Oleh : Jodhi Yudono
"Nguri berasal dari kata Guri, artinya perkataan dan tingkah laku yang lemah lembut untuk menghibur sang raja yang sedang berduka atau terkena musibah," ujar Joy (36), pelatih dan penanggungjawab Kelompok Kesenian Lonto Engal dari Sumbawa.
Tari ini awalnya adalah sebuah ritual masyarakat, sebagai simbol kepatuhan rakyat kepada raja. Masyarakat datang ke istana dengan membawa segala sesuatu berupa hasil bumi, emas, permata dan lainnya, yang bisa menyenangkan hati sekaligus meringankan beban hati sang raja.
Berangkat dari tradisi ini kemudian diangkat menjadi sebuah karya tari. Kini, tari ini dimaknai sebagai simbol penghormatan dan gambaran keterbukaan serta keramah-tamahan masyarakat Sumbawa.
"Tari Nguri ini pertama kali diciptakan oleh seorang penata tari bernama Mahmud sekitar tahun 60-an. Kemudian diperbaharui lagi oleh Hasanuddin atau yang akrab dipanggil dengan sebutan Kak Ace, pegawai dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Sumbawa," ungkap lelaki bermabut kribo yang mengaku sebagai murid Kak Ace ini.
Joy yang pernah masuk 10 besar penata tari tingkat nasional di Jakarta tahun 1991 dan 2000, serta sebagai penyanyi keroncong terfavorit tingkat nasional tahun 2005 ini mengatakan, tarian ini memang lebih mengedepankan gerak-gerak lembut dan ekspresi keramahan.
Hal ini tampak pada gerakan-gerakan tangan seperti lunte (mengayun tangan), jempit (gerakan sepereti memetik bunga), gitik (menggetarkan jari), sere (langkah seperti berlari kecil).
Tarian ini bisa dibawakan secara massal. Tapi, kata Joy, jika keadaan darurat, bisa dibawakan oleh tiga orang penari. Iringan musiknya terdiri dari: gong, genang (gendang), rebana kebo (rebana besar), serunai, palampong (seperti gambang), satung serek (bambu yang dipadu dengan besi).
Kini tarian ini biasanya dibawakan untuk menyambut tamu atau acara seremonial lainnya. Tari Nguri hanyalah salah satu kekayaan seni tari yang dimiliki masyarakat Kabupaten Sumbawa. Tarian lain yang dimiliki daerah ini antara lain, tari Ngumang Rame, Renteng Malino, Dadara Butu, Dila Malam.
Sumber : www.kompas.co.id
"Nguri berasal dari kata Guri, artinya perkataan dan tingkah laku yang lemah lembut untuk menghibur sang raja yang sedang berduka atau terkena musibah," ujar Joy (36), pelatih dan penanggungjawab Kelompok Kesenian Lonto Engal dari Sumbawa.
Tari ini awalnya adalah sebuah ritual masyarakat, sebagai simbol kepatuhan rakyat kepada raja. Masyarakat datang ke istana dengan membawa segala sesuatu berupa hasil bumi, emas, permata dan lainnya, yang bisa menyenangkan hati sekaligus meringankan beban hati sang raja.
Berangkat dari tradisi ini kemudian diangkat menjadi sebuah karya tari. Kini, tari ini dimaknai sebagai simbol penghormatan dan gambaran keterbukaan serta keramah-tamahan masyarakat Sumbawa.
"Tari Nguri ini pertama kali diciptakan oleh seorang penata tari bernama Mahmud sekitar tahun 60-an. Kemudian diperbaharui lagi oleh Hasanuddin atau yang akrab dipanggil dengan sebutan Kak Ace, pegawai dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Sumbawa," ungkap lelaki bermabut kribo yang mengaku sebagai murid Kak Ace ini.
Joy yang pernah masuk 10 besar penata tari tingkat nasional di Jakarta tahun 1991 dan 2000, serta sebagai penyanyi keroncong terfavorit tingkat nasional tahun 2005 ini mengatakan, tarian ini memang lebih mengedepankan gerak-gerak lembut dan ekspresi keramahan.
Hal ini tampak pada gerakan-gerakan tangan seperti lunte (mengayun tangan), jempit (gerakan sepereti memetik bunga), gitik (menggetarkan jari), sere (langkah seperti berlari kecil).
Tarian ini bisa dibawakan secara massal. Tapi, kata Joy, jika keadaan darurat, bisa dibawakan oleh tiga orang penari. Iringan musiknya terdiri dari: gong, genang (gendang), rebana kebo (rebana besar), serunai, palampong (seperti gambang), satung serek (bambu yang dipadu dengan besi).
Kini tarian ini biasanya dibawakan untuk menyambut tamu atau acara seremonial lainnya. Tari Nguri hanyalah salah satu kekayaan seni tari yang dimiliki masyarakat Kabupaten Sumbawa. Tarian lain yang dimiliki daerah ini antara lain, tari Ngumang Rame, Renteng Malino, Dadara Butu, Dila Malam.
Sumber : www.kompas.co.id