportunity to participate not only in specific decisions but in the definitions of the situation on which these decisions are based. This may be called cognitive participation‘
(Peter Berger, ‘Pyramids of Sacrifice‘: xii).

I. Pengantar
Berbagai buku telah ditulis mengenai pembangunan dan kebudayaan (lihat Budhisantoso, 1989; Colletta dan Kayam, 1987; Koentjaraningrat, 1974; Masinambow dan Henen, 1994; Nordholt, 1987; Ufford, 1988). Dari berbagai hasil kajian ilmiah ini terlihat bahwa kajian yang betul-betul memusatkan perhatian pada persoalan pengembangan teknologi dan pengetahuan serta kaitannya dengan kebudayaan boleh dikatakan masih sangat sedikit, untuk tidak mengatakannya tidak ada. Sebaliknya, di Barat kajian mengenai masalah pengembangan teknologi dan perubahan kebudayaan sudah banyak sekali dilakukan. Sekedar contoh adalah beberapa buku dari Bernard dan Pelto (1972), Foster (1973), dan Spicer (1952), yang banyak mengulas masalah perubahan teknologi dan hubungannya dengan kehidupan masyarakat dan kebudayaan mereka.

Di Indonesia, persoalan pengembangan teknologi yang lebih didasarkan pada kehidupan masyarakat di Indonesia mulai banyak mendapat perhatian pada akhir tahun 1970an, ketika pembangunan yang banyak dilakukan di Indonesia ternyata lebih diwarnai oleh impor teknologi tinggi dari Barat. Hal ini menimbulkan dampak yang merugikan, yakni: (1) terabaikannya pengetahuan dan teknologi etnik/lokal yang selama ini menjadi tumpuan sebagian besar masyaraat Indonesia dalam beradaptasi dengan lingkungannya; (2) terdesaknya pengetahuan dan teknologi etnik/lokal oleh pengetahuan dan teknologi dari luar; (3) munculnya berbagai masalah sosial-budaya yang cukup menggelisahkan (lihat misalnya Tjitradjaja, 1989) ketika teknologi tinggi ini masuk menjadi bagian kehidupan masyarakat yang merasa asing dengan teknologi tersebut.

Berbagai pendapat telah dikemukakan untuk mengatasi dampak negatif tersebut, dan tidak sedikit yang mengusulkan dikembangkannya teknologi yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi budaya masyarakat-masyarakat lokal atau sukubangsa-sukubangsa yang masih sederhana di Indonesia (lihat Birowo, 1979 Kartodirdjo, 1979; Rahardjo, 1979). Sayangnya, pemikiran-pemikiran semacam itu kurang mendapat perhatian dan mengalami kendala serius dalam penerapannya, karena tidak dikenalnya paradigma dalam ilmu sosial-budaya yang dapat mendukung pemikiran semacam itu.

Dalam makalah ini saya memaparkan salah satu paradigma yang muncul dalam antropologi budaya di Amerika Serikat pada tahun 1960an, yakni paradigma Ethnoscience, yang juga dikenal dengan nama lain seperti The New Ethnography, Cognitive Anthropology, Ethnographic Semantics atau Descriptive Semantics. Sengaja saya memilih ethnoscience ini (etnosains), karena paradigma ini saya kira sangat sesuai dengan: (1) semangat yang tengah tumbuh di Indonesia masa kini, yaitu semangat untuk mengungkap, mengembangkan dan memberdayakan kemampuan-kemampuan yang ada dalam sebuah kebudayaan guna meningkatkan mutu kehidupan manusia yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi lokal; (2) semangat demokratisasi kehidupan sosial-budaya di Indonesia.

II. Etnosains (Ethnoscience) Dan Etnoteknologi.
Istilah ethnoscience berasal dari kata ethnos dari bahasa Yunani yang berarti ‘bangsa‘ dan kata scientia dari bahasa Latin yang berarti ‘pengetahuan‘ (Werner and Fenton, 1970: 537). Etnosains kurang lebih berarti pengetahuan yang dimiliki oleh suatu bangsa atau lebih tepat lagi suatu sukubangsa atau kelompok sosial tertentu. Sturtevant (1961:99) mendefinisikannya sebagai system of know-ledge and cognition typical of a given culture. Penekanannya di sini adalah pada sistem atau perangkat pengetahuan, yang merupakan pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat, karena berbeda dengan pengetahuan masyarakat yang lain.

Sebagai sebuah paradigma etnosains menggunakan definisi kebudayaan yang berbeda dengan paradigma-paradigma lain dalam antropologi budaya, yaitu definisi sebagaimana yang dikemukakan oleh Goodenough, yakni bahwa kebudayaan bukanlah fenomena atau gejala material kebudayaan.

does not consist of things, people, behavior or emotions. It is rather the organization of these things. It is the forms of things that people have in mind, their models for perceiving, relating and otherwise interpreting them as such. The things that people say and do, their social arrangement and events are products or by products of their culture as they apply it to the task of perceiving and dealing with their circumstances (1964: 36).

Dengan kata lain kebudayaan juga dapat dikatakan sebagai
..whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage must consist of the end product of learning: knowledge.. (1964: 36)

Definisi lain yang senada dan telah memberikan sumbangan pada munculnya kajian-kajian yang ethnoscientific adalah definisi kebudayaan dari Frake, yang merumuskan kebudayaan sebagai aset of principles for creating dramas, for writing scripts, and of course, for recruiting players and audiences‘Culture is not simply a cognitive map that people acquire, in whole or in part, more or less accurately, and then learn to read. People are not just map-readers; they are map-makers‘.Culture does not provide a cognitive map, but rather a set of principles for map making and navigation. Different cultures are like different schools of navigation designed to cope with different terrain and seas (Frake, 1977: 6-7, dikutip dari Spradley, 1979: 7).

Dari rumusan-rumusan tentang kebudayaan di atas, kita dapat mengidentifikasi tiga hal yang kemudian menjadi topik-topik kajian dan memunculkan sebuah aliran pemikiran, sebuah paradigma, paradigma Etnosains.

Jenis kajian yang pertama memusatkan perhatian pada kebudayaan yang didefinisikan sebagai the forms of things that people have in mind, their models for perceiving, yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai model-model untuk mengklasifikasi lingkungan atau situasi sosial yang dihadapi. Penelitian etnosains di sini bertujuan untuk mengetahui gejala-gejala materi mana yang dianggap penting oleh warga suatu kebudayaan dan bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala tersebut dalam sistem pengetahuan mereka. Bilamana ini dapat diketahui maka akan terungkap pula berbagai prinsip yang mereka gunakan untuk memahami lingkungan dan situasi yang dihadapi, yang menjadi landasan bagi tingkah laku mereka (Tyler, 1969: 3).

Setiap masyarakat, sukubangsa atau kelompok sosial tertentu pada dasarnya membuat klasifikasi yang berbeda atas lingkungan yang sama. Dengan mengetahui pengkategorisasian berbagai macam gejala dalam lingkungan ini akan dapat diketahui juga ‘peta kognitif‘ dunia dari suatu masyarakat tertentu (Frake, 1962: 75). Di sini peneliti berusaha mengungkap struktur-struktur yang digunakan untuk mengklasifikasi lingkungan, baik itu fisik maupun sosial. Dari berbagai studi etnosains yang telah dilakukan kita dapatkan misalnya penelitian tentang klasifikasi tumbuh-tumbuhan, klasifikasi berbagai jenis binatang, klasifikasi jenis-jenis penyakit, klasifikasi warna dan sebagainya.

Jenis kajian yang kedua mengarahkan perhatian pada kebudayaan sebagai whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, atau hal-hal yang harus diketahui oleh seseorang agar dia dapat mewujudkan perilaku atau melakukan sesuatu dengan cara yang dapat diterima oleh pendukung kebudayaan tersebut. Di sini yang menjadi perhatian utama adalah cara-cara, aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai, yang membolehkan atau melarang, serta mengarahkan atau menunjukkan bagaimana suatu hal —yakni pengembangan teknologi yang sudah dimiliki— harus atau sebaiknya dilakukan dalam konteks suatu kebudayaan tertentu. Misalnya saja, cara membuat rumah yang baik menurut pandangan orang Asmat di Papua; cara bersawah yang baik dalam pandangan orang Jawa, cara membangun sebuah kampung yang tepat menurut pandangan orang Batak, cara membuat bendungan yang baik menurut pandangan orang Bali, cara membuat perahu yang benar menurut orang Bugis dan sebagainya.

Jenis kajian yang ketiga memusatkan perhatian pada kebudayaan sebagai a set of principles for creating dramas, for writing scripts, and of course, for recruiting players and audiences atau seperangkat prinsip-prinsip untuk menciptakan, membangun peristiwa, untuk mengumpulkan individu-individu atau orang banyak. Penelitian mengenai prinsip-prinsip yang mendasari berbagai macam kegiatan dalam kehidupan sehari-hari ini penting bagi upaya untuk memahami struktur yang tidak disadari namun mempengaruhi atau menentukan per-wujudan perilaku dan tindakan sehari-hari. Penelitian dengan fokus pada prinsip-prinsip ini memang agak dekat dengan jenis kajian yang ke dua di atas, namun tetap berbeda. Prinsip-prinsip yang ditemukan dalam studi ketiga ini pada dasarnya merupakan prinsip-prinsip yang tidak disadari keberadaannya, atau berada pada tataran nirsadar.

Tiga jenis penelitian di atas merupakan jenis penelitian yang banyak dilakukan dalam Etnosains. Hasil-hasil penelitian semacam ini tampaknya memang teoritis, meskipun demikian tidak sedikit di antaranya yang kemudian sangat besar manfaat praktisnya, terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk memasukkan unsur-unsur teknologi dan pengetahuan baru ke dalam suatu masyarakat dengan maksud untuk meningkatkan teknologi dan hasil aktivitas ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Berbagai jenis etnosains yang telah berhasil diteliti dan dideksripsikan oleh para ahli antropologi mencakup antara lain: jenis-jenis tanah, jenis-jenis binatang, jenis-jenis tanaman obat, dan jenis-jenis tumbuhan tertentu.

Dalam filsafat ilmu pengetahuan, istilah ‘sains‘ atau ilmu pengetahuan dibedakan dengan pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan metode-metode tertentu serta mengikuti tata-urut tertentu dalam mendapatkannya. Setelah diperoleh, pengetahuan ini harus dapat diuji kebenarannya oleh orang-orang lain, sehingga ‘kebenaran‘ pengetahuan ini tidak lagi akan bersifat subyektif, tetapi intersubyektif. Atas dasar pengertian semacam ini maka etnosains dapat kita definisikan sebagai perangkat pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat/sukubangsa yang diperoleh dengan menggunakan metode tertentu serta mengikuti prosedur tertentu yang merupakan bagian dari ‘tradisi‘ mereka, dan ‘kebenarannya‘ dapat diuji secara empiris.

Dengan makna etnosains seperti itu maka etnoteknologi (etnotek) di sini dapat diartikan sebagai keseluruhan peralatan yang dimiliki suatu masyarakat atau kelompok sosial tertentu beserta dengan cara-cara pemakainya, yang digunakan untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan masalah-masalah tertentu dalam berhadapan dengan situasi dan lingkungan tertentu. Etnotek ini dihasilkan dan dikembangkan oleh masyarakat atau kelompok sosial itu sendiri, dan diwariskan dari generasi ke generasi dalam kurun waktu yang relatif lama. Dalam konteks ini etnosains dan etnotek merupakan sistem pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh suatu masyarakat, sukubangsa, kelompok sosial tertentu, yang umumnya mempunyai ciri-ciri khusus tertentu yang membedakannya dengan sistem pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat yang lain.

Dengan menggunakan paradigma Etnosains-Etnotek maka akan dapat dicapai dua hal penting, yang semuanya merupakan pengejawantahan dari pengembangan dan pemberdayaan ‘Kebudayaan‘ sebagai perangkat pandangan hidup, perangkat pengetahuan, yakni: (1) Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang Berwawasan Budaya; (2) Pemberdayaan Pengetahuan dan Teknologi Etnik/Lokal.

III. Wawasan Budaya Dan Pengembangan Teknologi
Berdasarkan atas uraian mengenai paradigma Etnosains di atas, yang dalam antropologi kadang-kadang dikatakan sebagai paradigma Budaya, kita dapat merumuskan tentang apa yang dimaksud dengan ‘pengembangan teknologi berwawasan budaya‘ serta strategi-strategi atau siasat-siasat untuk pemberdayaannya di Indonesia. Konsep yang penting di sini adalah: pengembangan, teknologi, berwawasan, budaya dan pemberdayaan. Kita perlu menjelaskannya satu-persatu.

Kata ‘pengembangan‘ menyiratkan bahwa apa yang dikembangkan di situ sudah ada atau sudah dimiliki terlebih dulu. Jika kita mengembangkan sesuatu, hal itu berarti kita menambahkan atau mengubah sesuatu yang sudah kita miliki menjadi sesuatu yang lebih baik dalam hal kualitasnya. Jika ini adalah sebuah teknologi, maka teknologi ini harus sudah terlebih dulu menjadi milik kita. Dalam konteks Indonesia ini dapat berupa teknologi ‘tradisional‘. Jadi pengembangan di sini adalah segala upaya untuk mengubah hal-hal yang sudah dimiliki menjadi lebih baik kualitasnya.
Konsep ‘teknologi‘ dapat didefinisikan di sini sebagai keseluruhan peralatan yang dimiliki beserta pengetahuan tentang pemakaiannya, yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu atau menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi ketika manusia ingin memanfaatkan unsur-unsur tertentu dari lingkungan fisiknya. Peralatan fisik saja tanpa pengetahuan mengenai kegunaan dan penggunaannya tidak dapat kita masukkan ke dalam kategori ‘teknologi‘ di sini. Dia hanya benda, barang.

Istilah ‘berwawasan‘ yang artinya memiliki wawasan, memiliki pandangan, dapat dimaknai sebagai perspektif, sudut pandang, atau paradigma. Dengan demikian ‘berwawasan budaya‘ berarti menggunakan sudut pandang budaya, paradigma budaya atau kebudayaan. Kejelasan dari wawasan budaya ini baru akan lebih terlihat bilamana kita membandingkannya dengan wawasan yang lain, misalnya wawasan ekonomi, wawasan hukum, wawasan keamanan, dan sebagainya.

Istilah ‘budaya‘, yang dalam hal ini tidak dibedakan maknanya dengan ‘kebudayaan‘, diartikan sebagai perangkat pengetahuan yang digunakan manusia untuk memahami lingkungan dan situasi yang dihadapinya, serta digunakan untuk membimbingnya mewujudkan perilaku yang dipandang tepat dalam lingkungan dan situasi tersebut. Perangkat pengetahuan ini diperoleh manusia lewat dan dari proses sosialisasi serta dari pengalamannya berhadapan dengan lingkungannya sehari-hari.

Pengembangan teknologi berwawasan budaya dengan demikian dapat diartikan sebagai segala upaya untuk mengubah peralatan dan pengetahuan yang dimiliki mengenai peralatan tersebut menjadi lebih baik kualitasnya dengan menggunakan pengetahuan masyarakat (sukubangsa) lokal yang telah ada sebagai dasarnya, dan pengetahuan baru dari luar sebagai pendorong proses pengubahan tersebut. Pengetahuan ini mencakup tidak hanya berbagai klasifikasi mengenai unsur-unsur fisik lingkungan, tetapi juga aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai serta berbagai pandangan hidup yang membimbing, mengendalikan serta menentukan perwujudan perilaku serta tindakan terhadap lingkungan. Jadi juga meliputi larangan-larangan, keharusan-keharusan, serta berbagai pandangan tentang baik dan buruk, yang harus diikuti dalam kehidupan sehari-hari.

IV. Pemberdayaan Pengetahuan Dan Teknologi Etnik/Lokal
Pemberdayaan di sini didefinisikan sebagai segala usaha untuk membuat sesuatu lebih besar fungsi atau sumbangannya terhadap yang lain. Oleh karena itu, pemberdayaan pengetahuan dan teknologi etnik/lokal dapat dimaknai sebagai segala usaha untuk membuat pengetahuan dan teknologi etnik/lokal menjadi lebih berdaya, lebih mampu, lebih banyak memberikan sumbangan dalam penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia dan mencapai tujuan-tujuan yang mereka inginkan. Untuk melakukan pemberdayaan dibutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang hal-hal yang akan diberdayakan itu sendiri. Jika pengetahuan semacam ini belum dimiliki, maka langkah pertama yang mungkin atau harus dilakukan adalah dengan melaksanakan penelitian-penelitian untuk memperoleh dan menghimpun pengetahuan tersebut.

Penelitian ini perlu dilakukan dengan menggunakan metode-metode penelitian yang cocok untuk jenis obyek yang diteliti serta sesuai dengan tujuannya. Dalam hal ini metode penelitian Etnosains merupakan metode penelitian yang paling sesuai dengan tujuan pemberdayaan di sini. Dengan menggunakan paradigma Etnosains dan Etnotek, peteliti akan mencoba memahami teknologi yang ada dari sudut pandang tineliti (orang yang diteliti). Sebuah perangkat teknologi pada dasarnya merupakan perwujudan dari perangkat nilai, norma serta pandangan hidup dalam suatu kebudayaan. Penelitian lewat perspektif Etnosains akan memungkinkan peteliti mengungkap nilai dan pandangan hidup ini.

Perangkat teknologi pada dasarnya juga merupakan hasil dari upaya-upaya manusia untuk memanfaatkan unsur-unsur tertentu dari lingkungan fisik yang dihadapinya. Teknologi merupakan hasil interaksi antara pengetahuan tentang lingkungan dengan pengetahuan mengenai unsur-unsur dunia fisik yang dapat digunakan untuk memanfaatkan lingkungan tersebut. Di sini dimensi-dimensi lingkungan fisik serta teknologi yang dipandang penting oleh penciptanya, pemakainya perlu diketahui dengan baik, jika teknologi ini ingin dikembangkan dan diberdayakan lebih lanjut.

Perspektif Etnosains-Etnotek akan sangat membantu peneliti dalam upaya-upaya pemberdayaan ini, sebab melalui perspektif ini peneliti akan dapat mengetahui dimensi-dimensi apa saja dari lingkungan dan teknologi yang dimiliki, yang dianggap penting oleh masyarakat pendukungnya. Pengembangan teknologi dan pengetahuan yang didasarkan atas pemahaman tentang dimensi-dimensi ini akan dapat membuat teknologi dan pengetahuan yang dikembangkan dari situ tidak akan terlalu asing nantinya, karena di sini telah terjadi ‘partisipasi kognitif‘ sebagaimana yang dimaksudkan oleh Berger.

Pengembangan dan pemberdayaan etnosains dan etnotek membutuhkan kerjasama yang erat antara ‘ilmuwan etnik/lokal‘ dengan ilmuwan sosial-budaya dan ilmuwan fisik. Dalam hal ini, ahli-ahli antropologi dengan spesialisasi etnosains sangat diperlukan keterlibatannya, karena mereka inilah yang akan menjadi ‘jembatan‘ antara dua jagad pemikiran yang selama ini terpisah jauh, yakni jagad pemikiran etnik/lokal dan jagad pemikiran modern science and technology. Para ethnoscientists inilah yang harus menerjemahkan etnosains dan etnotek ke dalam bahasa high science and technology. Oleh karena itu, mereka juga memerlukan bantuan dari para ilmuwan fisik yang berkecimpung dalam sains dan teknologi modern agar ‘terjemahan‘ mereka kemudian dimengerti dan punya makna bagi para ilmuwan ‘modern‘ tersebut.

V. Etnosains-Etnotek : ‘Demokratisasi Sains Dan Teknologi‘
Uraian tentang paradigma Etnosains di atas memperlihatkan bahwa pendekatan ini berusaha mengungkap pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikiran yang ada dalam masyarakat yang diteliti. Dia mencoba melihat lingkungan suatu masyarakat atau komunitas lewat kacamata komunitas itu sendiri, serta mencoba menjelaskan berbagai gejala sosial-budaya dengan memperhatikan penafsiran-penafsiran dari para pelakunya.

Pengetahuan mengenai pandangan dan pemikiran ini sangat penting bagi perencana pembangunan ataupun mereka yang ingin mengembangkan teknologi yang telah ada dalam suatu masyarakat, sebab pembangunan dan pengembangan teknologi menuntut adanya perubahan dalam sikap dan tindakan dalam menanggapi lingkungan. Perubahan semacam ini tidak akan mudah terjadi tanpa adanya perubahan pada perangkat pengetahuan, pandangan atau pemikiran yang merupakan landasan dari sikap dan tindakan tersebut.

Dengan bekal sistem pengetahuan yang ada dalam suatu masyarakat atau etnosains mereka, perencana pembangunan atau pengembang teknologi akan dapat menentukan langkah yang lebih tepat serta cara-cara yang lebih sesuai dengan pandangan masyarakat yang akan dibangun dalam menyusun dan menjalankan program-programnya. Dari etnosains mereka akan dapat diketahui ide-ide baru mana yang mungkin sesuai atau tidak sesuai dengan etnosains tersebut. Oleh karena itu, apabila suatu program pembangunan atau pengembangan teknologi diinginkan keberhasilannya, maka perspektif etnosains sama sekali tidak dapat ditinggalkan, mengingat fundamentalnya perspektif ini serta kecocokannya deng-an etika.

Penggunaan pendekatan Etnosains-Etnotek dalam pengembangan masyarakat akan memungkinkan kita melakukan beberapa hal yang bermanfaat dan lebih baik daripada apa yang telah dilakukan di masa-masa lalu di Indonesia. Pertama, kita akan dapat melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara ‘demokratis‘, karena masyarakat pemilik pengetahuan dan teknologi turut berpartisipasi dalam bentuk ‘partisipasi kognitif‘. Partisipasi semacam ini lebih penting daripada partisipasi secara fisik atau keterlibatan secara langsung di lapangan, karena sistem kognisi merupakan sistem yang menjadi landasan atau pembimbing bagi perilaku-perilaku manusia.

Kedua, kita akan dapat menghasilkan perangkat teknologi baru yang tidak akan sangat asing bagi masyarakat kita. Perangkat teknologi seperti itu dengan sendirinya akan dirasakan lebih akrab, dan karena itu akan lebih cepat diterima oleh masyarakat-masyarakat di Indonesia, daripada perangkat teknologi tinggi yang seringkali malah melahirkan penyakit ‘gagap teknologi‘ di kalangan sebagian warga Indonesia.

Ketiga, pengembangan dan pemberdayaan etnosains dan etnotek berarti juga pelestarian atas salah satu warisan budaya yang paling berharga, karena etnosains dan etnotek merupakan sarana utama manusia untuk bertahan hidup dan melestarikan spesiesnya. Pelestarian etnosains dan etnotek itu sendiri berarti juga pelestarian cultural diversity (keragaman budaya) yang sangat penting fungsi-nya bagi kehidupan manusia.

Keempat, pengembangan dan pemberdayaan etnosains dan etnotek berarti juga pengangkatan status pengetahuan dan teknologi berbagai etnik/lokal tersebut pada tataran yang setara dengan mode of science and technology yang dominan dewasa ini, dan ini berarti juga penyetaraan kedudukan dan relasi antara etnosains dan etnotek dengan sains dan teknologi yang ‘modern‘ dan ‘high‘, yang selama ini timpang.

Kelima, pengembangan dan pemberdayaan etnosains dan etnotek akan mendorong terjadinya sinergi, kerjasama yang rapi, erat dan saling menguntungkan di antara tiga golongan sosial yang punya posisi penting dalam masyarakat: ‘ilmuwan etnik/lokal‘; ilmuwan sosial-budaya dan ilmuwan fisik. ‘Ilmuwan etnik‘ memberikan sumbangan berupa informasi etnosains dan etnotek yang mereka miliki; ilmuwan sosial-budaya mendeskripsikan, menganalisis dan ‘menerjemahkan‘ etnosains dan etnotek tersebut ke dalam ‘bahasa‘ sains dan teknologi modern bersama dengan ilmuwan fisik; selanjutnya ilmuwan fisik mengembangkan, membu-at teknologi baru yang berbasis pada etnosains dan etnotek yang diperoleh.

VI. Penutup
Sebagai penutup makalah ini saya akan meringkas pokok-pokok pikiran dalam uraian di atas, yang sebagian masih bersifat implisit.

1. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat dengan kebudayaan yang sangat beragam. Kebudayaan-kebudayaan etnik/lokal menyimpan khasanah pengetahuan dan teknologi (etnosains dan etnotek) yang belum dimanfaatkan, dan selama ini malah terabaikan.

2. Etnosains dan etnotek ini tidak hanya perlu dilestarikan, tetapi juga perlu dikembangkan dan diberdayakan, agar dapat dihasilkan sains dan teknologi yang lebih akrab dengan masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Untuk itu perlu dilakukan inventarisasi dan dokumentasi etnosains dan etnoteknologi di Indonesia.

3. Pengembangan dan pemberdayaan etnosains dan etnotek merupakan sebuah proses ‘demokratisasi sains dan teknologi‘, penyetaraan hubungan antara sains dan teknologi etnik/lokal dengan sains dan teknologi modern, yang selama ini sangat timpang, di mana etnosains dan etnotek berada dalam posisi yang terabaikan, terpinggirkan.

4. Pengembangan dan pemberdayaan etnosains dan etnotek memerlukan kerjasama yang erat di antara ‘ilmuwan etnik/lokal‘, ilmuwan sosial-budaya dan ilmuwan fisik.

5. Pengembangan dan pemberdayaan etnosains dan etnotek akan memungkinkan dipertahankannya cultural diversity secara sistematis dan berkelanjutan, dan ini akan penting bagi kelestarian manusia sebagai animal symbolicum.

Daftar Pustaka.
Adams, R.N. 1974. ‘Harnessing echnological Development‘ dalam Rethinking Modernization: Anthropological Perspectives, J.J.Poggie, Jr. dan R.N.Lynch (eds.). Westport Conn.: Greenwood Press.

Ahimsa-Putra, H.S. 1986. Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan. Masyarakat Indonesia Th.XII (2): 103-133.

_____.1989. ‘Dasar-Dasar Pendekatan Etnosains Dalam Antropologi‘. Buletin Antropologi 15. Th.V : 16-29.

_____.1994?? Etnosains: Antropologi Fenomenologis Untuk Pembangunan Yang Lebih Manusiawi. Makalah dalam Diskusi-Ilmiah IKA ‘Potensi dan Realitas Peran Antropologi Dalam Pembangunan di Indonesia‘, diselenggarakan di PKBI, Jakarta, pada 26 Nopember 1994.

_____.1997. ‘Air dan Sungai Ciliwung: Sebuah Kajian Etnoekologi‘. Prisma 1, Thn. XXVI: 51-72.

_____.1999. ‘Strategies to Transfer Subak Farming System to Non-Balinese Societies‘ dalam A Study of Subak as An Indigenous Cultural, Social and Technological System To Establish A Culturally Based Integrated Water Resources Management, Vol.III, S.Susanto (ed). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_____.2002. Etnoekologi Kali Progo. Makalah dalam diskusi ‘Kali Progo Masa Depan‘, diselenggarakan oleh Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI), di Fakultas Teknik, UGM, Yogyakarta, 10 September 2002.

_____.2002. Etnosains dan Etnoteknologi: Wawasan Budaya Untuk Pengembangan Teknologi. Makalah dalam seminar ‘Pembangunan Berwawasan Budaya‘, diselenggarakan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, di Jakarta, 17-18 Desember 2002.

_____.2002. Ethnoart: Fenomenologi Seni Untuk Indiginasi Seni dan Ilmu. Makalah dalam seminar internasional ‘Indiginasi Seni Pertunjukan dan Ilmu Pengetahuan‘, diselenggarakan oleh STSI Surakarta, di Surakarta, 20-21 Desember 2002.

_____.2003. Etnosains: Mengungkap Pengetahuan Masyarakat Lokal. Makalah ceramah bulanan. Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan, UGM, Yogyakarta, 16 Januari 2003. (109) Berger, P.L. 1976. Pyramids of Sacrifice. New York: Anchor Press-Doubleday.

Bernard, H.R. and P.J.Pelto (eds.). 1972. Technology and Social Change. New York: MacMillan. Birowo, A.T. 1979. ‘Teknologi Pangan untuk Pembangunan Desa‘. Prisma 6, Juni, Th.VIII.: 12-25.

Bodley, J.H. 1983. Anthropology and Contemporary Human Problems. Mountain View, Cal.: Mayfield.

_____.1988. Tribal Peoples and Development Issues: A Global Overview. Mountain View, Cal.: Mayfield.

Budhisantoso, S. 1989. ‘Petani dan Pembangunan‘. Berita Antropologi Th.XIII (46): 47-57. Cochrane. 1971. Development Anthropology. New York: Oxford University Press.

Colletta, N.J. 1987. ?Pendahuluan? dalam Kebudayaan dan Pembangunan, N.J.Colletta dan U.Kayam (peny.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Colletta, N.J. dan U.Kayam (peny.). 1987. Kebudayaan dan Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Foster, G.M. 1973. Traditional Societies and Technological Change. New York: Harper and Row.

Frake, C.O. 1962. ‘The Ethnographic Study of Cognitive System‘ dalam Anthropology and Human Behavior, T.Gladwin and W.C.Sturtevant (eds.). Washington: Anthropological Society Washington.

_____.1964. ‘The Diagnosis of Disease among the Subanun of Mindanao‘ dalam Language and Culture and Society, D.Hymes (ed.). New York: Harper and Row.

Goodenough, W.H. 1964. ‘Cultural Anthropology and Linguistics‘ dalam Language in Culture and Society, D.Hymes (ed.). New York: Harper and Row.

Kartodirdjo, S. 1979. ‘Masyarakat Pedesaan dalam Pembangunan: Mengembangkan Teknologi Berwajah Manusiawi?. Prisma 6, Juni, Th.VIII: 3-11.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Lahajir, Y. dan H.S.Ahimsa-Putra. 2000. ‘Etnoekologi Perladangan Berpindah Orang Dayak Tonyooy-Rentenukng di Dataran Tinggi Tunjung, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur?. Sosiohumanika 13 (2): 245-261.

Long, N. 1977. An Introduction to the Sociology of Rural Development. London: Tavistock.

Masinambow, E.K.M. dan P.Henen (peny.). 1994. Kebudayaan dan Pembangunan di Irian Jaya. Jakarta: LIPI RUL.

Perchonock dan O.Werner. 1969. ‘Navaho Systems of Classification: Some Implications for Ethnoscience‘. Ethnology 8 (3): 229-242.

Rahardjo, M.D. 1979. ‘Teknologi Tepat Guna bagi Industri Pedesaan‘. Prisma 6, Juni, Th.VIII.: 35-48.

Soedjatmoko. 1987. ‘Nilai-nilai Tradisional dalam Proses Pembangunan‘ dalam Kebudayaan dan Pembangunan, N.J.Colletta dan U. Kayam (peny.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Spicer, E.H. 1952. Human Problems in Technological Change. New York: John Wiley and Sons.

Spradley, J.P. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Sturtevant, W.C. 1964. ‘Studies in Ethnoscience‘ dalam Transcultural Studies in Cognition. A.K.
Romney dan R.G.D.D. Andrade (eds.). American Anthropologist

Tjitradjaja, I. 1998. ‘Dam Relocation: Problems and Responses Dislocated People‘. Berita Antropologi Th.XIII (46): 58-71.

Tjokrowinoto, M. 1987. ‘Adaptasi Teknologi di Kabupaten Klaten dengan Acuan Khusus pada Industri Logam dan Tenun‘ dalam Kebudayaan dan Pembangunan, N.J. Colletta dan U.Kayam (peny.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tyler, S. 1969. ‘Introduction‘ dalam Cognitive Anthropology, S.A.Tyler (ed.). New York: Holt, Rinehart and Winston.

Werner, O. 1969. ‘The Basic Assumptions of Ethnoscience‘. Semiotica 1 (3): 328-338.

_____.1972. ‘Ethnoscience‘. Annual Review of Anthropology 1.

Werner, O. dan J.Fenton. 1969. ‘Method and Theory in Ethnoscience or Ethnoepistemology‘ dalam Handbook of Method in Cultural Anthropology, R.Naroll dan R.Cohen (eds.). New York: Natural History Press.

Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, adalah Guru Besar Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Indonesia.

Makalah disampaikan dalam Konggres Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata di Bukittinggi, Sumatera Barat, 19-22 Oktober 2003
Kredit foto : fib.ugm.ac.id