Tentang duka dan rindu-dendam seorang Ulama Melayu-Minangkabau kepada kampung halamannya di abad ke-19
Oleh : Suryadi
Syair Sunur (SSn) adalah sebuah naskah Melayu-Minangkabau klasik yang belum banyak dikenal oleh filolog Indonesia, khususnya yang berasal dari Sumatra Barat. Ini misalnya dapat dikesan dari pembicaraan Hasanuddin WS tentang filologi Minangkabau dalam buletin kebudayaan Suratkabar (Edisi 03/April 2002:12-13), yang tidak menyebut SSn dalam daftar judul-judul naskah Minang yang disenaraikannya. Leni Nora dari Fakultas Sastra Universitas Andalas pernah membicarakan SSn berdasarkan satu fotokopi salinan tercetaknya yang tersimpan di Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) Padang Panjang (lihat Leni Nora: “Syair Sunur: Transliterasi dan Tinjauan Isi” [Skripsi Fak. Sastra Universitas Andalas, 2000). Kajian yang cukup komprehensif mengenai SSn sudah saya lakukan untuk meraih gelar MA di Universitas Leiden (2002). Penelitian itu menelusuri salinan-salainan SSn yang masih ada sampai sekarang (manuskrip/tulisan tangan maupun tercetak), konteks sosial, dan pengarangnya. Tesis itu telah terbit dalam bentuk buku, berjudul: Syair Sunur: Teks dan Konteks ‘Otobiografi‘ Seorang Ulama Minangkabau Abad ke-19 (Padang: YDIKM & Yayasan Citra Budaya, 2004; lihat: www.ranah-minang.com). Khusus mengenai pengarang SSn, sudah saya bahas dalam sebuah paper berjudul “Shaikh Daud of Sunur: Conflict between Reformists and The Shattâriyyah Sûfî Order in Rantau Pariaman in the First Half of the Nineteenth Century,” Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No. 3 (2001):57-124.
SSn dikarang oleh Syekh Daud, seorang ulama yang berasal dari Sunur, sebuah desa pantai yang terletak antara Ulakan dan Pariaman, Sumatra Barat. Beliau lahir di Koto Gadis (satu dari 15 jorong dalam nagari Sunur) kira-kira antara tahun 1785 dan 1790 dan wafat di Singkil, pantai barat Aceh, sekitar tahun 1855. Kenapa dia mengarang SSn? Kita dapat mengetahuinya berkat informasi dari seorang indo asal Padang yang bernama Arnold Snackey (ca.1850-1896) yang di akhir abad ke-19 menulis satu buku kecil mengenai SSn berjudul: Sair Soenoer, Ditoeroenkan dari ABC Melajoe-Arab (Betawi: Albrecht & Co.,1888). Bedasarkan informasi Snackey yang diperkaya dengan sumber-sumber eksternal, maka saya dapat merekonstruksi kisah hidup Syekh Daud sebagai berikut.
Di tahun-tahun awal gerakan Paderi di Padangsche Bovenlanden (dicetuskan tahun 1803), seorang santri dari pantai barat—Daud anak Syekh Badaruddin dari Sunur—pergi belajar agama ke sebuah surau terkenal di darek, kemungkinan ke Cangking. Agak aneh bahwa sang ayah tidak menyekolahkan anaknya ke Ulakan yang dekat dengan kampungnya. Mungkin otak Syekh Badaruddin, sang ayah, punya bibit pikiran reformis. Di awal tahun 1830-an Daud muda sudah khatam Qur‘an dan tamat kaji. Ia yang sudah mendapat pencerahan pikiran dan terpengaruh oleh ide kaum Paderi kembali ke kampungnya di Sunur yang waktu itu masih kuat diselimuti oleh tradisi tarekat Syattariyah Ulakan yang ortodoks. Ulama muda yang bersemangat itu langsung mengadakan pembaruan dan pemurnian agama di kampungnya, memberantas bid‘ah dan sinkretisme yang selama ini dipraktekkan oleh ‘Agama Ulakan‘. Dengan kata lain: Daud ingin mengembangkan ajaran Paderi (paham Wahabi) di Sunur. Ia segera mendapat pengikut dan kini bergelar syekh. Tapi tak sedikit pula yang menentangnya.
Tindakan Syekh Daud itu tentu saja ibarat kambing yang berlagak jago di sarang macan. Kaum adat di kampungnya, khususnya para datuk (yang waktu itu suka berbini banyak) merasa terancam oleh aktivitas Syekh Daud. Demikian juga halnya kaum ulama ortodoks yang berkiblat ke Ulakan. Salah seorang yang menentang dengan keras ide dan aktivitas Syekh Daud di Sunur adalah Tuanku Syekh Lubuk Ipuh, seorang ulama kharismatik dari desa tetangganya, Lubuk Ipuh (sekarang masuk wilayah Kurai Taji). Ulama ini adalah seorang pendukung fanatik Ordo Ulakan (sampai sekarang penduduk Lubuk Ipuh di bawah pimpinan Ungku Kali, keturunan Tuanku Syekh Lubuk Ipuh, masih tetap berkiblat ke Ulakan dan dikenal sebagai ‘orang puasa kemudian‘). Keduanya lalu berdebat di depan publik di Sunur, yang menurut Snackey terjadi sebelum tahun 1838. Syekh Daud kalah dalam perdebatan itu. Ternyata Tuanku Lubuk Ipuh lebih tinggi ilmunya. Syekh Daud malu hati, tak tahan tinggal di kampungnya, dan akhirnya ‘melarikan diri‘ ke Mekah untuk memperdalam ilmu. Ia tinggal beberapa tahun di Mekah dan disana Syekh Daud menulis satu syair yang berjudul Syair Rukun Haji (SRH) yang menggambarkan prosesi ibadah haji, pemandangan di kota Mekah dan Madinah, dan gerakan pembaruan Islam yang sedang terjadi di Semenanjung Arabia. Tidak lama kemudian naskah SRH sampai ke pantai barat Sumatra, mungkin dibawa oleh jemaah haji Melayu/Minangkabau yang pulang dari Mekah. Nama Syekh Daud jadi harum karenanya. Merasa sudah terkenal ia kembali ke Pariaman. Tapi rupanya di Sunur Tuanku Lubuk Ipuh masih berkuasa dan malah, hebatnya, berhasil mengawini Umi Salamah, anak perempuan tunggal ‘sibiran tulang‘ Syekh Daud.
Syekh Daud jadi semakin benci kepada adat Minangkabau dan kaum ortodoks Ulakan. Ia semakin dipermalukan oleh Tuanku Lubuk Ipuh yang berhasil mengawini anaknya. Untuk kedua kalinya Syekh Daud ingin pergi ke Mekah. Tapi sayang, baru sampai di Trumon—sebuah kerajaan kecil di pantai barat Aceh yang kaya karena perdagangan lada—ia jatuh sakit dan kehabisan uang. Akhirnya Syekh Daud menetap di Trumon. Disana ia menikah lagi dengan seorang wanita kerabat Raja Bujang, penguasa Trumon (1814-1835). Dari perkawinan itu ia beroleh beberapa orang anak, seorang di antaranya kemudian menjadi ulama terkenal pula, bernama Syekh Muhammad Adam. Syekh Daud juga menjadi guru agama Nyak Bata, putra mahkota Trumon. Nyak Bata adalah anak Raja Bujang dari salah seorang istrinya, seorang wanita indo yang oleh rakyat Trumon dipanggil ‘Si Nona‘. Ayah ‘Si Nona‘ adalah seorang lelaki Aceh dan ibunya seorang wanita kulit putih bernama Kaatje Stoolte, anak seorang dokter Eropa di Padang. Kaatje bule dan si bujang Aceh itu bertemu di Padang dan kemudian saling jatuh cinta. Ketika bajak laut Le Même asal Perancis menyerang Padang di tahun 1793 pasangan yang dimabuk cinta itu melarikan diri dari kota itu dan akhirnya terdampar di Trumon.
Walaupun dekat dengan keluarga istana Trumon, rupanya Syekh Daud menderita batin di rantau yang jauh itu. Ia rindu pulang ke Sunur. Kemudian ia menulis satu syair untuk mengungkapkan kerinduannya itu. Itulah yang kemudian dikenal sebagai Syair Sunur. Di dalam SSn Syekh Daud mengekpresikan kerinduannya kepada kampung halamannya, rasa nelangsa jiwa seorang perantau Minangkabau, dan rasa kangennya kepada anak kandungnya, Umi Salamah, yang ditinggalkannya di Sunur. Tak ada petunjuk tekstual kapan SSn ditulis oleh Syekh Daud, tapi diperkirakan lebih awal dari tahun 1850. Syair itu kemudian dikirimkannya ke Sunur, membuat orang disana merasa sedih setelah membacanya. Pada suatu hari di tahun 1855 orang Sunur yang merasa kasihan kepada pemimpinnya yang ‘terbuang‘ itu berlayar ke Trumon dengan 6 buah kolek (biduk) untuk menjemput Syekh Daud. Menurut Snackey lagi, mereka membawa satu syair balasan dari Umi Salamah untuk ayahnya (sayang tidak satupun salinan syair itu ditemukan sekarang). Berdasarkan cerita Muhammad Saleh Datuk Orang Kaya Besar, seorang Pedagang besar Pariaman yang menulis biografinya, Riwayat Hidup dan Perasaian Saya (huruf Jawi, 1914 [cet.ke-2. 1965, huruf Latin]), diperkirakan jarak Sunur [Pariaman]–Trumon one way dapat ditempuh kolek atau sekunar selama 7-10 hari, tergantung angin dan cuaca di laut (pada masa itu kapal api/kapal asap belum ada). Para penjemput itu berhasil bertemu dengan Syekh Daud dan mereka membawa ulama yang kesepian itu pulang ke Sunur. Akan tetapi sesampai di lepas pantai Singkil, tidak begitu jauh di selatan Trumon, Syekh Daud menghembuskan nafas terakhirnya. Keenam kolek itu menepi ke pantai untuk menguburkan jasadnya. Sang wanderer itu ternyata tak pernah sempat melihat kampung halamannya lagi.
Pada tahun 1858 Syekh Muhammad Adam, anak Syekh Daud di Trumon, pergi ke Sunur untuk meneruskan ‘perjuangan‘ ayahnya (mungkin juga untuk melihat saudara seayahnya: Umi Salamah). Sesampai di Minangkabau ia bergabung dengan beberapa tokoh tarekat Naqsyabandiyah di darek, meneruskan gerakan pembaharuan melawan kaum ortodoks (Snackey 1888:14). Sebagaimana sikap ayahnya, Syekh Muhammad Adam juga lebih dekat dengan para ulama reformis di darek daripada ulama-ulama Ordo Ulakan. Sebelum kembali ke Sunur, bersama-sama dengan Syekh Ahmad bin Jalaluddin atau Tuanku Syekh Cangking , salah seorang bekas murid ayahnya, dan ulama-ulama dari Pasir, Silungkang, Bonjol, dan tempat-tempat lainnya di darek, Syekh Muhammad Adam pergi menemui Tuanku Syekh Muhammad Tahir Barulak di Padang Ganting untuk menyusun perjuangan bersama melawan kaum ortodoks. Snackey mengatakan Syekh Muhammad Adam semula menetap di Cangking tapi kemudian kembali ke Sunur setelah Syekh Ahmad bin Jalaluddin (Tuanku Syekh Cangking) wafat. Syekh Muhammad Adam akhirnya berhasil mengubah pendirian agama Tuanku Lubuk Ipuh. Tuanku itu dan istrinya, Umi Salamah, akhirnya menerima ajaran baru (pindah dari Mazhab Syafi‘i ke Mazhab Hanafi). Konon kabarnya Syekh Muhammad Adam juga telah menulis satu syair yang menceritakan hal ihwal kaumnya (masyarakat) Sunur. Tapi sekarang tidak ada bukti dan informasi mengenai syair tersebut. Umi Salamah meninggal tahun 1876 di Sunur.
SSn (dan SRH) adalah dua teks Melayu-Minangkabau klasik yang sarat dengan informasi historis, tapi sayang belum banyak disentuh oleh peneliti kita. Kisah Syekh Daud menunjukkan penetrasi gerakan Paderi yang gagal menembus benteng kokoh tarekat Syattariyah Ulakan. Memang sampai berakhirnya riwayat Paderi (1838), Pariaman tetap menjadi benteng kuat Ordo Ulakan, yang telah menjadi enclave dalam kepungan ephoria pembaharuan agama yang sudah menjalari bagian tengah pulau Sumatra.
SSn adalah teks yang pendek, tak lebih dari 62 bait. Salinan-salinan SSn sering ditempatkan bersama dengan teks-teks pendek lainnya dalam satu (bundel) naskah. Seringkali salinan SSn didapati terletak berdekatan dengan salinan SRH (sebagai informasi, sekarang masih ada 9 salinan manuskrip dan 6 salinan tercetak SRH yang tersimpan di dunia: di Leiden, Berlin, Kuala Lumpur, London, dan Jakarta (lihat Suryadi, 2001: 103-04 [endnote 8 & 9]). Semua salinan manuskrips SSn ditulis dalam aksara Arab-Melayu (Jawi). Sedangkan beberapa salinan cetakannya ditulis dalam aksara Latin. Berikut ini deskripsi singkat salinan-salinan SSn (manuscript dan tercetak) yang berhasil saya identifikasi:
Salinan Manuskrip
No. Naskah Salinan Aksara Jml. bait Keterangan/kolofon
A Cod. Or. 3335 (2)/Leiden Salinan-A Jawi 60 -
B Cod. Or. 3336 (2)/Leiden Salinan-B Jawi 35 Barus, 12 hari bulan Maret 1853
C Cod. Or. 3337 (2)/Leiden Salinan-C Jawi 62 Tanjung Medan/Ulakan, Raba’a, bulan Rabiulakhir, Tahun “Waw” (1849)?
D Cod. Or. 6077 (8)/Leiden Salinan-D Latin 69 -
E Cod.Or.8754(A1)/Leiden Salinan-E Jawi 61 Talu, 22 Agustus 1901
F Cod. Or. 8754 (B)/Leiden Salinan-F Jawi 22 -
G Cod.Or.12.161 (2)/ Leiden Salinan-G Jawi 64 Solok, Desember 1855
H SchoemannV.41(2)/Berlin Salinan-H Jawi 62 Padang, 13 April 1850
Salinan Cetakan
No. Penyalin/Editor Salinan Aksara Jml. Bait Penerbit/Tahun Keterangan
I Arnold Snackey Salinan-I Latin 63 Betawi: Albrecht & Co, 1888 -
J Çahhabat-Baik Salinan-J Latin 65 Majalah Çahhabat-Baik No. 7 ? (Batavia), 1891 -
K Mhd. Amin Al-Tanggari Salinan-K Jawi 77 [Padang]: Drukkerij Insulinde, 1904 Bladvulling (prosa)
L Volksdrukkerij Djatilaan Salinan-L Jawi 165 Padang: Volksdruk- kerij Djatilaan,192x Bladvulling (syair)
M Drukkerij Limbago Minangkabau Salinan-M Jawi 165 Payakumbuh: Drukkerij Limbago Minangkabau, 1927? Bladvulling (syair)
N Rusli Amran Salinan-N Latin 19 Harian Singgalang (Padang),11 Oktober 1987 tidak lengkap
Catatan: Angka atau huruf dalam tanda kurung pada kolom kedua dalam tabel pertama (manuskrip) menunjukkan letak SSn dalam setiap bundel manuskrip. Bladvulling berarti ‘teks tambahan‘ pengisi halaman kosong. Contoh eksemplar Salinan-I masih tersimpan di UB (Universiteitsbibliotheek) dan KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) Leiden; Salinan-J tersimpan di KITLV Leiden; Salinan-K di UB Leiden; Salinan-L dan Salinan-M tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta dan PDIKM Padang Panjang.
Transliterasi
Transliterasi SSN yang disajikan disini didasarkan atas Salinan-H (naskah Schoeman V.41) yang tersimpan di Staatsbibliotheek Preußischer Kulturbesitz Berlin. Salinan-H ini paling lengkap (tak ada bait yang rumpang dan tulisannya cukup jelas dan dapat dibaca). Seperti tertera dalam kolofonnya, Salinan-H ini disalin oleh seorang bernama Muhammad Yahya ibnu Abdul Talab. Sangat mungkin Salinan-H ini disalinnya atas suruhan seorang putih (Belanda?) karena ada kata-kata berbahasa Belanda di kolofonnya. Penyalinannya berhasil diselesaikan ‘pada 30 hari bulan Jumadilawal Hijrat al-Nabi Muhammad Salallahualaihi wasallam sanat 1266 te [di] Padang‘ atau bertepatan dengan 13 April 1850. Jadi, salinan ini rupanya cukup tua, diperkirakan tidak lama setelah naskah aslinya selesai dikarang oleh Syekh Daud di Trumon.
Berikut ini transliterasi Salinan-H. Tanda ‘‘ menunjukkan bahwa kata-kata yang mengikutinya sudah diubah oleh transliterator dan telah disesuaikan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Nomor dalam tanda kurung merujuk kepada halaman buku dalam naskah aslinya. Nomor pada akhir setiap bait adalah tambahan transliterator sendiri. Begitu juga halnya dengan cetak tebal dan cetak miring. Gunanya hanya untuk memberikan penekanan saja. Tanda “/” dalam bait menunjukkan pergantian larik. Unsur larik yang digarisbawahi menunjukkan pengaruh Bahasa Minangkabau lisan dalam syair ini (sebab pengarangnya adalah orang Minangkabau). Dari segi rima akhir, pengaruh itu sangat terlihat pada bait 42. Saya mengucapkan selamat menikmati (khususnya kepada budayawan kita Bagindo Fahmi, putra Sunur yang rumah ‘rang gaek-nya di Bandar Sapuluh/Koto Rajo hanya berjarak sebatang rokok dari rumah ‘rang gaek Syekh Daud di Koto Gadis). Semoga ‘air mata Tuan‘ tidak ‘terbuang‘ setelah membaca syair ini. Jika terbuang juga, ‘misalkan mayat turun di jenjang‘.
Syair Sunur
(51) Inilah nazam dagang yang syukur / kepada tolan di kampung Sunur / bidal sekapur sirih yang layur / pembuka kabar permulaan tutur (1)
(52) Lamalah tuan dagang tinggalkan / habislah tahun baganti zaman / satupun tidak dagang kirimkan / dikarang surat kaganti badan (2).
Jikalau adat orang yang lain / ada kiriman baju dan kain / akan sahabat lawan bermain / supaya terbuka hati yang rahim (3).
Di dagang tidak katando hayat / hanyalah kertas berisi dawat / dalamnya sembah fadhilal hajat / serta salam doa selamat (4).
Pikirlah dagang suatu malam / diambil kertas, dawat, dan kalam / disuratkan sembah serta salam / memohonkan ampun ke bawah Kidam (5).
Sungguhpun surat dagang kirimkan / umpama ganti nyawa dan badan / dagang bercinta surat sampaikan / sepanjang tahun segenap bulan (6).
Wahai sahabat dengarkan kata / kaum kerabat semuanya rata / sungguhpun jauh tuan di mata / di dalam mimpi kupandang nyata (7).
Baru tapajam mataku tidur / rasa di dalam negeri Sunur / tolan yang ada lawan bertutur / sukalah hati menerima syukur (8).
Sudah terjaga mata memandang / kiranya badan terbaring sorang / bukan di Sunur hanya berdagang / tolan yang tadi dipandang hilang (9).
Siapa tuan yang kasih sayang / mau menanya dagang terbuang/
(53) sambutlah surat sudah terlayang / lihat kabarnya disana terang (10).
Di dalam surat ada alamat / mengatakan dagang lagi ada hayat / serta sehat dalam selamat / di negeri Tarumun namanya tempat (11).
Siapa tuan menaruh iba / mau melihat dagang yang papa / tuan disini dagang disana / di dalam surat bertemu mata (12).
Aku suratkan dengan ujung kalam / atasnya kertas dawat yang hitam / siapa tuan yang rindu dendam / tempat teringat siang dan malam (13).
Dengan ujung kalam aku menyurat / boleh katanda masa teringat / siapa yang rindu tolan sahabat / lihatlah bekasnya dagang yang larat (14).
Wahai tuan yang kasih sayang / apalah nasib dagang seorang / untung nan tidak bagai di orang / dari mula awal sampai sekarang (15)
Di orang untung umpama nuri / rupa pun baik dengan biapari / dalam tahta sepanjang hari / apa yang hajat datang sendiri (16).
Di dagang untung bagai sisagan / di dalam sarab sepanjang hutan / kurang mencari kuranglah makan / sepanjang tahun segenap bulan (17).
Di orang untung umpama tiung / dalam haribaan bunda mengandung / jikalau sakit bunda mendukung / pada masa panas dikembang payung (18).
(54) Di dagang untung bagai barabah / dalam ilalang tuhur dan basah / sakit dan senang itulah rumah / begitu nasib takdir Allah (19).
Di orang untung umpama balam / di dalam sangkar podi manikam / di dagang untung bagai anak ayam / dalam pelimbahan siang dan malam (20).
Di orang untung umpama elang / menjadi raja di awang-awang / di dagang untung si pipit pinang / dua sejoli kemana terbang (21).
Di orang untung umpama bayan / dalam sangkar keramat intan / di dagang untung si pungguk rawan / mabuk bercinta rindukan bulan (22).
Di orang nasib umpama merak / rupanya baik akal pun bijak / di dagang nasib upama cecak / kebencian orang guna pun tidak (23).
Di orang ada ibu dan bapa / akan pembujuk hati yang duka / di dagang yatim, miskin, dan papa / segenap negeri benci belaka (24).
Jikalau ada ayah dan bunda / sukalah dagang jadi garuda / terbang membubung atas udara / ke negeri Sunur menjelang ayahanda (25)
Di orang untung Bunga Cempaga / rupanya baik putra dewangga/ siang dan malam atas kepala / dalam junjungan ayah dan bunda (26).
Di dagang untung bunga durian / jatuh ke bumi masa penghujan / (55) menjadi luluk sepanjang jalan / siang dan malam jadi jejakan (27).
Sanak saudara ada di orang / boleh menolong pagi dan petang / dagang nan bagai pinang sebatang / kiri dan kanan tidak bercabang (28).
Di orang ada dalam kaum / umpama betung rampak serumpun / kiri dan kanan banyak berhimpun / segenap bulan sepanjang tahun (29).
Di dagang tidak ada kerabat / akan menjadi lawan sahabat / umpama nyiur sebatang bulat / pikir di hati menjadi larat (30).
Di orang nasib bagai durian / batangnya rampak, daun, dan dahan / di dagang nasib sebatang bamban / masa terbuang di dalam hutan (31).
Di orang ada rumah dan tangga / tempat bermain bersuka2 / di dagang yatim, hina, dan papa / segenap rumah tempat suaka (32).
Sudah begitu takdir Allah / mula sejengkal tinggi di tanah / kami bertiga suatu ayah / turun serumah naik serumah (33).
Untung di Allah sudah begitu / atas kepala dagang piatu / kami bertiga ibu pun satu / ketiganya hanyut ke Bandar Satu (34).
Di orang nasib bagai kepundung / buahnya manis makanan burung / di dagang nasib buah galapung / hanyut di sungai terapung2 (35).
(56) Di orang untung umpama duku / manisnya sampai ke ujung kuku / di dagang pahit bagai mengkudu/ biarlah hilang jangan meragu (36).
Wahai tuan yang biaperi / dagang katakan nasib sendiri / anak ayam hilang ada bacari / dagang terbuang tiap negeri (37).
Wahai tuan yang kasih sayang / dengarkan kabar dagang terbuang / jauh di mata di hati hilang / baiklah mati sebelum gadang (38).
Tidak kerabat banyak di orang / tetapi ada emas di pinggang / barang kemana pergi berdagang / adalah orang menaruh sayang (39).
Dagangku ini tidak seperti / dari mula kecil bunda ‘lah mati / emas pun tidak di dalam peti / semuanya orang menaruh benci (40).
Wahai sahabat handai dan tolan / dagang yang yatim tuan sadarkan / tidaklah jadi tuan harapkan / sudah terbuang dalam lautan (41).
Tuan dengarkan kabar yang elok / dagang diambil kabuah ratap / tidaklah boleh dagang diharap / umpama kambing lepas ke sesap (42)
Siapa tuan yang kasih sayang / memberi nasi dagang terbuang / sesuap pagi sesuap petang / minta ridakan sampai sekarang (43).
Sudahlah kabar kepada tolan / sembah dan salam habis disinan /
(57) kepada yang tua sembah haluan / yang muda salam dagang kirimkan (44).
Suatu lagi nazam ditambah / kepada ananda Umi Salamah / belahan nyawa buah hati ayah / di negeri Sunur darah tertumpah (45).
Wahai ananda Umi Salamah / dengarkan, Sayang, pitaruh ayah / taat ibadat kepada Allah / iman di dada jangan berubah (46).
Sembahyang, Sayang, jangan berhenti / dari mula hidup sampai kan mati / di akhirat, Sayang, ayahanda menanti / di Padang Mahsyar di pangkal Titi (47).
Jikalau ada umurku panjang / niatku bulat tidak bercabang / hendak segera kembali pulang / melihat anak sibiran tulang (48).
Jikalau sampai bilang umurku / habislah daya dengan upayaku / di akhirat, Anak, kita bertemu / di dalam Jannah sorga Tuhanku (49).
Wahai Anak hendaklah syukur / masuk termimpi masaku tidur / siang di Tarumun malam di Sunur / rangkai hatiku rasakan hancur (50).
Tersentaklah ayah pada tengah malam / bulan pun terang cuaca alam / tampaklah gunung jeram-menjeram / hati yang rindu remuk di dalam (51).
Bangunlah ayah daripada tidur / bangkit sekali duduk terpekur / terdengar ombak berdebur2 / tidaklah obah rasa di Sunur (52).
(58) Ayam berkokok hampirlah siang / orang pun sunyi angin pun tenang / berdesir ombak di atas karang / bunyi menyeru mahimbau pulang (53).
Jikalau ayahanda menjadi burung / sekarang itu terbang membubung / laut baharullah ayahanda arung / biarlah hanyut menjadi apung (54)
Jikalau ayahanda menjadi bayan / lengkap jo sayap kedua tangan / ayahanda terbang menyisi awan / menjelang Sunur kampung halaman (55).
Jikalau ayahanda menjadi elang / sekarang itu jua terbang / malam pun tidak dinanti siang / minta sampaikan masa sekarang (56).
Begitu rasanya di hati ayah / siang dan malam tidak berubah / tetapi belum takdir Allah / habislah daya upaya sudah (57).
Inilah surat dagang yang sangsai / sambutlah, tuan, manakala sampai / suruh bacakan barang yang pandai / ganti bertutur berandai2 (58).
Siapa tuan menaruh santun / sambutlah surat dari Tarumun / kaganti senda umpama pantun / jikalau salah beribu ampun (59).
Wahai sahabat kecil dan besar / Suratku ini minta didengar / air mata tuan kalau keluar / ganti meratap mayat terhantar (60).
Siapa tuan yang kasih sayang / mendengar kabar berita dagang /
(59) air mata tuan kalau terbuang / misalkan mayat turun di jenjang (61).
Wahai ananda Umi Salamah / hendak dengarkan surat bermadah / air mata anak jatuh ke tanah / niatkan, Sayang, meratapi ayah (62).
Tamatlah Syair Mekah [dan Madinah dan Syair Sunur] pada 30 hari bulan Jumadilawal Hijrat al-Nabi Muhammad Salallahualaihi wasallam sanat 1266, Muhammad Yahya ibnu Abdul Talab, te Padang den 13 April 1850.
Suryadi, alumnus Jurusan Sastra Daerah, Program Studi Bahasa & Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra Universitas Andalas, dosen dan peneliti pada Department of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania, Leiden University, Belanda.
Oleh : Suryadi
Syair Sunur (SSn) adalah sebuah naskah Melayu-Minangkabau klasik yang belum banyak dikenal oleh filolog Indonesia, khususnya yang berasal dari Sumatra Barat. Ini misalnya dapat dikesan dari pembicaraan Hasanuddin WS tentang filologi Minangkabau dalam buletin kebudayaan Suratkabar (Edisi 03/April 2002:12-13), yang tidak menyebut SSn dalam daftar judul-judul naskah Minang yang disenaraikannya. Leni Nora dari Fakultas Sastra Universitas Andalas pernah membicarakan SSn berdasarkan satu fotokopi salinan tercetaknya yang tersimpan di Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) Padang Panjang (lihat Leni Nora: “Syair Sunur: Transliterasi dan Tinjauan Isi” [Skripsi Fak. Sastra Universitas Andalas, 2000). Kajian yang cukup komprehensif mengenai SSn sudah saya lakukan untuk meraih gelar MA di Universitas Leiden (2002). Penelitian itu menelusuri salinan-salainan SSn yang masih ada sampai sekarang (manuskrip/tulisan tangan maupun tercetak), konteks sosial, dan pengarangnya. Tesis itu telah terbit dalam bentuk buku, berjudul: Syair Sunur: Teks dan Konteks ‘Otobiografi‘ Seorang Ulama Minangkabau Abad ke-19 (Padang: YDIKM & Yayasan Citra Budaya, 2004; lihat: www.ranah-minang.com). Khusus mengenai pengarang SSn, sudah saya bahas dalam sebuah paper berjudul “Shaikh Daud of Sunur: Conflict between Reformists and The Shattâriyyah Sûfî Order in Rantau Pariaman in the First Half of the Nineteenth Century,” Jurnal Studia Islamika, Vol. 8, No. 3 (2001):57-124.
SSn dikarang oleh Syekh Daud, seorang ulama yang berasal dari Sunur, sebuah desa pantai yang terletak antara Ulakan dan Pariaman, Sumatra Barat. Beliau lahir di Koto Gadis (satu dari 15 jorong dalam nagari Sunur) kira-kira antara tahun 1785 dan 1790 dan wafat di Singkil, pantai barat Aceh, sekitar tahun 1855. Kenapa dia mengarang SSn? Kita dapat mengetahuinya berkat informasi dari seorang indo asal Padang yang bernama Arnold Snackey (ca.1850-1896) yang di akhir abad ke-19 menulis satu buku kecil mengenai SSn berjudul: Sair Soenoer, Ditoeroenkan dari ABC Melajoe-Arab (Betawi: Albrecht & Co.,1888). Bedasarkan informasi Snackey yang diperkaya dengan sumber-sumber eksternal, maka saya dapat merekonstruksi kisah hidup Syekh Daud sebagai berikut.
Di tahun-tahun awal gerakan Paderi di Padangsche Bovenlanden (dicetuskan tahun 1803), seorang santri dari pantai barat—Daud anak Syekh Badaruddin dari Sunur—pergi belajar agama ke sebuah surau terkenal di darek, kemungkinan ke Cangking. Agak aneh bahwa sang ayah tidak menyekolahkan anaknya ke Ulakan yang dekat dengan kampungnya. Mungkin otak Syekh Badaruddin, sang ayah, punya bibit pikiran reformis. Di awal tahun 1830-an Daud muda sudah khatam Qur‘an dan tamat kaji. Ia yang sudah mendapat pencerahan pikiran dan terpengaruh oleh ide kaum Paderi kembali ke kampungnya di Sunur yang waktu itu masih kuat diselimuti oleh tradisi tarekat Syattariyah Ulakan yang ortodoks. Ulama muda yang bersemangat itu langsung mengadakan pembaruan dan pemurnian agama di kampungnya, memberantas bid‘ah dan sinkretisme yang selama ini dipraktekkan oleh ‘Agama Ulakan‘. Dengan kata lain: Daud ingin mengembangkan ajaran Paderi (paham Wahabi) di Sunur. Ia segera mendapat pengikut dan kini bergelar syekh. Tapi tak sedikit pula yang menentangnya.
Tindakan Syekh Daud itu tentu saja ibarat kambing yang berlagak jago di sarang macan. Kaum adat di kampungnya, khususnya para datuk (yang waktu itu suka berbini banyak) merasa terancam oleh aktivitas Syekh Daud. Demikian juga halnya kaum ulama ortodoks yang berkiblat ke Ulakan. Salah seorang yang menentang dengan keras ide dan aktivitas Syekh Daud di Sunur adalah Tuanku Syekh Lubuk Ipuh, seorang ulama kharismatik dari desa tetangganya, Lubuk Ipuh (sekarang masuk wilayah Kurai Taji). Ulama ini adalah seorang pendukung fanatik Ordo Ulakan (sampai sekarang penduduk Lubuk Ipuh di bawah pimpinan Ungku Kali, keturunan Tuanku Syekh Lubuk Ipuh, masih tetap berkiblat ke Ulakan dan dikenal sebagai ‘orang puasa kemudian‘). Keduanya lalu berdebat di depan publik di Sunur, yang menurut Snackey terjadi sebelum tahun 1838. Syekh Daud kalah dalam perdebatan itu. Ternyata Tuanku Lubuk Ipuh lebih tinggi ilmunya. Syekh Daud malu hati, tak tahan tinggal di kampungnya, dan akhirnya ‘melarikan diri‘ ke Mekah untuk memperdalam ilmu. Ia tinggal beberapa tahun di Mekah dan disana Syekh Daud menulis satu syair yang berjudul Syair Rukun Haji (SRH) yang menggambarkan prosesi ibadah haji, pemandangan di kota Mekah dan Madinah, dan gerakan pembaruan Islam yang sedang terjadi di Semenanjung Arabia. Tidak lama kemudian naskah SRH sampai ke pantai barat Sumatra, mungkin dibawa oleh jemaah haji Melayu/Minangkabau yang pulang dari Mekah. Nama Syekh Daud jadi harum karenanya. Merasa sudah terkenal ia kembali ke Pariaman. Tapi rupanya di Sunur Tuanku Lubuk Ipuh masih berkuasa dan malah, hebatnya, berhasil mengawini Umi Salamah, anak perempuan tunggal ‘sibiran tulang‘ Syekh Daud.
Syekh Daud jadi semakin benci kepada adat Minangkabau dan kaum ortodoks Ulakan. Ia semakin dipermalukan oleh Tuanku Lubuk Ipuh yang berhasil mengawini anaknya. Untuk kedua kalinya Syekh Daud ingin pergi ke Mekah. Tapi sayang, baru sampai di Trumon—sebuah kerajaan kecil di pantai barat Aceh yang kaya karena perdagangan lada—ia jatuh sakit dan kehabisan uang. Akhirnya Syekh Daud menetap di Trumon. Disana ia menikah lagi dengan seorang wanita kerabat Raja Bujang, penguasa Trumon (1814-1835). Dari perkawinan itu ia beroleh beberapa orang anak, seorang di antaranya kemudian menjadi ulama terkenal pula, bernama Syekh Muhammad Adam. Syekh Daud juga menjadi guru agama Nyak Bata, putra mahkota Trumon. Nyak Bata adalah anak Raja Bujang dari salah seorang istrinya, seorang wanita indo yang oleh rakyat Trumon dipanggil ‘Si Nona‘. Ayah ‘Si Nona‘ adalah seorang lelaki Aceh dan ibunya seorang wanita kulit putih bernama Kaatje Stoolte, anak seorang dokter Eropa di Padang. Kaatje bule dan si bujang Aceh itu bertemu di Padang dan kemudian saling jatuh cinta. Ketika bajak laut Le Même asal Perancis menyerang Padang di tahun 1793 pasangan yang dimabuk cinta itu melarikan diri dari kota itu dan akhirnya terdampar di Trumon.
Walaupun dekat dengan keluarga istana Trumon, rupanya Syekh Daud menderita batin di rantau yang jauh itu. Ia rindu pulang ke Sunur. Kemudian ia menulis satu syair untuk mengungkapkan kerinduannya itu. Itulah yang kemudian dikenal sebagai Syair Sunur. Di dalam SSn Syekh Daud mengekpresikan kerinduannya kepada kampung halamannya, rasa nelangsa jiwa seorang perantau Minangkabau, dan rasa kangennya kepada anak kandungnya, Umi Salamah, yang ditinggalkannya di Sunur. Tak ada petunjuk tekstual kapan SSn ditulis oleh Syekh Daud, tapi diperkirakan lebih awal dari tahun 1850. Syair itu kemudian dikirimkannya ke Sunur, membuat orang disana merasa sedih setelah membacanya. Pada suatu hari di tahun 1855 orang Sunur yang merasa kasihan kepada pemimpinnya yang ‘terbuang‘ itu berlayar ke Trumon dengan 6 buah kolek (biduk) untuk menjemput Syekh Daud. Menurut Snackey lagi, mereka membawa satu syair balasan dari Umi Salamah untuk ayahnya (sayang tidak satupun salinan syair itu ditemukan sekarang). Berdasarkan cerita Muhammad Saleh Datuk Orang Kaya Besar, seorang Pedagang besar Pariaman yang menulis biografinya, Riwayat Hidup dan Perasaian Saya (huruf Jawi, 1914 [cet.ke-2. 1965, huruf Latin]), diperkirakan jarak Sunur [Pariaman]–Trumon one way dapat ditempuh kolek atau sekunar selama 7-10 hari, tergantung angin dan cuaca di laut (pada masa itu kapal api/kapal asap belum ada). Para penjemput itu berhasil bertemu dengan Syekh Daud dan mereka membawa ulama yang kesepian itu pulang ke Sunur. Akan tetapi sesampai di lepas pantai Singkil, tidak begitu jauh di selatan Trumon, Syekh Daud menghembuskan nafas terakhirnya. Keenam kolek itu menepi ke pantai untuk menguburkan jasadnya. Sang wanderer itu ternyata tak pernah sempat melihat kampung halamannya lagi.
Pada tahun 1858 Syekh Muhammad Adam, anak Syekh Daud di Trumon, pergi ke Sunur untuk meneruskan ‘perjuangan‘ ayahnya (mungkin juga untuk melihat saudara seayahnya: Umi Salamah). Sesampai di Minangkabau ia bergabung dengan beberapa tokoh tarekat Naqsyabandiyah di darek, meneruskan gerakan pembaharuan melawan kaum ortodoks (Snackey 1888:14). Sebagaimana sikap ayahnya, Syekh Muhammad Adam juga lebih dekat dengan para ulama reformis di darek daripada ulama-ulama Ordo Ulakan. Sebelum kembali ke Sunur, bersama-sama dengan Syekh Ahmad bin Jalaluddin atau Tuanku Syekh Cangking , salah seorang bekas murid ayahnya, dan ulama-ulama dari Pasir, Silungkang, Bonjol, dan tempat-tempat lainnya di darek, Syekh Muhammad Adam pergi menemui Tuanku Syekh Muhammad Tahir Barulak di Padang Ganting untuk menyusun perjuangan bersama melawan kaum ortodoks. Snackey mengatakan Syekh Muhammad Adam semula menetap di Cangking tapi kemudian kembali ke Sunur setelah Syekh Ahmad bin Jalaluddin (Tuanku Syekh Cangking) wafat. Syekh Muhammad Adam akhirnya berhasil mengubah pendirian agama Tuanku Lubuk Ipuh. Tuanku itu dan istrinya, Umi Salamah, akhirnya menerima ajaran baru (pindah dari Mazhab Syafi‘i ke Mazhab Hanafi). Konon kabarnya Syekh Muhammad Adam juga telah menulis satu syair yang menceritakan hal ihwal kaumnya (masyarakat) Sunur. Tapi sekarang tidak ada bukti dan informasi mengenai syair tersebut. Umi Salamah meninggal tahun 1876 di Sunur.
SSn (dan SRH) adalah dua teks Melayu-Minangkabau klasik yang sarat dengan informasi historis, tapi sayang belum banyak disentuh oleh peneliti kita. Kisah Syekh Daud menunjukkan penetrasi gerakan Paderi yang gagal menembus benteng kokoh tarekat Syattariyah Ulakan. Memang sampai berakhirnya riwayat Paderi (1838), Pariaman tetap menjadi benteng kuat Ordo Ulakan, yang telah menjadi enclave dalam kepungan ephoria pembaharuan agama yang sudah menjalari bagian tengah pulau Sumatra.
SSn adalah teks yang pendek, tak lebih dari 62 bait. Salinan-salinan SSn sering ditempatkan bersama dengan teks-teks pendek lainnya dalam satu (bundel) naskah. Seringkali salinan SSn didapati terletak berdekatan dengan salinan SRH (sebagai informasi, sekarang masih ada 9 salinan manuskrip dan 6 salinan tercetak SRH yang tersimpan di dunia: di Leiden, Berlin, Kuala Lumpur, London, dan Jakarta (lihat Suryadi, 2001: 103-04 [endnote 8 & 9]). Semua salinan manuskrips SSn ditulis dalam aksara Arab-Melayu (Jawi). Sedangkan beberapa salinan cetakannya ditulis dalam aksara Latin. Berikut ini deskripsi singkat salinan-salinan SSn (manuscript dan tercetak) yang berhasil saya identifikasi:
Salinan Manuskrip
No. Naskah Salinan Aksara Jml. bait Keterangan/kolofon
A Cod. Or. 3335 (2)/Leiden Salinan-A Jawi 60 -
B Cod. Or. 3336 (2)/Leiden Salinan-B Jawi 35 Barus, 12 hari bulan Maret 1853
C Cod. Or. 3337 (2)/Leiden Salinan-C Jawi 62 Tanjung Medan/Ulakan, Raba’a, bulan Rabiulakhir, Tahun “Waw” (1849)?
D Cod. Or. 6077 (8)/Leiden Salinan-D Latin 69 -
E Cod.Or.8754(A1)/Leiden Salinan-E Jawi 61 Talu, 22 Agustus 1901
F Cod. Or. 8754 (B)/Leiden Salinan-F Jawi 22 -
G Cod.Or.12.161 (2)/ Leiden Salinan-G Jawi 64 Solok, Desember 1855
H SchoemannV.41(2)/Berlin Salinan-H Jawi 62 Padang, 13 April 1850
Salinan Cetakan
No. Penyalin/Editor Salinan Aksara Jml. Bait Penerbit/Tahun Keterangan
I Arnold Snackey Salinan-I Latin 63 Betawi: Albrecht & Co, 1888 -
J Çahhabat-Baik Salinan-J Latin 65 Majalah Çahhabat-Baik No. 7 ? (Batavia), 1891 -
K Mhd. Amin Al-Tanggari Salinan-K Jawi 77 [Padang]: Drukkerij Insulinde, 1904 Bladvulling (prosa)
L Volksdrukkerij Djatilaan Salinan-L Jawi 165 Padang: Volksdruk- kerij Djatilaan,192x Bladvulling (syair)
M Drukkerij Limbago Minangkabau Salinan-M Jawi 165 Payakumbuh: Drukkerij Limbago Minangkabau, 1927? Bladvulling (syair)
N Rusli Amran Salinan-N Latin 19 Harian Singgalang (Padang),11 Oktober 1987 tidak lengkap
Catatan: Angka atau huruf dalam tanda kurung pada kolom kedua dalam tabel pertama (manuskrip) menunjukkan letak SSn dalam setiap bundel manuskrip. Bladvulling berarti ‘teks tambahan‘ pengisi halaman kosong. Contoh eksemplar Salinan-I masih tersimpan di UB (Universiteitsbibliotheek) dan KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) Leiden; Salinan-J tersimpan di KITLV Leiden; Salinan-K di UB Leiden; Salinan-L dan Salinan-M tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta dan PDIKM Padang Panjang.
Transliterasi
Transliterasi SSN yang disajikan disini didasarkan atas Salinan-H (naskah Schoeman V.41) yang tersimpan di Staatsbibliotheek Preußischer Kulturbesitz Berlin. Salinan-H ini paling lengkap (tak ada bait yang rumpang dan tulisannya cukup jelas dan dapat dibaca). Seperti tertera dalam kolofonnya, Salinan-H ini disalin oleh seorang bernama Muhammad Yahya ibnu Abdul Talab. Sangat mungkin Salinan-H ini disalinnya atas suruhan seorang putih (Belanda?) karena ada kata-kata berbahasa Belanda di kolofonnya. Penyalinannya berhasil diselesaikan ‘pada 30 hari bulan Jumadilawal Hijrat al-Nabi Muhammad Salallahualaihi wasallam sanat 1266 te [di] Padang‘ atau bertepatan dengan 13 April 1850. Jadi, salinan ini rupanya cukup tua, diperkirakan tidak lama setelah naskah aslinya selesai dikarang oleh Syekh Daud di Trumon.
Berikut ini transliterasi Salinan-H. Tanda ‘‘ menunjukkan bahwa kata-kata yang mengikutinya sudah diubah oleh transliterator dan telah disesuaikan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Nomor dalam tanda kurung merujuk kepada halaman buku dalam naskah aslinya. Nomor pada akhir setiap bait adalah tambahan transliterator sendiri. Begitu juga halnya dengan cetak tebal dan cetak miring. Gunanya hanya untuk memberikan penekanan saja. Tanda “/” dalam bait menunjukkan pergantian larik. Unsur larik yang digarisbawahi menunjukkan pengaruh Bahasa Minangkabau lisan dalam syair ini (sebab pengarangnya adalah orang Minangkabau). Dari segi rima akhir, pengaruh itu sangat terlihat pada bait 42. Saya mengucapkan selamat menikmati (khususnya kepada budayawan kita Bagindo Fahmi, putra Sunur yang rumah ‘rang gaek-nya di Bandar Sapuluh/Koto Rajo hanya berjarak sebatang rokok dari rumah ‘rang gaek Syekh Daud di Koto Gadis). Semoga ‘air mata Tuan‘ tidak ‘terbuang‘ setelah membaca syair ini. Jika terbuang juga, ‘misalkan mayat turun di jenjang‘.
Syair Sunur
(51) Inilah nazam dagang yang syukur / kepada tolan di kampung Sunur / bidal sekapur sirih yang layur / pembuka kabar permulaan tutur (1)
(52) Lamalah tuan dagang tinggalkan / habislah tahun baganti zaman / satupun tidak dagang kirimkan / dikarang surat kaganti badan (2).
Jikalau adat orang yang lain / ada kiriman baju dan kain / akan sahabat lawan bermain / supaya terbuka hati yang rahim (3).
Di dagang tidak katando hayat / hanyalah kertas berisi dawat / dalamnya sembah fadhilal hajat / serta salam doa selamat (4).
Pikirlah dagang suatu malam / diambil kertas, dawat, dan kalam / disuratkan sembah serta salam / memohonkan ampun ke bawah Kidam (5).
Sungguhpun surat dagang kirimkan / umpama ganti nyawa dan badan / dagang bercinta surat sampaikan / sepanjang tahun segenap bulan (6).
Wahai sahabat dengarkan kata / kaum kerabat semuanya rata / sungguhpun jauh tuan di mata / di dalam mimpi kupandang nyata (7).
Baru tapajam mataku tidur / rasa di dalam negeri Sunur / tolan yang ada lawan bertutur / sukalah hati menerima syukur (8).
Sudah terjaga mata memandang / kiranya badan terbaring sorang / bukan di Sunur hanya berdagang / tolan yang tadi dipandang hilang (9).
Siapa tuan yang kasih sayang / mau menanya dagang terbuang/
(53) sambutlah surat sudah terlayang / lihat kabarnya disana terang (10).
Di dalam surat ada alamat / mengatakan dagang lagi ada hayat / serta sehat dalam selamat / di negeri Tarumun namanya tempat (11).
Siapa tuan menaruh iba / mau melihat dagang yang papa / tuan disini dagang disana / di dalam surat bertemu mata (12).
Aku suratkan dengan ujung kalam / atasnya kertas dawat yang hitam / siapa tuan yang rindu dendam / tempat teringat siang dan malam (13).
Dengan ujung kalam aku menyurat / boleh katanda masa teringat / siapa yang rindu tolan sahabat / lihatlah bekasnya dagang yang larat (14).
Wahai tuan yang kasih sayang / apalah nasib dagang seorang / untung nan tidak bagai di orang / dari mula awal sampai sekarang (15)
Di orang untung umpama nuri / rupa pun baik dengan biapari / dalam tahta sepanjang hari / apa yang hajat datang sendiri (16).
Di dagang untung bagai sisagan / di dalam sarab sepanjang hutan / kurang mencari kuranglah makan / sepanjang tahun segenap bulan (17).
Di orang untung umpama tiung / dalam haribaan bunda mengandung / jikalau sakit bunda mendukung / pada masa panas dikembang payung (18).
(54) Di dagang untung bagai barabah / dalam ilalang tuhur dan basah / sakit dan senang itulah rumah / begitu nasib takdir Allah (19).
Di orang untung umpama balam / di dalam sangkar podi manikam / di dagang untung bagai anak ayam / dalam pelimbahan siang dan malam (20).
Di orang untung umpama elang / menjadi raja di awang-awang / di dagang untung si pipit pinang / dua sejoli kemana terbang (21).
Di orang untung umpama bayan / dalam sangkar keramat intan / di dagang untung si pungguk rawan / mabuk bercinta rindukan bulan (22).
Di orang nasib umpama merak / rupanya baik akal pun bijak / di dagang nasib upama cecak / kebencian orang guna pun tidak (23).
Di orang ada ibu dan bapa / akan pembujuk hati yang duka / di dagang yatim, miskin, dan papa / segenap negeri benci belaka (24).
Jikalau ada ayah dan bunda / sukalah dagang jadi garuda / terbang membubung atas udara / ke negeri Sunur menjelang ayahanda (25)
Di orang untung Bunga Cempaga / rupanya baik putra dewangga/ siang dan malam atas kepala / dalam junjungan ayah dan bunda (26).
Di dagang untung bunga durian / jatuh ke bumi masa penghujan / (55) menjadi luluk sepanjang jalan / siang dan malam jadi jejakan (27).
Sanak saudara ada di orang / boleh menolong pagi dan petang / dagang nan bagai pinang sebatang / kiri dan kanan tidak bercabang (28).
Di orang ada dalam kaum / umpama betung rampak serumpun / kiri dan kanan banyak berhimpun / segenap bulan sepanjang tahun (29).
Di dagang tidak ada kerabat / akan menjadi lawan sahabat / umpama nyiur sebatang bulat / pikir di hati menjadi larat (30).
Di orang nasib bagai durian / batangnya rampak, daun, dan dahan / di dagang nasib sebatang bamban / masa terbuang di dalam hutan (31).
Di orang ada rumah dan tangga / tempat bermain bersuka2 / di dagang yatim, hina, dan papa / segenap rumah tempat suaka (32).
Sudah begitu takdir Allah / mula sejengkal tinggi di tanah / kami bertiga suatu ayah / turun serumah naik serumah (33).
Untung di Allah sudah begitu / atas kepala dagang piatu / kami bertiga ibu pun satu / ketiganya hanyut ke Bandar Satu (34).
Di orang nasib bagai kepundung / buahnya manis makanan burung / di dagang nasib buah galapung / hanyut di sungai terapung2 (35).
(56) Di orang untung umpama duku / manisnya sampai ke ujung kuku / di dagang pahit bagai mengkudu/ biarlah hilang jangan meragu (36).
Wahai tuan yang biaperi / dagang katakan nasib sendiri / anak ayam hilang ada bacari / dagang terbuang tiap negeri (37).
Wahai tuan yang kasih sayang / dengarkan kabar dagang terbuang / jauh di mata di hati hilang / baiklah mati sebelum gadang (38).
Tidak kerabat banyak di orang / tetapi ada emas di pinggang / barang kemana pergi berdagang / adalah orang menaruh sayang (39).
Dagangku ini tidak seperti / dari mula kecil bunda ‘lah mati / emas pun tidak di dalam peti / semuanya orang menaruh benci (40).
Wahai sahabat handai dan tolan / dagang yang yatim tuan sadarkan / tidaklah jadi tuan harapkan / sudah terbuang dalam lautan (41).
Tuan dengarkan kabar yang elok / dagang diambil kabuah ratap / tidaklah boleh dagang diharap / umpama kambing lepas ke sesap (42)
Siapa tuan yang kasih sayang / memberi nasi dagang terbuang / sesuap pagi sesuap petang / minta ridakan sampai sekarang (43).
Sudahlah kabar kepada tolan / sembah dan salam habis disinan /
(57) kepada yang tua sembah haluan / yang muda salam dagang kirimkan (44).
Suatu lagi nazam ditambah / kepada ananda Umi Salamah / belahan nyawa buah hati ayah / di negeri Sunur darah tertumpah (45).
Wahai ananda Umi Salamah / dengarkan, Sayang, pitaruh ayah / taat ibadat kepada Allah / iman di dada jangan berubah (46).
Sembahyang, Sayang, jangan berhenti / dari mula hidup sampai kan mati / di akhirat, Sayang, ayahanda menanti / di Padang Mahsyar di pangkal Titi (47).
Jikalau ada umurku panjang / niatku bulat tidak bercabang / hendak segera kembali pulang / melihat anak sibiran tulang (48).
Jikalau sampai bilang umurku / habislah daya dengan upayaku / di akhirat, Anak, kita bertemu / di dalam Jannah sorga Tuhanku (49).
Wahai Anak hendaklah syukur / masuk termimpi masaku tidur / siang di Tarumun malam di Sunur / rangkai hatiku rasakan hancur (50).
Tersentaklah ayah pada tengah malam / bulan pun terang cuaca alam / tampaklah gunung jeram-menjeram / hati yang rindu remuk di dalam (51).
Bangunlah ayah daripada tidur / bangkit sekali duduk terpekur / terdengar ombak berdebur2 / tidaklah obah rasa di Sunur (52).
(58) Ayam berkokok hampirlah siang / orang pun sunyi angin pun tenang / berdesir ombak di atas karang / bunyi menyeru mahimbau pulang (53).
Jikalau ayahanda menjadi burung / sekarang itu terbang membubung / laut baharullah ayahanda arung / biarlah hanyut menjadi apung (54)
Jikalau ayahanda menjadi bayan / lengkap jo sayap kedua tangan / ayahanda terbang menyisi awan / menjelang Sunur kampung halaman (55).
Jikalau ayahanda menjadi elang / sekarang itu jua terbang / malam pun tidak dinanti siang / minta sampaikan masa sekarang (56).
Begitu rasanya di hati ayah / siang dan malam tidak berubah / tetapi belum takdir Allah / habislah daya upaya sudah (57).
Inilah surat dagang yang sangsai / sambutlah, tuan, manakala sampai / suruh bacakan barang yang pandai / ganti bertutur berandai2 (58).
Siapa tuan menaruh santun / sambutlah surat dari Tarumun / kaganti senda umpama pantun / jikalau salah beribu ampun (59).
Wahai sahabat kecil dan besar / Suratku ini minta didengar / air mata tuan kalau keluar / ganti meratap mayat terhantar (60).
Siapa tuan yang kasih sayang / mendengar kabar berita dagang /
(59) air mata tuan kalau terbuang / misalkan mayat turun di jenjang (61).
Wahai ananda Umi Salamah / hendak dengarkan surat bermadah / air mata anak jatuh ke tanah / niatkan, Sayang, meratapi ayah (62).
Tamatlah Syair Mekah [dan Madinah dan Syair Sunur] pada 30 hari bulan Jumadilawal Hijrat al-Nabi Muhammad Salallahualaihi wasallam sanat 1266, Muhammad Yahya ibnu Abdul Talab, te Padang den 13 April 1850.
Suryadi, alumnus Jurusan Sastra Daerah, Program Studi Bahasa & Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra Universitas Andalas, dosen dan peneliti pada Department of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania, Leiden University, Belanda.